Arsitektur
merupakan hasil proses perancangan dan pembangunan oleh seorang atau sekelompok
orang dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk melaksanakan kegiatan tertentu.
Berdasatkan pengertian tersebut dan batasan yang dimaksud dengan masjid, maka
secara umum arsitektur masjid adalah bangunan untuk sembahyang bersama
(berjamaah) pada hari juma’at dan ibadah Islam lainnya dengan fungsi majemuk
sesuai dengan perkembangan zaman, budaya dan tempat suatu masyarakat (Sumalyo,
2000:7)
Masjid
Agung Banten memiliki bangunan utama. Yang dimaksud dengan bangunan utama di sini
adalah bangunan yang mempunyai atap bersusun lima ditambah serambi timur yang
memiliki atap sendiri. Adapun bangunan yang tidak termasuk bangunan utama
adalah sebuah menara di sebelah timur masjid dan sebuah bangunan yang disebut
bangunan tiyamah di sebelah selatan. Kedua bangunan yang disebut terakhir
memiliki keunikan tersendiri sehingga akan mendapat porsi pembahasan
tersendiri.
Bangunan
utama masjid terdiri dari fondasi massif atau pejal setinggi 1 meter. Ruang
utama untuk shalat atau liwan dari
bangunan utama Masjid Agung Banten memiliki denah empat persegi panjang
berukuran 25 x 19 meter, namun sesungguhnya bangunan yang dinaungi oleh atap
yang bersusun lima itu berdenah bujur sangkar.(Lihat foto 13). Jadi dapat diduga bahwa pawestren dan ruang makam di sisi selatan dahulu adalah ruang sholat utama sebelum
adanya dinding pemisah seperti sekarang. Untuk memasuki ruang utama masjid
terdapat tiga pintu, masing-masing satu di serambi timur, satu di serambi
utara, dan satu di pawestren. Di
dalam ruang utama ini terdapat mihrab dan mimbar, lalu pada tahun 1975 lantai
ruangan utama dilaksanakan pemugaran dilapisi dengan tegel berukurang 30 x 30
cm berwarna hijau muda dengan bercak-bercak putih. Setiap ruangan sholat juga
dibatasi dengan dinding tembok dengan ketebalan 60-90 cm. Pada dinding tersebut
terdapat pintu jendela, lubang angin, tiang semu (pilaster) dan pelipit-pelipit (pelipit rata dan setengah lingkaran).
Di dalam ruang masjid terdapat tiang-tiang yang berfungsi sebagai penyangga
atap susun yang menutupi ruang tersebut jumlahnya 24 buah.
Umpak dari
batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang
masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah
umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak
besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas
reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta .
Labu tersebut
merupakan simbol dari pertanian karena Banten Lama terkenal makmur, gemah ripah
dan loh jinawi. Bahkan pada masa kepemimpinan Maulana Yusuf , Banten terkenal
dengan persawahannya yang luas hingga mencapai batas sungai Citarum dan
keberadaan Danau Tasikardi merupakan bukti lain yang menguatkan pendapat ini. (http://
www.kompas.com, diakses pada tanggal 28 Februari 2011).
Bentuk
mihrab Masjid Agung Banten yang sederhana menunjukan bahwa masjid tersebut
termasuk dalam kelompok masjid-masjid yang didirikan pada awal perkembangan
Islam di Indonesia, yakni pada akhir abad ke-15 atau abad ke-16. Sebagai bahan
perbandingan dapat dilihat dari mihrab-mihrab masjid yang sezaman seperti
Masjid Agung Demak, Masjid Sunan Giri, dan Masjid Sendang Duwur.
Agak
sedikit berbeda dengan mimbar masjid tua di Indonesia, mimbar Masjid Agung
Banten diletakkan di sebelah kanan mihrab tetapi tidak menempel di dinding,
namun berada agak ke depan berjarak 1 meter dari dinding barat. Mimbar berada
di atas fondasi berdenah empat persegi panjang mempunyai pipi tubuh dan atap
limas bersusun dua serta dilengkapi hiasan puncak dari kayu. Kaki mimbar dibuat
dari susunan pelipit miring dihiasi tiga buah panil persegi empat berjajar ke
atas. Didalam masing-masing panil terdapat hiasan pula. Panil bawah dihiasi
bunga teratai mekar, panil tengah dengan motif bingkai cermin, dan panil atas
dengan motif oval yang di dalamnya terdapat lubang berbentuk seperti daun
semanggi. Pada setiap sudut dalam panil dihiasi motif daun yang diapit oleh dua
motif bintang bersudut delapan. Di atas ketiga panel ada panil lagi berbentuk
empat persegi panjang yang menghiasi kedua sisi samping dan muka mimbar. Di dalam
kedua panil tersebut dihiasi motif pilin berganda yang saling berhadapan, motif
kupu-kupu, dan bintang bersudut delapan.
Selain itu,
terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Beberapa kalangan
mengatakan, tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang
pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf
Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar.
Berbeda
dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat)
yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini berbeda
dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.
Dalam
pembangunan masjid agung, salah satu arsiteknya adalah Raden Sepat. Tipe atap
Masjid Banten yang memiliki corak yaitu pinjaman dari tipe atap seni bangunan
Hindu, tetapi menara yang nampak di muka masjid tersebut adalah corak menara
Islam modern, karena dibangun kemudian (Suru, 1994:58)
Adapun Raden
Sepat mulanya dari Majapahit kemudian membangun Masjid Demak, Cirebon dan
Masjid Banten Lama ini. Jadi bukan ketaksengajaan bila antara masjid Demak,
Cirebon dan Banten Lama secara arsitektur ada mata rantainya. Misalkan dari
sisi atapnya, Masjid Agung Demak dan Cirebon itu memiliki atap tiga susun yang bermakna
Iman, Islam dan Ikhsan.
Sehingga
menurut Suru (1994:58) walaupun nampak wujud fisik seni bangunan Islam menerima
pengaruh Hindu, tetapi menunjukkan ajaran Tauhid dan iman, yang merupakan
keyakinan pokok dalam Islam. Kedua ajaran tersebut tercermin dalam setiap karya
seni rupa Islam.
Selain
Raden Sepat, beberapa kalangan menyebut Tjek Ban Tjut sebagai arsitek lainnya.
Pendapat ini berangkat dari analisis pada dua tumpukan atap konsentris paling
atas yang samar-samar mengingatkan idiom Pagoda China. Kedua atap itu berdiri
tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya
yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan
seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru
menjadi daya tarik tersendiri.
Dua
tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding
sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan
ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid
beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota
di atasnya sebagai elemen estetik.
Tapi
pendapat yang menghubungkan masjid itu dengan kuil-kuil Cina dengan
pertimbangan bahwa kerabat-kerabat pelopor penyebar agama Islam di Indonesia
berasal dari sana hal itu diragukan oleh Herry Setiadi di dalam Julliadi (2007:80)
. Ia melihat kuil di Cina tidak menunjukkan kemiripan dan bentuk atap
bertingkat masjid-masjid di Indonesia, justru kemiripan didapatkan pada atap
pagoda di Katjmandu (nepal) yang juga berbentuk limas.(Julliadi, 2007:80).
Bentuk atap
masjid yang bertingkat pada masjid merupakan survival bangunan meru, bangunan
suci agama Hindu di Bali. Kata meru diambil
dari sebuah nama suci di India, Maha meru.
Dalam kosmologi Hindu maupun Budha, istilah meru dikenal sebagai gunung kosmis atau gunung kahyangan yang menjadi pusat jagad raya, tempat tinggal pada dewa.
Candi atau bangunan meru di Bali
merupakan replika gunung kahyangan tersebut.
Hal itu terlihat dari bentuknya yang semakin mengecil ke atas, seperti gunung
(Julliadi, 2007:81).
Selain itu
terdapat serambi dan kolam untuk wudlu di sebelah timur melengkapi
karakteristik masjid Jawa umumnya. (Lihat foto 6). Serambi Masjid Agung Banten
ini digunakan sebagai penunjang ruang utama berada di sebelah timur. Sebenarnya
serambi ini terdapat disekeliling
bangunan utama masjid tetapi wilayah yang sangat luas adalah serambi sebelah
selatan karena serambi ini merupakan bagian terbesar dan atapnya terpisah dari
atap bangunan utama.(Lihat foto 7). Selain itu serambi di sisi timur ini adalah
serambi yang dimaksud di dalam pembicaraan arsitektur masjid-masjid tua di
Indonesia. Untuk serambi di sisi selatan dan utara tersebut sebagai selasar
masjid saja.
Sebagai
penopang bangunan utama, maka serambi Masjid Agung Banten yang oleh masyarakat
setempat disebut pula dengan pendopo, fungsinya berbeda dengan ruang utama yang
bersifat sakral. Meskipun merupakan bagian dari masjid, akan tetapi serambi
masjid dianggap sebagai bagian wilayah transisi antara profan dan sakral. Pada
beberapa masjid serambi digunakan sebagai tempat musafir menginap jika
kemalaman, terkadang pula dipaksakan sebagai tempat pernikahan jika tidak ada
gedung khusus untuk itu.
Di dalam
ruang serambi terdapat bedug yang menyerupai kendang besar. Bedug tersebut
berfungsi sebagai pertanda masuknya waktu shalat wajib sebelum
dikumandangkannya azan sebagai panggilan untuk menunaikannya shalat Bedug
Masjid Banten berbentuk silinder, terbuat dari kayu jati. Di bawah tubuh bedug
terdapat tulisan dalam huruf Arab berbunyi Hijriyah 1236, Hijriyah 1183,
Hijriyah 1267, Hijriyah 1273. angka-angka tahun tersebut diduga tahun
penggantian kulit bedug (Juliadi, 2007:88).
Di sisi
timur serambi terdapat kolam berbentuk empat persegi panjang yang terbagi dalam
empat kotak. Tiap-tiap kotak dipisahkan oleh pematang tembok dan keempat kotak
tersebut dihubungkan oleh dua lubang pada masing-masing pematang. Dahulu air
kolam diambil dari kanal Kota Banten sekitar 30m di selatan masjid dengan
mengalirkan air melalui dua buah ke kanal utara masjid yang lebih rendah.
Karena proes pendangkalan kanal, air kolam sekarang tidak mengalir dari dan ke
dua kanal tersebut.
Kolam yang agak
berbeda adalah kolam Masjid Kasunyataan di Banten yang letaknya berada di
bagian belakang masjid, bentuknya pun bukan persegi empat panjang seperti
kolam-kolam masjid tua lainnya tetapi berbentuk seperti menyilang atau tanda
tambah. Keunikan kolam ini tampak pada tangsi yang ditempatkan pada keempat
sisinya.
Kemudian
pintu depan yang dibangun dengan ukuran kecil dan pendek, dapat ditafsirkan
berupa ajakan agar saat masuk masjid, kita harus bersikap tawadhu, rendah hati
dan tidak boleh sombong. Yang aneh adalah tata letak makam Sultan Maualana
Hasanuddin beserta keluarganya. Secara tradisi, makam pendiri masjid pada
kompleks masjid tradisional di Jawa diletakkan di sisi barat, namun di masjid
ini diletakkan di sisi utara. Padahal di sebelah barat Masjid Agung Banten
terdapat makam Syarif Husein, penasehat Maualana Hasanuddin. Motif tata letak
ini juga terdapat di beberapa masjid bersejarah di wilayah Banten, seperti Masjid
Kasunyatan yang dibangun oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Hasanuddin. Makam
Maulana Yusuf tidak bertempat di sebelah barat masjid di mana terdapat makam
gurunya, Syekh Madani. Melainkan berada di tengah sawah. Mengenai makam Maulana
Yusuf ini, Hatta Kurdie dalam Julliadi (2007 : 82) berasumsi bahwa peletakan makam di areal
sawah tersebut karena kecintaan Maulana Yusuf yang terhadap pertanian.
Di masjid
ini juga terdapat komplek makam sultan-sultan Banten serta keluarganya. Yaitu
makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan
Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar.(Lihat foto 9) Sementara di sisi utara serambi
selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan
lainnya.
Sementara
itu, di sisi selatan masjid terdapat bangunan bertingkat bergaya rumah Belanda
kontemporer yang disebut Tiyamah (paviliun). Bangunan yang dirancang arsitek
Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel di abad ke-18 itu dulunya menjadi tempat
pertemuan penting. Paviliun dua lantai ini dinamakan Tiyamah. Berbentuk persegi
panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno. Bangunan ini dirancang oleh
seorang arsitek Belanda bernama Hendick Lucasz Cardeel. Biasanya, acara-acara
seperti rapat, dan kajian Islami dilakukan di sini.
Menara yang menjadi ciri khas sebuah masjid juga
dimiliki Masjid Agung Banten. Terletak di sebelah timur masjid, menara ini
terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian
bawahnya kurang lebih 10 meter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar