1. Sejarah
a. asal usul
Pulau Ternate merupakan sebuah
pulau gunung api seluas 40 km persegi, terletak di Maluku
Utara, Indonesia. Penduduknya
berasal dari Halmahera yang datang ke Ternate dalam suatu
migrasi. Pada awalnya, terdapat
empat kampung di Ternate, masing-masing kampung
dikepalai oleh seorang Kepala
Marga, dalam bahasa Ternate disebut Momole. Lambat laun,
empat kampung ini kemudian
bergabung membentuk sebuah kerajaan yang mereka namakan
Ternate. Selain Ternate, terdapat
juga kerajaan lain di kawasan Maluku Utara, yaitu: Tidore,
Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda.
Dalam sejarahnya, Ternate
merupakan daerah terkenal penghasil rempah-rempah, karena itu,
banyak pedagang asing dari India,
Arab, Cina dan Melayu yang datang untuk berdagang.
Sebagai wakil masyarakat, yang
berhubungan dengan para pedagang tersebut adalah para
kepala marga (momole).
Bagaimana awal cerita pembentukan
Kerajaan Ternate? Ceritanya, seiring semakin
meningkatnya aktifitas
perdagangan, dan adanya ancaman eksternal dari para lanun atau
perompak laut, maka kemudian
timbul keinginan untuk mempersatukan kampung-kampung
yang ada di Ternate, agar posisi
mereka lebih kuat. Atas prakarsa momole Guna, pemimpin
Tobona, kemudian diadakan
musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat
dan mengangkat seorang pemimpin
tunggal sebagai raja. Hasilnya, momole Ciko, pemimpin
Sampalu, terpilih dan diangkat
sebagai Kolano (raja) pertama pada tahun 1257 M dengan
gelar Baab Mashur Malamo. Baab
Manshur berkuasa hingga tahun 1272 M. Kerajaan Ternate
memainkan peranan penting di
kawasan ini, dari abad ke-13 hingga 17 M, terutama di sektor
perdagangan. Dalam sejarah
Indonesia, Kesultanan Ternate merupakan salah satu di antara
kerajaan Islam tertua di
nusantara, dikenal juga dengan nama Kerajaan Gapi. Tapi, nama
Ternate jauh lebih populer
dibanding Gapi.
b. Pembentukan
Persekutuan
Sebagaimana disebutkan di atas,
selain Ternate, di Maluku juga terdapat beberapa kerajaan
lain yang juga memiliki pengaruh.
Masing-masing kerajaan bersaing untuk menjadi kekuatan
hegemonik. Dalam perkembangannya,
Ternate tampaknya berhasil menjadi kekuatan
hegemonik di wilayah tersebut,
berkat kemajuan perdagangan dan kekuatan militer yang
mereka miliki. Selanjutnya,
Ternate mulai melakukan ekspansi wilayah, sehingga
menimbulkan kebencian kerajaan
lainnya. Dari kebencian, akhirnya berlanjut pada
peperangan. Untuk menghentikan
konflik yang berlarut-larut, kemudian Raja Ternate ke-7,
yaitu Kolano Cili Aiya
(1322-1331) mengundang raja-raja Maluku yang lain untuk berdamai.
Setelah pertemuan, akhirnya
mereka sepakat membentuk suatu persekutuan yang dikenal
sebagai Persekutan Moti atau Motir
Verbond. Hasil lain pertemuan adalah, kesepakatan untuk
menyeragamkan bentuk lembaga
kerajaan di Maluku. Pertemuan ini diikuti oleh 4 raja terkuat Maluku, oleh
sebab itu, persekutuan tersebut disebut juga sebagai Persekutuan Moloku Kie
Raha (Empat Gunung Maluku).
c. Islam di
Ternate
Diperkirakan, Islam sudah lama
masuk secara diam-diam ke Ternate melalui jalur
perdagangan. Hal ini ditandai
dengan banyaknya pedagang Arab yang datang ke wilayah
tersebut untuk berdagang, bahkan
ada yang bermukim. Selain melalui perdagangan,
penyebaran Islam juga dilakukan
lewat jalur dakwah. Muballigh yang terkenal dalam
menyebarkan Islam di kawasan ini
adalah Maulana Hussain dan Sunan Giri Ada dugaan, sebelum Kolano Marhum, sudah
ada Raja Ternate yang memeluk Islam, namun, hal ini masih menjadi perdebatan.
Secara resmi, Raja Ternate yang diketahui memeluk Islam adalah Kolano Marhum
(1465-1486 M), Raja Ternate ke-18. Anaknya, Zainal Abidin (1486-
1500) yang kemudian menggantikan
ayahnya menjadi raja, pernah belajar di Pesantren
Sunan Giri di Gresik. Saat itu,
ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa (Sultan Cengkeh).
Ketika menjadi Sultan, Zainal
Abidin kemudian mengadopsi hukum Islam sebagai undang undang kerajaan. Ia juga
mengganti gelar Kolano dengan sultan. Untuk memajukan sektor
pendidikan, ia juga membangun
sekolah (madrasah). Sejak saat itu, Islam berkembang pesat
di Ternate dan menjadi agama
resmi kerajaan.
d. Kedatangan
Penjajah Eropa
Orang Eropa pertama yang datang
ke Ternate adalah Loedwijk de Bartomo (Ludovico
Varthema) pada tahun 1506 M. Enam
tahun kemudian, pada 1512 M, rombongan orang
Portugis tiba di Ternate di bawah
pimpinan Fransisco Serrao. Ketika pertama kali datang,
bangsa kulit putih ini masih
belum menunjukkan watak imperialismenya. Saat itu, mereka
masih menunjukkan itikad baik
sebagai pedagang rempah-rempah. Oleh sebab itu, Sultan
Bayanullah (1500-1521) yang
berkuasa di Ternate saat itu memberi izin pada Portugis untuk
mendirikan pos dagang.
Sebenarnya, Portugis datang bukan
hanya untuk berdagang, tapi juga menjajah dan
menguras kekayaan Ternate untuk
dibawa ke negerinya. Namun, niat jahat ini tidak diketahui
oleh orang-orang Ternate. Ketika
Sultan Bayanullah wafat, ia meninggalkan seorang
permaisuri bernama Nukila, dan
dua orang putera yang masih belia, Pangeran Hidayat dan
Pangeran Abu Hayat. Selain itu,
adik Sultan Bayanullah, Pangeran Taruwese juga masih hidup dan ternyata
berambisi menjadi Sultan Ternate. Portugis segera memanfaatkan situasi dengan mengadu
domba kedua belah pihak hingga pecah perang saudara. Dalam perang saudara tersebut,
Portugis berpihak pada Pangeran Taruwese, sehingga Taruwese berhasil
memenangkan peperangan. Tak
disangka, setelah memenangkan peperangan, Pangeran
Taruwese justru dikhianati dan
dibunuh oleh Portugis. Kemudian, Portugis memaksa Dewan
Kerajaan untuk mengangkat
Pangeran Tabarij sebagai Sultan Ternate.
Sejak saat itu, Pangeran Tabarij
menjadi Sultan Ternate. Dalam perkembangannya, Tabarij juga tidak menyukai
tindak-tanduk Portugis di Ternate. Akhirnya, ia difitnah Portugis dan dibuang
ke Goa-India. Di sana, ia dipaksa menandatangani perjanjian untuk menjadikan
Ternate sebagai kerajaan Kristen, namun, ia menolaknya. Sultan Khairun yang
menggantikan Tabarij juga menolak mentah-mentah perjanjian ini.
Tindak-tanduk Portugis yang
sewenang-wenang terhadap rakyat dan keluarga sultan di
Ternate membuat Sultan Khairun
jadi geram. Ia segera mengobarkan semangat perlawanan
terhadap Portugis. Untuk
memperkuat posisi Ternate dan mencegah datangnya bantuan
Portugis dari Malaka, Ternate
kemudian membentuk persekutuan segitiga dengan Demak dan
Aceh, sehingga Portugis kesulitan
mengirimkan bantuan militer ke Ternate. Portugis hampir
mengalami kekalahan. Untuk
menghentikan peperangan, kemudian Gubernur Portugis di
Ternate, Lopez de Mesquita
mengundang Sultan Khairun untuk berunding. Berbekal kelicikan dan kejahatan
yang memang telah biasa mereka lakukan, Portugis kemudian membunuh Sultan
Khairun di meja perundingan.
Sultan Babullah (1570-1583 M)
kemudian naik menjadi Sultan Ternate menggantikan Sultan
Khairun yang dibunuh Portugis. Ia
segera memobilisasi kekuatan untuk menggempur
kekuatan Portugis di seluruh
Maluku dan wilayah timur Indonesia. Setelah berperang selama
lima tahun, akhirnya Ternate
berhasil mengusir Portugis untuk selamanya dari bumi Maluku
pada tahun 1575 M. Dalam sejarah
perlawanan rakyat Indonesia, ini merupakan kemenangan
pertama bangsa Indonesia melawan
penjajah kulit putih.
2. Silsilah
Berikut ini beberapa kolano dan
sultan yang pernah berkuasa di Ternate. Data berikut belum
lengkap, karena masih banyak nama
sultan yang belum tercantum. Urutan nama-nama sultan
disesuaikan dengan urutannya
menjadi sultan.
1. Kolano Baab Mashur Malamo
(1257-1272)
7. Kolano Cili Aiya (1322-1331)
17. Kolano Marhum (1465-1486)
18. Sultan Zainal Abidin
(1486-1500)
19. Sultan Bayanullah (1500-1521)
20. Pangeran Taruwese
21. Pangeran Tabarij
22. Sultan Khairun (1534-1570)
23. Sultan Baabullah (1570-1583)
-- Sultan Mandar Syah (1648-1650)
-- Sultan Manila (1650-1655)
-- Sultan Mandar Syah (1655-1675)
-- Sultan Sibori (1675-1691)
-- Sultan Muhammad Usman (1896-1927)
48. Sultan Muhammad Jaber Syah
49. Sultan Mudaffar Syah
(1975-sekarang)
3. Periode
Pemerintahan
Ternate mencapai masa jaya pada
paruh kedua abad ke-16 M, di masa pemerintahan Sultan
Baabullah (1570-1583), berkat
ramainya perdagangan rempah-rempah. Saat itu, untuk
menjaga lalu lintas perdagangan
di kawasan tersebut, Ternate memiliki armada militer yang
tangguh. Ketangguhan armada ini
telah terbukti dengan keberhasilan mereka mengalahkan
penjajah Portugis. Pada paruh
kedua abad ke-17 M, sebenarnya kejayaan Kerajaan Ternate
telah berakhir, seiring dengan
mundurnya Sultan Mandar Syah dari singgasana kerajaan
karena dipaksa oleh Gubernur VOC
di Ambon, Arnold de Vlaming. Bahkan, ternyata Sultan
bukan hanya dipaksa turun, tapi
juga dipaksa untuk menandatangani perjanjian agar Ternate
melepaskan seluruh klaim
teritorinya di Maluku.
Hingga saat ini, Kerajaan Ternate
telah berdiri lebih dari 750 tahun. Dalam usianya yang
sudah begitu tua, Kesultanan
Ternate masih tetap berdiri, walaupun keberadaannya tak lebih
dari simbol belaka. Jabatan
sultan sekarang ini tak memiliki wewenang, tapi tetap
berpengaruh di masyarakat. Sultan
Ternate saat ini adalah Drs. Hi. Mudaffar Sjah, BcHk.
(Mudaffar II) yang dinobatkan
tahun 1975, dan merupakan sultan yang ke-49.
4. Wilayah Kekuasaan
Pada masa awal berdirinya,
kekuasaan Kerajaan Ternate hanya mencakup beberapa kampung
di Pulau Ternate. Seiring
perkembangan, Ternate semakin maju dan mencapai masa jayanya
di abad ke-16. Saat itu,
kekuasaan Kerajaan Ternate mencakup wilayah Maluku, Sulawesi
Utara, Timur dan Tengah, Nusa
Tenggara, Selatan Kepulauan Philipina (Mindanao) dan
Kepulauan Marshal di Pasifik.
5. Struktur
Pemerintahan
Sebagaimana diceritakan di atas,
pada awal berdirinya, Kerajaan Ternate hanyalah kumpulan
beberapa kampung. Saat itu,
kepala kampungya disebut Momole. Ketika kampung-kampung
ini bersatu membentuk sebuah
kerajaan, pemimpinnya disebut Kolano (raja). Ketika Islam
mulai menyebar ke seluruh penjuru
nusantara dan Raja Ternate kemudian memeluk Islam,
gelar Kolano diganti
dengan sultan. Kolano pertama yang memakai gelar sultan adalah Zainal
Abidin. Sejak saat itu, pemimpin
tertinggi di Ternate adalah sultan. Selanjutnya, karena
kerajaan menggunakan hukum Islam,
maka, ulama juga memegang peranan penting.
Untuk membantu Sultan menjalankan
tugas-tugas kerajaan, kemudian dibentuk pula jabatan
Jogugu (perdana
menteri) dan Penasihat Raja yang disebut Fala Raha (empat rumah). Fala
Raha merupakan
representasi empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung
Kesultanan Ternate. Bisa
dikatakan bahwa, Fala Raha sebenarnya pengganti empat momole di masa
sebelum datangnya Islam. Masing-masing raha dipimpin oleh seorang Kimalaha.
Di
antara Kimalaha tersebut
adalah: Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Para pejabat
tinggi istana berasal dari empat
klan ini. Jika sultan tak meninggalkan pewaris, maka
penerusnya dipilih dari salah
satu klan yang empat ini. Jabatan lain yang dibentuk untuk
membantu tugas sultan adalah Bobato
Nyagimoi (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau,
Salahakan dan Sangaji.
6. Kehidupan
Sosial Budaya
Ternate merupakan daerah yang
terkenal penghasil rempah-rempah. Penduduk yang bertani
adalah mereka yang tinggal di
kawasan perbukitan, mereka menanam cengkeh, pala, kayu
manis dan kenari. Cengkeh dari
Ternate sangat terkenal karena kualitasnya yang baik. Di
daerah yang agak rendah,
penduduknya menanam kelapa. Masyarakat yang bermukim di
pinggir pantai banyak juga yang
menjadi nelayan. Selain petani dan nelayan, orang-orang
Ternate juga banyak yang menjadi
pedagang. Makanan utama orang Ternate adalah beras,
sagu atau ubi kayu (singkong)
yang diolah khusus, dikenal dengan nama huda, bentuknya
mirip dengan irisan roti.
Dari singkong, orang Ternate juga
membuat papeda. Beras yang dikonsumsi masyarakat Ternate berasal dari
Pulau Halmahera, Makassar dan Manado. Jika direnungkan, sebenarnya peninggalan
Ternate tidak sebanding dengan kebesaran namanya. Tidak ada warisan
intelektual, arsitektur ataupun seni berkualitas tinggi yang ditinggalkannya.
Satunya-satunya warisan sastra yang ditinggalkan hanyalah Dolo bololo se
dalil moro. Sastra ini berbentuk puisi, peribahasa, ibarat, yang
kebanyakannya berisi pendidikan moral tradisional. Padahal, sebagai bandar
utama rempah-rempah di Maluku, Ternate sudah berhubungan dengan peradaban yang
lebih maju seperti Jawa, Melayu, Cina, Arab dan Eropa. Namun, sepertinya hal
itu tidak meninggalkan pengaruh.Berkaitan dengan absennya kebudayaan tulis,
mungkin disebabkan Ternate selalu sibuk dengan urusan peperangan dan konflik.
Sebelum Eropa datang, Ternate konflik dengan kerajaan sekitarnya karena
memperebutkan hegemoni. Setelah bangsa Eropa datang, konflik terjadi dengan bangsa
Eropa. Implikasinya, orang Ternate mencurahkan segenap energinya hanya untuk mempertahankan
diri, sebab, konteksnya adalah: menyerang atau diserang. Karena alasanalasan inilah,
maka seni budaya yang muncul di Ternate, seperti tarian cakalele, memiliki watak
militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar