Minggu, 19 Juni 2016

Sejarah Keemasan Kesultanan Siak Sri Inderapura, Tahun 1723-1945 dan Ekspansi Kolonialisasi Belanda

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yg taat beragama, dlm bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” & indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan “kota” atau “kerajaan”. Siak dlm anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yg ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak. . Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan & India, Sihag atau Asiagh yg bermaksud pedang.
Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yg disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yg dinamakan sebagai Orang Sakai. Kesultanan Siak Sri Inderapura ialah sebuah Kerajaan Melayu Islam yg pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia.
Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, sesudah sebelumnya terlibat dlm perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yg kuat & menjadi kekuatan yg diperhitungkan di pesisir timur Sumatera & Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera & Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tak lepas dari persaingan dlm memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia. Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yg ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupaken kawasan yg berada antara Arcat & Indragiri yg disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau, kemudian menjadi vasal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal.
Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor sebagai bagian wilayah kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil. Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor. Sementara Raja Kecil dlm Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yg kalah dlm perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupaken saudaranya yg diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.
Kemudian Sultan Abdul Jalil dlm suratnya tersendiri, yg ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor. Sebelumnya dari catatan Belanda, telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.
Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor [1673], yg mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yg sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal & Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka. Pada tahun 1718 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor, namun pada tahun 1722 terjadi pemberontakan yg dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yg juga menuntut hak atas tahta Johor, dibantu oleh pasukan bayaran dari Bugis. Akhir dari peperangan ini, Raja Sulaiman mengukuhkan diri menjadi penguasa Johor di pedalaman Johor, sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan & kemudian tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.
Sementara pusat pemerintahan Johor yg sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, & menjadi status quo dari masing-masing penguasa yg bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor diakui oleh komunitas Orang Laut, kelompok masyarakat yg bermukim pada kawasan kepulauan membentang dari timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan & loyalitas ini terus bertahan sampai kepada beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.

Kemajuan Perdagangan Kesultanan Siak

Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yg menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka & Inggris di Pulau Pinang. Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama sesudah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan & permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dlm Tuhfat al-Nafis, di mana dlm deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yg rakus akan kekayaan dunia. Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura.
Sungai Siak merupaken kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan timah & emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yg utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan cadangan kayu yg berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras & garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yg mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yg tak berujung. Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera & Semenanjung Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, & Kuantan, yg sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau yg dikenal dengan Perang Padri.

Masa Kejayaan Sultan Siak

Dengan klaim sebagai pewaris Malaka, pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dlm wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya & atas keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat. Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan & mulai membangun kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit & menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.
Ancaman dari Siak, serta di saat bersamaan Johor juga mulai tertekan oleh orang-orang Bugis yg meminta balas atas jasa mereka. Hal ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan Belanda di Malaka & menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut. Sepeninggal Raja Kecil tahun 1746, klaim atas Johor memudar, & pengantinya Sultan Mahmud fokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera & daerah vazal di Kedah & kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dlm urusan dagang & hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dlm bidang persenjataan.
Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini yg awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yg lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Sekitar tahun 1767, Raja Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut, terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu.
Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi & Palembang. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yg diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang. Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yg dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, & menjadikan wilayah tersebut dlm pengawasannya, termasuk wilayah Deli & Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang & menundukkan Selangor, sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.

Daftar Sultan Siak Sri Inderapura

1723-1746 Yang Dipertuan Besar Siak
Sultan Abdul Jalil Syah
1746-1761 Sultan Abdul Jalil Syah II
Sultan Mahmud Memindahkan pusat pemerintahan ke Mempura**
1761-1761 Sultan Abdul Jalil Syah III
Raja Ismail Dipaksa VOC turun tahta, kemudian berkelana selama 18 tahun*
1761-1770 Masa peralihan
1770-1779 Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah
Raja Muhammad Ali Johor telah menjadi bagian dari Siak Sri Inderapura
Mengizinkan pendirian Kerajaan Negeri Sembilan tahun 1773
1779-1781 Sultan Abdul Jalil Syah III
Raja Ismail Kembali berkuasa
1781-1791 Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah
Sultan Yahya Pada tanggal 1-8-1782 membuat perjanjian dengan VOC dlm berperang melawan Inggris, Meninggal dunia tahun 1791 & dimakamkan di Tanjung Pati [Che Lijah, Dungun, Terengganu, Malaysia]
1791-1811 Sultan Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Sayyid Ali Putra dari Sayyid Osman al-Syaikh ‘Ali Ba’ Alawi, yg menikahi cucu perempuan Raja Kecil
1811-1827 Sultan Abdul Jalil Khaliluddin
Sultan Sayyid Ibrahim Membuat perjanjian kerjasama dengan Inggris tanggal 31 Agustus 1818.
Kemudian dengan Belanda tahun 1822
Pengaruh dari Perjanjian London tahun 1824, beberapa wilayah Siak lepas & menjadi bagian dari kolonialisasi antara Inggris & Belanda.
Johor lepas dari Siak, berada dlm pengawasan Inggris.
Pulau Lingga menjadi wilayah pengawasan Belanda.
1827-1864 Sultan Abdul Jalil Jalaluddin
Sultan Sayyid Ismail Mangkubumi Sayyid al-Syarif Jalaluddin ‘Ali Ba’ Alawi
Menerima perjanjian baru dengan Inggris tahun 1840.
Tahun 1864 dipaksa Belanda turun tahta.
1864-1889 Sultan Syarif Kasim I Pengangkatannya mesti disetujui oleh Ratu Belanda, Belanda menempatkan controleur di Siak Diperebutkan oleh Inggris & Belanda dlm Perjanjian Sumatera
1889-1908 Yang Dipertuan Besar Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Syarif Hasyim Meresmikan Istana Siak Sri Inderapura
1915-1945 Yang Dipertuan Besar Syarif Kasyim Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Syarif Kasim II Menyerahkan kerajaannya pada pemerintah Republik Indonesia

Penurunan Kesultanan Siak & Ekspansi kolonialisasi Belanda

Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan & Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yg berada dlm perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat & kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.
Selain itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yg berkedudukan di Tanjung Pinang. Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yg telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil & terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yg mendapat perlindungan dari Inggris.
Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda, sesudah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dlm setiap pengangkatan raja Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dlm pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda. Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak & persaingan dengan Inggris & Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yg pernah dikuasainya.
Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatera antara pihak Inggris & Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yg dilematis, berada dlm posisi tawar yg lemah. Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia-Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau. Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tak berarti lagi.

Bergabung dengan Indonesia

Sultan Syarif Kasim II, merupaken Sultan Siak terakhir yg tak memiliki putra, seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.

Struktur Pemerintahan

Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak, sesudah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yg mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih & mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.
Dewan menteri ini terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar
2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yg berlaku di Eropa maupun yg diterapkan pada kawasan kolonial Belanda atau Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yg diterbitkan tahun 1897.
Naskah ini terdiri dari 33 halaman yg panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi. Ingat Jabatan merupaken dokumen resmi Siak Sri Inderapura yg dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tak khianat kepada sultan & nagari. Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa’id. Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yg dikenakan kepada masyarakat Melayu & masyarakat lain yg terlibat perkara dengan masyarakat Melayu.
Namun tak mengikat orang Melayu yg bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yg dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri & dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota.
Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dlm pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dlm yg bertanggung jawab terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendarhari Sriwa Raja yg bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan. Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu & hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dlm bentuk distrik yg dipimpin oleh seseorang yg bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan & bertanggungjawab kepada Sultan Siak yg juga bergelar Yang Dipertuan Besar.
Pengaruh Islam & keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri yg bergelar Bendahara Patapahan. Pada kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yg bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yg sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yg tak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti & Antan-antan.
Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dlm Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir. Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, & Balai Kerapatan Tinggi yg dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yg dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin & Tari Olang-olang yg pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yg bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar