Minggu, 16 Februari 2020

Sejarah Kesultanan Johor


Sejarah Johor dimulai pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Sebelumnya daerah Johor merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, kemudian ‎Malaka jatuh akibat penaklukan Portugal p‎ada tahun 1511. ‎Berdasarkan Sulalatus Salatin, setelah wafatnya Sultan Malaka,Mahmud Syah tahun 1528 di Kampar,Sultan Alauddin Syah, salah seorang putra raja Malaka, menjadikan Johor sebagai pusat pemerintahannya dan kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor.
Sebagai pewaris Malaka, Sultan Johor menganggap wilayah Johor, Pahang,Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Deli,Siak, Rokan, Inderagiri, Batu Bara, danJambi sebagai wilayah kedaulatan nya. Pengaruh perjanjian London tahun 1824 bekas wilayah Kesultanan Johor dibagi atas wilayah jajahan Inggris dan Belanda. Setelah kemerdekaan Malaysia, Johor kemudian menjadi salah satu negara bagian Malaysia pada tahun 1963.
Sejarah Johor sebagai negeri telah dimulai sekitar abad ke-9 M. Saat itu, Johor telah berkembang menjadi bandar perdagangan yang cukup ramai. Karena posisi inilah, maka Johor kemudian menjadi incaran kekuatan besar yang ada di Nusantara. Pada abad ke-14, Johor ditaklukkan oleh Majapahit. Ketika Majapahit mulai melemah, kemudian muncul Malaka sebagai kekuatan baru pada abad ke-15. Saat itu, Johor segera beralih penguasa, menjadi daerah kekuasaan Malaka. Selama lebih dari satu abad, Johor terus berada dalam kekuasaan Malaka, hingga datangnya pasukan kolonial Portugis menyerang dan menghancurkan Malaka. Malaka runtuh, penguasanya, Sultan Mahmud melarikan diri ke Pahang, kemudian ke Bentan Johor.  
Di Bentan Johor, Sultan Mahmud Shah mencoba menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan kembali sisa-sisa pasukannya. Dengan sisa pasukannya ini, ia kemudian beberapa kali menyerang Malaka. Sultan Mahmud juga melakukan blokade perdagangan yang menggangu jalur perniagaan Portugis. Untuk mengatasi perlawanan Sultan Mahmud, pada tahun 1526, Portugis kemudian mengirim sepasukan tentara dengan kapal besar di bawah pimpinan Pedro Mascarenhaas untuk menyerang Bandar Bentan. Bentan ambruk, Sultan Mahmud kembali menyingkir, kali ini ke menyeberang Selat Malaka menuju Kampar, Riau. Di sinilah ia meninggal dunia.  
Sultan Mahmud meninggalkan dua orang putera: Tengku Muzaffar Shah dan Tengku Alauddin Riayat Shah. Muzaffar Shah kemudian menjadi Sultan Perak, sementara  Alauddin Riayat Shah kembali ke Johor dan menjadi Sultan Johor yang pertama. Selanjutnya, Kerajaan Johor ini lebih dikenal dengan nama Kesultanan Johor-Riau-Lingga." Kerajaan Johor telah resmi berdiri.
Perang Melawan Portugis
 
Sebagai keturunan Sultan Mahmud, Sultan Alauddin Riayat Shah berkewajiban untuk melanjutkan perjuangan ayahnya melawan penjajah Portugis. Sebagai tindak lanjut dari itu, ia kemudian membangun sebuah kota di Johor Lama yang terletak di tebing Sungai Johor. Dari tempat inilah, ia kemudian terus melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka. Dalam perlawanan ini, ia terus menerus bekerjasama dengan saudaranya Sultan Perak, dan juga Sultan Pahang. 
Perang antara Portugis dan Johor terus berlangsung. Pada saat bersamaan, muncul sebuah kekuatan baru diujung barat Sumatera, yaitu Aceh. Karena Portugis beragama Kristen, maka pedagang muslim kemudian banyak yang berpindah ke Aceh, sehingga pelabuhan Aceh menjadi ramai. Seiring kebangkitan Aceh, timbul pula semangat ekspansi untuk menguasai Semenanjung Malaya. Maka, kemudian Aceh menyerang Portugis di Malaka dan Johor di Bentan. Merasa menghadapi musuh yang sama, Johor yang semula bertikai dengan Portugis, kemudian bersatu melawan Aceh. Ketika Aceh sudah mulai lemah, Johor dan Portugis kembali bertikai.
Ketika Belanda tiba di Asia Tenggara, Johor mengajaknya bersekutu melawan Portugis. Belanda setuju dan kemudian membantu Johor mengusir Portugis. Akhirnya, pada tahun 1641, Belanda dan Johor berhasil mengalahkan Portugis di Malaka. Konsekuensinya, Malaka kemudian harus diserahkan pada Belanda. Menurut pepatah, nasib Malaka ibarat keluar dari mulut buaya, kemudian masuk ke mulut harimau. Kekuasan Belanda atas Malaka  berakhir ketika perjanjian antara Inggris dan Belanda ditandatangani pada tahun 1824. Sejak saat itu, Malaka masuk ke dalam mulut  harimau lain: Inggris.
Pada tahun 1666, Kerajaan Jambi di Sumatera yang banyak membantu Johor dalam melawan Portugis berusaha unutk melepaskan diri dari kekuasaan  Johor. Akibatnya, terjadilah peperangan antara Jambi yang ingin merdeka melawan Johor yang ingin mempertahankan daerah kekuasaannya. Peperangan berlangsung dari 1666 hingga 1673, hingga akhirnya Johor berhasil dikalahkan Jambi, dan ibukota Johor, Batu Sawar dihancurkan oleh pasukan Jambi. Untuk mengalahkan Jambi, pada tahun 1679, Laksana Tun Abdul Jalil dari Johor meminta bantuan Bugis untuk menyerang Jambi. Atas bantuan Bugis, Johor kemudian berhasil mengalahkan Jambi.
Perang Saudara
Kekalahan Jambi di tangan Johor dengan bantuan orang-orang Bugis ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masalah tersebut mulai timbul ketika Sultan Mahmud II mangkat pada tahun 1699 tanpa meninggalkan Putra Mahkota. Perselisihan mulai muncul karena perebutan kekuasaan. Bendahara Tun Abdul Jali kemudian melantik dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Shah IV. Pelantikan ini telah menimbulkan ketidaksenangan di hati para Pembesar Istana, sebab Abdul Jalil bukanlah orang yang berhak untuk menduduki jabatan tersebut.
Pada sisi lain, pengaruh Bugis yang banyak membantu Johor ketika melawan Jambi mulai bertambah kuat. Orang-orang Minangkabau yang berjumlah cukup banyak juga terus memperkuat pengaruhnya. Di kalangan orang Minangkabau, ada seorang putra dari Siak, bernama Raja Kecil, mengaku sebaga pewaris sah Sultan Mahmud II. Semua kelompok ini berambisi untuk memegang tampuk kekuasaan. Hingga suatu ketika, Raja Kecil meminta bantuan orang-orang Bugis untuk menggulingkan Bendahara Abdul Jalil dari kekuasaannya. Saat itu, orang Bugis bersedia membantu, namun mereka harus ke Selangor terlebih dulu untuk mempersiapkan pasukan. Ketika orang-orang Bugis pergi ke Selangor, Raja Kecil berinisiatif menyerang Johor tanpa bantuan Bugis, dan berhasil menggulingkan Bendahara Abdul Jalil.
Ketika orang-orang Bugis sudah kembali dari Selangor, mereka mendapatkan Raja Kecil sudah menjadi Sultan Johor. Orang-orang Bugis kemudian menuntut jabatan untuk mereka, tapi ditolak oleh Raja Kecil, karena memang Bugis tidak membantunya dalam mengalahkan Abdul Jalil. Penolakan Raja kecil telah membuat orang-orang Bugis kecewa. Keadaan ini kemudian dimanfaatkan oleh Bendahara Abdul Jalil untuk meminta bantuan pada Daeng Parani, pemimpin orang Bugis, menurunkan Raja Kecil dari tahta, dengan imbalan orang Bugis akan dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda. Abdul Jalil dan orang Bugis kemudian berhasil menurunkan Raja Kecil pada tahun 1722 M. Selanjutnya, anak Bendahara Abdul Jalil dilantik menjadi sultan dengan gelar, Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah. Semetara Daeng Marewah, pemimpin orang Bugis menjadi Yang Dipertuan Muda. Dalam praktiknya, ternyata Sultan sangat lemah dan tidak punya kuasa, sebab kekuasaan dipegang oleh Daeng Marewa. 
Johor, Singapura dan Inggris
Kawasan Selat Malaka merupakan pusat lalu lintas perdagangan, karena itu, selalu menjadi incaran para kolonial Eropa. Pada 29 Januari 1819, Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu tiba di Singapura. Saat itu, Singapura merupakan wilayah kekuasaan Johor, dikepalai oleh seorang Tumenggung. Ketika itu, kondisi politik di Johor tidak stabil karena adanya campur tangan Belanda dan Bugis. Tahta Johor saat itu dipegang oleh Tengku Abdul Rahman. Ia menjadi sultan hanya karena abangnya, Tengku Husin tidak berada di istana saat ayah mereka, Sultan Mahmud  III meninggal dunia.
Akal licik Raffles segera berjalan, ia kemudian mencoba memanfaatkan situasi dengan membantu Tengku Husin menjadi Sultan Johor. Sebagai imbalan, Tengku Husin harus mengizinkan Inggris membuka pelabuhan di Singapura. Tengku Husin menyetujui permintaan Inggris, dengan syarat Inggris membayar uang tahunan pada Sultan. Kesepakatan ini diperkuat dalam suatu perjanjian pada 6 Februari 1819. Kemudian, atas bantuan Tumenggung Johor di Singapura, Inggris berhasil membawa Tengku Husin yang saat itu bersembunyi di Riau kembali ke Johor, dan berhasil menjadi sultan.
Dengan diserahkannnya Singapura pada Inggris, maka wilayah Johor secara geografis jadi terpisah dari Riau. Akhirnya, yang berkuasa di Riau adalah orang-orang Bugis, sementara Sultan tetap di Johor, namun, secara de facto, yang berkuasa adalah Tumenggung.
Pada tahun 1855, di bawah perjanjian antara Inggris di Singapura dan Sultan Ali dari Johor, daerah Johor diserahkan kepada Raja Temenggung Tun Daeng Ibrahim, sementara  Muar masih tetap berada di bawah kekuasaan Sultan. Tapi, pada tahun 1877, Muar akhirnya ikut diserahkan kepada  Temenggung Ibrahim. Temenggung Ibrahim kemudian membuka sebuah bandar di selatan Johor, yang ia sebut Bandar Tanjung Putri dan menjadikannya sebagai bandar utama. Dalam perkembangannya, bandar ini kemudian dikenal dengan nama Johor Baru.
Ketika Temenggung Ibrahim meninggal, ia digantikan oleh anaknya, Temenggung Abu Bakar yang bergelar Seri Maharaja Johor. Pada tahun 1866, ia dilantik menjadi Sultan Johor secara resmi. Di masa kekuasaannya, Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim memperbaiki sistem kenegaraan agar lebih baik. Selain itu, ia juga membangun sebuah istana sebagai temapt tinggal resmi sultan. Karena itu, ia kemudian disebut sebagai Bapak Johor Modern. Di masa ini, Johor juga menikmati pertumbuhan ekonomi yang baik. Di antara komoditas penting adalah lada hitan dan gambir. Karena tingginya permintaan, kemudian banyak dibuka ladang perkebunan baru, buruh-buruhnya didatangkan dari Cina.
Pada tahun 1914, Residen Inggris datang ke Johor. Kedatangan residen ini terpaksa diterima oleh Sultan Ibrahim bin Sultan Abu Bakar, karena kekuasaannya memang sudah sangat lemah. Ketika Perang Dunia II meletus pada tahun 1939, Inggris yang bertanggungjawab terhadap keamanan Johor dikalahkan dengan mudah oleh tentera Jepang. selanjutnya, Johor berada di bawah kekuasaan Jepang dari tahun 1941 hingga 1945. Ketika perang usai, Johor menjadi bagian dari wilayah Uni Malaya. Ketika Tanah Melayu merdeka pada 31 agustus 1957, Johor merupakan salah satu dari 14 negara bagian yang bergabung dalam negara Malaysia.
 
Berikut ini silsilah para penguasa Kerajaan Johor:
1- Sultan Mahmud Shah I (1511-1528)
2- Sultan Alauddin Riayat Shah II (Raja Ali/Raja Alauddin) (1528-1564)
3- Sultan Muzaffar Shah II (Raja Muzafar/Radin Bahar) (1564-1570)
4- Sultan Abd. Jalil Shah I (Raja Abdul Jalil) (1570-1571)
5- Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II (Raja Umar) (1570/71-1597)
6- Sultan Alauddin Riayat Shah III (Raja Mansur) (1597-1615)
7- Sultan Abdullah Ma‘ayat Shah (Raja Mansur) (1615-1623)
8- Sultan Abdul Jalil Shah III (Raja Bujang) (1623-1677)
9- Sultan Ibrahim Shah (Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau) (1677-1685)
10- Sultan Mahmud Shah II (Raja Mahmud) (1685-1699)
11- Sultan Abdul Jalil IV (Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil) (1699-1720)
12- Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor) (1718-1722)
13- Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah (Raja Sulaiman/Yang Dipertuan Besar Johor-Riau) (1722-1760)
14- Sultan Abdul Jalil Muazzam Shah (1760-1761)
15- Sultan Ahmad Riayat Shah (1761)
16- Sultan Mahmud Shah III (Raja Mahmud) (1761-1812)
17- Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah (Tengku Abdul Rahman) (1812-1819)
18- Sultan Hussain Shah (Tengku Husin/Tengku Long) (1819-1835)
19- Sultan Ali (Tengku Ali, tapi tak diakui oleh Inggeris) (1835-1877)
20- Raja Temenggung Tun Daeng Ibrahim (Seri Maharaja Johor) (1855-1862)
21- Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim (Temenggung Che Wan Abu Bakar/Ungku Abu Bakar) (1862-1895)
22- Sultan Ibrahim bin Sultan Abu Bakar (1895-1959)
23- Sultan Ismail bin Sultan Ibrahim (1959-1981)
24- Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj (1981-kini)
Periode Pemerintahan
Jika periode eksistensi Kerajaan Johor dimulai dari sejak runtuhnya Malaka pada tahun 1511, maka usia kerajaan ini telah mencapai 5 abad. Selama itu, telah berkuasa 24 orang sultan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ketika sultan yang berkuasa cakap dan cerdas, maka Johor menjadi maju dan berkembang. Sebaliknya, ketika sultan yang berkuasa hanya gila pada kekuasaan, banyak dirasuki iri dan dengki, kurang memperhatikan nasib rakyat, maka Johor menjad lemah.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasan Johor mencakup kawasan Johor, Singapura, Riau dan Jambi. Saat ini, Johor hanyalah salah satu negara bagian di Malaysia. Daerah-daerah yang dulu pernah di bawah kekuasaannya telah menjadi daerah merdeka.
Struktur Pemerintahan
Struktur tertinggi kekuasaan di Johor berada di tangan sultan. Walaupun di beberapa periode, yang berkuasa adalah pihak asing ataupun bawahan yang lebih rendah, seperti Tumenggung. Hal ini semata-mata disebabkan oleh kelemahan sultan. Untuk membantu sultan dalam menjalankan pemerintahan, ia dibantu oleh bendahara dan tumenggung.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar