Minggu, 16 Februari 2020

Sejarah Kesultanan Serdang


Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia t‎ahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari ‎Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan ‎tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
Sejarah
Riwayat Kesultanan Serdang memiliki perjalanan yang rumit dan penuh gejolak. Latar belakang berdirinya kesultanan yang terletak di Sumatra Timur ini tidak bisa dilepaskan dari kejayaan Kesultanan Aceh. Sejarah Kesultanan Serdang sebenarnya diawali dengan munculnya Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Dia merupakan sosok pemberani yang terkenal sebagai Panglima Besar Tentara dan Panglima Armada Aceh. Mengusung panji-panji kebesaran Kesultanan Aceh di bawah naungan Sultan Iskandar Muda, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan memimpin operasi penaklukkan dan berhasil menundukkan negeri-negeri di sepanjang Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatra, hingga Johor serta Pahang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan itu tidak lain adalah Laksamana Malem Dagang yang memimpin armada Aceh melawan Portugis (1629) dan yang menaklukkan Pahang (1617), Kedah (1620), Nias (1624), dan lain-lainnya.
Berkat jasa dan pengabdian terhadap Kesultanan Aceh, pada 1632 Sultan Iskandar Muda berkenan memberikan penghargaan dengan melantik Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai wakil Sultan Aceh atau Wali Negeri untuk memimpin wilayah Haru atau yang kemudian dikenal sebagai wilayah Sumatra Timur. Haru sebenarnya merupakan sebuah kerajaan mandiri yang berhasil ditaklukkan Kesultanan Aceh di bawah komando Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Sosok inilah yang menjadi kakek moyang raja-raja di Haru atau yang kelak bersulih nama menjadi wilayah Deli dan Serdang. Nama Haru sendiri muncul pertama kali dalam catatan pengelana dari Tiongkok yang singgah di Sumatra pada sekitar abad ke-13. Dalam catatan itu disebutkan, Haru mengirimkan misi ke Tiongkok dalam tahun 1282 Masehi ketika tanah Tiongkok dikuasai imperium Mongol di bawah pimpinan Kubilai Khan. Selain itu, nama Haru juga tercantum dalam kronik Pararaton ketika membahas fragmen tentang Ekspedisi Pamalayu, yakni upaya Majapahit untuk menaklukkan negeri Melayu yang dimulai pada abad ke-13. Haru tercatat sebagai salah satu dari negeri-negeri utama di Sumatra di samping Lamuri, Samudera, Barlak (Perlak), dan Dalmyan (Temiang). Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang legendaris itu juga menyinggung soal keberadaan Haru dengan menyebutkan, di samping Pane, Majapahit berhasil pula menguasai Kompai dan Haru.
Data tentang keberadaan Kerajaan Haru masih berlanjut ketika seorang pejalan yang juga berasal dari Tiongkok, Fei Sin, menulis bahwa dalam tahun 1436 M, Haru terletak di depan Pulau Sembilan. Manakala angin baik, tulis Fei Sin, kapal layar bisa sampai ke Haru dari Malaka dalam waktu 3 hari 3 malam. Keterangan Fei Sin ini didukung oleh catatan dari Dinasti Ming yang mengisahkan bahwa pada masa pemerintahan Kaisar Yung Lo, penguasa ke-3 Dinasti Ming yang memerintah sejak 1402, Sultan Husin dari Haru mengirimkan misinya ke Tiongkok. Sebaliknya, dalam tahun 1412, Kaisar Yung Lo mengutus Laksamana Cheng Ho untuk mengunjungi negeri-negeri di Nusantara, termasuk Haru. Hubungan kekerabatan antara Kerajaan Haru dan Kekaisaran Tiongkok semakin harmonis karena Tuanku Alamsyah, pengganti Sultan Husin, juga mengirimkan misinya ke Tiongkok, berturut-turut dalam tahun-tahun 1419, 1421, dan 1423 Masehi.
Pada masa-masa berikutnya, Kerajaan Haru bersama kerajaan-kerajaan kecil lainnya melakukan perlawanan terhadap Kesultanan Aceh yang muncul sebagai kekuatan baru di sekitar Selat Malaka. Berkali-kali Haru melancarkan gerakan penentangan terhadap dominasi Aceh hingga kerajaan ini berhasil ditaklukkan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memunculkan nama Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai panglima perang yang paling berhasil pada masa itu. Oleh penguasa Kesultanan Aceh, pada 1632 wilayah Haru diberikan kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan selaku wakil Sultan Aceh. Dari sinilah riwayat Kerajaan Deli dan Kerajaan Serdang dimulai. 
Pendudukan atas bekas wilayah Kerajaan Haru ini diberikan oleh Kesultanan Aceh dengan misi:
Menghancurkan sisa-sisa perlawanan Kerajaan Haru (yang dibantu oleh Portugis).
Mengembangkan misi Islam ke wilayah pedalaman.
Mengatur pemerintahan yang menjadi bagian dari Imperium Aceh.
Pada 1632 M, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan menikah dengan Puteri Nan Baluan Beru Surbakti, adik dari penguasa Kerajaan Sunggal, Datuk Imam Surbakti. Kerajaan Sunggal merupakan salah satu pemerintahan kecil yang terdapat di wilayah Urung asal Karo di Deli. Pengakuan dari kerajaan-kerajaan kecil di regional itu yang diberikan kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan membuat pemerintahan Deli di bawah naungan Aceh semakin mantap. Setelah Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan meninggal dunia pada 1641 M, kekuasaan atas wilayah Deli diberikan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit (1614-1700 M) yang kemudian bergelar sebagai Panglima Deli.
Ketika kebesaran Kesultanan Aceh mulai melemah, di mana Sultan Iskandar Muda mangkat dan pemerintahan Aceh dipegang oleh raja-raja perempuan, pada 1669 M Panglima Perunggit memproklamirkan kemerdekaan Deli atas penguasaan Aceh. Sebagai legitimasi, Deli di bawah komando Panglima Perunggit menjalin hubungan dengan Belanda di Malaka. Tuanku Panglima Perunggit atau Panglima Deli meninggal dunia pada 1700 M. Pengganti Tuanku Panglima Perunggit sebagai penguasa Deli adalah sang putra mahkota, Tuanku Panglima Paderap yang memerintah hingga tahun 1720 M. Sepeninggal Tuanku Panglima Paderap, Deli mulai dilanda perpecahan. Selain karena mulai berpengaruhnya Kerajaan Siak di wilayah Sumatra Timur, ancaman yang mengguncang Deli juga disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan di antara anak-anak Tuanku Panglima Paderap. Meski terdapat beberapa versi, ada sejumlah kalangan yang meyakini bahwa anak Tuanku Panglima Paderap berjumlah empat orang, yaitu:
Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari turunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tg. Mulia.
Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari turunan bangsawan Deli dan Bedagai.
Kejeruan Santun, berasal dari turunan bangsawan Denao dan Serbajadi.
Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari turunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan.
Perang saudara dalam memperebutkan kekuasaan Deli itu terjadi pada sekitar tahun 1723. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan yang merasa paling berhak atas tahta Deli, karena merupakan anak yang berasal dari permaisuri, tidak berhasil memperoleh haknya. Dalam pertempuran melawan kakak keduanya, Tuanku Panglima Pasutan, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan menelan kekalahan dan bersama ibundanya, Tuanku Puan Sampali yang tidak lain adalah permaisuri Tuanku Panglima Paderap, terpaksa menyingkir dan mengungsi hingga kemudian mendirikan Kampung Besar (Serdang). Atas kemenangan yang diperoleh dari adiknya itu maka Kesultanan Deli dikuasai oleh Tuanku Panglima Pasutan.
Dalam catatan Tengku Luckman Sinar Basarshah II, yang kini mengemban mandat sebagai Sultan Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang atau Sultan Serdang ke VIII, disebutkan bahwa menurut adat Melayu yang benar, yang berhak menggantikan Tuanku Panglima Paderap sebagai pemimpin Kerajaan Deli adalah Tuanku Umar Johan selaku putra dari permaisuri. Namun, Tuanku Umar Johan disingkirkan oleh kakaknya karena masih di bawah umur. Atas perlakuan terhadap Tuanku Umar Johan tersebut maka dua orang besar di Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah serta bersama dengan seorang Raja Urung Batak Timur yang menghuni wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan juga seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar Johan selaku Raja Serdang yang pertama diangkat yaitu pada 1723 M.
Sultan Serdang pertama, Tuanku Umar Johan, memiliki tiga orang putra, yakni Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan Tuanku Sabjana atau yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir. Oleh karena Tuanku Malim menolak dilantik menjadi raja sebagai pengganti ayahnya, maka yang kemudian didaulat untuk menduduki tahta Kesultanan Serdang setelah Tuanku Umar Johan mangkat adalah Tuanku Ainan Johan Alamsyah (1767-1817). Sultan Ainan Johan Alamsyah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam dari Kerajaan Perbaungan yang kemudian bergabung dengan Kesultanan Serdang. Sebelumnya, salah seorang keturunan Panglima Paderap (Raja Deli terakhir) yang lain, yaitu Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi, sudah menggabungkan diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama.
Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M. Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah ini Kesultanan Serdang mengalami era jaya dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena perdagangannya. Nama Kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan Serdang.
Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan. Ketika pada 1854 Aceh mengirim ekspedisi perang sebanyak 200 perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.
Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia (1946). Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, pada Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menyatakan dukungan terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat.
Selanjutnya, tahun 1946 wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda situasi yang mencekam. Pada 3 Maret 1946, terjadi peristiwa menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Raja-raja dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Menurut buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang (2003) yang ditulis oleh Pemangku Adat Kesultanan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, penangkapan terhadap raja-raja di Sumatra Timur itu, seperti yang terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah. Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar. Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.
Masih menurut catatan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, di Serdang keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Berkat adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan, pembunuhan, atau penjarahan di Serdang. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena banyak kerabat dan para bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di dalam struktur angkatan bersenjata Republik, partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis. Oleh karena itu, ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah suatu perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Sebagai tindak lanjut atas kesepakatan tersebut, maka keesokan harinya, yakni tanggal 4 Maret 1946, diutuslah Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama pemerintah Republik Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Timbang terima yang mulai berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang itu agaknya merupakan sebuah peristiwa unik yang berlaku untuk pertamakalinya di Indonesia. Sejak saat inilah Kesultanan Serdang meleburkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud komitmennya terhadap kemerdekaan dan berdirinya negara Indonesia yang berdaulat.
Pada 13 Oktober 1946, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah meninggal dunia dalam usia 80 tahun dan dikebumikan dengan upacara militer di makam raja-raja di sebelah masjid raya di Perbaungan yang masih termasuk di dalam wilayah administratif Serdang. Sebagai pemegang tahta Serdang ke VI sepeninggal Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah adalah Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar. Namun, dikarenakan oleh situasi politik dan keamanan di Serdang dan umumnya di Sumatra Timur yang belum stabil, maka penabalan mahkota kesultanan kepada Tuanku Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar hanya sebagai kepala adat. Di samping itu, Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar sendiri tidak bersedia dinobatkan sebagai Sultan Serdang karena merasa masih trauma dengan serentetan kejadian tragis atau “Revolusi Sosial” yang terjadi di tahun 1946 itu. Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar wafat di Medan pada 28 Desember 1960 dan dimakamkan di Perbaungan.
Setelah mangkatnya Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar, masyarakat adat Serdang tidak lagi mempunyai kepala adat selama masa-masa selanjutnya dan posisi ini mengalami kevakuman selama lebih kurang 35 tahun. Hingga akhirnya, pada 30 November 1996, Kerapatan Adat Negeri Serdang mengadakan sidang serta memutuskan bahwa Pemangku Adat Serdang dipilih dan ditetapkan dari putra-putra almarhum Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah yang masih hidup. Dari sidang-sidang tersebut kemudian diputuskan Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj, putra ketiga Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dan pemegang mahkota Kesultanan Negeri Serdang yang ke VII sebagai Pemangku Adat Negeri Serdang dan Ketua Kerapatan Adat Negeri Serdang. Penabalannya dilakukan dalam upacara adat di Gedong Juang 45 di Perbaungan pada 5 Januari 1997.
Namun, kebangkitan Kesultanan Serdang ini tidak bisa lepas dari himpitan sistem politik negara. Institusi kesultanan semata-mata dilihat dari perspektif politik. Keberadaan Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai representasi perilaku budaya dan adat masyarakatnya. Oleh karena itu, aktivitas kesultanan dibatasi hanya sebagai institusi istiadat saja. Dalam penyelenggaraan istiadat pun “diarahkan” tidak menjadi perenggang masyarakat dengan akar budayanya, apalagi unsur budaya yang berhubungan dengan  tradisi kesultanan, khususnya tradisi kesultanan yang terdapat di Sumatra Timur. Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj mangkat pada 28 Januari 2001 karena sakit dan dikebumikan di Makam Raja Diraja di samping Masjid Raya Perbaungan.
Sebagai penerus keberadaan Kesultanan Serdang setelah Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj wafat adalah Tuanku Luckman Sinar Baharshah II. Sebelum jenazah Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj diberangkatkan pada tengah malam tanggal 28 Januari 2001, sesuai dengan Adat Melayu “Raja Mangkat Raja Menanam”, dimusyawarahkanlah mengenai pengganti Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj dan anggota sidang dengan suara bulat menyepakati bahwa Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (waktu itu bergelar Temenggong Mangkunegara Serdang) sebagai Pemangku Adat Serdang berikutnya. Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar Baharshah II selaku Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang yang ke VIII digelar pada 12 Juni 2002 di Perbaungan dan dihadiri 6.000 orang utusan dari seluruh Serdang dan 2.000 orang undangan dari kalangan pemerintah serta empat negara. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II yang memegang tahta adat Kesultanan Negeri Serdang hingga sekarang menjadi penegas bahwa Kesultanan Serdang masih eksis sampai hari ini.
Silsilah Raja-Raja
Berikut nama-nama sultan yang pernah memimpin pemerintahan Kesultanan Serdang:
Sultan Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (1723−1767).
Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767−1817).
Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850).
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819−1880).
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah (1866−1946) . - Selama tahun 1880 − 1866, pemerintahan Kesultanan Serdang dipegang oleh Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali karena Sulaiman Syariful Alamsyah masih sangat belia.
Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar (1946−1960).
Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj (1997−2001).
Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (2001−sekarang), dinobatkan pada 2002.
Wilayah Kekuasaan
Sejak awal berdirinya hingga sekarang, wilayah Kesultanan Serdang beberapa kali mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial-politik yang terjadi. Kesultanan Serdang sendiri, pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dimasukkan ke dalam Residensi Sumatra Timur, bersama sejumlah kerajaan lainnya antara lain Kerajaan Asahan, Kerajaan Deli, Kerajaan Kualuh dan Leidong, Kerajaan Langkat, Kerajaan Pelalawan, serta Kerajaan Siak Sri Inderapura. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan dilanjutkan dengan pengakuan kedaulatan tahun 1949, secara administratif, Kesultanan Serdang yang semula termasuk ke dalam wilayah Sumatra Timur, sejak tahun 1950 dilebur menjadi Provinsi Sumatra Utara hingga kini.
Ditinjau dari perjalanan sejarahnya, perubahan luas wilayah Kesultanan Serdang dari zaman ke zaman diperoleh melalui beberapa cara, di antaranya dengan jalan penaklukan, kekerabatan (ikatan perkawinan), atau penggabungan wilayah oleh kerajaan-kerajaan kecil ke wilayah Kesultanan Serdang. Berdasarkan data yang ditemukan dari beberapa catatan karya Tuanku Luckman Sinar Baharshah II, daerah-daerah yang pernah dan masih menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Serdang (dikumpulkan dari beberapa sumber), antara lain: Percut, Perbaungan, Sungai Ular, Sungai Serdang, Padang, Bedagai, Sinembah, Batak Timur, Negeri Dolok, Batubara (Lima Laras), Serbajadi, Denai, Patumbak, Rantau Panjang, Bandar Labuhan, Lengo Seperang/Kwala Namu, Pantai Cermin, Pertumbukan/Galang, Medan Senembah, Tambak Cikur, Rantau Panjang, hingga Lubuk Pakam.
Sistem Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama, yaitu Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, pemerintahan Kesultanan Serdang masih dalam kondisi yang tidak menentu karena banyaknya konflik yang harus dihadapi. Baru pada era Sultan Serdang kedua, Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767-1817), Kesultanan Serdang mulai menyusun konsep untuk mengatur tata pemerintahannya. Salah satu yang terpenting adalah dengan dibentuknya Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:
Pangeran Muda, berwilayah di Sungai Tuan.
Datok Maha Menteri, berwilayah di Araskabu.
Datok Paduka Raja, berwilayah di Batangkuis.
Sri Maharaja, berwilayah di Ramunia.
Sultan Ainan Johan Alamsyah memperkokoh legitimasi Lembaga Orang Besar Berempat itu berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan empat penjuru alam (barat, timur, utara, selatan) dan kokohnya kaki binatang serta asas Tungku Sejarangan (empat batu penyangga untuk memasak) yang merupakan asas sendi kekeluargaan tradisi masyarakat Melayu di Sumatra Timur. Terdapat empat sosok penentu di dalam upacara perkawinan maupun perhelatan-perhelatan besar lainnya. 
Selain itu, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Sultan Serdang dibantu oleh Syahbandar dan Temenggong sebagai kepala keamanan dan panglima besar. Pemerintahan Sultan Ainan Johan Alamsyah mencoba mengharmonisasikan antara Hukum Syariat Islam dengan Hukum Adat. Hal ini mengacu pada filosofi pepatah “Adat Melayu bersendikan Hukum Syara’ dan Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”. Pada masa ini juga diperketat aturan tentang adat-istiadat kerajaan, yaitu antara lain:
1. Adat Sebenar Adat
Adat ini menganut pemahaman sesuai berlakunya Hukum Alam, misalnya: api itu panas, air itu dingin, hidup-mati, siang-malam, lelaki-perempuan, dan lainnya.
2. Adat yang Diadatkan
Adat ini muncul sebagai hasil dari konsensus permufakatan Orang Raja dan Para Orang Besar Kerajaan.
3. Adat yang Teradat
Adat ini lahir dari suatu kebiasaan yang kemudian diikuti secara terus-menerus dan turun-temurun oleh masyarakat, sehingga menjadi resam hingga dijadikan sebagai Hukum Adat dan terdapat sanksi-sanksi adat jika hukum itu dilanggar.
4. Adat-Istiadat
Adat ini berupa seremonial yang dirujuk dari ketentuan yang belaku di istana raja. Adat ini bersifat dinamis, bisa berubah ketika terjadi pergantian raja.
Sementara pada era pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850), Kesultanan Serdang mencapai masa keemasan dengan memperoleh kemajuan pesat, terutama di bidang perdagangan. Pada masa ini, penerapan Adat Melayu yang bersendikan Islam sangat dijunjung tinggi. Yang menjadi hal utama adalah Budi yang Mulia (budi daya, budi bahasa, budi pekerti, dan lain-lain), sebab dengan ketinggian budi akan menunjukkan ketinggian peradaban suatu bangsa. Dampak positif dari penerapan konsepsi budi ini salah satunya adalah rakyat Batak Hulu banyak yang masuk Islam. Dalam memegang pemerintahan umum, Sultan Thaf Sinar Baharshah dibantu beberapa Orang Besar, seperti Pangeran Muda Sri Diraja Mattakir sebagai Raja Muda, Tuanku Ali Usman (gelar Panglima Besar Negeri Serdang) di Sungai Tuan (Kampung Klambir), Tuanku Tunggal (gelar Sri Maharaja) di Kampung Durian, dan Datuk Akhirullah gelar Pekerma Raja Tg. Morawa.
Pemimpin Serdang yang selanjutnya, Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819−1880), mengalami masa-masa di mana eksistensi Kesultanan Serdang mulai terusik dengan kedatangan penjajah Belanda. Di dalam menghadapi pengaruh Belanda yang semakin kuat di Pantai Timur Sumatra, Serdang di bawah komando Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah tanpa tedeng aling-aling berdiri di belakang Aceh yang memang gencar melakukan perlawanan terhadap hegemoni penjajah. Atas dukungan tersebut, pada 1854 Sultan Aceh berkenan menganugerahi gelar kepada Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah sebagai “Wazir Sultan Aceh” dengan simbol kekuasaan yang disebut Mahor Cap Sembilan. Seperti sultan-sultan sebelumnya, Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah juga selalu didampingi Orang-orang Besar dan Wazir serta raja-raja dari wilayah yang berhasil ditaklukkan Serdang. Akan tetapi, karena konflik yang berkepanjangan berakibat dengan sering terjadinya pergantian Orang-orang Besar dan para Wazir serta raja-raja dari wilayah jajahan Serdang tersebut. Selain itu, di luar Dewan Kerajaan yang terdiri dari orang-orang Besar pilihan Sultan, terdapat lagi lembaga pemerintahan yang mengurus daerah-daerah yang termasuk wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang. Institusi ini dikenal dengan nama “Lembaga Orang Besar Berlapan” yang terdiri dari delapan orang pejabat yang ditunjuk Sultan Serdang untuk memimpin daerah-daerah di luar pusat kerajaan
Berikutnya adalah rezim pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah (1866−1946) di mana Kesultanan Serdang melakukan beberapa tindakan strategis karena semakin kuatnya tekanan dari penjajah Belanda. Kebijakan penting yang dilakukan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah salah satunya adalah melakukan perlawanan menentang Belanda ketika pada 1891 Kontrolir Serdang sebagai wakil dari pemerintah kolonial Hindia Belanda memindahkan ibukota Serdang dari Rantau Panjang ke Lubuk Pakam. Sebagai bentuk perlawanan, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menolak ikut pindah ke ibukota baru pilihan penjajah, dan sebaliknya justru membangun istana baru, yakni Istana Perbaungan (Kraton Kota Galuh), pada 1886 serta mendidikan Masjid Raya Sulaimaniyah. Selain itu, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah juga membangun kedai, pasar ikan, dan kompleks pertokoan sehingga berdirilah sebuah kota kecil yang diberi nama Simpang Tiga Perbaungan. Kota inilah yang dijadikan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai tandingan ibukota Serdang versi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perlawanan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap penetrasi Belanda masih berlanjut ketika pada 1898 menolak dengan dingin permintaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia agar menghadap Ratu Kerajaan Belanda. Tidak hanya itu, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah beserta rombongan bahkan memilih melawat ke Jepang dan Tiongkok pada tahun itu juga sebagai tindakan nyata bahwa Kesultanan Serdang memberikan perlawanan terhadap Belanda karena pada masa itu Jepang dan Tiongkok merupakan negeri di Asia yang maju dan berani menentang kekuatan militer dan penguasaan ekonomi oleh Barat. Dalam kunjungannya di Jepang, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dijamu secara pribadi oleh Tenno Heika Kaisar Meijimutshuhito. Namun, lawatan ke Jepang itu dimanfaatkan Belanda untuk berbuat licik sebagai balasan atas “pembangkangan” yang dilakukan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dengan mempersempit batas wilayah Serdang. Kebijakan mempersempit wilayah Kesultanan Serdang oleh Belanda ini tak pelak menyebabkan perubahan dalam susunan para Orang Besar. Belanda menghapuskan beberapa posisi pemerintahan, termasuk Raja Muda dan Wazir Paduka Setia Maharaja.
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berkuasa di Serdang hingga akhir hayatnya, yaitu di penghujung tahun 1946, di mana sebelumnya di tahun itu telah terjadi “Revolusi Sosial” sehingga Kesultanan Serdang memilih menggabungkan diri dengan Tentara Rakyat Indonesia sebagai wakil dari pemerintahan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan sebelumnya. Keputusan itu diambil atas dasar kemantapan hati untuk bergabung dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada era pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, Kesultanan Serdang pada bulan Desember 1945 telah menyatakan dukungannya terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh.
Di masa-masa selanjutnya, pemerintahan adat Kesultanan Serdang nyaris tidak terlihat karena situasi politik yang sedang carut-marut, bahkan geliat Serdang sempat mati suri selama sekitar 35 tahun karena calon pengganti Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menolak ditabalkan sebagai Sultan Serdang dengan alasan masih trauma atas berbagai kejadian berdarah di tahun-tahun revolusi fisik itu. Setelah dihidupkan lagi pada 1997, Kesultanan Serdang tidak bisa mencapai kejayaan seperti dulu dikarenakan keterikatan dan situasi politik Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Aktivitas kesultanan tidak lagi berpengaruh banyak terhadap keberlangsungan dan kehidupan rakyat di Serdang, melainkan hanya sebatas institusi istiadat semata.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar