Kamis, 16 Juni 2016

Masjid dalam Tata Kota Banten



Kota Banten awalnya adalah sebuah pelabuhan kecil di muara sungai Cibanten. Pelabuhan ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran dengan Pakuan sebagai ibu kotanya (kira-kira letaknya di daerah Bogor sekarang) sejak awal abad ke-16 pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan besar Kerajaan Pajajaran setelah Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Tradisi tutur menyebutkan bahwa ketika Islam masuk ke tanah Banten, Kerajaan Pajajaran hanya dikendalikan oleh seorang bupati dan sudah tidak diperintah oleh seorang raja lagi. Pucuk Umum, putra Prabu Seda adalah penguasa terakhir dari Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Banten Girang. Setelah mengalami kekalahan dari tentara Islam. Pucuk umum ”menghilang”. Roda pemerintahan oleh penguasa Islam dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati dan anaknya Maulana Hasanuddin.
Pengambil alih pusat Kerajaan Banten Girang (sekitar 3km dari pusat Kota Serang sekarang) oleh tentara Islam menjadi awal mula berkembangnya kebudayaan Islam di Banten. Pusat kerajaan yang semula berada di Banten Girang, dipindahkan ke muara Cibanten, sekitar 13 Km dari Banten Girang (Michrob, 1993:46).
Pemindahan ibu kota Banten didasarkan atas beberapa pertimbangan:
1.      secara politik, memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatera melalui Sunda Kelapa
2.      secara Ekonomi, berdasarkan pada potensi maritimnya, Banten berpotensi sebagai pelabuhan besar yang dapat menggantikan Sunda Kelapa.
3.      secara mistis religius, kota dan keraton yang telah ditaklukan harus ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak memiliki kekuatan magis lagi (Michrob, 1993:46).
Pengembangan kota Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin. Atas petunjuk orangtuanya Maulana Hasanuddin membangun pusat Kerajaan Banten dengan mendirikan Keraton Surosowan, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan Masjid Agung Banten disebelah alun-alun. Berita lain menyebutkan bahwa Masjid Pacinan Tinggi juga dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (Juliadi, 2007:23).
Konsep kota yang dibangun oleh Maulana Hasanuddin di pesisir pantai Teluk Banten pada masa itu merupakan konsep kota Islam klasik dengan ciri kehadiran tiga unsur utama arsitektur kota, yaitu: masjid, istana, dan alun-alun. Di alun-alun diselenggarakan sejumlah kegiatan seperti pertemuan dewan kerajaan, sidang pengadilan dan kegiatan publik lainnya. Di pagi hari alun-alun digunakan sebagai pasar.
Konsep kota Islam Banten menunjukkan beberapa persamaan dengan kota Madinah. Kota Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad merupakan konsep kota Islam klasik dan tertua yang dibangun atas dasar konsep umah dalam tata kota ukhuwah Islamiyah (Juliadi, 2007:24).
Pada perkembangan berikutnya di Banten, ciri utama kota Islam mengalami evolusi secara bertahap, disatukan bentuk dinding pelindung dengan masjid utama (Masjid Agung atau Jami’) dan madrasah (tempat belajar) yang berfungsi sebagai pusat-pusat keagamaan dan politik masyarakat, dan suq (pasar) sebagai pusat niaga dan kehidupan sosial. Struktur pola perkotaan seperti didasari oleh hirarki terkendali atas jalur pola jalan, ruang, dan bangunan. Beberapa bangunan yang teridentifikasi sebagai ciri utama kota Islam pada tingkat ini adalah kehadiran unsur-unsur arsitektur masjid, lembaga pendidikan, istana, pasar, tembok pertahanan, lapangan, bangunan audiensi, pelabuhan, dan sebagainya. Komposisi etnik penduduk kota juga semakin beragam akibat meningkatnya aktivitas perdagangan regional maupun internasional.
Berdasarkan konsep tata kota Islam maupun tata kota pra-Islam di Asia Tenggara, maka satu hal yang menjadi ciri utama penempatan bangunan keagamaan di pusat kota. Dalam konsep kota pra-Islam, kuil atau candi adalah pusat keagamaannya, sedangkan Masjid Jami’ atau Masjid Agung sebagai pusat keagamaan Islam diintegrasikan ke dalam jaringan perkotaan Islam. Masjid Agung salah satu perwujudan paling penting dalam masyarakat Islam, mensyaratkan penempatan utama di dalam kota. Pengarahan kiblat (orientasi) senantiasa ke ka’bah di Mekkah sebagai politik, agama, dan intelektual, kedudukannya mempengaruhi lokasi pusat niaga. Keberadaan sejajar antara fasilitas keagamaan dan niaga mengingatkan kita pada kota-kota abad peretengahan di Eropa, dimana pasar dan lapangan katedral terletak saling berdekatan(Juliadi, 2007:24).
2.1.1 Banten Lama
Memasuki pintu gerbang situs Banten Lama di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten. Ratusan bahkan Ribuan terdapat banyak orang di Kompleks Masjid Agung Banten Lama. Karena Kompleks peninggalan Kesultanan Islam Banten ini memang lebih dikenal sebagai tempat berziarah. Kompleks Banten Lama ini menyimpan banyak cerita sejarah. Apabila mengingat mengenai Banten lama tersebut maka dibenak adalah masa di mana Kesultanan Banten mengalami kejayaan pada abad XVI-XVIII Masehi.
Sisa bangunan tua mulai terlihat menyembul di antara rumpun padi. Bangunan itu merupakan sisa gapura Gedong Ijo, tempat tinggal para perwira kerajaan. Kemudian beberapa meter dari gerbang, puing-puing reruntuhan bangunan besar mulai terlihat. Itulah Keraton Surosowan, kediaman para sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1552 hingga Sultan Haji yang memerintah pada 1672-1687.
Semula, bangunan keraton yang seluas hampir 4 hektar itu bernama Kedaton Pakuwan. Terbuat dari tumpukan batu bata merah dan batu karang, dengan ubin berbentuk belah ketupat berwarna merah. Sisa bangunan yang kini masih bisa dinikmati adalah benteng setinggi 0,5-2 meter yang mengelilingi keraton dan sisa fondasi ruangan. Sisa pintu masuk utama di sisi utara kini tinggal tumpukan batu bata merah dan bongkahan batu karang yang menghitam. (Lihat foto 2)
Bangunan kolam persegi empat di tengah keraton merupakan pemandangan lain yang ada di dalam benteng. Menurut catatan sejarah, puing itu merupakan bekas kolam Rara Denok, pemandian para putri. Kemudian di bagian belakang atau di sisi selatan, terlihat pula sisa bangunan berbentuk kolam menempel pada benteng. Dahulu, kolam itu digunakan sebagai pemandian pria-pria kerajaan, yang disebut Pancuran Mas (http:// www.kompas.com, diakses pada tanggal 28 Februari 2011).(Lihat foto 3)
Air yang dialirkan ke kolam Rara Denok dan Pancuran Mas berasal dari mata air Tasik Ardi, sebuah danau buatan yang berjarak sekitar 2,5 kilometer di sebelah selatan atau tepatnya barat daya keraton. Disalurkan ke keraton dengan menggunakan pipa yang terbuat dari tanah liat. Sebelum masuk keraton, air dari Tasik Ardi harus melalui tiga kali proses penyaringan. Bangunan penyaringan itu disebut Pangindelan Abang, Pangindelan Putih, dan Pangindelan Mas.
 Saat ini lokasi Tasik Ardi masuk dalam wilayah Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, yang dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Sementara itu, tiga bangunan pangindelan masih bisa dilihat di Jalan Purbakala, antara Keraton Surosowan dan Tasik Ardi. Sayangnya, sekarang jalan ini hanya bisa dilintasi sepeda karena warga masih menggunakan tempat itu sebagai jalan air di tengah persawahan.
Di sudut sebelah barat terlihat sebuah bangunan menyerupai cincin. Tempat itu disebut ruang Pasepen, yang digunakan sebagai tempat sultan beribadah. Bangunan keraton ini pertama kali dihancurkan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada 1680. Keraton dibumihanguskan saat Kesultanan Banten berperang melawan penjajah Belanda.
Simbol kebesaran kerajaan Islam Banten itu kembali dihancurkan pada 1813. Ketika itu, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Daendels memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan keraton karena Sultan Rafiudin (sultan terakhir Kerajaan Banten) tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Reruntuhan bangunan keraton juga terlihat di bagian selatan Keraton Surosowan. Pada bagian depan terpancang papan bertuliskan ”Situs Keraton Kaibon”, dengan luas sekitar 2 hektar. Keraton ini dibangun pada 1815 sebagai tempat tinggal Ratu Aisyah, ibu Sultan Muhammad Rafiuddin yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan karena putranya masih berusia lima tahun. (Lihat foto 3)
Bangunan bersejarah lain yang bisa dinikmati adalah Jembatan Rante, yang terletak di depan Keraton Surosowan, tepatnya di sebelah utara Masjid Agung Banten Lama. Jembatan hidraulis itu berdiri di atas kanal yang saat ini sudah menyempit dan berubah fungsi menjadi kubangan air.
Dahulu Jembatan Rante digunakan sebagai tempat pemeriksaan kapal-kapal yang keluar-masuk keraton. Jembatan ini akan terangkat jika ada kapal yang lewat dan akan kembali rata setelah kapal berlalu.
Salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh adalah Masjid Agung Banten Lama, berikut menara setinggi 23 meter. Masjid inilah yang paling terkenal di Situs Banten Lama dan selalu penuh sesak oleh para peziarah, terutama pada peringatan hari-hari besar Islam. (Lihat foto 11)
2.1.2 Sejarah Masjid Banten
Masjid Agung Banten termasuk masjid tua yang penuh nilai sejarah. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tak hanya dari Banten dan Jawa Barat, tapi juga dari berbagai daerah di Pulau Jawa (http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 28 Februari 2011).
Masjid Agung Banten terletak di Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Demak. Ia adalah putra pertama Sunan Gunung Jati. (Lihat foto 1)
Meskipun telah berumur lebih dari 4 abad (didirikan pada kisaran tahun 1560-1570), nampak masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Seperti juga mesjid-mesjid lainnya, bangunan induk mesjid berdenah segi empat. Atapnya merupakan atap bersusun lima dengan bagian kiri dan kanannya terdapat masing-masing serambi. Agaknya serambi ini dibangun pada waktu kemudian. Di dalam serambi kiri, yang merupakan bagian utara dari mesjid, terdapat makam-makam dari beberapa sultan Banten dan keluarganya, diantaranya makam Maulana Hasanuddin dan isterinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar. (Lihat foto 10). Sedangkan di dalam serambi kanan, yang terletak di selatan, terdapat pula makam-makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul 'Abidin dan lain-lainnya. Pada bagian tangga pada masdjid itu memiliki model menyerupai goa, yang menurut sejarah pembangunannya dilakukan atas bantuan seorang arsitektur asal Mongolia bernama Cek Ban Cut. (Lihat foto 9).
Berdirinya Masjid Agung Banten tidak lepas dari tradisi masa lalu, di mana dalam sebuah kota Islam terdapat minimal 4 komponen. Pertama, ada istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja-raja. Kedua, Masjid Agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, ada alun-alun sebagai pusat kegiatan dan informasi. Keempat, ada pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Keempat komponen ini, jejaknya masih terdapat di Desa Banten Lama Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang. Tapi yang masih kokoh berdiri dan berfungsi hingga saat ini hanya Masjid Agung Banten.
Masjid Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah lainnya, selalu diramaikan para peziarah yang bisa mencapai ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa umumnya. Sering kali jumlah mereka mencapai puncaknya pada bulan Syawal, Haji, Maulud, Rajab dan Ruwah. Sementara setiap hari Kamis, Jumat dan Minggu juga menjadi hari pilihan bagi para peziarah untuk mengunjungi Masjid Banten.
Bangunan masjid yang terletak sekira 10 km sebelah utara Kota Serang ini merupakan peninggalan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), putera pertama Sunan Gunung Jati. Konon, pembangunan Masjid Agung Banten bermula dari instruksi Sunan Gunung Jati kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih suci untuk pembangunan Kerajaan Banten. Hasanuddin lalu shalat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah yang dimaksud ayahandanya. Setelah berdo’a, spontanitas air laut yang berada di sekitarnya menyibak menjadi daratan. Selanjutnya, Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta komponen-komponen lainnya, seperti alun-alun, pasar dan masjid agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar