1. Sejarah
Sejarah mengenai
kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi dua fase: (1), era Kutai
Martadipura, dan
(2), era Kutai Kartanegara. Berikut ini sekilas sejarahnya.
a. Kutai
Martadipura
Berdasarkan data tektual tertua
yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di
Indonesia. Kerajaan ini
diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400 M. Keberadaan
kerajaan tersebut diketahui
berdasarkan prasasti berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7
buah, yang ditemukan di daerah
Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Prasasti Yupa yang menggunakan
huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut
menceritakan tentang seorang raja
bernama Mulawarman, yang menjadi raja di Kerajaan
Kutai Martadipura. Raja
Mulawarman adalah putra Raja Aswawarman, dan cucu dari Maharaja Kudungga.
Pengetahuan mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura ini sangat minim. Selama
ini, para arkeologi amat bertumpu pada informasi tertulis yang terdapat pada
prasasti dan Salasilah Kutai.
b. Kutai
Kartanegara Ing Martadipura
Secara umum, penelitian sejarah
mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala
tempat ditemukannya peninggalan
Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat kegiatan
penambangan. Periode gelap
sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring
berdirinya Kerajaan Kutai
Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti
(1300-1325). Pusat kerajan berada
di Tepian Batu atau Kutai Lama.
Dalam perkembangannya, Raja Kutai
Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan
Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan
kerajaannya, Kutai Kartanegara.
Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut dinamakannya Kutai Kartanegara Ing
Martadipura. Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik
di Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di
kerajaan ini, dan gelar raja diganti dengan sultan. Sultan yang pertama kali
menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Di era pemerintahan Sultan Aji
Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke
daerah Wajo untuk membantu Sultan
Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu,
berperang melawan VOC Belanda.
Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan Perwalian. Pada tahun
1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, tahta
kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta
kerajaan. Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang
masih kecil terpaksa dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado
secara resmi berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai
putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai
Kartanegara kembali ke tanah
Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada
mendiang Sultan Idris, Aji Imbut
dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.
Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di
Mangkujenang (Samarinda
Seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan
cara mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara.
Dalam perlawanan ini, Aji Imbut
dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan
mengalami kesulitan untuk
menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini.
kemudian Aji Kado meminta bantuan
VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya, Aji Imbut berhasil
merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelar Sultan
Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau
Jembayan.
Setelah menjadi raja, Aji Imbut
memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke
Tepian Pandan pada tanggal 28
September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghapus kenangan pahit masa
pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan (ibukota sebelumnya) dianggap telah
kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah ke Tepian Pandan, maka nama Tepian
Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lambat laun,
Tangga Arung disebut orang dengan Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan
hingga saat ini. Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan
Aji Muhammad Salehuddin.
c. Era Kolonial
Eropa
Hubungan dengan Eropa diawali
dengan datangnya dua buah kapal dagang Inggris pimpinan
James Erskine Murray pada tahun
1844. Inggris datang untuk meminta tanah tempat mereka
mendirikan pos dagang. Inggris
juga menuntut hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di
perairan Mahakam. Permintaan
Inggris ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan
hanya mengizinkan Murray
berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas dengan
keputusan Sultan ini. Karena itu,
Murray kemudian melepaskan tembakan meriam ke arah
istana. Pasukan kerajaan Kutai
melakukan perlawanan hingga mereka berhasil mengalahkan
Inggris. Pasukan Inggris
melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam pertempuran
tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong
ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak
melakukan serangan balasan
terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda, bahwa
Kutai adalah salah satu bagian
wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, masalah ini menjadi
tanggungjawab Belanda. Sebagai
tindak lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya
untuk menyerang Kutai. Dalam
pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima Kutai
Awang Lor gugur di medan
pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke
Kota Bangun. Sejak saat itu,
Kutai takluk di bawah kekuasaan Belanda.
Sebagai tindak lanjut, tanggal 11
Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus
menandatangani perjanjian dengan
Belanda, yang berisi pengakuan dan ketundukan pada
Belanda. Perwakilan Belanda
berkedudukan di Banjarmasin. Pada tahun 1863, kerajaan Kutai
Kartanegara kembali mengadakan
perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati
bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara
menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara
pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur
tambang asal Belanda, J.H.
Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak
pertama di wilayah Kutai. Royalti
atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan
kepada Sultan Sulaiman.
Ketika Jepang menduduki wilayah
Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai kembali harus tunduk pada Tenno Heika,
Kaisar Jepang. Ketika itu, Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan
nama kerajaan Kooti. Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kesultanan Kutai
Kartanegara dengan status Daerah Swapraja, masuk dalam Federasi Kalimantan
Timur bersama-sama daerah kesultanan lainnya, seperti Bulungan, Sambaliung,
Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian dibentuk pula Dewan Kesultanan. Pada 27
Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
2. Silsilah
Hingga saat ini, para arkeolog
belum mengetahui secara lengkap silsilah para raja di era Kutai Martadipura.
Tapi diyakini bahwa, pendiri keluarga atau dinasti kerajaan ini adalah
Aswawarman. Dalam prasasti Yupa
juga dijelaskan bahwa, Aswawarman disebut sebagai
Dewa Ansuman/Dewa Matahari dan
dipandang sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga
raja. Ini menunjukkan bahwa,
Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang
sebagai pendiri keluarga atau
dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang
berkuasa di Kutai Martadipura
adalah Maharaja Kudungga.
Berbeda dengan Kutai Martadipura,
silsilah para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di
abad ke-13 bisa dilacak secara
lengkap. Berikut urutan raja-raja yang berkuasa hingga saat
ini.
1. Aji Batara Agung Dewa Sakti
(1300-1325)
2. Aji Batara Agung Paduka Nira
(1325-1360)
3. Aji Maharaja Sultan
(1360-1420)
4. Aji Raja Mandarsyah
(1420-1475)
5. Aji Pangeran Tumenggung
Bayabaya (1475-1545)
6. Aji Raja Mahkota Mulia Alam
(1545-1610)
7. Aji Dilanggar (1610-1635)
8. Aji Pangeran Sinum Panji
Mendapa ing Martapura (1635-1650)
9. Aji Pangeran Dipati Agung ing
Martapura (1650-1665)
10. Aji Pangeran Dipati Maja
Kusuma ing Martapura (1665-1686)
11. Aji Ragi gelar Ratu Agung
(1686-1700)
12. Aji Pangeran Dipati Tua
(1700-1730)
13. Aji Pangeran Anum Panji
Mendapa ing Martapura (1730-1732)
14. Aji Muhammad Idris
(1732-1778)
15. Aji Muhammad Aliyeddin
(1778-1780)
16. Aji Muhammad Muslihuddin
(1780-1816)
17. Aji Muhammad Salehuddin
(1816-1845)
18. Aji Muhammad Sulaiman
(1850-1899)
19. Aji Muhammad Alimuddin
(1899-1910)
20. Aji Muhammad Parikesit
(1920-1960)
21. H. Aji Muhammad Salehuddin II
(1999-kini)
3. Periode
Pemerintahan
Jika dirunut, masa pemerintahan
Kutai Martadipura berlangsung sejak masa Kudungga pada
abad ke-5 hingga digabungnya
kerajaan ini pada abad ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai
Kartanegara akibat kalah perang.
Sementara Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak
abad ke-13 hingga saat ini.
4. Wilayah
Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kutai
Martadipura mencakup wilayah Kalimantan Timur saat ini, terutama daerah aliran
Sungai Mahakam. Sementara wilayah kekuasaan Kutai Ing Martadipura, mencakup
wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur,
Bontang , Samarinda dan Balikpapan.
5. Struktur
Pemerintahan
Belum didapat data arkeologis
yang lengkap mengenai sistem dan struktur pemerintahan di
Kerajaan Kutai. Dari data
arkeologis yang menunjukkan pengaruh Hindu di Kerajaan ini, maka bisa
disimpulkan bahwa Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa
dilacak lebih lanjut, bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.
6. Kehidupan
Sosial-Budaya
Sejarah Kerajaan Kutai
Martadipura merupakan periode yang masih gelap. Sedikit sekali
bukti-bukti arkeologis yang
ditemukan untuk mngugnkap sejarah tersebut. Selama ini, bukti
tersebut terlalu bersadnar pada
penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah naskah Salasilah Kutai.
Namun, dari data yang masih
sangat minim tersebut, bisa diungkap sedikit tentang kehidupan
sosial budaya di masa lalu.
a. Kehidupan
Sosial
Dalam kehidupan sosial terjalin
hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan
kaum Brahmana. Dalam prasasti
Yupa dijelaskan bagaimana Raja Mulawarman memberi
persembahan emas yang sangat
banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum
Brahmana di dalam tanah yang suci
bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat
suci untuk memuja dewa Syiwa. Di
pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakewara.
Tidak diketahui secara pasti asal
emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi
tersebut didatangkan dari tempat
lain, maka, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah
melakukan kegiatan dagang.
b. Kehidupan
Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat
dikatakan kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa
dilihat dari prosesi penghinduan
(pemberkatan memeluk agama Hindu), atau disebut juga
upacara Vratyastoma yang telah
dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan pertama kalinya di
era pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut para ahli
adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman, kemungkinan
sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana pribumi.
Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka telah memiliki
kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana mensyaratkan
penguasaan bahasa Sanskerta.
Selain itu, dari berbagai benda
purbakala yang berhasil ditemukan di Kalimantan Timur,
menunjukkan di kawasan tersebut
telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban
yang cukup tinggi. Bahkan ada
yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah
ada sejak ribuan tahun yang lalu,
di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat menarik
adalah goa-goa di Kalimantan
Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer utara
Balikpapan. Dalam goa tersebut,
juga ditemukan pecahan-pecahan perkakas tembikar dan
sejumlah makam. Goa yang
berfungsi sebagai tempat tinggal ini juga dilengkapi dengan
hiasan-hiasan atau lukisan
purbakala pada dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman
prasejarah yang telah berusia
10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju.
Dalam penggalian lain di situs
sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak,
seperti reruntuhan candi berupa
peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan
keramik yang sangat indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar