Minggu, 16 Februari 2020

Sejarah Kasunanan Surokarto Hadiningrat


Nagari Surokarto Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti ‎ 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Latar belakang sejarah
Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan dampak dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Kesultanan Mataram Islam yang berdiri sejak abad ke-16 Masehi. Pemerintahan awal Kesultanan Mataram Islam berada di Mentaok, kemudian Kotagede (Yogyakarta). Pada masa Amangkurat I (1645-1677), tepatnya tahun 1647, pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered (sekarang di Kabupaten Bantul). Kemudian, Amangkurat II (1680-1702), mendirikan kerajaan baru di timur Yogyakarta, yaitu di hutan Wonokarto yang berganti nama menjadi Kartasura (kini di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah). Pembangunan keraton baru ini dilakukan karena istana Plered dikuasai pemberontak dan dianggap sudah tidak layak lagi digunakan sebagai pusat pemerintahan. Keraton baru di Kartasura yang mulai dibangun pada 1679 kemudian dikenal sebagai Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Berturut-turut, penerus tahta Amangkurat II di Kasunanan Kartasura Hadiningrat adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwono I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), sampai dengan Pakubuwono II (1726-1749).
Perpecahan Wangsa Mataram
Di era pemerintahan Pakubuwono II, yakni pada kurun 1741-1742, terjadi upaya perlawanan yang dikenal sebagai “Geger Pecinan” yang menyebabkan hancurnya istana Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Oleh sebab itu, pada 1744, Pakubuwono II membangun pusat pemerintahan baru di Desa Sala (Solo), dekat Sungai Bengawan Solo. Daerah ini kemudian dikenal juga dengan nama Surakarta. Dibangunnya istana di Surakarta menandai berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pemerintahan Pakubuwono II sebagai penguasa pertama Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih diwarnai polemik internal antara sesama trah Mataram. Saudara tiri Pakubuwono II, yakni Pangeran Mangkubumi, menuntut tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Akan tetapi, Pakubuwono II justru menunjuk putranya, yakni Raden Mas Suryadi, sebagai putra mahkota. Pangeran Mangkubumi tidak menerima keputusan itu sehingga pada tahun 1746 ia meninggalkan istana dan mendirikan pemerintahan tandingan di Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyowo, seorang Pangeran Mataram yang lahir di istana Kartasura dan telah melancarkan perlawanan terhadap Pakubuwono II sejak peristiwa “Geger Pecinan”. Dengan bergabungnya Raden Mas Said beserta pengikutnya, kubu Pangeran Mangkubumi semakin bertambah kuat. Pada 12 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi, dengan mendapat dukungan penuh dari Raden Mas Said, mengangkat dirinya sebagai raja/sultan di kerajaan tandingan di Yogyakarta itu. Raden Mas Said sendiri diangkat sebagai patih (perdana menteri) sekaligus panglima perang dan menyandang gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Pangeran Mangkubumi juga menikahkan Raden Mas Said dengan anak perempuannya yang bernama Raden Ayu Inten.
Pada penghujung tahun 1749 itu, Pakubuwono II sakit keras sehingga kedaulatan Kasunanan Surakarta Hadiningrat diserahkan kepada Belanda, yakni VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Sejak itulah penobatan raja-raja keturunan Mataram harus seizin Belanda. Pada 15 Desember 1749, VOC yang diwakili oleh Baron von Hohendorff melantik putra mahkota, Raden Mas Suryadi, sebagai penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono III (1749-1788). Tanggal 20 Desember 1749, Pakubuwono II wafat karena penyakitnya yang semakin parah.
Sementara itu, Belanda mulai cemas karena wilayah Pangeran Mangkubumi semakin luas. Belanda kemudian menggagas Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Secara garis besar, isi perjanjian ini adalah membagi wilayah Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah pimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792). Namun, akhirnya Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said justru berselisih paham sehingga Raden Mas Said melakukan perlawanan kepada mertuanya itu, selain tetap melawan Pakubuwono III di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Lagi-lagi VOC ikut campur atas masalah ini karena cemas dengan sepak terjang Raden Mas Said. Nicholas Hartingh, penguasa VOC di Semarang, mendesak agar Pakubuwono III segera mengupayakan jalan perdamaian. Maka digagaslah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 di Wonogiri, Jawa Tengah. Perjanjian Salatiga semakin mengurangi wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Raden Mas Said mendapat daerah kekuasaan di sebagian wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Wilayah ini disebut Praja (Kadipaten) Mangkunegaran dan Raden Mas Said dinobatkan sebagai penguasanya dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau Adipati Mangkunegara I (1757-1795)
Perpecahan wangsa Mataram masih berlanjut, kali ini terjadi di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada tahun 1813, Pangeran Natakusuma, putra Hamengkubuwono I atau paman dari Raja Yogyakarta yang sedang berkuasa saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811 dan 1812-1814), menuntut pembagian wilayah. Pemerintahan kolonial Inggris di bawah pimpinan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang berkuasa di Hindia Belanda menggantikan pendudukan Belanda mengabulkan keinginan tersebut. Pada 17 Maret 1813, Praja (Kadipaten) Pakualaman berdiri di bawah pimpinan Pangeran Natakusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I (1813-1829). Istana atau Pura Pakualaman dibangun tidak jauh dari istana Kasultanan Ngayogyakarta  Hadiningrat. Adapun wilayah kekuasaan dari Kadipaten Pakualaman mencakup sebuah kemantren di Yogyakarta (sekarang Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta) dan Karang Kemuning atau Adikarto (terletak di bagian selatan Kabupaten Kulonprogo, DIY).
Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada Masa Kolonial
Berbeda dengan Pakubuwono III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwono IV yang berpaham kejawenmenyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwono IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwono IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC.
Pada era pemerintahan Pakubuwono IV terjadi perundingan yang digagas VOC. Pakubuwono IV, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I bersama-sama menandatangani perjanjian yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, serta Kadipaten Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang. Akan tetapi, Pakubuwono IV rupanya masih berambisi untuk menyatukan wilayah Yogyakarta ke dalam naungan Surakarta Hadiningrat. Ketika Hindia Belanda diduduki Inggris, Pakubuwono IV saling berkirim surat dengan Raja Yogyakarta saat itu, yakni Hamengkubuwono II, dan menyarankan agar Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menentang Inggris. Pakubuwono IV sebenarnya berharap, Yogyakarta akan hancur jika melawan Inggris. Ternyata, Inggris terlebih dulu bertindak dengan menyerang Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan dibantu oleh Mangkunegara II. Akibatnya, pada Juni 1812, Hamengkubuwono II ditangkap dan dibuang ke Penang, Malaysia. Namun Inggris mengetahui adanya surat-menyurat antara Pakubuwono IV dengan Hamengkubuwono II. Inggris memang tidak sampai menurunkan Pakubuwono IV dari tahtanya, namun pihak penjajah berhasil merebut sejumlah wilayah yang dimiliki Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pakubuwono IV belum menyerah untuk menaklukkan Yogyakarta. Tahun 1814, Pakubuwono IV bekerjasama dengan tentara Sepoy, para serdadu bayaran dari India yang dibawa Inggris, untuk melawan Inggris sekaligus berusaha menduduki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang saat itu di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811 dan 1812 -1814). Namun, persekutuan ini gagal dan pada tahun 1815, sebanyak 70 tentara Sepoy yang terlibat ditangkap dan dihukum mati oleh Inggris, sedangkan sisanya dipulangkan ke India. Selain itu, seorang pangeran dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga ditangkap oleh Inggris karena didakwa telah menghasut Pakubuwono IV. Sang Raja Surakarta sendiri lolos dari hukuman karena pemerintahan di Hinda Belanda dikembalikan kepada Belanda sejak tahun 1816. Selain piawai dalam bidang politik dan pemerintahan, Pakubuwono IV juga dikenal sebagai sastrawan yang cukup cakap. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Serat Wulangrehyang berisi tentang ajaran-ajaran luhur untuk memperbaiki moral bangsawan Jawa. Pujangga besar Surakarta, Ranggawarsita, semasa mudanya pernah belajar ilmu sastra dan kesaktian dari Pakubuwono IV.
Pakubuwono IV mangkat pada 2 Oktober 1820 dan digantikan oleh putra mahkota, yakni Raden Mas Sugandi. Putra Pakubuwono IV dari permaisuri Raden Ayu Handoyo, anak perempuan Adipati Cakraningrat (Bupati Pamekasan), ini dinobatkan pada 10 Februari 1820 dan bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono V (1820-1823). Beliau dikenal sebagai sosok raja yang memiliki jiwa seni tinggi. Salah satu karya sastra ciptaan Pakubuwono V yang fenomenal adalah Serat Centhini atau Suluk Tambangraras yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Penulisan serat ini sudah dilakukan sebelum naik tahta menjadi Raja Surakarta, tepatnya sejak tahun 1814. Beberapa karya seni Pakubuwono V yang lain di antaranya adalah dhuwung atau keris pusaka Kyai Kaget, perahu Kyai Rajamala, tarianBeksan Serimpi dan Beksan Penthul, Gendhing Ludiramadu dan Gendhing Loro-loro, dan lain sebagainya. Namun, usia pemerintahan Pakubuwono V berlangsung hanya selama 3 tahun saja. Pakubuwono V wafat pada tanggal 5 September 1823.
Sepuluh hari setelah kematian Pakubuwono IV, sang putra mahkota, Raden Mas Sapardan, naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VI (1823-1830). Beliau adalah putra Pakubuwono V dari istri Raden Ayu Sosrokusumo, keturunan Ki Juru Martani atau Kyai Adipati Mandaraka yang pernah menjabat sebagai patih di masa Kesultanan Mataram Islam, dan masih ada darah dari Majapahit. Pakubuwono VI yang dinobatkan pada 15 September 1823, sangat mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang melawan penjajah Belanda dengan pecahnya Perang Jawa (1825-1830). Namun, Pakubuwono VI tidak bisa terang-terangan dalam menyatakan dukungannya itu karena Kasunanan Surakarta Hadiningrat terikat kontrak politik dengan Belanda. Beberapa kali terjadi pertemuan rahasia antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Terkadang Pakubuwono VI diam-diam berkunjung ke tempat persembunyian Pangeran Diponegoro, dan sebaliknya, Pangeran Diponegoro pun pernah menyusup ke dalam Keraton Surakarta. Dalam hal ini, Pakubuwono VI berperan sebagai agen ganda. Beliau berpura-pura membantu Belanda dengan mengirimkan pasukan kerajaan, namun di balik itu sebenarnya Pakubuwono VI memberikan bantuan kepada laskar Pangeran Diponegoro yang berperang secara gerilya.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Menjelang dan Setelah Kemerdekaan RI
Setelah Pangeran Diponegoro dapat ditangkap, Belanda mulai curiga kepada Pakubuwono VI karena menolak menyerahkan beberapa wilayah di Surakarta. Sejumlah orang kepercayaan Pakubuwono VI lalu ditahan dan dipaksa membocorkan hubungan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro. 
Meskipun tidak pernah ditemukan bukti, Belanda tetap mendakwa Pakubuwono VI bersalah dan pada 8 Juni 1830, Pakubuwono VI beserta keluarganya dibuang ke Ambon, padahal ketika itu permaisuri Pakubuwono VI sedang hamil. Menurut keterangan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda, kapal yang ditumpangi rombongan Pakubuwono VI mengalami kecelakaan dan mengakibatkan sang Raja tewas, sedangkan sang permasiuri selamat dan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Raden Mas Duksino pada 22 Desember 1830. Ketika dipindahkan dari Ambon ke Imogiri pada 1957, di dahi tengkorak Pakubuwono VI ditemukan lubang yang ternyata cocok dengan ukuran peluru senjata api jenis Baker Riffle. Atas penemuan tersebut kemudian muncul dugaan bahwa wafatnya Pakubuwono VI bukan disebabkan kecelakaan, melainkan karena ditembak pada bagian dahi. Atas jasa dan pengorbanan beliau, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964, Sri Susuhunan Pakubuwono VI ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Pada tanggal 14 Juni 1830, Belanda mengangkat paman Pakubuwono VI untuk meneruskan tahta Surakarta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VII (1830-1858). Bernama asli Raden Mas Malikis Solikin, Pakubuwono VII adalah putra Pakubuwono IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Sukaptinah atau Ratu Kencanawungu. Pada masa ini, seni sastra mengalami zaman keemasan yang dipelopori oleh pujangga besar Ranggawarsita. Pakubuwono VII yang wafat pada 28 Juli 1858. tidak menunjuk putra mahkota sebagai penggatinnya. 
Kemudian, yang dinobatkan sebagai raja Surakarta berikutnya adalah kakak Pakubuwono VII (seayah namun lain ibu), yaitu Raden Mas Kusen dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VIII (1859-1861). Putra Pakubuwono IV dari istri selir Mas Ayu Rantansari ini dinobatkan menjadi raja pada usia 69 tahun, yaitu tanggal 17 Agustus 1858. Pemerintahan Pakubuwono VIII hanya berlangsung selama 3 tahun karena pada tanggal 28 Desember 1861, sang Raja mangkat.
Penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat selanjutnya adalah Raden Mas Duksino, putra Pakubuwono VI, yang masih berada di dalam kandungan saat ayahnya dibuang ke Ambon. Raden Mas Duksino dinobatkan pada tanggal 30 Desember 1861 dan menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono IX (1861-1893). Era pemerintahan Pakubuwono IX inilah yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai zaman edan dalam karyanya yang bertajuk Serat Kalatida. 
Dalam serat itu, Ranggawarsita memuji Pakubuwono IX sebagai raja yang adil dan bijaksana, akan tetapi sang Raja dikelilingi oleh para penjilat yang mencari keuntungan sendiri. Selanjutnya, Pakubuwono IX digantikan oleh putra mahkota yang bernama Raden Mas Malikul Kusno yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah. Raden Mas Malikul Kusno menduduki singgasana istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat sejak tanggal 30 Maret 1893. Masa kepemimpinan raja bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) ini penuh dengan kebesaran tradisi dan sekaligus babak baru Kasunanan Surakarta Hadiningrat dalam memasuki era modern menjelang abad ke-20. Selain itu, stabilitas politik di era pemerintahan Pakubuwono X pun tetap terjaga. Kendati Belanda masih sering melakukan tekanan, namun sang Raja masih mampu menjaga wibawa kerajaan, bahkan turut dalam pergerakan nasional dengan mendukung Sarekat Islam (SI) cabang Surakarta.
Penerus Pakubuwono X adalah sang putra dari permaisuri Ratu Mandayaretna, bernama Raden Mas Antasena. Beliau dinobatkan dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XI (1939-1945) pada 26 April 1939. Pada tahun 1942, tentara pendudukan Jepang menggantikan Belanda di Indonesia. Namun, Pakubuwono X wafat justru beberapa saat sebelum Indonesia merdeka, dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Suryaguritna, lahir dari permaisuri Raden Ayu Kuspariyah. Raden Mas Suryaguritna naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XII (1945-2004) pada 11 Juni 1945, dua bulan sebelum Indonesia merdeka. Meskipun beberapa kalangan menganggap Pakubuwono XII tidak mengambil peran penting pada masa-masa awal berdirinya negara Republik Indonesia, namun Raja Surakarta ini tetap dinilai sebagai sosok pelindung kebudayaan Jawa dan dihormati oleh banyak tokoh nasional. Pakubuwono XII, yang merupakan Raja Surakarta dengan masa pemerintahan paling lama, wafat pada tanggal 11 Juni 2004.
Latar Belakang Berdirinya Kasunanan 
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ‎ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat diKartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga selaksa keping emas ‎yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah pembangunan Kraton, Ki Gede Sala meninggal dan dimakamkan di area kraton.
Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
Perkembangan Kasunanan 
Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Perjanjian Giyanti dan Salatiga
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Pakubuwana IV
Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC,Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yang berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwana IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwana IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwana IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, sertaPraja Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.
Pakubuwana V dan VI
Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.
Pakubuwana VII
Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatannya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.
Pakubuwana VIII dan IX
Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X.
Pakubuwana X
Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Infrastruktur moderen kota Surakarta ‎banyak dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang ("Taman Satwataru") Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Dia meninggal dunia pada tanggal 1 Februari1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI.
Pakubuwana XI
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwana XII.
Sri SusuhunanPakubuwana XII
Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan (1945 - 1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi.
Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanianyang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran dan daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat dan warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
Terdapat pendapat yang menilai bahwa pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan muncul rumor bahwa para bangsawan Surakarta sejak dahulu merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan‎. Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jenderal Abdul Haris Nasution ‎menulis bahwa raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel Djatikoesoemo (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi Mangku Negara yang baru. Namun rakyat dan tentara semakin ingin menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya Mayor Akhmadi, penguasa militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.
Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zamanreformasi, para tokoh nasional, misalnyaGus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang terlama di antara para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004.
Nama kecil Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah Raden Mas Suryaguritna, putra Sri Susuhunan Pakubuwono Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kuspariyah pada tanggal 14 April 1925. Pada tanggal 20 Juli 1939, Raden Mas Suryaguritna memperoleh gelar kebangsawanan sebagai Raden Mas Gusti ketika ayahandanya naik tahta sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono XI. Saat Sri Susuhunan Pakubuwono XI meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 1945, Raden Mas Gusti Surya Guritna dinobatkan dinobatkan sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar Pangeran Adipati Aryo Hamengkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram.Selanjutnya, pada tanggal 11 Juni 1945, Raden Mas Gusti Surya Guritna naik tahta sebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan berhak menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XII.
Sri Susuhunan Pakubuwono XII memiliki 6 (enam) orang istri. Kesemua istri tersebut tidak ada yang dipilih sebagai permaisuri sehingga status keenam istri Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah setara antara satu dengan yang lainnya. Istri-istri Sri Susuhunan Pakubuwono XII tersebut adalah Kanjeng Ratu Ayu Pradapaningrum dan telah dianugerahi 10 orang anak, Kanjeng Ratu Ayu Madyaningrum (dianugerahi 4 orang anak), Kanjeng Ratu Ayu Rogasworo (dianugerahi 3 orang anak), Kanjeng Ratu Ayu Kusumaningrum (dianugerahi 1 orang anak), Gusti Raden Ayu Pujaningrum (dianugerahi 11 orang anak), dan Gusti Raden Ayu Retnoningrum (dianugerahi 6 anak).
Dari keenam istri tersebut, Sri Susuhunan Pakubuwono XII dikaruniai 35 orang anak (15 orang putra dan 20 orang putri). 
Berikut nama 15 orang putra Sri Susuhunan Pakubuwono XII:
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH)Hadi Prabowo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puspo Hadikusumo
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Kusumoyudo
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Tejowulan
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Dipokusumo
Gusti Raden Mas (GRM) Soeryo Saroso
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Benowo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Noto Kusumo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Madu Kusumo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Wijoyo Sudarsono
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Soeryo Wicaksono
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Cahyoningrat
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Soeryo Mataram
Adapun nama 20 orang putri Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah sebagai berikut:
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Alit
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Galuh Kencono
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Rahmaniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Saparniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Handariyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Kristiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sapardiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Raspiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sutriyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Isbandiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Partinah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Niyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Moertiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sabandiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Triniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Indriyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Suwiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Ismaniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Samsiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Saparsiyah
Pasca Sunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11 Juni 2004), terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi raja’. Peristiwa perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono XIII, membuat kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian, yakni antara pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan.
Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan. Peristiwa ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan ‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi peristiwa Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik memecah belah atau devide et impera penjajah Belanda yang ingin menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa. Namun, saat ini sulit dipungkiri, perpecahan didorong nafsu berkuasa para elit Kasunanan Surakarta. 
Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tak akan terjadi kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara langsung putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri. Namun, semasa hidupnya, Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan 37 anak. Sejarawan Sumanto dalam suatu kesempatan mengatakan, alasan Paku Buwono XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta lebih berfungsi sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton, kekuasaan raja tidaklah dominan.
KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan. Sementara itu, keluarnya Surat Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah Kaputren, mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan Keraton Surakarta.
Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua, berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara langsung oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak menjadi raja.
Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama, karena telah diangkat oleh tiga pengageng Keraton. Menurut pandangan pihak Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi keraton inilah yang berhak menentukan pengganti raja.
Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar