Kamis, 16 Juni 2016

Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam di Sumatera Dan Jawa

 

PENDAHULUAN
Islam bukan hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi merupakan asas dari sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam kurun waktu 23, Nabi Muhammad SAW mampu membangun peradaban Islam di jazirah Arabia yang berdasarkan pada prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam waktu yang singkat, pengaruh peradaban Islam tersebut segera menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk ke wilayah Nusantara.
Ada berbagai macam teori yang menyatakan tentang masuknya Islam ke Nusantara. Beberapa teori tersebut ada yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7, abad ke-11, dan sebagainya. Dari teori tersebut, proses sentuhan awal masyarakat Nusantara dengan Islam terjadi pada abad ke-7 melalui proses perdagangan , kemudian pada abad selanjutnya Islam mulai tumbuh dan berkembang. Selanjutnya melahirkan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Seperti kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, antara lain Samudera Pasai, Aceh, Minangkabau. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, antara lain, Demak,Pajang,Mataram,Cirebon,Banten.                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Semua kerajaan tersebut memiliki andil dalam mengembangkan khazanah peradaban Islam di Nusantara, khususnya peradaban Islam di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera dan Jawa. Beberapa kerajaan Islam di Sumatera dan Jawa sudah penulis sebutkan di atas.            
PEMBAHASAN
A. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Sumatera
Banyak kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh dan berkembang di Sumatera. Beberapa kerajaan Islam tersebut antara lain:  
1. Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh  dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim, menyatakan bahwa  kemunculannya sebagai kerajaan Islam  diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya.[1] Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai.[2]  Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai.[3]
Malik Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah.[4]
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita China dan pendapat Ibn Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai pada pertengahan abad ke 14 M (tahun 746 H/1345 M).[5] Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Zhahir tidak pernah bersikap sombong. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah.[6]
Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.[7] Selain itu, Sultan Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah Nusantara.[8]
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.[9]
Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.[10]
2. Kerajaan Aceh
Kurang diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, sebagaimana yang dikutip dalam buku Badri Yatim, bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[11]
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.[12]
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh Darussalam semakin meluas sampai di Bengkulu di pantai Barat, seluruh Pantai Timur Sumatera, dan Tanah Batak di pedalaman. Kegiatan perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan Gujarat, Arab, dan Turki.[13]
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana kekuasaannya meluas dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.[14]
Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Baiturrahman, rumah-rumah ibadah, dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf As-Sinkili.[15] 
3. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau yang merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam.[16]
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.[17]
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara fundamental terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan nagari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.
Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya.[18]
B. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa
1. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah bawahan dari Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja Majapahit yang terakhir.[19]
Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit melemah, Raden Patah memisahkan diri sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478 M. Dengan dukungan dari para adipati, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak dengan gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sejak saat itu, kerajaan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim yang kuat. Wilayahnya cukup luas, hampir meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Sementara itu, daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa, seperti ke Palembang, Jambi, Banjar, dan Maluku.[20]
Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia melanklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan Majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan perlawanan terhada portugis, yang telah menduduki Malaka dan ingin mengganggu Demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518.[21]
Dalam bidang dakwah Islam dan pengembangannya, Raden Patah mencoba menerapkan hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisongo.
Di antara ketiga raja Demak, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke masa jayanya. Pada masa Trenggana, daerah kekuasaan Demak meliputi seluruh Jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya.
Cepatnya kota Demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan dakwah Islam ke seluruh Jawa.[22]
2. Kerajaan Pajang
Kesultanan ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman. Sebelumnya, kerajaan Islam selalu berada di daerah pesisir, karena Islam datang melalui para pedagang dari Asia Barat yang berlabuh di pesisir.[23]
Sultan pertama pajang adalah Mas Kerebet. Ia berasal dari Pangging, desa di lereng Gunung Merapi sebelah tenggara. Mas Karebet memiliki nama lain, yakni Jaka Tingkir. Tingkir adalah nama tempat Mas Karebet dibesarkan. Oleh Raja Demak ketiga, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dinikahkan dengan anak perempuannya.[24]
Setelah Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546, anaknya yang bernama Sunan Prawoto diangkat sebagai penggantinya. Akan tetapi, ia kemudian meninggal terbunuh dalam perebutan kekuasaan oleh keponakannya sendiri, yaitu Arya Panangsang.
Selanjutnya, Arya Penangsang menjadi penguasa Demak. Namun karena Kadipaten Pajang juga telah beranjak kuat dan memiliki wilayah yang luas terjadilah pertentangan antara Jaka Tingkir dan Arya Penangsang. Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Jaka Tingkir akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang.
Sebagai raja Pajang, Jaka Tingkir bergelar Sultan Adiwijaya (1568 – 1582). Gelar itu disahkan oleh sunan Giri, dan segera mendapat pengakuan dari para adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai langkah pertama peneguhan kekuasaan, Adiwijaya memerintahkan agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah itu, ia menjadi salah satu raja yang paling berpengaruh di Jawa.
Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaannya di Jawa pedalaman ke arah timur sampai daerah Madiun, di aliran anak bengawan Solo yang terbesar. Tahun 1554, Blora, dekat Jipang, diduduki pula. Kediri ditundukannya pada tahun 1577. tahun 1581, sesudah usia sultan Adiwijaya melampaui setengah baya, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur.[25]
Kesultanan Pajang adalah kesultanan Islam yang menggantungkan hidupnya pada budaya agraris, karena secara geografis pajang jauh terletak di pedalaman Jawa. Pengaruh agama Islam yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman. Pada masa pemerintahan Sultan Adiwijaya, Pajang berusaha mengembangkan kesusasteraan dan kesenian Islam.[26]
3. Kerajaan Mataram
Pada waktu Sultan Adiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik menjadi adipati di Mataram sebagai imbalan atas keberhasilannya membantu menumpas Aria Penangsang. Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Adiwijaya. Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi Adipati di Mataram. Setelah menjadi Adipati, Sutawijaya ternyata tidak puas dan ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa, sehingga terjadilah peperangan sengit pada tahun 1528 M yang menyebabkan Sultan Adiwijaya mangkat. Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan di antara para Bangsawan Pajang dengan pasukan Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran Pangiri beserta pengikutnya diusir dari Pajang, Mataram. Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Adiwijaya) menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Kota Gede pada tahun 1568 M. Sejak saat itu berdirilah Kerajaan Mataram.[27]
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sutawijaya, Raja Mataram banyak menghadapi rintangan. Para adipati di pantai utara Jawa seperti Demak, Jepara, dan Kudus yang dulunya tunduk pada Pajang memberontak ingin lepas dan menjadi kerajaan merdeka. Akan tetapi, Sutawijaya berusaha menundukkan adipati-adipati yang menentangnya dan Kerajaan Mataram berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jabar) sampai Pasuruan (Jatim).
Setelah Sutawijaya mangkat, tahta kerajaan diserahkan oleh putranya, Mas Jolang, lalu cucunya Mas Rangsang atau Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, muncul kembali para adipati yang memberontak, seperti Adipati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro.
Untuk menundukkan pemberontak itu, Sultan Agung mempersiapkan sejumlah besar pasukan, persenjataan, dan armada laut serta penggemblengan fisik dan mental. Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil pada tahun 1625 M. Kerajaan Mataram berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung mencoba merebut Batavia dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan mengalami kegagalan.[28]
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana.[29]
Kerajaan Mataram menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.[30]
4. Kerajaan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri kesultanan Cirebon dan Banten, serta menyebar islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adalah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu Syarif Hidayatullah. Namun, Pangeran Adipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565 M.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kendali pemerintahan selama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi Sultan Cirebon sejak tahun 1568. Setelah wafat, Fatahillah digantikan berturut-turut oleh Pangeran Dipati Ratu, Pangeran Dipati Anom Carbon, dan Panembahan Girilaya.[31]
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677 M, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
a. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703 M)
b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723 M)
c. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713 M).[32]
5. Kerajaan Banten
Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Pada tahun 1552 M, Fathahillah menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya, Hasanuddin.
Raja Banten pertama, Sultan Hasanuddin mangkat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf. Sultan Maulana Yusuf memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 M kekuasaan Kerajaan Pajajaran dapat ditaklukkan, ibu kotanya direbut, dan rajanya tewas dalam pertempuran. Sejak saat itu, tamatlah kerajaan Hindu di Jawa Barat.[33]
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, Banten mengalami puncak kejayaan. Keadaan Banten aman dan tenteram karena kehidupan masyarakatnya diperhatikan, seperti dengan dilaksanakannya pembangunan kota. Bidang pertanian juga diperhatikan dengan membuat saluran irigasi.
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.[34]
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun 1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan tahta di Banten. Setelah peristiwa itu, putra Sultan Maulana Yusuf, Maulana Muhammad yang baru berusia sembilan tahun diangkat menjadi Raja dengan perwalian Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana Muhammad berlangsung tahun 1580-1596 M. Kemudian digantikan oleh Abdul Mufakir yang masih kanak-kanak didampingi oleh Pangeran Ranamenggala. Setelah pangeran Rana Menggala wafat, Banten mengalami kemunduran.[35]
Kesultanan banten mulai bangkit kembali, ketika dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada tahun 1651-1680 M. Cita-cita Sultan Ageng Tirtayasa adalah mempersatukan wilayah Pasundan di bawah kekuasaan Banten dan memajukan agama Islam. Untuk memajukan agama Islam, Sultan bekerjasama dengan ulama-ulama tasawuf yang mumpuni, salah satunya adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari. Menetapnya Syaikh di Kesultanan Banten menyebabkan banten berkembang menjadi salah satu pusat pengajaran tarekat Khalwatiyah dan Rifa’iyah.   
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, pelabuhan Banten mampu berkembang menjadi pelabuhan ekspor internasional. Dari pelabuhan Banten, banyak komoditi dagang yang diekspor ke Persia, India, Arab, Manila, Tiongkok, Jepang. Di sektor pertanian, beliau membuka ladang-ladang baru, perluasan sawah, dan perbaikan pengairan.[36]
C. Pola Pembentukan Budaya Islam Di Sumatera
Islam yang semula datang di Nusantara pada abad pertama Hijriyah dahulu, mau tidak mau menghadapi kenyataan adanya beraneka warna perdaban itu. Baik yang membawa itu kaum pedagang, kaum da’i ataupun ulama. Tetapai bagaimanapun juga, mungkin kurang sempurnanya keislamannya kaum pedagang, kaum da’i ataupun ulama tersebut, mereka semuanya menyiarkan suatu rangkaian ajaran dan cara hidup, yang secara kwalitatif lebih maju daripada perdaban yang ada. Tidak hanya bidang teologi monotheismenya dibanding dengan teologi polytheisme tetapi juga di bidang kehidupan kemasyarakatan yang tidak mengenal pembagian kasta.Bila dibandingkan dengan peradaban Hindu-Budha, di mana masih dominan paham ‘‘animisme“ dan ‘‘dinamisme‘‘ primitif, maka ajaran-ajaran Islam jelas secara kualitatif jauh lebih maju lagi.[37]
Pada hakikatnya, melihat corak keberagaman masyarakat Islam di Indonesia yang lebih mempertahankan praktek budaya aslinya, Ajid Thohir cenderung menilai bahwa pengaruh ini akibat dari nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam. Maksudnya, Islam pada tahap ini lebih sebagai pihak yang menampung dan mengakomodasi budaya lain, bukan pihak yang mengubah atau mengkonversikan budaya itu.[38]
Adapun pola pembentukan budaya Islam di Sumatera menggunakan pola Samudera Pasai. Sejak awal perkembangannya, Samudera Pasai menunjukkan banyak pertanda dari pembentukan suatu negara baru. Kerajaan ini tidak saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus  menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga yang berkepanjangan. Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat, Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut.
Dengan pola tersebut, Samudera Pasai memiliki “kebebasan budaya“ untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, yang mencerminkan gambaran tetantang dirinya. Pola sama dapat pula disaksikan pada proses terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam.[39]   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar