Kesultanan Mataram yg runtuh akibat pemberontakan Trunajaya
tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada
masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram
mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yg mendapat
dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yg
berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura
berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa
Madura barat yg merupaken sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak
parah.
akubuwana II yg menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk
membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yg
baru. Bangunan Keraton Kartasura yg sudah hancur &
dianggap “tercemar”. Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung
Honggowongso [bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak
diberi gelar Tumenggung Arungbinang I], bersama Tumenggung Mangkuyudha,
serta komandan pasukan Belanda, J. A. B. van Hohendorff, untuk mencari
lokasi ibu kota/keraton yg baru.
Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari
Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama
“Surakarta” diberikan sebagai nama “wisuda” bagi pusat pemerintahan baru
ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan
kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri & kayunya
dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai
ditempati tanggal 17 Februari 1745 [atau Rabu Pahing 14 Sura 1670
Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya]. Berlakunya Perjanjian
Giyanti [13 Februari 1755] menyebabkan Surakarta menjadi pusat
pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III.
Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan
rajanya Sultan Hamengkubuwana I.
Keraton & kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola
tata kota yg sama dengan Surakarta yg lebih dulu dibangun. Perjanjian
Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah
sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa [Mangkunagara
I].
Pembetukan Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Kasunanan Surakarta Hadiningrat ialah sebuah
kerajaan di Jawa Tengah yg berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari
perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan
pihak-pihak yg bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana
III & Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram
dibagi dlm dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta & Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta umumnya tak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram.
Kasunanan Surakarta umumnya tak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram.
Setiap raja Kasunanan Surakarta yg bergelar Sunan [demikian pula raja
Kasultanan Yogyakarta yg bergelar Sultan] selalu menanda-tangani
kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Kejayaan Kesunanan Surakarta
Kerajaan Mataram yg berpusat di Surakarta sebagai ibukota
pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yg besar karena
Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yg meninggalkan
keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya
peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia
sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yg diwakili oleh
Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yg dianggap berhak
melantik raja-raja keturunan Mataram. Pada tanggal 13 Februari 1755
pihak VOC yg sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran
Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said
yg tak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden
Mas Said. Perjanjian Giyanti yg ditanda-tangani oleh Pakubuwana III,
Belanda, & Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan
Surakarta Hadiningrat & Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana,
sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana.
Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yg dipimpin oleh
Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan
Yogyakarta, sedang negeri Mataram yg dipimpin oleh Pakubuwana terkenal
dengan nama Kasunanan Surakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta
semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret
1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka
dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yg disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara.
Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi sesudah usainya Perang
Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan
kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Berbeda dengan Pakubuwana III yg agak patuh kepada VOC, penerus tahta
Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV
[1788-1820] ialah sosok raja yg membenci penjajah & penuh cita-cita
serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, & Mangkunegara I.
Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yg berpaham kejawen
menyingkirkan para pejabat istana yg tak sepaham dengannya. Para
pejabat istana yg disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi
Pakubuwono IV. VOC yg memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwana
IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I & Mangkunegara I untuk
mengepung istana.
Di dlm istana, para pejabat yg sebenarnya tak sependapat dengan
Pakubuwana IV juga ikut menekan dengan maksud agar para penasehat rohani
kerajaan yg beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790,
Pakubuwana IV akhirnya takluk & menyerahkan para penasehatnya untuk
diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi
perundingan bersama yg isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta,
Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki kedudukan
& kedaulatan yg setara sehingga tak boleh saling menyerang.
Pengganti Pakubuwana IV ialah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yg oleh
masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yg
sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti
Pakubuwana V ialah Sri Susuhunan Pakubuwana VI.
Pakubuwana VI ialah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yg
memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta & pemerintah Hindia
Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering
menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro
menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi
bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal
sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam
perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi
ganda. Di samping memberikan bantuan & dukungan, ia juga mengirim
pasukan untuk pura-pura membantu Belanda.
Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda
dirinya pernah ikut serta dlm pasukan sandiwara tersebut. Setelah
menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana
VI & membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan
bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, & kini ia hidup
nyaman di Batavia. Fitnah yg dilancarkan pihak Belanda ini kelak
berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu
Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.
Pakubuwana IX sendiri masih berada dlm kandungan ketika Pakubuwana VI
berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman
Pakubuwana VI, yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII. Saat itu Perang
Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif
damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yg damai
itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di
lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai
puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar
Ranggawarsita sebagai pelopornya.
Pemerintahannya berakhir saat wafatannya & karena tak memiliki
putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya [lain ibu]
bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yg naik tahta pada usia 69 tahun.
Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun sampai akhir
hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja
Surakarta selanjutnya, yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan
antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis
karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara [ayah Ranggawarsita yg
menjabat sebagai juru tulis keraton] telah membocorkan rahasia
persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya,
Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX
membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan
tewas mengenaskan karena disiksa dlm penjara oleh Belanda.
Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja
melalui persembahan naskah Serat Cemporet.
Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16
Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya,
bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X. Masa pemerintahannya ditandai
dengan kemegahan tradisi & suasana politik kerajaan yg stabil. Pada
masa pemerintahannya yg cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami
transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan
perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dlm tekanan politik
pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan
berorganisasi & penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam,
salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres
Bahasa Indonesia I di Surakarta [1938] diadakan pada masa
pemerintahannya. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun
pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo
Jebres, Stasiun Solo-Kota [Sangkrah], Stadion Sriwedari, kebun binatang
[”Taman Satwataru”] Jurug, Jembatan Jurug yg melintasi Bengawan Solo di
timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta,
rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma,
& rumah perabuan [pembakaran jenazah] bagi warga Tionghoa. Beliau
meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939.
Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yg
terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh
putranya yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI. Pemerintahan
Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan
meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah
penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak
Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo. Ia digantikan Sri
Susuhunan Pakubuwana XII.
Status Kasunanan Surakarta Masa Kemerdekaan
Di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia [1945-1946], Kasunanan
Surakarta & Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan
tetapi karena kerusuhan & agitasi politik saat itu maka pada
tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi
Karesidenan, menyatu dlm wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
SISKS Pakubuwana X, raja terbesar Kasunanan Surakarta, bersama
permaisuri Ratu Hemas & putri, GKR Pembajoen.
Baliho Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh SISKS Pakubuwana XII, di Siti Hinggil Lor, Keraton Surakarta.
Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden RI Soekarno sebagai
balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta & Praja
Mangkunagaran yg menyatakan wilayah mereka ialah bagian dari Republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dlm rapat PPKI diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia
dibagi atas sembilan propinsi & dua daerah istimewa, yaitu Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta &
Praja Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno
perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII & KGPAA
Mangkunegara VIII yg menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat
yg bersifat kerajaan ialah Daerah Istimewa dari Negara Republik
Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah
Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.
Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan
resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII & KGPAA Mangkunegara VIII
dengan diberikannya piagam kedudukan resmi sebagai Kepala Daerah
Istimewa Surakarta yg setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada
langsung di bawah Pemerintah Pusat. Sebagaimana diketahui, barulah
sekitar lima hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945,
Kesultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat
serupa, yg menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gerakan Anti Monarki Oleh Tan Malaka Oktober 1945
Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti
monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya
ialah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Tujuan gerakan ini
ialah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara & Susuhunan.
Motif lain dari gerakan ini ialah perampasan tanah-tanah pertanian yg
dikuasai Mangkunegara & Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan
kegiatan landreform oleh golongan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem [perdana menteri] Kasunanan
KRMH Sosrodiningrat diculik & dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja.
Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yg umumnya kerabat raja &
diganti orang-orang yg pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih
Dalem yg baru KRMT Yudonagoro juga diculik & dibunuh. April 1946, 9
pejabat Kepatihan mengalami hal yg sama.
Pemerintah RI membekukan status Daerah Istimewa Surakarta
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan & pembunuhan, maka untuk
sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS & menurunkan
kekuasaan raja-raja Kasunanan & Mangkunegaran & daerah Surakarta
yg bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk &
susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta &
Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat & warga
negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat
pengembangan seni & budaya Jawa.
Pemerintahan Pakubuwana XII
Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya
Republik Indonesia. Belanda yg tak merelakan kemerdekaan Indonesia
berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari
1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta
jatuh ke tangan Belanda. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta
sedangkan pemerintah Indonesia tak menumpasnya karena pembelaan Jendral
Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah
sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil
peran penting & memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia.
Bahkan, sampai muncul rumor bahwa para bangsawan Surakarta sejak dahulu
merupaken sekutu pemerintah Belanda, sehingga rakyat merasa marah &
memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan, padahal fitnah itu amat sangat
tak benar & keliru. Karena seperti diketahui, para raja-raja
Kasunanan terdahulu merupaken salah satu penentang pemerintah penjajah
yg paling utama.
Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi
figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh
nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu
sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004,
& masa pemerintahannya merupaken yg terlama diantara para raja-raja
Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004. Sepeninggalnya terjadi
perebutan tahta antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yg
masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai sesudah Pangeran Tejowulan
melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi
dlm sebuah rekonsiliasi resmi yg di prakarsai oleh Pemerintah Kota
Surakarta bersama DPR-RI, & Pangeran Tejowulan sendiri menjadi
mahapatih [pepatih dalem] dengan gelar KGPHPA [Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo Panembahan Agung].
sejarah keraton kraton solo surakarta dari kerajaan mana ######
Tidak ada komentar:
Posting Komentar