Sejarah
Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Adiwijaya pada tahun 1568, tidak berumur panjang. Kerajaan Pajang terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur. Setelah berhasil menaklukkan penguasa-penguasa lokal di Jawa Timur Raja Pajang memberikan hadiah kepada dua orang yang berjasa dalam penaklukan-penaklukannya, yaitu Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Panjawi. Ki Ageng Pamanahan yang telah berjasa dalam pertempuran melawan Aria Panangsang, diberi kekuasaan di Mataram, sedangkan Ki Ageng Panjawi diberi kekuasaan di Pati.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan (1584), putranya yang bernama Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya), menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Mataram dan sekaligus diangkat sebagai panglima tentara Pajang. Setelah Sultan Adiwijaya meninggal tahun 1582, takhta Pajang direbut Aria Pangiri (menantu Adiwijaya). Putra Adiwijaya yang bernama Pangeran Banowo meminta bantuan kepada Adipati Mataram, Panembahan Senopati, untuk merebut takhta kerajaan. Aria Pangiri kalah dan melarikan diri ke Banten, sementara Pangeran Banowo menyerahkan takhta kerajaan kepada Panembahan Senopati. Berakhirlah Kerajaan Pajang dan selanjutnya berdirilah Kerajaan Mataram.
Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Adiwijaya pada tahun 1568, tidak berumur panjang. Kerajaan Pajang terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur. Setelah berhasil menaklukkan penguasa-penguasa lokal di Jawa Timur Raja Pajang memberikan hadiah kepada dua orang yang berjasa dalam penaklukan-penaklukannya, yaitu Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Panjawi. Ki Ageng Pamanahan yang telah berjasa dalam pertempuran melawan Aria Panangsang, diberi kekuasaan di Mataram, sedangkan Ki Ageng Panjawi diberi kekuasaan di Pati.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan (1584), putranya yang bernama Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya), menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Mataram dan sekaligus diangkat sebagai panglima tentara Pajang. Setelah Sultan Adiwijaya meninggal tahun 1582, takhta Pajang direbut Aria Pangiri (menantu Adiwijaya). Putra Adiwijaya yang bernama Pangeran Banowo meminta bantuan kepada Adipati Mataram, Panembahan Senopati, untuk merebut takhta kerajaan. Aria Pangiri kalah dan melarikan diri ke Banten, sementara Pangeran Banowo menyerahkan takhta kerajaan kepada Panembahan Senopati. Berakhirlah Kerajaan Pajang dan selanjutnya berdirilah Kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram
Sejarah
Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya) (1584-1601), pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletak di Yogyakarta. Ia mempunyai cita-cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Tetapi cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram melawan Banten sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan. Senopati meninggal tahun 1601, dan dimakamkan di Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan nama Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613).
Pada tahun 1602, Pangeran Puger, saudara sepupu raja yang telah diangkat sebagai penguasa Demak melakukan pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak dipaksa mundur, namun sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung mengarang kitab sastra gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan 1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha melakukan serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629 dengan tujuan untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar. Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba lagi melakukan serangan kedua. Serangan ini pun ternyata mengalami kegagalan pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan Juli kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang beras dan perahu-perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara Sultan Agung. Penyerangan terhadap Batavia hanya bertahan selama beberapa minggu, pihak Sultan Agung banyak mengalami penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama dengan VOC dan penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa yang subur. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan, yaitu:
1. Daerah kesultanan Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar
Sultan Hamengkubuwono I.
2. Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono. Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya) (1584-1601), pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletak di Yogyakarta. Ia mempunyai cita-cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Tetapi cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram melawan Banten sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan. Senopati meninggal tahun 1601, dan dimakamkan di Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan nama Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613).
Pada tahun 1602, Pangeran Puger, saudara sepupu raja yang telah diangkat sebagai penguasa Demak melakukan pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak dipaksa mundur, namun sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung mengarang kitab sastra gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan 1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha melakukan serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629 dengan tujuan untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar. Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba lagi melakukan serangan kedua. Serangan ini pun ternyata mengalami kegagalan pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan Juli kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang beras dan perahu-perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara Sultan Agung. Penyerangan terhadap Batavia hanya bertahan selama beberapa minggu, pihak Sultan Agung banyak mengalami penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama dengan VOC dan penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa yang subur. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan, yaitu:
1. Daerah kesultanan Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar
Sultan Hamengkubuwono I.
2. Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono. Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
Selasa, 09 Juli 2013
Kerajaan Banten
Sejarah
Banten awalnya merupakan salah satu dari pelabuhan
kerajaan Sunda. Pelabuhan ini direbut 1525 oleh gabungan dari tentara Demak dan
Cirebon. Setelah ditaklukan daerah ini diislamkan oleh Sunan Gunung Jati.
Pelabuhan Sunda lainnya yang juga dikuasai Demak adalah Sunda Kelapa, dikuasai
Demak 1527, dan diganti namanya menjadi Jayakarta.
Kerajaan Banten yang letaknya di ujung barat Pulau
Jawa dan di tepi Selat Sunda merupakan daerah yang strategis karena merupakan
jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah Malaka jatuh
tahun 1511, menjadikan Banten sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai bangsa. Pelabuhan Banten juga cukup aman, sebab
terletak di sebuah teluk yang terlindungi oleh Pulau Panjang, dan di samping
itu Banten juga merupakan daerah penghasil bahan ekspor seperti lada.
Selain perdagangan kerajaan Banten juga meningkatkan
kegiatan pertanian, dengan memperluas areal sawah dan ladang serta membangun
bendungan dan irigasi. Kemudian membangun terusan untuk memperlancar arus
pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan. Dengan demikian kehidupan
ekonomi kerajaan Banten terus berkembang baik yang berada di pesisir maupun di
pedalaman.
Kehidupan masyarakat Banten yang berkecimpung dalam
dunia pelayaran, perdagangan dan pertanian mengakibatkan masyarakat Banten
berjiwa bebas, bersifat terbuka karena bergaul dengan pedagang-pedagang lain
dari berbagai bangsa. Para pedagang lain tersebut banyak yang menetap dan
mendirikan perkampungan di Banten, seperti perkampungan Keling, perkampungan
Pekoyan (Arab), perkampungan Pecinan (Cina) dan sebagainya. Di samping
perkampungan seperti tersebut di atas, ada perkampungan yang dibentuk
berdasarkan pekerjaan seperti Kampung Pande (para pandai besi), Kampung
Panjunan (pembuat pecah belah) dan kampung Kauman (para ulama).
Berkembangnya kerajaan Banten tidak terlepas dari
peranan raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Berikut ini
silsilah Raja-raja Banten sampai dengan Sultan Agung Tirtayasa.
Dalam perkembangan politiknya, selain Banten berusaha
melepaskan diri dari kekuasaan Demak, Banten juga berusaha memperluas daerah
kekuasaannya antara lain Pajajaran. Dengan dikuasainya Pajajaran, maka seluruh
daerah Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Banten. Hal ini terjadi pada masa
pemerintahan raja Panembahan Yusuf.
Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan
wilayah Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah
yang banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung
dan Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan
Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan serangan ke Palembang.
Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa
Barat dan beberapa daerah di Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk
perdagangan, bahkan berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Pemerintahan Sultan Ageng, Banten
mencapai puncak keemasannya Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi
oleh berbagai bangsa seperti Arab, Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda.
Belanda pada awalnya datang ke Indonesia, mendarat di
Banten tahun 1596 tetapi karena kesombongannya, maka para pedagang-pedagang
Belanda tersebut dapat diusir dari Banten dan menetap di Jayakarta. Di
Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602.
Selain mendirikan benteng di Jayakarta VOC akhirnya
menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia tahun 1619, sehingga
kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Adanya kekuasaan Belanda di Batavia,
menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan. Persaingan tersebut kemudian
berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng Tirtayasa sangat
anti kepada VOC.
Untuk menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa
tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera)
antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji. Akibat dari politik
adu-domba tersebut, maka terjadi perang saudara di Banten, sehingga Belanda
dapat ikut campur dalam perang saudara tersebut. Belanda memihak Sultan Haji,
yang akhirnya perang saudara tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan
kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di
Batavia sampai meninggalnya tahun 1692. Sultan Haji harus menandatangani
perjanjian dengan VOC tahun 1684. Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan
merugikan kerajaan Banten, sehingga Banten kehilangan atas kendali perdagangan
bebasnya, karena Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat
terberatnya adalah kehancuran dari kerajaan Banten itu sendiri karena VOC
mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja Banten.
Kerajaan Cirebon
Sejarah
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan
Islam yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15
hingga abad ke 16 M. Letak kesultanan Cirebon adalah di pantai utara pulau
Jawa. Lokasi perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat Kesultanan
Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan jawa dan Sunda. Sehingga, di
Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang
tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Pada awalnya, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama Caruban. Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya
Alam dari pedalaman, Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara jawa. Dari pelaburan Cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan
berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya.
Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh
menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Dalam buku “Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809” dijelaskan bahwa ada beberapa
proses yang terjadi terkait pertumbuhan Islam di Cirebon yaitu:
1. Tahun 1415 berlabuh
kapal dari Armada Te Ho bersama sekretarisnya Ma Huang
2. Tahun 1418 telah
datang rombongan pedagang dari Campa, dimana terdapat Syeh Hasanudin bin Yusuf
Sidik seorang ulama penyiar Islam
3. Tahun 1418 Putri Ki
Gedeng Tapa Nhay Subang Larang disuruh ayahnya belajar ilmu agama Islam di
pesantren Syeh Quro di Karawang
4. Tahun 1420 datang
rombongan ulama bernama Syeh Datuk Kahfi.
Walangsungsang adalah putra prabu Siliwangi dan Nyi
Mas Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah ki gedeng
alang-alang meninggal walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai
Kuwu pengganti ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan
oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan
antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari
Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 –
1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung
Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang
pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri
dinasti kesultanan Cirebon dan banten, serta menyebar Islam di majalengka,
Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah
wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi
kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran
Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun,
Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan
mengukuhkan pejabat istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut
adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara
resmi menjadi sultan Cirebon sejak tahun 1568.
Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua
kemungkinan pertama, para sultan Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran
Jayakelana, dan pangeran Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra
yang masih hidup, yaitu sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di
Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu
Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri sunan Gunung
Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 –
1568) mewakili Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah menduduki
tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan
Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan
ratu I, dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan
ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan
oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, karena ayahnya yaitu panembahan
Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya, pangeran karim
dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke Mataram.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke Mataram.
Di lain pihak, Mataram pun menuduh Cirebon tidak lagi
sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan Ageng
dari banten adalah sama-sama keturunan pajajaran. Kondisi panas ini memuncak
dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat berkunjung ke Kartasura. Ia lalu
dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan makam
sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga
menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan
Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra
panembahan Girilaya di tahan di Mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi
kekosongan penguasa. Sultan ageng tirtayasa segera dinobatkan pangeran
Wangsakerta sebagai pengganti panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak
Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal
perang untuk membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat
I dari Mataram.
Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan
Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon.
Bersama satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai
penguasa kesultanan Cirebon.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran
murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan
ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga
bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
1. Pangeran Martawijaya
atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin
(1677 – 1703)
Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
2. Pangeran Wangsakerta
atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin
atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan”
bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Sebab, keduanya dilantik menjadi sultan Cirebon di Ibukota banten. Sebagai
sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton
masing-masing.
Pergantian kepemimpinan para Sultan di Cirebon
selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798
– 1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu
pangeran raja kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama kesultanan KaCirebonan.
Kehendak raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda
yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda
mengajukan satu syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak
berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan.
Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama
Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda
pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana
kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya
terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan
kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota
Cirebon.
Kerajaan Demak
Sejarah
Demak adalah kesultanan atau kerajaan
Islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah
(1478-1518) pada tahun 1478, Raden Patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit
yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini
didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar,
pendakwah Islam paling awal di pulau jawa.
Atas bantuan
daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut Islam seperti Jepara, Tuban
dan Gresik, Raden patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan
Majapahit saat itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat
lemah. Dengan proklamasi itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan
mengambil gelar Sultan Syah Alam Akbar.
Pada awal abad ke 14, Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming
di China mengirimkan seorang putri kepada raja Brawijaya V di Majapahit,
sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita dan pintar
ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja brawijaya sangat tunduk
kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak pertentangan
dalam istana majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah tauhid. Saat itu,
Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa (sekarang bernama
Kamboja), masih kerabat Raja Champa.
Raden Patah memiliki adik laki-laki seibu, tapi beda
ayah. Saat memasuki usia belasan tahun, raden patah bersama adiknya berlayar ke
Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Raden patah mendalami agama
Islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku (Sunan Giri), Makhdum
ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap lulus,
raden patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia
diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah
memusatkan kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh
Walisanga sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa. Raden patah memerintah Demak
hingga tahun 1518, dan Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa sejak
pemerintahannya.
Secara beruturut-turut, hanya tiga sultan Demak yang
namanya cukup terkenal, Yakni Raden Patah sebagai raja pertama, Adipati
Muhammad Yunus atau Pati Unus sebagai raja kedua, dan Sultan Trenggana, saudara
Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524 – 1546).
Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil
dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan,
pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama
antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan
pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia melanklukkan Girindra Wardhana yang
merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan
majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan perlawan terhada portugis, yang
telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak.
Dalam bidang dakwah Islam dan pengembangannya, Raden
patah mencoba menerapkan hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Selain
itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang
terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya
oleh walisanga.
Di antara ketiga raja demak Bintara, Sultan Trenggana
lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke masa jayanya. Pada masa
trenggana,
daerah kekuasaan demak bintara meliputi seluruh jawa serta sebagian besar
pulau-pulau lainnya. Aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Trenggana berhasil
memperkuat dan memperluas kekuasaan demak. Di tahun 1527, tentara demak
menguasai tuban, setahun kemudian menduduki Wonosari (purwodadi, jateng), dan
tahun 1529 menguasai Gagelang (madiun sekarang). Daerah taklukan selanjutnya
adalah medangkungan (Blora, 1530), Surabaya (1531), Lamongan (1542), wilayah
Gunung Penanggungan (1545), serta blambangan, kerajaan hindu terakhir di ujung
timur pulau jawa (1546).
Di sebelah barat pulau jawa, kekuatan militer Demak
juga merajalela. Pada tahun 1527, Demak merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran
(kerajaan Hindu di Jawa Barat), serta menghalau tentara tentara portugis yang
akan mendarat di sana. Kemudian, bekerja sama dengan saudagar Islam di Banten,
Demak bahkan berhasil meruntuhkan Pajajaran.
Di timur laut, pengaruh demak juga sampai ke
Kesultanan banjar di kalimantan. Calon pengganti Raja Banjar pernah meminta
agar sultan Demak mengirimkan tentara, guna menengahi masalah pergantian raja
banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat jawa pun masuk
Islam, dan oleh seorang ulama dari Arab, sang pewaris tahta diberi nama Islam.
Selama masa kesultanan Demk, setiap tahun raja Banjar mengirimkan upeti kepada
Sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan beralih kepada Raja Pajang.
Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung kepada
Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati, Trenggana memperoleh gelar Sultan
Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepada
raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan Majapahit.
Trenggana sangat gigih memerangi portugis. Seiring
perlawanan Demak terhadap bangsa portugis yang dianggap kafir. Demak sebagai
kerajaan Islam terkuat pada masanya meneguhkan diri sebagai pusat penyebaran
Islam pada abad ke 16. Sultan Trenggana meninggal pada tahn 1546, dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuran. Ia kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.
Setelah sultan trenggana mengantar Demak ke masa jaya, keturunan sultan
tersebut silih berganti berkuasa hingga munculnya kesultanan pajang.
Masjid agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak
Islam adalah sisi tak terpisahkan dari kesultanan Demak Bintara. Kegiatan
walisanga yang berpusat di Masjid itu. Di sanalah tempat kesembilan wali
bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan.
Masjid Demak didirikan oleh Walisanga secara
bersama-sama. Babad demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun
Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala Lawang Trus Gunaning Janma,
sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang
tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1479.
Pada awalnya, majid agung Demak menjadi pusat kegiatan
kerajaan Islam pertama di jawa. Bagunan ini juga dijadikan markas para wali
untuk mengadakan Sekaten.
Pada upacara sekaten, dibunyikanlah gamelan dan rebana
di depan serambi masjid, sehingga masyarakat berduyun-duyun mengerumuni dan
memenuhi depan gapura. Lalu para wali mengadakan semacam pengajian akbar,
hingga rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kerajaan Tidore
A.
Awal Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore
terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan
Tidore, Raja Ternate pertama adalahMuhammad Naqal yang naik tahta
pada tahun 1081 M. Baru pada tahun 1471 M, agamaIslam masuk di
kerajaan Tidore yang dibawa oleh Ciriliyah, Raja Tidore yang
kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah
Syekh Mansur dari Arab.
B.
Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Raja Tidore
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805
M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan
Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan
Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang
biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu,
Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun
Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore
cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan
Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga
giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.
C.
Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan
yang bercorak Islam,
masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam .
Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De
Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah
dibawah kitab suci Al-Qur’an.
Kerajaan Tidore
terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil
rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa.
Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
D.
Kemunduran Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan
Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan
oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli
daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan
Ternate sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka
kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku.
Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda
untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan
Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam
bentuk organisasi yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar