1. Sejarah
Penghuni pertama Kalimantan
Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di
kawasan pantai kaki Pegunungan
Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota
bandar yang memiliki hubungan
perdagangan dengan India dan Cina. Dalam
perkembangannya, konsentrasi
penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke 5 M, diperkirakan
telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong.
Jauh beberapa abad kemudian,
orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang datang ke
kawasan ini. Mereka
memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang.
Selanjutnya, kemudian terjadi
asimilasi dengan penduduk tempatan yang terdiri dari suku
Maanyan, Lawangan dan Bukit.
Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa suku-suku
daerah tempatan, yang kemudian membentuk bahasa Banjar Klasik.
Untuk mengetahui sejarah Banjar
lebih lanjut, historiografi tradisional masyarakat tempatan
sangat banyak membantu. Di antara
sumber yang paling populer adalah Hikayat Lambung
Mangkurat, atau Hikayat
Banjar. Berdasarkan sumber tersebut, di daerah Banjar telah berdiri
Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa
yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah
sekitar Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah
kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.
Cikal bakal Raja Dipa bisa
dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang
saudagar kaya, tapi bukan
keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam
Hindu, ia tidak mungkin menjadi
raja. Namun, dalam pratiknya, ia memiliki kekuasaan dan
pengaruh yang dimiliki oleh
seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu
Jatmika, yang kemudian menjadi
raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya
yang tidak berasal dari keturunan
raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan,
seperti candi, balairung, kraton
dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di candi. Segenap
warga Negara Dipa diwajibkan menyembah arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal
dunia, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat
tidak menggantikannya, sebab mereka bukan keturunan raja. Tapi
kemudian, Lambung Mangkurat
berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan
seorang putri Banjar, Putri
Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari
Majapahit. Setelah menjadi raja,
Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata,
sementara Lambung Mangkurat
memangku jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh,
muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu,
yang memerintah di Daha adalah
Maharaja Sukarama. Ketika Sukarama meninggal, ia
berwasiat agar cucunya Raden
Samudera yang menggantikan. Tapi, karena masih kecil,
akhirnya Raden Samudera kalah
bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang
juga berambisi menjadi raja. Atas
nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar
dari pembunuhan, Raden Samudera
kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara
Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di daerah Muara
Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai
oleh para kepala suku. Di antara desa-desa tersebut adalah Muhur, Tamban,
Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkampungan Melayu yang
dibentuk oleh lima buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai
Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pageran). Semuanya anak Sungai Kuwin.
Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang-orang Dayak Ngaju menyebut
orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih.
Oleh karena itu, desa Banjar
tersebut kemudian disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya
disebut Patih Masih. Desa-desa di
daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan
kewajiban membayar pajak dan
upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan
pertemuan dengan Patih Balit,
Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar bisa keluar dari
pengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar.
Keputusannya, mereka sepakat
mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang
kabarnya sedang bersembunyi di
daerah Balandean, Sarapat. Kemudian, mereka juga sepakat
memindahkan bandar perdagangan ke
Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden
Samudera, mereka memberontak
melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-
16 M. Pemberontakan ini amat
penting, karena telah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha,
yang berarti akhir dari era
Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan
Banjar.
Dalam sejarah pemberontakan itu,
Raden Samudera meminta bantuan Kerajaan Demak di
Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan,
Raden Samudera mengirim duta ke Demak untuk
mengadakan hubungan kerja sama
militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang
pembesar Kerajaan Banjar. Utusan
menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah
sebagai tanda persahabatan berupa
sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin,
seribu bongkah damar dan sepuluh
biji intan. Pengiring duta kerajaan ini sekitar 400 orang.
Demak menyambut baik utusan ini,
dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan
tersebut, agar Raja Banjar dan
semua pembesar mau memeluk agama Islam. Atas bantuan
Demak, Pangeran Samudera berhasil
mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha,
sekaligus menguasai seluruh
daerah taklukan Daha.
Setelah berhasil meruntuhkan dan
menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran)
Samudera segera menunaikan janji
untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai
gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya
adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
Dialah Raja Banjar pertama yang
memeluk Islam, dan sejak itu, agama Islam berkembang
pesat di Kalimantan Selatan.
Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) diislamkan oleh wakil
penghulu Demak, Khatib Dayan pada
tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu jam 10 pagi,
bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932
H. Khatib Dayan merupakan utusan Penghulu Demak
Rahmatullah, dengan tugas
melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan.
Khatib Dayan bertugas di Kerajaan
Banjar sampai ia meninggal dunia, dan dikuburkan di
Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telah membuka
era baru di Kerajaan Banjar dengan masuk dan
berkembangnya agama Islam.
Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca
masuknya agama Islam. Sementara
era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri
yang melatarbelakangi kemunculan
Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal
dunia sekitar tahun 1550 M.
Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar
kemudian dihapuskan oleh Belanda
pada 11 Juni 1860.
2. Silsilah
Silsilah berikut dimulai dari era
masuknya Islam di Kerajaan Banjar. Berikut silsilahnya:
·
Raja
I adalah Sultan Suriansyah, putera dari pasangan Ratu Intan Sari atau Puteri
Galuh dengan Raden Manteri Jaya.
Suriansyah cucu Maharaja Sukarama Raja dari
Kerajaan Negara Daha. Bergelar
Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
·
Raja
II adalah Sultan Rahmatullah, putera Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan
Batu Putih
·
Raja
III adalah Sultan Hidayatullah, cucu Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan
Batu Irang.
·
Raja
IV adalah Sultan Mustainbillah.
3. Periode
Pemerintahan
Untuk mengetahui nama raja-raja
Banjar yang pernah memerintah di Kerajaan Banjar serta
periode pemerintahannya, dapat
dilihat pada tabel berikut:
Raja Ke Nama
Raja Masa Hidup Periode Pemerintahan
I Sultan Suriansyah wafat 1550 M
1526 - 1550 M
II Sultan Rahmatullah - 1550 -
1570 M
III Sultan Hidayatullah - 1570 -
1595 M
IV Sultan Mustainbillah - -
4. Wilayah
Kekuasaan
Setelah Pangeran Samudera atau
Sultan Sariansyah berhasil meruntuhkan kerajaan Daha,
maka seluruh wilayah kekuasaan
kerajaan Daha otomatis dikuasainya. Wilayah tersebut
meliputi sepanjang Sungai Barito,
Sungai Kuwin, Balabong, dan sebagian besar wilayah
Kalimantan Timur.
5. Struktur
Pemerintahan
Untuk mengatur pemerintahan,
Sultan dibantu oleh para Patih, Mufti dan Penghulu.
6. Kehidupan
Sosial Budaya
Dalam kehidupan masyarakat Banjar
terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk
limas (lapisan).
Lapisan paling atas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan
minoritas. Mereka adalah kaum
bangsawan atau “bubuhan raja-raja”. Penghargaan
masyarakat terhadap golongan
bangsawan ini sesuai dengan derajat kebangasawanannya.
Mereka, secara turun-temurun,
menjadi golongan terhormat dan berdarah bangsawan, serta
mempunyai gelar-gelar seperti
sultan, pangeran, ratu, gusti, andin, antung, dan nanang.
Golongan ini mempunyai hak
memungut cukai dari hasil bumi, hasil pertanian, perikanan dan
lain-lain.
Golongan kedua adalah pejabat
kerajaan, ulama-ulama, mufti, dan penghulu. Golongan ini
langsung berhubungan dengan
penduduk. Segala macam barang yang diperdagangkan
mereka beli dari masyarakat dan
dibayar dengan uang. Mufti sebagai pejabat formal
mengurus segala perkara hukum
pada tingkat tinggi. Sementar ulama-ulama menyampaikan
ajaran agama Islam.
Golongan ketiga merupakan
golongan terbesar, yaitu rakyat biasa. Mereka itu adalah
golongan yang hidup dari
pertanian dan perdagangan kecil-kecilan, nelayan, kerajinan,
industri, dan pertukangan.
Golongan bawah adalah golongan pandeling.
Golongan pandeling adalah mereka yang
kehilangan setengah kemerdekaan
akibat hutang-hutang yang tak dapat mereka bayar.
Biasanya, merekalah yang
menjalankan perdagangan dari golongan bangsawan atau
pedagang-pedangan kaya. Golongan
ini berakhir pada abad ke-19, seiring dengan
dihapuskannya Kerajaan Banjar
oleh Belanda.
Berkaitan dengan kehidupan
budaya, telah berkembang beberapa corak seni dan sastra. Saat
itu, Banjar telah memiliki
gamelan yang dipukul dengan lemah lembut, seni sastra
berkembang dengan menggunakan
huruf Arab Melayu (Jawi), dan kemungkinan, juga telah
berkembang suatu seni, hasil
perpaduan antara tonil Melayu dan cerita Seribu Satu Malam.
Seni ukir berkembang karena
adanya kebiasaan para bangsawan dan orang kaya untuk
membuat rumah secara mewah, yang
dipenuhi dengan ukiran indah. Corak seni lain yang juga telah berkembang dan
amat kuat dipengaruhi kebudayaan Islam adalah mahidin dan balamut. Ini semua
menunjukkan bahwa, di Kerajaan Banjar telah berkembang suatu seni budaya dengan
coraknya yang khas.
Sumber:
1. Sejarah Banjar,
2. Profil Republik Indonesia,
Kalimatan Selatan. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992
3. Depdikbud, Komplek Makam
Sultan Suriansyah.
4. Imansyah Mahbara, Komplek
Makam Sultan Suriansyah, Depdikbud Kalsel, 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar