Kamis, 16 Juni 2016

Struktur dan Arsitektur Masjid Agung Banten


Arsitektur merupakan hasil proses perancangan dan pembangunan oleh seorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Berdasatkan pengertian tersebut dan batasan yang dimaksud dengan masjid, maka secara umum arsitektur masjid adalah bangunan untuk sembahyang bersama (berjamaah) pada hari juma’at dan ibadah Islam lainnya dengan fungsi majemuk sesuai dengan perkembangan zaman, budaya dan tempat suatu masyarakat (Sumalyo, 2000:7)
Masjid Agung Banten memiliki bangunan utama. Yang dimaksud dengan bangunan utama di sini adalah bangunan yang mempunyai atap bersusun lima ditambah serambi timur yang memiliki atap sendiri. Adapun bangunan yang tidak termasuk bangunan utama adalah sebuah menara di sebelah timur masjid dan sebuah bangunan yang disebut bangunan tiyamah di sebelah selatan. Kedua bangunan yang disebut terakhir memiliki keunikan tersendiri sehingga akan mendapat porsi pembahasan tersendiri.
 

 
Bangunan utama masjid terdiri dari fondasi massif atau pejal setinggi 1 meter. Ruang utama untuk shalat atau liwan dari bangunan utama Masjid Agung Banten memiliki denah empat persegi panjang berukuran 25 x 19 meter, namun sesungguhnya bangunan yang dinaungi oleh atap yang bersusun lima itu berdenah bujur sangkar.(Lihat foto 13).  Jadi dapat diduga bahwa pawestren dan ruang makam di sisi selatan  dahulu adalah ruang sholat utama sebelum adanya dinding pemisah seperti sekarang. Untuk memasuki ruang utama masjid terdapat tiga pintu, masing-masing satu di serambi timur, satu di serambi utara, dan satu di pawestren. Di dalam ruang utama ini terdapat mihrab dan mimbar, lalu pada tahun 1975 lantai ruangan utama dilaksanakan pemugaran dilapisi dengan tegel berukurang 30 x 30 cm berwarna hijau muda dengan bercak-bercak putih. Setiap ruangan sholat juga dibatasi dengan dinding tembok dengan ketebalan 60-90 cm. Pada dinding tersebut terdapat pintu jendela, lubang angin, tiang semu (pilaster) dan pelipit-pelipit (pelipit rata dan setengah lingkaran). Di dalam ruang masjid terdapat tiang-tiang yang berfungsi sebagai penyangga atap susun yang menutupi ruang tersebut jumlahnya 24 buah.
Umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta .
Labu tersebut merupakan simbol dari pertanian karena Banten Lama terkenal makmur, gemah ripah dan loh jinawi. Bahkan pada masa kepemimpinan Maulana Yusuf , Banten terkenal dengan persawahannya yang luas hingga mencapai batas sungai Citarum dan keberadaan Danau Tasikardi merupakan bukti lain yang menguatkan pendapat ini. (http:// www.kompas.com, diakses pada tanggal 28 Februari 2011).
Bentuk mihrab Masjid Agung Banten yang sederhana menunjukan bahwa masjid tersebut termasuk dalam kelompok masjid-masjid yang didirikan pada awal perkembangan Islam di Indonesia, yakni pada akhir abad ke-15 atau abad ke-16. Sebagai bahan perbandingan dapat dilihat dari mihrab-mihrab masjid yang sezaman seperti Masjid Agung Demak, Masjid Sunan Giri, dan Masjid Sendang Duwur.
Agak sedikit berbeda dengan mimbar masjid tua di Indonesia, mimbar Masjid Agung Banten diletakkan di sebelah kanan mihrab tetapi tidak menempel di dinding, namun berada agak ke depan berjarak 1 meter dari dinding barat. Mimbar berada di atas fondasi berdenah empat persegi panjang mempunyai pipi tubuh dan atap limas bersusun dua serta dilengkapi hiasan puncak dari kayu. Kaki mimbar dibuat dari susunan pelipit miring dihiasi tiga buah panil persegi empat berjajar ke atas. Didalam masing-masing panil terdapat hiasan pula. Panil bawah dihiasi bunga teratai mekar, panil tengah dengan motif bingkai cermin, dan panil atas dengan motif oval yang di dalamnya terdapat lubang berbentuk seperti daun semanggi. Pada setiap sudut dalam panil dihiasi motif daun yang diapit oleh dua motif bintang bersudut delapan. Di atas ketiga panel ada panil lagi berbentuk empat persegi panjang yang menghiasi kedua sisi samping dan muka mimbar. Di dalam kedua panil tersebut dihiasi motif pilin berganda yang saling berhadapan, motif kupu-kupu, dan bintang bersudut delapan.
Selain itu, terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Beberapa kalangan mengatakan, tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar.
Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.
Dalam pembangunan masjid agung, salah satu arsiteknya adalah Raden Sepat. Tipe atap Masjid Banten yang memiliki corak yaitu pinjaman dari tipe atap seni bangunan Hindu, tetapi menara yang nampak di muka masjid tersebut adalah corak menara Islam modern, karena dibangun kemudian (Suru, 1994:58)
Adapun Raden Sepat mulanya dari Majapahit kemudian membangun Masjid Demak, Cirebon dan Masjid Banten Lama ini. Jadi bukan ketaksengajaan bila antara masjid Demak, Cirebon dan Banten Lama secara arsitektur ada mata rantainya. Misalkan dari sisi atapnya, Masjid Agung Demak dan Cirebon itu memiliki atap tiga susun yang bermakna Iman, Islam dan Ikhsan.
Sehingga menurut Suru (1994:58) walaupun nampak wujud fisik seni bangunan Islam menerima pengaruh Hindu, tetapi menunjukkan ajaran Tauhid dan iman, yang merupakan keyakinan pokok dalam Islam. Kedua ajaran tersebut tercermin dalam setiap karya seni rupa Islam.
Selain Raden Sepat, beberapa kalangan menyebut Tjek Ban Tjut sebagai arsitek lainnya. Pendapat ini berangkat dari analisis pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom Pagoda China. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.
Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.
Tapi pendapat yang menghubungkan masjid itu dengan kuil-kuil Cina dengan pertimbangan bahwa kerabat-kerabat pelopor penyebar agama Islam di Indonesia berasal dari sana hal itu diragukan oleh Herry Setiadi di dalam Julliadi (2007:80) . Ia melihat kuil di Cina tidak menunjukkan kemiripan dan bentuk atap bertingkat masjid-masjid di Indonesia, justru kemiripan didapatkan pada atap pagoda di Katjmandu (nepal) yang juga berbentuk limas.(Julliadi, 2007:80).
Bentuk atap masjid yang bertingkat pada masjid merupakan survival bangunan meru, bangunan suci agama Hindu di Bali. Kata meru diambil dari sebuah nama suci di India, Maha meru. Dalam kosmologi Hindu maupun Budha, istilah meru dikenal sebagai gunung kosmis atau gunung kahyangan yang menjadi pusat jagad raya, tempat tinggal pada dewa. Candi atau bangunan meru di Bali merupakan replika gunung kahyangan tersebut. Hal itu terlihat dari bentuknya yang semakin mengecil ke atas, seperti gunung (Julliadi, 2007:81).
Selain itu terdapat serambi dan kolam untuk wudlu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. (Lihat foto 6). Serambi Masjid Agung Banten ini digunakan sebagai penunjang ruang utama berada di sebelah timur. Sebenarnya serambi ini  terdapat disekeliling bangunan utama masjid tetapi wilayah yang sangat luas adalah serambi sebelah selatan karena serambi ini merupakan bagian terbesar dan atapnya terpisah dari atap bangunan utama.(Lihat foto 7).  Selain itu serambi di sisi timur ini adalah serambi yang dimaksud di dalam pembicaraan arsitektur masjid-masjid tua di Indonesia. Untuk serambi di sisi selatan dan utara tersebut sebagai selasar masjid saja.
Sebagai penopang bangunan utama, maka serambi Masjid Agung Banten yang oleh masyarakat setempat disebut pula dengan pendopo, fungsinya berbeda dengan ruang utama yang bersifat sakral. Meskipun merupakan bagian dari masjid, akan tetapi serambi masjid dianggap sebagai bagian wilayah transisi antara profan dan sakral. Pada beberapa masjid serambi digunakan sebagai tempat musafir menginap jika kemalaman, terkadang pula dipaksakan sebagai tempat pernikahan jika tidak ada gedung khusus untuk itu.
Di dalam ruang serambi terdapat bedug yang menyerupai kendang besar. Bedug tersebut berfungsi sebagai pertanda masuknya waktu shalat wajib sebelum dikumandangkannya azan sebagai panggilan untuk menunaikannya shalat Bedug Masjid Banten berbentuk silinder, terbuat dari kayu jati. Di bawah tubuh bedug terdapat tulisan dalam huruf Arab berbunyi Hijriyah 1236, Hijriyah 1183, Hijriyah 1267, Hijriyah 1273. angka-angka tahun tersebut diduga tahun penggantian kulit bedug (Juliadi, 2007:88).
Di sisi timur serambi terdapat kolam berbentuk empat persegi panjang yang terbagi dalam empat kotak. Tiap-tiap kotak dipisahkan oleh pematang tembok dan keempat kotak tersebut dihubungkan oleh dua lubang pada masing-masing pematang. Dahulu air kolam diambil dari kanal Kota Banten sekitar 30m di selatan masjid dengan mengalirkan air melalui dua buah ke kanal utara masjid yang lebih rendah. Karena proes pendangkalan kanal, air kolam sekarang tidak mengalir dari dan ke dua kanal tersebut.
Kolam yang agak berbeda adalah kolam Masjid Kasunyataan di Banten yang letaknya berada di bagian belakang masjid, bentuknya pun bukan persegi empat panjang seperti kolam-kolam masjid tua lainnya tetapi berbentuk seperti menyilang atau tanda tambah. Keunikan kolam ini tampak pada tangsi yang ditempatkan pada keempat sisinya.
Kemudian pintu depan yang dibangun dengan ukuran kecil dan pendek, dapat ditafsirkan berupa ajakan agar saat masuk masjid, kita harus bersikap tawadhu, rendah hati dan tidak boleh sombong. Yang aneh adalah tata letak makam Sultan Maualana Hasanuddin beserta keluarganya. Secara tradisi, makam pendiri masjid pada kompleks masjid tradisional di Jawa diletakkan di sisi barat, namun di masjid ini diletakkan di sisi utara. Padahal di sebelah barat Masjid Agung Banten terdapat makam Syarif Husein, penasehat Maualana Hasanuddin. Motif tata letak ini juga terdapat di beberapa masjid bersejarah di wilayah Banten, seperti Masjid Kasunyatan yang dibangun oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Hasanuddin. Makam Maulana Yusuf tidak bertempat di sebelah barat masjid di mana terdapat makam gurunya, Syekh Madani. Melainkan berada di tengah sawah. Mengenai makam Maulana Yusuf ini, Hatta Kurdie dalam Julliadi (2007 : 82)  berasumsi bahwa peletakan makam di areal sawah tersebut karena kecintaan Maulana Yusuf yang terhadap pertanian.
Di masjid ini juga terdapat komplek makam sultan-sultan Banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar.(Lihat foto 9) Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.
Sementara itu, di sisi selatan masjid terdapat bangunan bertingkat bergaya rumah Belanda kontemporer yang disebut Tiyamah (paviliun). Bangunan yang dirancang arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel di abad ke-18 itu dulunya menjadi tempat pertemuan penting. Paviliun dua lantai ini dinamakan Tiyamah. Berbentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Hendick Lucasz Cardeel. Biasanya, acara-acara seperti rapat, dan kajian Islami dilakukan di sini.
Menara yang menjadi ciri khas sebuah masjid juga dimiliki Masjid Agung Banten. Terletak di sebelah timur masjid, menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar