Minggu, 19 Juni 2016

Kerajaan Banjar

1. Sejarah
Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di
kawasan pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota
bandar yang memiliki hubungan perdagangan dengan India dan Cina. Dalam
perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke 5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong.
Jauh beberapa abad kemudian, orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang datang ke
kawasan ini. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang.
Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi dengan penduduk tempatan yang terdiri dari suku
Maanyan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa suku-suku daerah tempatan, yang kemudian membentuk bahasa Banjar Klasik.
Untuk mengetahui sejarah Banjar lebih lanjut, historiografi tradisional masyarakat tempatan
sangat banyak membantu. Di antara sumber yang paling populer adalah Hikayat Lambung
Mangkurat, atau Hikayat Banjar. Berdasarkan sumber tersebut, di daerah Banjar telah berdiri
Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah sekitar Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.
Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang
saudagar kaya, tapi bukan keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam
Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja. Namun, dalam pratiknya, ia memiliki kekuasaan dan
pengaruh yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu
Jatmika, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya
yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan,
seperti candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal dunia, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebab mereka bukan keturunan raja. Tapi
kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan
seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari
Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata,
sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu,
yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketika Sukarama meninggal, ia
berwasiat agar cucunya Raden Samudera yang menggantikan. Tapi, karena masih kecil,
akhirnya Raden Samudera kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang
juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar
dari pembunuhan, Raden Samudera kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai oleh para kepala suku. Di antara desa-desa tersebut adalah Muhur, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkampungan Melayu yang dibentuk oleh lima buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pageran). Semuanya anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang-orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih.
Oleh karena itu, desa Banjar tersebut kemudian disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya
disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan
kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan
pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar bisa keluar dari pengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar.
Keputusannya, mereka sepakat mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang
kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat. Kemudian, mereka juga sepakat
memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden
Samudera, mereka memberontak melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-
16 M. Pemberontakan ini amat penting, karena telah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha,
yang berarti akhir dari era Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan
Banjar.
Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudera meminta bantuan Kerajaan Demak di
Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudera mengirim duta ke Demak untuk
mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang
pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah
sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin,
seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini sekitar 400 orang.
Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan
tersebut, agar Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agama Islam. Atas bantuan
Demak, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha,
sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha.
Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran)
Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai
gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak itu, agama Islam berkembang
pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) diislamkan oleh wakil
penghulu Demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu jam 10 pagi,
bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan utusan Penghulu Demak
Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan.
Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampai ia meninggal dunia, dan dikuburkan di
Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telah membuka era baru di Kerajaan Banjar dengan masuk dan
berkembangnya agama Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca
masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri
yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal
dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar
kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860.
2. Silsilah
Silsilah berikut dimulai dari era masuknya Islam di Kerajaan Banjar. Berikut silsilahnya:
·         Raja I adalah Sultan Suriansyah, putera dari pasangan Ratu Intan Sari atau Puteri
Galuh dengan Raden Manteri Jaya. Suriansyah cucu Maharaja Sukarama Raja dari
Kerajaan Negara Daha. Bergelar Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
·         Raja II adalah Sultan Rahmatullah, putera Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan
Batu Putih
·         Raja III adalah Sultan Hidayatullah, cucu Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan
Batu Irang.
·         Raja IV adalah Sultan Mustainbillah.
3. Periode Pemerintahan
Untuk mengetahui nama raja-raja Banjar yang pernah memerintah di Kerajaan Banjar serta
periode pemerintahannya, dapat dilihat pada tabel berikut:
Raja Ke Nama Raja Masa Hidup Periode Pemerintahan
I Sultan Suriansyah wafat 1550 M 1526 - 1550 M
II Sultan Rahmatullah - 1550 - 1570 M
III Sultan Hidayatullah - 1570 - 1595 M
IV Sultan Mustainbillah - -
4. Wilayah Kekuasaan
Setelah Pangeran Samudera atau Sultan Sariansyah berhasil meruntuhkan kerajaan Daha,
maka seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Daha otomatis dikuasainya. Wilayah tersebut
meliputi sepanjang Sungai Barito, Sungai Kuwin, Balabong, dan sebagian besar wilayah
Kalimantan Timur.
5. Struktur Pemerintahan
Untuk mengatur pemerintahan, Sultan dibantu oleh para Patih, Mufti dan Penghulu.
6. Kehidupan Sosial Budaya
Dalam kehidupan masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk
limas (lapisan). Lapisan paling atas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan
minoritas. Mereka adalah kaum bangsawan atau “bubuhan raja-raja”. Penghargaan
masyarakat terhadap golongan bangsawan ini sesuai dengan derajat kebangasawanannya.
Mereka, secara turun-temurun, menjadi golongan terhormat dan berdarah bangsawan, serta
mempunyai gelar-gelar seperti sultan, pangeran, ratu, gusti, andin, antung, dan nanang.
Golongan ini mempunyai hak memungut cukai dari hasil bumi, hasil pertanian, perikanan dan
lain-lain.
Golongan kedua adalah pejabat kerajaan, ulama-ulama, mufti, dan penghulu. Golongan ini
langsung berhubungan dengan penduduk. Segala macam barang yang diperdagangkan
mereka beli dari masyarakat dan dibayar dengan uang. Mufti sebagai pejabat formal
mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Sementar ulama-ulama menyampaikan
ajaran agama Islam.
Golongan ketiga merupakan golongan terbesar, yaitu rakyat biasa. Mereka itu adalah
golongan yang hidup dari pertanian dan perdagangan kecil-kecilan, nelayan, kerajinan,
industri, dan pertukangan.
Golongan bawah adalah golongan pandeling. Golongan pandeling adalah mereka yang
kehilangan setengah kemerdekaan akibat hutang-hutang yang tak dapat mereka bayar.
Biasanya, merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan bangsawan atau
pedagang-pedangan kaya. Golongan ini berakhir pada abad ke-19, seiring dengan
dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda.
Berkaitan dengan kehidupan budaya, telah berkembang beberapa corak seni dan sastra. Saat
itu, Banjar telah memiliki gamelan yang dipukul dengan lemah lembut, seni sastra
berkembang dengan menggunakan huruf Arab Melayu (Jawi), dan kemungkinan, juga telah
berkembang suatu seni, hasil perpaduan antara tonil Melayu dan cerita Seribu Satu Malam.
Seni ukir berkembang karena adanya kebiasaan para bangsawan dan orang kaya untuk
membuat rumah secara mewah, yang dipenuhi dengan ukiran indah. Corak seni lain yang juga telah berkembang dan amat kuat dipengaruhi kebudayaan Islam adalah mahidin dan balamut. Ini semua menunjukkan bahwa, di Kerajaan Banjar telah berkembang suatu seni budaya dengan coraknya yang khas.
Sumber:
1. Sejarah Banjar,
2. Profil Republik Indonesia, Kalimatan Selatan. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992
3. Depdikbud, Komplek Makam Sultan Suriansyah.
4. Imansyah Mahbara, Komplek Makam Sultan Suriansyah, Depdikbud Kalsel, 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar