Kekhalifahan Umayyah (Periode I)
Bani Umayyah (bahasa Arab:
بنو أمية, Banu Umayyah,
Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan
Islam
pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab
dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba,
Spanyol
sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini
dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut
dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala
disebut juga dengan Muawiyah I.
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90
tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah
terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah
membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan
jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka
mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah
yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan,
pertempuran Shiffin, perang Jamal
dan penghianatan dari orang-orang Khawarij
dan Syi'ah, dan
terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah
yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia,
kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan Afganistan
sampai ke Kabul.
Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium,
Konstantinopel.
Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa
khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil
menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.
Tentaranya bahkan sampai ke India
dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan
di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan
al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara
menuju wilayah barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad,
pemimpin pasukan Islam,
dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan
benua Eropa,
dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar
(Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol
menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba,
dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu
kota Spanyol
yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh
kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang
sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis
melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin
Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux,
Poitiers.
Dari sana ia mencoba menyerang Tours.
Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut
Tengah (mediterania)
juga jatuh ke tangan Islam
pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah,
baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini
betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina,
Jazirah Arab,
Irak, sebagian Asia Kecil,
Persia, Afganistan,
daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan,
Uzbekistan,
dan Kirgistan
di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah
juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu
Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda
yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan
khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi
adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang
Bizantium
dan Persia
yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang
tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini
dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan
pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan
pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya
yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini,
namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa
Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan
secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh
rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan
dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium,
istilah khalifah
tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri
dari kata-kata tersebut dimana khalifah
Allah dalam pengertian penguasa
yang diangkat oleh Allah.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati
isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang
menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada
pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota
menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang
mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah
tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya.
Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah,
memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara
ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali
Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam. Bersamaan
dengan itu, kaum Syi'ah
(pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan
konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain bin Ali
melakukan perlawanan.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah
di Madinah,
Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin
Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang
kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala[1],
Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus,
sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah
sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan diantaranya
adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M.
Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut
dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia
dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas
dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang
menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali
terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara
keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak
sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali
mengepung Madinah
dan Mekkah.
Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini
terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani
Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat
dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali
mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf
ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73
H/692 M.
Setelah itu gerakan-gerakan lain yang dilancarkan
oleh kelompok Khawarij
dan Syi'ah
juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani
Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di
wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah)
dan wilayah Afrika
bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus).
Selanjuytnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), dimana sewaktu
diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan
negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih
baik daripada menambah perluasannya, dimana pembangunan dalam negeri menjadi
prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan
muslim Arab.
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan
golongan Syi'ah,
serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya.
Kekhalifahan Abbasiyah (Periode II)
Kekhalifahan
Abbasiyah (Arab: الخلافة العباسية, al-khilāfah al-‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan
kedua Islam
yang berkuasa di Baghdad
(sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat
pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan
Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah
dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad
yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu
mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua
abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya
merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal
dengan nama Mamluk.
Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk
menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan
Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb
dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah.
Kejatuhan totalnya pada tahun 1258
disebabkan serangan bangsa Mongol
yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak
menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku
al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut
Tikrit, Iraq sekarang.
Pada awalnya Muhammad bin Ali,
cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan
kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa
pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak
dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas
al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik
sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan
selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan
dan pengembangan budaya Timur Tengah.
Tetapi pada tahun 940
kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab,
khususnya orang Turki
(dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13),
mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan
sebagai simbol yang menyatukan umat Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak
dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang
muslim Syiah
dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan anak
perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah
pada tahun 909,
sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara.
Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko,
Aljazair,
Tunisia,
dan Libya.
Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya
telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani
Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah
bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol,
kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya
dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Khilafah
Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah,
dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang
diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa
pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
- Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani
Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.
Masa
pemerintahan Abu al-Abbas,
pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya
digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij,
dan juga Syi'ah.
Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan
baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali,
keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah
sebelumnya di Syria
dan Mesir
dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim
al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing
baginya.
Pada
mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah,
dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad,
dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan
dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu
kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan
yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir
sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat
adalah Khalid bin Barmak, berasal
dari Balkh,
Persia.
Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos
yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan
tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa
al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para
direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada
khalifah.
Khalifah al-Manshur
berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri
dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara
usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758
M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat
Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama
gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus,
Daylami di laut Kaspia,
Turki
di bagian lain Oxus, dan India.
Pada masa
al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:
“
|
Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi
(sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
|
”
|
Dengan
demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi
sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi
sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Di samping itu,
berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar
takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau
dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu
al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada
pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi
(775-785 M), al-Hadi
(775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun
(813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq
(842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa
al-Mahdi
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui
irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan
besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah
menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas
daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
Ar-Rasyid Rahimahullah
(786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah
sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat
paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum
juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun,
pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada
ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia
menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen
dan penganut agama lain yang ahli (wa
laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan
sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan
Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun
inilah Baghdad
mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim,
khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah,
dinasti Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim
mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani
Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak
tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan
Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan
sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij
di Afrika Utara,
gerakan Zindiq di Persia, gerakan
Syi'ah,
dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat
dipadamkan.
Dari
gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok
antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada pula
ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana
diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi
pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya
berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya
sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya,
di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga
pendidikan terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga
ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya
perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah
universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat
membaca, menulis, dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan
terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat
ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi
yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah,
maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling
tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh
dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan
terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi
juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua
metode, penafsiran pertama, tafsir bi
al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi
dari Nabi
dan para sahabat. Kedua, tafsir bi
al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada
pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini
memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali
bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi,
(tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama
dalam ilmu teologi.
Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua
bidang ilmu tersebut.
Imam-imam
madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu
Hanifah Rahimahullah
(700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah,
kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang
hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi.
Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada
hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi
al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu
Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi
masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i
Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad
ibn Hanbal Rahimahullah
(780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada
hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits
Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga
dan memurnikan ajaran Islam
dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat
pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para
mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan
madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran
dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran
sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah,
seperti Khawarij,
Murji'ah
dan Mu'tazilah
pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional
Mu'tazilah
muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang
lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani
Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang
membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus
pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf
(135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221
H/801-835M). Asy'ariyah, aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang
lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika
Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah.
Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga
berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh
tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan
penulis hadits bekerja.
Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama
di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama
al-Fazari sebagai astronom
Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal
di Eropa
dengan nama Al-Faragnus, menulis
ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi
dan Ibnu Sina.
Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina
yang juga seorang filosof
berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya
adalah al-Qoonuun fi al-Thibb
yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam
bidang optikal Abu Ali
al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen,
terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke
benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya
bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan.
Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah
menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang
matematika terkenal nama Muhammad ibn
Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi.
Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar
berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa
al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi.
Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh
terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku
tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap
filsafat Aristoteles.
Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di
antaranya ialah asy-Syifa'.
Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes,
banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat
aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami
peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar
pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan,
sastra, dan filosofi
dari Yunani,
Persia,
dan Hindustan.
Banyak
golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan
Arab
Muslim.
Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan
mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman
pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat
Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini
menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika,
dan astronomi
seperti Euclid
dan Claudius Ptolemy.
Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni
dan sebagainya.
Demikianlah
kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik,
kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan
politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga
Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini
mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama,
namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa
kemunduran. Wallahul Musta’an.
Kekhalifahan
Turki Ustmani (Periode III) (1288-1923 M / 1299–1923 M)
A. Latar
Belakang
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari Kabilah Oghuz / Ughuj yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Pada Abad ke-13 M, saat Chengis Khan mengusir orang-orang Turki dari Khurasan dan sekitarnya. Kakenya Usman, yang bernama Sulaiman bersama pengikutnya bermukim di Asia kecil. Dari perjalanan tersebut Sulaiman, ia tenggelam ketika menyemberangi sungai Efrat (dekat Allepo). Sulaiman mempunyai empat saudara yang bernama, Shunkur, Gundogdur, al-Thugril, dan Dundar. Dua puteranya kembali ke tanah air mereka. Sementara yang kedua terakhir bermukim di Asia kecil. Di sana mereka di bawah pimpinan Sultan Alauddin di Kunia. Saat Mongol menyerang sultan Alauddin di Anggara (kini Angkara), al-Thugril membantu mengusir Mongol, sehingga berkat jasanya itu, Alauddin memberikan daerah Iski Shahr dan sekitarnya. Al-Thugril, mendirikan ibukota bernama Sungut, di sana lahir anak pertama bernama Usman pad 1258 M. Al-Thugril meninggal pada 1288 M. dan ia mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan, maka sejak itulah berdiri Dinasti Turki Usman.
B. Silsilah Keturunan / Kekuasaan
Sultan Alauddin meninggal pada 1300 M / 699 H, maka Usman mengumumkan diri sebagai Sultan yang berdaulat penuh. Namun tidak langung diakui oleh banyak orang. Pada masa Usman hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, ia meninggal pada 1326 M. kemudian puteranya naik tahta yang bernama Orkhan (Urkhun) pada usia 42 tahun. Pada masanya ia membentuk tiga pasukan utama, tentara Siphai (tentara reguler), tentara Hazeb (tentara ireguler), tentara Jenisari (pasukan direkrut pada usia dua belas tahun).
Selanjutnya kekuasaan beralih kepada puteranya Murad I, yang telah berhasil menaklukan, Adrianopol, Masedonia, Bulgaria, Serbia, Kosovo dan Asia kecil. Murad I bergelar Alexander abad pertengahan. Murad digantikan oleh puteranya Bayazid I, yang bergelar Ildrim (kilat), terjadi pertempuran dengan tentara Mongol yang dipimpin oleh Timur Lenk, sehingga Bayazid I bersama puteranya Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M. Pada masa ini Turki Usmani mulai mengalami kemunduran. Kemudian dilanjutkan oleh Muhammad, ia berhasil memulihkan kondisi menjadi stabil sehingga para sejarawan mensejajarkan dia dengan Umar II dari Dinasti Umayyah.
Setelah ia meninggal digantikan oleh Murad II (1421-1451 M),, ia mengembalikan cintra Murad I, yaitu dengan merebut kembali daerah-daerah Eropa (Kosovo). Ia banyak mendirikan Masjid dan Sekolah. Penggatinya adalah Muhammad II (1451-1484M), dengan gelar Al-Fatih, ia telah berhasila menaklukkan kota Konstantinopel pada 25 Mei 1453. Dan juga ia menaklukkan Venish, Italy, Rhodos, dan Cremia yang terkenal denan Konstantinopel II. ia menerapkan UU islam dalam qanun namah. Setelaha abad ke-16 M atauran ini dilonggarkan. Al-fatih meninggal, digantikan anaknya Bayazid II, kemudian digantikan oleh anaknya Salim I, ia sangat kejam, dalam sejarah Eropa dikenal sebagai Salim the Grim. Ia menaklukkan Asia Kecil, Persia, Kaldiran, dan Mesir. Dan juga berhasil menaklukkan Sultan Mamluk (1517 M). ia memindahkan Khalifah boneka Bani Abbas ke Konstantinopel yang bernama Ahmad dan mengambil gelar secara sakral yang kemudian digunakan oleh sultan Turki, Salim I, sehingga kota tersebut berubah menjadi Istambul.
Selanjutnya digantikan oleh Sulaiman Agung (1520-1566), mendapat julukan Sulaiman al-Qanuni, pada masanya disusun sebuah kitab undang-undang (qanun), Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur dan berhasil membawa kejayaan islam, dan ia pula berhasil menterjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Turki. Sulaiman jug berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapest, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masanya mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika; Bulgaria,Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
Sulaiman al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M), Di masa pemerintahannya terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh.
Selanjunya digantikan oleh Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, namun Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabnz, ibu kota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun kehidupan moral Sultan yangjelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri.
Kekacauan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603M), pengganti Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani.
Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar.
Sesudah Sultan Ahmad I ( 1603-1617 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun yang tersebut terakhir ini juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623 – 1640 M). Pertama-tama ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukan Jenissari’ yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan. Situasi politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim I (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) ke kedudukan sebagai wazir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim.
Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699M terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg; dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia.
Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada Kerajaan Usmani di sepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abd al-Hamid (1774-1789 M), seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain:
1. Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan LautPutih, dan
2. Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman al-Qanuni. Satu persatu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak.
Di Mesir, kelemahan-kelemanan Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnyaNapoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1798 M.
Di Libanon dan Syria, Fakhral-Din, seorang pemimpin Dntze, berhasil menguasai Palestina, dan pada tahun 1610 M merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus. Fakhr al-Din baru menyerah tahun 1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang dikenal dengan gerakan Wahhabiyah dengan penguasa lokal Ibn Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah di jazirah Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M.
Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika sedang mengalami kemunduran. Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut hingga abad ke-19 dan ke-20 M.
• Osman I (1281-1326; bey)
• Orhan I (1326-1359; bey)
• Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
• Beyazid I (1389-1402)
• Interregnum (1402-1413)
• Mehmed I (1413-1421)
• Murad II (1421-1444) (1445-1451)
• Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-1481)
• Beyazid II (1481-1512)
• Selim I (1512-1520)
• Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
• Selim II (1566-1574)
• Murad III (1574-1595)
• Mehmed III (1595-1603)
• Ahmed I (1603-1617)
• Mustafa I (1617-1618)
• Osman II (1618-1622)
• Mustafa I (1622-1623)
• Murad IV (1623-1640)
• Ibrahim I (1640-1648)
• Mehmed IV (1648-1687)
• Suleiman II (1687-1691)
• Ahmed II (1691-1695)
• Mustafa II (1695-1703)
• Ahmed III (1703-1730)
• Mahmud I (1730-1754)
• Osman III (1754-1757)
• Mustafa III (1757-1774)
• Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
• Selim III (1789-1807)
• Mustafa IV (1807-1808)
• Mahmud II (1808-1839)
• Abd-ul-Mejid I (1839-1861)
• Abd-ul-Aziz (1861-1876)
• Murad V (1876)
• Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
• Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
• Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
• Abd-ul-Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)
C. Kemajuan / Kejayaan Masa Turki Usmani
Selama kejayaan dinasti ini ada beberapa yang telah berhasil namun diperiode selanjutnya daerah-daerah yang telah dikuasi kembali direbut oleh pihak yang ingin menguasai Turki Usmani, adapun keberhasilan pada masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar al-Qanuni.
Pada masa Sulaiman kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun nmesjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum. Disebutkan bahwa buah dari bangunan itu dibangun di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak begitu menonjol.
Bangsa Turki juga banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan mesjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau Mesjid Jami’ Sultan Muhammad Al-fatih, Mesjid Agung Sulaiman dan Mesjid Abi Ayyub al-Anshari.Mesjid-mesjidtersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu mesjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah mesjid yang asalnya gereja Aya Sopia. Hiasan kaligrafi itu, dijadikan penutup gambar-gambar Kristiani yang ada sebelumnya.
Pada masa Turki Usmani tarekat mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah tarekat Bektasyi dan Tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Di pihak lain, kajian-kajian ilmu keagamaan, Asy’ariyah mendapatkan tempatnya. Selain itu para ulama banyak menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya¬karya masa klasik.
D. Faktor Runtuhnya Turki Usmani
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
1. Intern
• Buruknya pemahaman Islam
Lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTEK dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
• Salah menerapkan Islam.
Dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst).
2. Eksten
• Penjajahan Barat membawa semangat gold, glory, dan gospel
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari Kabilah Oghuz / Ughuj yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Pada Abad ke-13 M, saat Chengis Khan mengusir orang-orang Turki dari Khurasan dan sekitarnya. Kakenya Usman, yang bernama Sulaiman bersama pengikutnya bermukim di Asia kecil. Dari perjalanan tersebut Sulaiman, ia tenggelam ketika menyemberangi sungai Efrat (dekat Allepo). Sulaiman mempunyai empat saudara yang bernama, Shunkur, Gundogdur, al-Thugril, dan Dundar. Dua puteranya kembali ke tanah air mereka. Sementara yang kedua terakhir bermukim di Asia kecil. Di sana mereka di bawah pimpinan Sultan Alauddin di Kunia. Saat Mongol menyerang sultan Alauddin di Anggara (kini Angkara), al-Thugril membantu mengusir Mongol, sehingga berkat jasanya itu, Alauddin memberikan daerah Iski Shahr dan sekitarnya. Al-Thugril, mendirikan ibukota bernama Sungut, di sana lahir anak pertama bernama Usman pad 1258 M. Al-Thugril meninggal pada 1288 M. dan ia mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan, maka sejak itulah berdiri Dinasti Turki Usman.
B. Silsilah Keturunan / Kekuasaan
Sultan Alauddin meninggal pada 1300 M / 699 H, maka Usman mengumumkan diri sebagai Sultan yang berdaulat penuh. Namun tidak langung diakui oleh banyak orang. Pada masa Usman hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, ia meninggal pada 1326 M. kemudian puteranya naik tahta yang bernama Orkhan (Urkhun) pada usia 42 tahun. Pada masanya ia membentuk tiga pasukan utama, tentara Siphai (tentara reguler), tentara Hazeb (tentara ireguler), tentara Jenisari (pasukan direkrut pada usia dua belas tahun).
Selanjutnya kekuasaan beralih kepada puteranya Murad I, yang telah berhasil menaklukan, Adrianopol, Masedonia, Bulgaria, Serbia, Kosovo dan Asia kecil. Murad I bergelar Alexander abad pertengahan. Murad digantikan oleh puteranya Bayazid I, yang bergelar Ildrim (kilat), terjadi pertempuran dengan tentara Mongol yang dipimpin oleh Timur Lenk, sehingga Bayazid I bersama puteranya Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M. Pada masa ini Turki Usmani mulai mengalami kemunduran. Kemudian dilanjutkan oleh Muhammad, ia berhasil memulihkan kondisi menjadi stabil sehingga para sejarawan mensejajarkan dia dengan Umar II dari Dinasti Umayyah.
Setelah ia meninggal digantikan oleh Murad II (1421-1451 M),, ia mengembalikan cintra Murad I, yaitu dengan merebut kembali daerah-daerah Eropa (Kosovo). Ia banyak mendirikan Masjid dan Sekolah. Penggatinya adalah Muhammad II (1451-1484M), dengan gelar Al-Fatih, ia telah berhasila menaklukkan kota Konstantinopel pada 25 Mei 1453. Dan juga ia menaklukkan Venish, Italy, Rhodos, dan Cremia yang terkenal denan Konstantinopel II. ia menerapkan UU islam dalam qanun namah. Setelaha abad ke-16 M atauran ini dilonggarkan. Al-fatih meninggal, digantikan anaknya Bayazid II, kemudian digantikan oleh anaknya Salim I, ia sangat kejam, dalam sejarah Eropa dikenal sebagai Salim the Grim. Ia menaklukkan Asia Kecil, Persia, Kaldiran, dan Mesir. Dan juga berhasil menaklukkan Sultan Mamluk (1517 M). ia memindahkan Khalifah boneka Bani Abbas ke Konstantinopel yang bernama Ahmad dan mengambil gelar secara sakral yang kemudian digunakan oleh sultan Turki, Salim I, sehingga kota tersebut berubah menjadi Istambul.
Selanjutnya digantikan oleh Sulaiman Agung (1520-1566), mendapat julukan Sulaiman al-Qanuni, pada masanya disusun sebuah kitab undang-undang (qanun), Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur dan berhasil membawa kejayaan islam, dan ia pula berhasil menterjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Turki. Sulaiman jug berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapest, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masanya mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika; Bulgaria,Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
Sulaiman al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M), Di masa pemerintahannya terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh.
Selanjunya digantikan oleh Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, namun Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabnz, ibu kota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun kehidupan moral Sultan yangjelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri.
Kekacauan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603M), pengganti Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani.
Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar.
Sesudah Sultan Ahmad I ( 1603-1617 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun yang tersebut terakhir ini juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623 – 1640 M). Pertama-tama ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukan Jenissari’ yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan. Situasi politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim I (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) ke kedudukan sebagai wazir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim.
Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699M terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg; dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia.
Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada Kerajaan Usmani di sepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abd al-Hamid (1774-1789 M), seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain:
1. Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan LautPutih, dan
2. Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman al-Qanuni. Satu persatu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak.
Di Mesir, kelemahan-kelemanan Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnyaNapoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1798 M.
Di Libanon dan Syria, Fakhral-Din, seorang pemimpin Dntze, berhasil menguasai Palestina, dan pada tahun 1610 M merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus. Fakhr al-Din baru menyerah tahun 1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang dikenal dengan gerakan Wahhabiyah dengan penguasa lokal Ibn Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah di jazirah Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M.
Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika sedang mengalami kemunduran. Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut hingga abad ke-19 dan ke-20 M.
• Osman I (1281-1326; bey)
• Orhan I (1326-1359; bey)
• Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
• Beyazid I (1389-1402)
• Interregnum (1402-1413)
• Mehmed I (1413-1421)
• Murad II (1421-1444) (1445-1451)
• Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-1481)
• Beyazid II (1481-1512)
• Selim I (1512-1520)
• Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
• Selim II (1566-1574)
• Murad III (1574-1595)
• Mehmed III (1595-1603)
• Ahmed I (1603-1617)
• Mustafa I (1617-1618)
• Osman II (1618-1622)
• Mustafa I (1622-1623)
• Murad IV (1623-1640)
• Ibrahim I (1640-1648)
• Mehmed IV (1648-1687)
• Suleiman II (1687-1691)
• Ahmed II (1691-1695)
• Mustafa II (1695-1703)
• Ahmed III (1703-1730)
• Mahmud I (1730-1754)
• Osman III (1754-1757)
• Mustafa III (1757-1774)
• Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
• Selim III (1789-1807)
• Mustafa IV (1807-1808)
• Mahmud II (1808-1839)
• Abd-ul-Mejid I (1839-1861)
• Abd-ul-Aziz (1861-1876)
• Murad V (1876)
• Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
• Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
• Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
• Abd-ul-Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)
C. Kemajuan / Kejayaan Masa Turki Usmani
Selama kejayaan dinasti ini ada beberapa yang telah berhasil namun diperiode selanjutnya daerah-daerah yang telah dikuasi kembali direbut oleh pihak yang ingin menguasai Turki Usmani, adapun keberhasilan pada masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar al-Qanuni.
Pada masa Sulaiman kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun nmesjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum. Disebutkan bahwa buah dari bangunan itu dibangun di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak begitu menonjol.
Bangsa Turki juga banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan mesjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau Mesjid Jami’ Sultan Muhammad Al-fatih, Mesjid Agung Sulaiman dan Mesjid Abi Ayyub al-Anshari.Mesjid-mesjidtersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu mesjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah mesjid yang asalnya gereja Aya Sopia. Hiasan kaligrafi itu, dijadikan penutup gambar-gambar Kristiani yang ada sebelumnya.
Pada masa Turki Usmani tarekat mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah tarekat Bektasyi dan Tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Di pihak lain, kajian-kajian ilmu keagamaan, Asy’ariyah mendapatkan tempatnya. Selain itu para ulama banyak menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya¬karya masa klasik.
D. Faktor Runtuhnya Turki Usmani
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
1. Intern
• Buruknya pemahaman Islam
Lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTEK dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
• Salah menerapkan Islam.
Dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst).
2. Eksten
• Penjajahan Barat membawa semangat gold, glory, dan gospel
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar