Minggu, 16 Februari 2020

Sejarah Kesultanan Asahan


Kesultanan Asahan berdiri tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan,Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu, dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kesultanan ini ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kerajaan ini melebur ke dalam negaraIndonesia pada tahun 1946.
Raja Abdul Jalil, Sultan pertama Asahan merupakan putra Sultan Iskandar Muda. Asahan menjadi bawahan Aceh sampai awal abad ke-19.
Sejarah
Sejarah Kerajaan Asahan bermula, ketika Sultan Aceh, Iskandar Muda melakukan perjalanan ke Johor dan Malaka pada tahun 1612 M. Dalam perjalanan menuju tujuan tersebut, rombongan raja ini beristirahat di sebuah kawasan, di hulu sebuah sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Selesai beristirahat di hulu sungai ini, kemudian perjalanan dilanjutkan ke sebuah daerah yang berbentuk tanjung, yaitu daerah pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau. Di tanjung tersebut, Sultan Iskandar bertemu dengan Raja Simargolang. Sebagai tempat menghadap kepada raja, di daerah tersebut kemudian dibangun sebuah pelataran atau balai. Dalam perkembangannya, daerah ini kemudian menjadi perkampungan denga nama Tanjung Balai. Karena letaknya yang strategis di lintasan jalur perdagangan antara Aceh dan Malaka, maka Tanjung Balai kemudian berkembang pesat.
Dari pertemuan Sultan Iskandar Muda dengan Raja Simargolang di atas, hubungan mereka kemudian bertambah erat dengan perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan salah seorang putri Raja Simargolang. Dari perkawinan tersebut, kemudian lahir seorang putra bernama Abdul Jalil. Kelak, Abdul Jalil inilah yang menjadi Sultan Asahan pertama pada tahun 1630 M. Dalam perjalanannya, karena adanya ikatan kekerabatan dengan Aceh, maka kerajaan ini menjadi daerah bawahan Aceh hingga awal abad ke-19 M. Pada 12 September 1865 M, Asahan ditaklukkan oleh kolonial Belanda. Ketika Indonesia merdeka, Asahan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946 M.
Selain dengan Aceh, hubungan Kesultanan Asahan dengan Kerajaan Batak juga terjalin dengan mesra. Bahkan, Sisingamangaraja XII pernah berinisiatif untuk meminang putri Sultan Asahan. Pinangan tersebut disetujui oleh Sultan Asahan, karena mereka yakin Sisingamangaraja telah memenuhi syarat untuk melakukan ijab kabul. Namun pernikahan tersebut batal akibat masuknya Belanda.
Sejarah Asahan Dari Masa ke Masa
Awal mula Kesultanan Asahan dimulai dari turunnya Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat ( Sultan Alaiddin Riyatsyah I Al Qahhar ) yang memerintah Kerajaan Aceh tahun 1537 - 1568 yang melakukan penyerangan ke negeri-negeri pantai timur Sumatera. Saat melakukan penyerangan ke Labuhan Batu, datanglah permaisuri Batara Sinomba, Raja Pinang Awan (Sutan Mangkuta Alam, Raja Air Merah) glr Marhum Mangkat di Jambu meminta tolong kepada Sultan Aceh, karena dia sering difitnah dan dianiaya oleh suaminya.
Mendengar pengaduan istri kedua Batara Sinomba yang berasal dari Angkola ini, Sultan Alaiddin mengutus Raja Muda Pidie untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Akhirnya Masalah tersebut dapat diselesaikan dengan terbunuhnya Batara Sinomba.‎
Sebagai rasa terima kasihnya maka Permaisuri tersebut menyerahkan Puterinya yang bernama Siti Ungu Selendang Bulan (Siti Unai) untuk dinikahi oleh Sultan Aceh dan dibawa ke Kerajaan Aceh.
Setelah beberapa tahun maka kedua orang Abang Siti Ungu dengan ditemani oleh Raja Batak "Karo- Karo" datang menemui Sultan Aceh meminta adiknya untuk dibawa pulang. Sultan Aceh pun mengabulkan permintaan kedua orang abang dari Siti Ungu tersebut dengan syarat Apabila kelak anak yang dilahirkan oleh Siti Ungu adalah seorang Laki - laki maka ia harus dirajakan didaerah Asahan. 
Dan untuk mengawal rombongan Siti Ungu kembali ke negerinya maka Sultan Aceh mengutus salah seorang pembesarnya di Pasai yaitu Anak Sukmadirajayang berasal dari Kampung Sungai Tarap Minangkabau. 
Setibanya di Asahan, Siti Ungu melahirkan seorang anak laki - laki yang diberi nama RAJA ABDUL JALIL. Siti Ungu kemudian menikah lagi dengan Raja Karo karo yang setelah masuk islam dan diberi gelar Raja Bolon dan memperolah seorang putera yang bernama Raja Abdul Karim yang digelar denganBangsawan "Bahu Kanan". 
Tak berapa lama kemudian Raja Bolon menikah lagi dengan Puteri Raja Simargolang dan memperoleh dua orang putera yaitu Abdul Samad dan Abdul Kahar yang bergelar Bangsawan "Bahu Kiri". 
Setelah Raja Bolon meninggal terjadi perselisihan antara Sultan Abdul Jalildengan Raja Simargolang karena mengangkat kedua cucunya tersebut menjadi raja di Kota Bayu dan Tanjung Pati. 
Sultan Abdul Jalil terpaksa mengundurkan diri ke Hulu Batubara dan meminta bantuan ayahnya Sultan Aceh. Akhirnya dengan bantuan Sultan Aceh, Raja Simargolang dapat dikalahkan dan dipaksa untuk membuat perjanjian damai dan pada saat itu pula Anak Sakmadiraja dinobatkan menjadi Bendahara di Kerajaan Asahan.
1630 -  Sri Paduka Tuanku Abdul Jalil Rahmad Shah diangkat sebagai Raja Asahan I. Beliau menikah dengan Enzik Amina putri dari Bendahara Pemangku Raja Bahu bin Sukma Diraja dan istrinya Ompa Liang. Dari Pernikahan ini Abdul Jalil mendapat 2 orang putra bernama Tengku Saidi dan Sri Paduka Raja
Tak lama berselang Tuanku Abdul Jalil menikah lagi dengan Tengku Ampuan, Putri dari Tengku Sulung glr Marhom mangkat di Simpang, Raja Panai dan Bilah. Dari pernikahan kedua ini lahirlah 3 orang putri, Raja Huma, Raja Marsahdan Raja Busu. Masing-masing mereka tinggal di Bilah.
16xx - Tuanku Abdul Jalil mangkat di Tangkahan Sitarak dan dimakamkan di Pulo Raja, Asahan. Setelah Sultan Abdul Jalil mangkat, maka bermufakatlah Bendahara beserta kerapatannya dan mengangkat Sri Paduka Tuanku Saidi Shah sebagai Raja Asahan II.
Kemudian Raja Saidisyah pindah ke Simpang Toba. Beliau menikah dengan Puteri Bendahara yang bernama Halijah (Jaliah). Dari pernikahannya tersebut beliau dikaruniai seorang putera yang bernama Tuanku Muhammad Mahrum.
17xx - Raja Saidisyah wafat di Simpang Toba dan dimakamkan disana dengan gelar Marhum Simpang Toba. Untuk melanjutkan Kerajaan Asahan, maka dinobatkanlah putra tunggal Raja Saidi yaitu: Sri Paduka Tuanku Muhammad Mahrum Shah menjadi Raja Asahan III. Beliau menikah dengan Enzik Samidah, putri dari Bendahara.
Dari pernikahannya ini Tuanku Mahrum ini memiliki 3 orang putra dan seorang putri, yakni: Tuanku Abdul Jalil, Tuanku Muhammad Shah. Tuanku Kecik Besar dan Raja Amaran.
1760 - Tuanku Muhammad Mahrum mangkat di Sungai Banitan, putera beliauSri Paduka Tuanku Abdul Jalil II Rahmad Shah pun dinobatkan sebagai Raja Asahan IV. Tuanku Abdul Jalil II menikah dengan Enzik Salama putri dari Bendahara. Dari pernikahan ini Tuanku Abdul Jalil II memiliki 3 orang putra, yaitu:Tuanku Deva, Tuanku Abdul Zalim dan Tuanku Sutan Muda.
Tuanku Abdul Jalil II memindahkan pusat pemerintahan ke Kampung Baru ( Sungai Raja ). Beliau adalah tipe orang yang pintar dan nekat tanpa mengenal takut. Menurut sejarah pada tahun 1760 - 1765 Raja Alam ( Sultan Siak ) anak raja kecik minta bantuan kepada beliau untuk melawan Belanda di Malaka. Ketika beliau menemani Sultan Siak ke Malaka dan menjadi tamu kehormatan Gubernur Malaka beliau menyaksikan kota Malaka telah menjadi daerah kekuasaan Belanda. Melihat hal ini beliau langsung mengambil tindakan membakar semangat rakyat Malaka untuk melawan Belanda dan memberitahukan kepada Raja Alam ( Sultan SIak ) untuk melawan VOC dari daerahnya ( Siak ) dan Tuanku Abdul Jalil II siap untuk memimpin pasukan dan berada digaris depan. 
Dalam penyerangan ke Pulau Gantung yang menjadi lambang kekuatan Belanda pada masa itu, Belanda dapat dikalahkan dan dipukul mundur. Pulau Gantung pun kembali ke dalam kekuasaan Kerajaan Siak. Atas kegigihan dan kegemilangannya membantu Kerajaan Siak menghalau Belanda beliau dianugerahi gelar " Yang dipertuan " oleh Sultan Siak. 
1765 - Tidak berapa lama setelah beliau pulang ke Asahan, tepatnya pada tahun 1765 beliau meninggal di Sungai Raja Kampung Baru ( Kisaran ) dan dimakamkan disana dengan gelar Marhum Sungai Raja. 
Untuk meneruskan perjalanan dinasti Asahan, maka dinobatkanlah Y.T.M. Sri Paduka Tuanku Deva Shah sebagai Sultan Asahan V dan Adiknya Raja Abdul Zalim diangkat sebagai Raja Muda.
Sultan Devashah memerintah di Pasir Putih masih masuk dalam wilayah Kisaran saat ini. Masa hidupnya beliau mempunyai 5 orang istri, Yaitu: Istri pertama beliau adalah putri Bendahara, Istri kedua putri dari Raja Rondahim, Raja of Simalungun, Tanah Jawa. Istri ketiga Gadis Tiong Hoa dari Malaka, Dari pernikahan ketiga inilah lahir: Tuanku Said Musa dan Tuanku Muhammad Ali.
Istri keempatnya Encik Jahu (Gadis Cina dari Malaka), dari pernikahan keempat ini dia memperoleh 1 putra dan 3 putri, yaitu: Raja Laut, Raja Sayang, Tengkudan Raja Biong Lentung. Dan istri yang kelima Sultan Deva Shah adalah Enzik Sayyida.
1805 - Sultan Deva Shah mangkat di Pasir Putih, Beliau digelar Marhom Pasir Putih. Kemudian dinobatkanlah putranya Y.T.M. Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Musa menjadi Sultan Asahan VI. Masa pemerintahannya Sultan Ahmad Musa memindahkan kekuasaannya ke Rantau Panjang.
1807 - Sultan Ahmad Musa menikah dengan Encik Fatima, putri dari Megat Gunung bin Bendahara. Belum lagi anaknya lahir Sri Paduka Tuanku al-Sultan Muda Muhammad Ishaq ibni al-Marhum Sultan Ahmad Musa Shah, yang nantinya diangkat sebagai Raja Muda Asahan dan Raja Kualuh dan Leidong, Sultan Ahmad Musa pun mangkat. Dia diberi gelar marhum mangkat di Rantau Panjang. Maka untuk meneruskan kepemimpinan Asahan, dinobatkanlah adik Sultan Musa,yaitu: Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad ‘Ali Shah sebagaiSultan Asahan VII.
Masa hidupnya Sultan Muhammad Ali Shah menikah 2 kali, pernikahan pertamanya dengan Tengku Ampuan, adik dari Tengku Tua - putri dari Tengku Sutan. Dari pernikahan ini lahirlah Raja Husain Shah dan Tengku Siti Asmah glr.Tengku Maha Suri Raja Deli (1852 - menikah dengan Sri Paduka Tuanku Sultan Panglima Usman al-Sani Perkasa Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Amaluddin Panglima Mangedar Alam Shah [al-Marhum Masjid], Sultan Deli).
Dari pernikahan kedua dengan Puan Beberapa, lahirlah 2 putra yaitu: Tengku Sulung dan Tengku Alang Ja'afar, dan 2 putri: Raja Biyong dan Raja Tua Saiciwai.
1813 - Sultan Muhammad Ali Shah mangkat di Si Rantau. Untuk meneruskan dinasti Kesultanan Asahan selanjutnya terjadi perselisihan antara Tuanku Muhammad Ishaq anak dari Tuanku Ahmad Musa, Sultan Asahan VII dan  Tuanku Husain Shah anak dari Sultan Muhammad Ali, Sultan Asahan VIII.
Tengku Tua yang pada masa itu merupakan wali dari Raja Muhammad Ishaq menetapkan Raja Muhammad Ishaq sebagai Sultan Asahan. Akan tetapi hal ini ditentang oleh Bendahara yang menjadi wali Sultan Husain Shah. 
Berbagai jalan musyawarah telah ditempuh untuk menyelesaikan masalah ini, akan tetapi karena kedua belah pihak masing-masing mempertahankan pendapatnya maka penyelesaian tidak juga didapat hingga akhirnya perang saudara pun tidak dapat terelakkan lagi. Penduduk Asahan khususnya kaum Batak tidak menerima jika Raja Muhammad Ishak yang menjadi Sultan Asahan. 
Pada masa perang tersebut berkecamuk daerah sepanjang Sungai Silau dikuasai oleh Sultan Muhammad Husain Shah, sedangkan daerah sungai Asahan sampai ke Bandar Pulau dikuasai oleh Raja Muhammad Ishaq. Berkali-kali pihak keluarga besar Kesultanan Asahan telah mengadakan musyawarah, akan tetapi tidak ada kesepakatan yang didapat untuk menghentikan pertikaian antara dua orang saudara tersebut. 
Sampai akhirnya pihak Keluarga Besar Kesultanan Asahan mengambil suatu keputusan yang sangat mengejutkan pada masa itu yaitu melakukan penyerangan ke Negeri Kualuh. Keputusan ini diambil dengan berdasarkan beberapa alasan, dan salah satu alasan yang paling mendasar adalah apabila Negeri Kualuh dapat ditaklukkan maka Raja Muhammad Ishak akan dinobatkan menjadi raja di sana. 
Keputusan keluarga besar tersebut disetujui oleh Sultan Muhammad Husain Shah dan Raja Muhammad Ishaq. Dengan cepat dibentuk dua kelompok pasukan yang masing-masing dipimpin oleh Sultan Muhammad Husain Shah dan Raja Muhammad Ishaq. Sultan Muhammad Husain Shah menyerang dari daerah kuala sungai Kualuh sedangkan Raja Muhammad Ishaq memimpin pasukannya menyerang dari daerah hulu hingga akhirnya negeri Kualuh dapat ditaklukkan. 
1829 - Raja Muhammad Ishak dinobatkan menjadi Sri Paduka Tuanku al-Sultan Muda Muhammad Ishaq ibni al-Marhum Sultan Ahmad Musa Shah menjadi Yang Dipertuan Besar Muda Asahan yang berkuasa mulai dari Sungai Asahan sampai ke Bandar Pulau dan Dia juga diangkat sebagai Raja Kualuh dan Leidong. Dan pamannya Tengku Tua dan Tengku Biyung Khecil mengangkat Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I menjadi Sultan Asahan VIII yang berkuasa di Sei.Silau.
Untuk membantu menjalankan roda pemerintahan di Negeri Kualuh Sultan Muhammad Husain Shah mengangkat beberapa orang Datuk yang diambil dari Asahan.
Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I lahir tahun 1806. Semasa hidupnya ia menikah 2 kali. Istri pertamanya adalah Tengku Sulung, putri dari pamannya Tengku Tua dan istrinya Putri Raja Pinai. Dari pernikahan pertama ini lahirlah 3 putra dan 4 orang putri yaitu: Tengku Ahmad Shah, Tengku Amir glr.Tengku Pangeran Besar Muda, Tengku Muhammad Adil (Tengku Babul), dan Tengku Tengah glr. Tengku Ampuan, Tengku Putri,  Tengku Kechil Ajis, Tengku Sunit. Sedangkan dari istri keduanya Tuan Telaha (Tuan Trus) putri seorang keponakan dari Raja Batak Buntu Panai melahirkan Raja Muhammad Sharif glr.Tengku Setia Maharaja, Raja Muhammad Bakir dan seorang putri yaitu:Tengku Sulung Toba.
10 Februari 1859 - Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I mangkat di Si Rantau, dan dikebumikan di Kampung Mesjid. Meneruskan kepemimpinan Asahan diangkatlah putra mahkota Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Shah sebagai Sultan Asahan IX.
18 September 1865 - Karena Sultan Ahmad menolak mentah-mentah Belanda untuk tunduk dan patuh pada Kesultanan Siak, malah Sultan Ahmad memasang bendera-bendera Inggris ditepi pantai asahan, Maka Belanda menyerang Asahan. Dan Asahan takluk pada waktu itu.
27 September 1865 - Setelah Asahan takluk. Belanda mengasingkan Sultan Ahmad Shah dan adiknya Tengku Muahammad Adil ke Riau, Sedangkan adiknya Tengku Amir glr.Tengku Pangeran Besar Muda diasingkan ke Ambon.
Elisa Netscher sebagai Asisten Residen Riau pada waktu itu mengangkat Sri Paduka Tuanku al-Wathiq Billah al-Sultan Muda Ni'matu'llah Shah Ibni al-Marhum al-Sultan Muda Muhammad Abdul Haq, Yang Dipertuan Muda di-Asahan dan Raja Kualuh dan Leidong memimpin Asahan.
Kekuasaan pemerintahan Belanda di Asahan/Tanjung Balai dipimpin oleh seorang Kontroler, yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867, Nomor 2 tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai dan pembagian wilayah pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
Onder Afdeling Batu Bara
Onder Afdeling Asahan
Onder Afdeling Labuhan Batu.
Kerajaan Sultan Asahan dan pemerintahan Datuk-Datuk di wilayah Batu Bara tetap diakui oleh Belanda, namun tidak berkuasa penuh sebagaimana sebelumnya. Wilayah pemerintahan Kesultanan dibagi atas Distrik dan Onder Distrik yaitu:
Distrik Tanjung Balai dan Onder Distrik Sungai Kepayang.
Distrik Kisaran.
Distrik Bandar Pulau dan Onder Distrik Bandar Pasir Mandoge.
Sedangkan wilayah pemerintahan Datuk-datuk di Batu Bara dibagi menjadi wilayah Self Bestuur yaitu:
Self Bestuur Indrapura
Self Bestuur Lima Puluh
Self Bestuur Pesisir
Self Bestuur Suku Dua ( Bogak dan Lima Laras ).
30 November 1867 - Sultan Muda Ni'matullah diturunkan oleh Belanda. Kemudian Asahan dipimpin oleh 4 pembesar Melayu, dan pada masa ini sangat sering terjadi perlawanan terhadap Belanda di Asahan.
24 Maret 1886 - Sultan Ahmad Shah dipaksa menandatangani surat perjanjian takluk (akte van bevestiging) di Bengkalis.
AKTE VAN BEVESTIGING
Karena telah diputuskan oleh Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1865 atas kekosongan kekuasaan Tengku Achmad Shah selaku Sultan Asahan, dengan ini tanggal 25 Maret 1886, Saya ABRAHAM ADRIANUS HOOS, selaku Residen Sumatra Pantai Timur, yang dibuat dan yang ditulis bersumpah untuk melakukan perbuatan ini;
Dengan demikian dikatakan bahwa Tongkoe Achmad SHAH dengan saya, di bawah persetujuan lebih lanjut dari Yang Mulia Gubernur Jenderal, dalam nama dan karena atas nama Pemerintah Hindia Belanda, dalam martabat nya selaku Raja Assahan diakui dan dikonfirmasi atas nama: SULTAN ACHMAD SHAH , dan dia akan berkomitmen kepada Pemerintah dan mematuhinya, maka dengan ini ditetapkan sebagai berikut:
Raja dari Assahan dalam semua masalah administrasi dan keadilan, dibantu oleh sebuah dewan yang  terdiri empat anggota, sebagai perwakilan yang ditunjuk oleh pemerintah Sumatra Timur.
Raja Assahan oleh Pemerintah diberikan pendapatan sebesar f 18.000 (delapan belas ribu gulden)/ tahun, selain jumlah f 10 000 (sepuluh ribu gulden) sekaligus, untuk biaya sebagai berikut;
Setiap anggota dewan pemerintah diberikan pendapatan f 1200 (seribu dua ratus gulden)/tahun.
Penghulu bandar, Pasir Mandagei dan Bandar Poeloe masing mendapatkan f 480 (empat ratus delapan puluh gulden)/tahun;
Penghulu Pakan Tanjung Balaei mendapatkan modal f 300 (Tiga Ratus gulden)/ tahun;
Datoek bandar SJAKAR sepanjang hidupnya mendapat hibah sebesar f 600 (enam ratus gulden)/tahun; 
Dalam mencari dana tersebut sebagai awal kompensasi pada tahun 1876 oleh Pemerintah ditarik dari penghasilan yang didapat dari ekspor dan sumber daya yang disewakan  Assahan termasuk monopoli terhadap garam.
Raja dari Assahan tetap dalam kenikmatan tidak diambil alih oleh pendapatan Pemerintah, yang ia seperti sesuai dengan lembaga-lembaga negara tua dapat mengklaim, dilengkapi dengan pengetahuan dan persetujuan dari wakil Pemerintah.
Sejauh rakyatnya dapat diadili atas pengadilan pemerintah, hak Raja Assahan secara langsung atau melalui proxy untuk duduk di pengadilan tersebut, untuk dapat mengetahui permasalahan-permasalahan yang akan datang.
Mengenai Tanah konsesi akan dikeluarkan perjanjian khusus dengan Raja.
Sebagai bukti, akta ini disajikan.
Dengan demikian dilakukan di BengKalis pada tanggal 25 Maret 1886.
Residen dari Pantai Timur Sumatera,
25 Maret 1886 -  Sultan Ahmad dan Adiknya dikembalikan ke Asahan. Sultan Ahmad kembali memerintah Asahan.
Dalam hidupnya tercatat, Sultan Ahmad Shah pernah menikah 2 kali, pertama dengan Tengku Sulung, putri sulung dari Tuanku Muhammad Ishaq al-Marhum Ibni Tuanku Kata Musa Shah, Raja Kualuh Leidong dan dan Yang Dipertuan Muda di-Asahan. Dan istri kedua Encik Daeng, seorang wanita Bugis dari Riau. Tapi dari kedua pernikahan ini Sultan Ahmad tidak mendapat keturunan.
27 Juni 1888 - Sebelum Sultan Ahmad Shah mangkat, beliau sempat membuat surat wasiat. Karena dia tidak mempunyai keturunan maka untuk melanjutkan pemerintahan Kesultanan Asahan, dia meminta supaya anak tertua dari adiknyaTengku Muhammad Adil dan istrinya Encik Sri Bulan yaitu: Tengku Ngah Tanjung menjadi Sultan. Akhirnya Sultan Ahmad Shah pun wafat di Istana Kota Raja Indra Sakti Tanjung Balai dan dimakamkan di Mesjid Agung Sultan Ahmad Shah.
8 Oktober 1888 -  Atas persetujuan Belanda, akhirnya Tengku Ngah Tanjung dinobatkan sebagai Sultan Asahan X dengan nama Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II.
1908 - Pada masa pemerintahannya negeri Asahan sangat maju dan sangat dikenal oleh para pedagang dari luar negeri terutama pedagang-pedagang dari negeri Belanda. Banyak maskapai Eropa membuka Ondernemingen di Asahan. Dimasa ini pula Belanda banyak membangun beberapa gedung pemerintahan dan membangun akses dari daerah lain menuju kota Tanjung Balai dengan membangun jalan, rel kereta api serta memperluas pelabuhan.
Sultan Muhammad Husein Syah II pernah melawat ke negeri Belanda bersama T. Haji Alang Yahya dan Tengku Musa. Pada tahun 1908 Beliau menerima Anugerah Knight Order of The Netherlands Lion dari Ratu Wilhelmina. Semasa pemerintahannya Rakyat Asahan bertambah makmur dan beberapa syarikat Eropa menjalankan perniagaan di Negeri asahan pada masa itu.
11 Februari 1908 - Sultan Muhammad Husein Syah II menandatangani Politik Kontrak dengan Pemerintah Hinda Belanda yang pada waktu itu diwakili oleh Jacob Ballot selaku Resident Sumatra Timur. Pemerintah Belanda juga mengangkat  Laurentius Knappert sebagai Asisten Residen Afdeling Asahan.
Semasa hidupnya Sultan Muhammad Husain II menikah 6 kali, yang pertama dengan Raja Tengah Uteh  putri sulung Raja Tengah Muhammad Abu Bakar dan istrinya, seorang wanita asal Arab. Pernikahan kedua dengan Siti Zainab, seorang wanita keturunan Arab.  Pernikahan ketiga Encik Hitam, seorang wanita dari Penang. Pernikahan keempat dengan Encik Unga [Ongah], seorang wanita dari Sungei kepayang (mungkin sumbu yang sama Hajjah Ainon Binti Awang, atau Singapura, yang mungkin ibu dari Tengku Jawahir, m kedua, Jailani bin Ali, orang Jawa, oleh siapa dia punya masalah lebih lanjut. Pernikahan kelima denganTengku Zahara putri dari Putri YM Tengku Muhammad Yusuf bin Tengku Abdul Jalil, atau Johor-Singapura. Pernikahan keenam Tengku Madariah dan pernikahan ketujuh dengan Encik Itam. Dari pernikahan ini Sultan Muhammad Husain II memiliki 8 putra dan 14 putri, yaitu:
Tengku Amir lahir tahun 1885 di Tanjung balai, Tanggal 5 Mei 1899 dinobatkan sebagai Tengku Besar anak dari pasangan dengan Raja Uteh.
Tengku Ibrahim (Siti Zainab)
Tengku Usman lahir 1900 (Encik Hitam)
Tengku Muhammad Ishaq (Encik Hitam) meninggal saat Revolusi Sosial 4 Maret 1946
Tengku Haidar Mahazir (Encik Unga)
Tengku Sha’ibun Yunus (Tengku Zahara)
Tengku Muhammad Ali (Tengku Zahara)
Tengku Abdul Aziz (Tengku Zahara)
Tengku Darjat
Tengku Aisha (Encik Ongah)
Tengku Khair ul-Bariah (Encik Itam)
Tengku Fatimah Badriyah
Tengku Mariam
Tengku Jamilah
Tengku Munah
Tengku Salmah
Tengku Haminah
Tengku Chantik
Tengku Kalsum
Tengku Hasnah
Tengku Arfah [Ariah] (Tengku Zahara)
Tengku Jawahir (Tengku Zahara)
1910 - Harga Karet dunia melambung tinggi. Belanda dan Amerika pun sepakat untuk membuka perkebunan karetnya di Asahan. Atas persetujuan Sultan Muhammad Husain II memberikan konsesi tanah daerah Kisaran, maka kedua negara ini membuka perusahaan yang bernama Hollandsch-Amerikaansche Plantage Maatschappij. 
8 Februari 1913 - Tengku Besar Amir wafat, untuk menggantikan posisinya Sultan Muhammad Husain II pun melnobatkan Tengku Sha’ibun Yunus sebagai Tengku Besar. 
Selama hayatnya Tengku Besar Amir pernah membantu Westenak di Sumatra Barat yang waktu itu masih berpangkat Asisten Residen. Tengku Amir dimakamkan di Mesjid Raya Sultan Ahmad di Tanjung Balai.
7 Juli 1915 - Sultan Muhammad Husain II mangkat di Istana Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai. Beliaupun dimakamkan di Mesjid Raya Sultan Ahmad Shah. Dinobatkanlah putra keenam dari istri kelimanya, yaitu Tengku Sha’ibun Yunus dengan nama Sri Paduka Tuanku Sultan Sha’ibun Abdul Jalil Rahmad Shah III. Tetapi karena beliau masih muda, sehingga untuk sementara pemerintahan dipegang oleh  saudara ayahnya Tengku Alang Yahya (Regent of Negeri Asahan).
1917 - Pertumbuhan dan perkembangan Kota Tanjung Balai sejak didirikan sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl. 1917 No. 284, sebagai akibat dibukanya perkebunan-perkebunan di derah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti H.A.P.M., SIPEF, London Sumatera (Lonsum) dan lain-lain, maka Kota Tanjung Balai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan menjadi penting artinya bagi perkembangan perekonomian Belanda.
Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan – Tanjung Balai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau di ekspor melalui pelabuhan Tanjung Balai.
Untuk memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjung Balai antara lain: kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal menetap di kota Tanjung Balai. Assisten Resident van Asahan berkedudukan di Tanjung Balai dan karena jabatannya bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad). Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident, Tanjung Balai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Pada waktu Gementee Tanjung Balai didirikan atas Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 No. 284, luas wilayah Gementee Tanjung Balai adalah 106 Ha.
17 Juni 1933 - Sri Paduka Tuanku Sultan Sha’ibun Abdul Jalil Rahmad Shah III menikah dengan  Tengku Nurul Asikhin binti al-Marhum Tengku Rahmad. Putri dari Tengku Rahmad bin Tengku Ismail al-Haj, Pangeran Bendahara Putra, dari Bedagai, dan istrinya, YM Tengku Tisah Adil [Mulki] binti Tengku Muhammad ', putri kelima YAM Tengku Muhammad 'Adil [Babul] Ibni al-Marhum Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah. Permaisuri lahir di Bedagai, 1896, dan pada hari itu dinobatkan sebagai Tengku Permaisuri di Istana Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai, 17 Juni 1933.
15 Juli 1933 ( 9 Safar 1353 H ) - Beliau ditabalkan menjadi Sultan Asahan XI di Istana Kota Raja Indra Sakti Tanjung Balai pada hari Kamis 15 Juli 1933 pukul 11.00 WIB.
Sultan Syaibun belajar di H.I.S di Tanjung Balai dan kemudian melanjutkan sekolahnya ke MULO di Batavia bersama dengan dua orang saudaranya yaitu T. Khaidir dan T. Ishaq.
1933 - Beliau juga merenovasi Mesjid Raya Sultan Ahmad Shah di Tanjung Balai.
1933 - Beberapa bulan setelah menikah dengan Permaisuri Tengku Nurul, Sultan Sha'ibun pun menikah lagi dengan Encik Mariam, dan bulan September 1933, Beliau menikah lagi dengan Encik Sa'adiah binti Muhammad Ariffin. Dari ketiga isteri tersebut beliau dikaruniai 4 Orang putera dan 5 orang puteri yaitu :
Almarhum T. Sulung Baihak Syah 
Almarhumah T. Nurhayati 
Almarhum T. Dahnian 
T. Alma 
Almarhum T. Mirna 
T. Nur Zehan 
T. Yasmin 
T. Alexander 
T. Dr. Kamal Abraham
13 Maret 1942 - Pemerintahan Belanda berhasil ditundukkan Jepang, sejak saat itu Pemerintahan Fasisme Jepang disusun menggantikan Pemerintahan Belanda. Pemerintahan Fasisme Jepang dipimpin oleh Letnan T. Jamada dengan struktur pemerintahan Belanda yaitu Asahan Bunsyu dan bawahannya Fuku Bunsyu Batu bara. Selain itu, wilayah yang lebih kecil di bagi menjadi Distrik yaitu Distrik Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau Rakyat dan Sei Kepayang. 
14 Agustus 1945 - Pemerintahan Fasisme Jepang berakhir dan 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamirkan. Sesuai dengan perkembangan Ketatanegaraan Republik Indonesia, maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia Wilayah Asahan di bentuk pada bulan September 1945. Pada saat itu pemerintahan yang di pegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi, tapi pemerintahan Kesultanan dan pemerintahan Fuku Bunsyu di Batu Bara masih tetap ada. 
3 Maret 1946 - Sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu istana sultan.
4 Maret 1946 - Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang kedapatan mati, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku. Di Tanjung Balai dan di Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh. Sultan Sha'ibun tidak dibunuh, beliau dipenjarakan oleh Revolusioner Komunis.
15 Maret 1946 - Berlaku struktur pemerintahan Republik Indonesia di Asahan dan wilayah Asahan di pimpin oleh Abdullah Eteng sebagai kepala wilayah dan Sori Harahap sebagai wakil kepala wilayah, sedangkan wilayah Asahan dibagi atas 5 (lima) Kewedanan, yaitu:
Kewedanan Tanjung Balai
Kewedanan Kisaran
Kewedanan Batubara Utara
Kewedanan Batubara Selatan
Kewedanan Bandar Pulau.
Kemudian setiap tahun tanggal 15 Maret diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Asahan.
Juni 1946 - Pada Konferensi Pamong Praja se-Keresidenan Sumatera Timur diadakan penyempurnaan struktur pemerintahan, yaitu:
Sebutan Wilayah Asahan diganti dengan Kabupaten Asahan
Sebutan Kepala Wilayah diganti dengan sebutan Bupati
Sebutan Wakil Kepala Wilayah diganti dengan sebutan Patih
Kabupaten Asahan dibagi menjadi 15 (lima belas ) Wilayah Kecamatan terdiri dari ;
Kewedanan Tanjung Balai dibagi atas 4 (empat) Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Air Joman
Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Sei Kepayang
Kewedanan Kisaran dibagi atas 3 (tiga) Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Kisaran
Kecamatan Air Batu
Kecamatan Buntu Pane
Kewedanan Batubara Utara terdiri atas 2 (dua) Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Medang Deras
Kecamatan Air Putih
Kewedanan Batu Bara Selatan terdiri atas 3 (tiga) Kecamatan, yaitu:
Kecamatan Talawi
Kecamatan Tanjung Tiram
Kecamatan Lima Puluh
Kewedanan Bandar Pulau terdiri atas 3 (tiga) Kecamatan, yaitu :
Kecamatan Bandar Pulau
Kecamatan Pulau Rakyat
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge.
1947 - Sultan Sha'ibun dibebaskan oleh tentara Inggris pada Juli 1947.
1 November 1947 - Sultan Sha'ibun diberi pangkat Kapten Pertama untuk Pasukan Pengawal Negara Sumatera Timur dan Distrik Tanjung Balai.
6 September 1948 - Sultan Sha'ibun menghadiri Investiture Khidmat Ratu Juliana dari Belanda di Gereja Baru, Amsterdam. Beliau mendapatkan mendali Knight Order of The Netherlands Lion dan Officer of the Order of Orange-Nassau.
1948 - 1950 - Sultan Sha'ibun diberi jabatan bagian keamanan dalan Kabinet Pemerintahan Negara Sumatera Timur.
1954 - Terpilihlah Rakutta Sembiring menjadi Bupati Asahan. Rakutta sendiri  adalah mantan Bupati Karo.
1956 - Dengan keluarnya Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1956, Lembaran Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjung Balai diganti dengan Kota Kecil Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956 No. U.P. 15 /2/3.
Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai.
Atas persetujuan Bupati Asahan melalui maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260 daerah-daerah yang dikeluarkan (menurut  Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada batas semula, sehingga menjadi seluas 200 Ha.
1963 - Berdasarkan keputusan DPRD-GR Tk. II Asahan No. 3/DPR-GR/1963 Tanggal 16 Pebruari 1963 diusulkan ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan dari Kotamadya Tanjung Balai ke kota Kisaran dengan alasan supaya Kotamadya Tanjung Balai lebih dapat mengembangkan diri dan juga letak Kota Kisaran lebih strategis untuk wilayah Asahan. Hal ini baru teralisasi pada tanggal 20 Mei 1968 yang diperkuat dengan peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 1980, Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 28, Tambahan Negara Nomor 3166.
1982 - Kota Kisaran ditetapkan menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982, Lembaran Negara Nomor 26 Tahun 1982. Dengan adanya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 821.26-432 tanggal 27 Januari 1986 dibentuk Wilayah Kerja Pembantu Bupati Asahan dengan 3 (tiga) wilayah Pembantu Asahan, yaitu :
Pembantu Bupati Wilayah-I berkedudukan di Lima Puluh meliputi :
Kecamatan Medang Deras
Kecamatan Air Putih
Kecamatan Lima Puluh
Kecamatan Talawi
Kecamatan Tanjung Tiram
Pembantu Bupati Wilayah-II berkedudukan di Air Joman meliputi :
Kecamatan Air Joman
Kecamatqan Meranti
Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Sei Kepayang
Pembantu Bupati Wilayah-III berkedudukan di Buntu Pane meliputi:
Kecamatan Buntu Pane
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge
Kecamatan Air Batu
Kecamatan Pulau Rakyat
Kecamatan Bandar Pulau
6 April 1980 - Sultan Sha'ibun mangkat dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Raya Tanjung Balai. Dan sebagai ahli waris Kesultanan Asahan timbul intrik tentang siapa pengganti dinasti Kesultanan Asahan yang mampu mengemban tugas sebagai kepala adat. Dalam suatu kebimbangan dan keraguan apakah akan diangkat kembali Kesultanan Asahan akibat dari ekses Revolusi Sosial tahun 1946 yang masih menyimpan duka dan nestapa dalam ingatan para keluarga besar kerajaan. Ditengah kebimbangan tersebut T. Tatah dan Encik Saidahmengatakan bahwa Sultan Sha'ibun pernah bercerita tentang salah seorang anaknya yang dapat diandalkan untuk meneruskan Dinasti Kesultanan Asahan yaitu T. Kamal Abraham.
Mendengar kabar tersebut para pembesar kerajaan mengadakan musyawarah. Dari hasil musyawarah tersebut pada tanggal 17 Mei 1980 diangkatlah Dr. T. Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah sebagai Sultan Asahan ke XII.
Setelah upacara pengangkatan selesai, malam harinya dilaksanakan pemberian gelar kepada keturunan kesultanan sebagai pelengkap struktur organisasi kerajaan. Gelar terebut diberikan kepada :
Almarhum T. Alauddin Nazar mendapatkan gelar Tengku Bendahara.
T. Rumsyah mendapatkan gelar Duta Amerta.
T. Bustamam, T. Yose Rizal, Almarhum T. Azis dan T. Yusuf Idris mendapatkan gelar Pangeran Asahan.
T. Amirsyah dan T. Thamrin mendapatkan gelar Datuk Bintara.
Pemberian gelar tersebut dilakukan di Tanjung Balai dan langsung ditabalkan oleh Sultan Asahan XII Dr. T. Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah.
Sultan Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmatsyah menikah dengan seorang gadis berdarah Aceh yaitu Dr. Hj. Eva Mutia. Sampai saat ini beliau telah dikaruniai 3 ( Tiga ) orang anak yaitu : 
T. Muhammad Iqbal Alvinanda ( Lahir 17 Maret 1994 )
T. Muhammad Arief Fadillah ( Lahir 29 Mei 1995 ) 
T. Shafira ( Lahir 14 Desember 2002 )
Silsilah Raja
Sri Paduka Raja Abdul Jalil I bin Almarhum Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat (1630-16.. M)
Sri Paduka Raja Said Shah bin Almarhum Raja Abdul Jalil (16..-17..M)
Sri Paduka Raja Muhammad Mahrum Shah ibni al-Marhum Raja Said Shah (17..-1760 M)
Sri Paduka Raja ‘Abdu‘l Jalil Shah II ibni al-Marhum Raja Muhammad Mahrum Shah (1760-1765 M)
Sri Paduka Raja Deva Shah ibni al-Marhum ‘Abdu‘l Jalil [al-Marhum Mangkat di Pasir Putih) 1765-1805 M)
Sri Paduka Raja Said Musa Shah ibni al-Marhum Raja Deva Shah [al-Marhum Mangkat di-Rantau Panjang] (1805-1808 M)
Sri Paduka Raja Muhammad ‘Ali Shah ibni al-Marhum Raja Deva Shah 1808-1813 M
Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I ibni al-Marhum Sultan Muhammad ‘Ali Shah [al-Marhum Kampung Masjid] 1813-1859 M)
Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Shah ibni al-Marhum Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah 1859-1888 M)
Sri Paduka Tuanku Al-Haji Abdullah Nikmatullah Shah ibni al-Marhum Raja Muhammad Ishak, Raja Kualuh dan Leidong, juga Yang di-Pertuan Muda di Asahan. Ia ditujuk oleh Belanda setelah saudaranya, Sultan Ahmad Shah diturunkan secara paksa (1865-1867 M)
Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II ibni al-Marhum Tengku Muhammad ‘Adil (1888-1915 M)
Sri Paduka Tuanku Sultan Sha‘ibun ‘Abdu‘l Jalil Rahmad Shah III ibnu al-Marhum Sultan Muhammad Husain (1915-1980 M)
Sri Paduka Tuanku Sultan Kamal Abdurrahman (1980-sekarang)
Periode Pemerintahan
Sepanjang masa berdirinya, di Kerajaan Asahan telah berkuasa sebelas orang raja.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kerajaan Asahan mencakup daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Indonesia.
Struktur Pemerintahan
Asahan adalah kerajaan kecil yang menjadi bawahan Aceh, maka secara otomatis, struktur kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan Aceh. Di daerah Asahan sendiri, terlepas dari relasinya dengan Aceh, kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar/Sri Paduka Raja. Jabatan yang lebih rendah adalah Yang Dipertuan Muda. Untuk daerah Batubara dan kawasan yang lebih kecil, pemerintahan dijalankan oleh para datuk.
Ketika Asahan ditaklukkan oleh Belanda pada 12 September 1865, terjadi perubahan struktur kekuasaan, dengan Belanda sebagai penguasa tertinggi. Wakil tertinggi Belanda yang berada di Asahan adalah Kontroler yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867 nomor 2, tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di Tanjung Balai. 
Berdasarkan keputusan itu juga, Asahan dibagi mejadi tiga wilayah pemerintahan, yaitu:
Onder Afdeling Batubara
Onder Afdeling Asahan
Onder Afdeling Labuhan Batu
Walaupun Belanda memegang kekuaasan tertinggi dan membagi Asahan menjadi tiga pemerintahan, namun, pemerintahan para Datuk di wilayah Batubara tetap diakui Belanda. Hanya saja, kekuasaannya telah jauh berkurang, tidak seperti sebelumnya.
Secara khusus Belanda juga membagi wilayah kekuasaan sultan dan para datuk. Untuk wilayah pemerintahan kesultanan, Belanda membaginya menjad distrik danonder distrik, yaitu:
Distrik Tanjung Balai dan Onder Distrik Sungai Kepayang
Distrik Kisaran
Distrik Bandar Pulau dan Onder Distrik Bandar Pasir Mandoge
Sedangkan wilayah pemerintahan para datuk di Batubara dibagi menjadi wilayah Self Bestuur, yaitu:
Self Bestuur Indrapura
Self Bestuur Lima Puluh
Self Bestuur Pesisir
Self Bestuur Suku Dua (Bogak dan Lima Laras)
Ketika Belanda menyerah pada Jepang, maka Asahan otomatis berada di bawah kekuasaan Jepang. Saat itu, Jepang yang dipimpin oleh T. Jamada mengganti struktur pemerintahan di Asahan menjadi Bunsyu dan bawahannya Fuku Bunsyu. Daerah Fuku Bunsyu adalah Batubara, sementara yang lebih kecil diubah menjadi distrik. Distrik-dsitrik tersebut adalah: Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau Rakyat dan Sei Kepayang.
Pemerintahan Fasisme Jepang berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 dan tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Sesuai dengan perkembangan Ketatanegaraan RI, maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia wilayah Asahan dibentuk pada bulan September 1945. Pada saat itu pemerintahan yang dipegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi, tapi pemerintahan Kesultanan dan pemerintahan Fuku Bunsyu di Batubara masih tetap ada.
Pada tanggal 15 Maret 1946, berlaku struktur pemerintahan RI di Asahan dan wilayah Asahan dipimpin oleh Abdullah Eteng sebagai Kepala Wilayah dan Sori Harahap sebagai Wakil Kepala Wilayah, sedangkan Asahan dibagi atas 5 (lima) kewedanaan, yaitu:
Kewedanaan Tanjung Balai
Kewedanaan Kisaran
Kewedanaan Batubara Utara
Kewedanaan Batubara Selatan
Kewedanaan Bandar Pulau
Pada Konferensi Pamong Praja se-Keresidenan Sumatera Timur pada bulan Juni 1946 diadakan penyempurnaan struktur pemerintahan, yaitu:
Sebutan Wilayah Asahan diganti dengan Kabupaten Asahan
Sebutan Kepala Wilayah diganti dengan Bupati
Sebutan Wakil Kepala Wilayah diganti dengan Patih
Kabupaten Asahan dibagi menjadi 15 (lima belas) wilayah kecamatan, terdiri dari:
a) Kewedanaan Tanjung Balai dibagi atas:
Kecamatan Tanjung Balai
Kecamatan Air Joman
Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Sei Kepayang
b) Kewedanaan Kisaran dibagi atas:
Kecamatan Kisaran
Kecamatan Air Batu
Kecamatan Buntu Pane
c) Kewedanaan Batubara Utara dibagi atas:
Kecamatan Medang Deras
Kecamatan Air Putih
d) Kewedanaan Batubara Selatan dibagi atas:
Kecamatan Talawi
Kecamatan Tanjung Tiram
Kecamatan Lima Puluh
e) Kewedanaan Bandar Pulau dibagi atas:
Kecamatan Bandar Pulau
Kecamatan Pulau Rakyat‎
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge
Dengan mempertimbangkan posisi yang lebih strategis, maka pada tanggal 20 Mei 1968, melalui PP Nomor 19 Tahun 1980, ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan dari Kota Tanjung Balai ke Kota Kisaran.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebuadayaan Islam, maka di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik. Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syeikh Abdul Hamid. Ia lahir tahun 1880 M (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau.  Syekh Abdul hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu. Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Abdul Hamid inilah yang kelak mendirikan organisasi Jamiyyatul Washliyyah. Sebuah organisasi yang berbasis pada aliran sunni dan mashab Syafii. Dalam banyak hal, organisasi ini memiliki persamaan dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau. Adanya banyak persamaan ini, karena memang para ulama tersebut saling bersahabat baik sejak mereka menuntut ilmu di Mekkah. Pandangan para tokoh agama ini sangat berbeda dengan paham reformis yang dibawa oleh para ulama muda Minangkabau, seperti Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Oleh sebab itu, sering terjadi polemik di antara para pengikut kedua paham yang berbeda ini.
Di paruh pertama abad ke-20, sekitar tahun 1916, di Asahan telah berdiri sebuah sekolah yang disebut Madrasah Ulumul Arabiyyah. Sebagai direktur pertama, ditunjuk Syekh Abdul Hamid. Dalam perjalanannya, madrasah Ulumul Arabiyah ini kemudian berkembang menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di Asahan, bahkan termasuk di antara madrasah yang terkenal di Sumatera Utara, sebanding dengan Madrasah Islam Stabat, Langkat, Madrasah Islam Binjai dan Madrasah al-Hasaniyah Medan. Di antara  ulama terkenal lulusan sekolah Asahan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 M).
Peninggalan tertulis warisan Kerajaan Asahan hanya berkaitan dengan buku-buku di bidang keagamaan yang dikarang oleh para ulama untuk kepentingan pengajaran. Berikut ini beberapa buah buku yang dikarang oleh Syeikh Abdul Hamid di Asahan, yaitu:
Ad-Durusul Khulasiyah
Al-Mathalibul Jamaliyah
Al-Mamlakul ‘Arabiyah.
Nujumul Ittiba.
Tamyizut Taqlidi Minal Ittiba.
Al-Ittiba.
Al-Mufradat.
Mi‘rajun Nabi‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar