1. Sejarah
Menurut mitologi, sebelum
kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari wilayah
kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate
Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom
tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei,
Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup
berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena
adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansi. Untuk
mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom ini kemudian sepakat
memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar Paccallaya.
Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena masing-masing
wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang.
Di samping itu, Paccallaya
ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu
ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit Tamalate,
hadir seorang putri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah. Mendengar
ada seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat
itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya
tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan
asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya
bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua
datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap
di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka
dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa
(sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa). Tidak lama kemudian, datanglah dua
orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dan Lakipadada, masing-masing membawa
sebilah kelewang.
Paccallaya dan kasuwiyang kemudian
mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan
agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudian semua
pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan kewajiban
orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung
dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya
lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa mencapai puncak
keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan
sebutan kerajaan kembar
“Gowa-Tallo” atau disebut pula zusterstaten (kerajaan bersaudara).
Kerajaan Dwi-Tunggal ini
terbentuk pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng
Tumaparissi Klonna (1510-1545),
dan ini sangat sulit dipisahkan karena kedua kerajaan telah
menyatakan ikrar bersama, yang
terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai
satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan
Makassar.
Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak
terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng
Patingalloang, Mangkubumi
Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I
Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan
Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu
Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru
satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya
sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan
bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX. Karaeng Pattingalloang diangkat
menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada
tahun 1639-1654, mendampingi
Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653.
Karaeng Pattingalloang, dilantik
menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu,
tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu
didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng
Matowaya. Pada saat ini
menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah
kerajaan terkenal dan banyak
mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.
Karaeng Pattingalloang adalah
putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi
orang-orang Bugis Makassar pada
umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak
bahasa, di antaranya bahasa
Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa
bahasa lainnya. Selain itu juga
memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakilwakilnya di Batavia di
tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri
Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17
September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah
mempersiapkan 500 buah kapal yang
masing-masing dapat memuat 50 awak untuk
menyerang Ambon.
Karaeng Pattingolloang adalah
juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan
Sultan Malikussaid berkongsi
dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang
Spanyol di Bandar Somba Opu,
serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama
Fransisco Viera dengan Figheiro,
untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang
berhasil mengembangkan/meningkatkan
perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di
kota Raya Somba Opu, banyak
diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India,
kayu Cendana Timor, rempah-rempah
Maluku, dan Intan Berlian Borneo.
Pada pedagang-pedagang Eropa yang
datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan
yang diberikan kepada para
pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah
tangan itu kerap kali juga
disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke
tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang
ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya,
jawabnya adalah buku. Oleh karena
itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang
memiliki banyak koleksi buku dari
berbagai bahasa.
Karaeng Pattingalloang adalah
sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu
pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair
berkebangsaan Belanda yang
bersama Joost van den Vondel, sangat memuji
kecendikiawannya dan
membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:
“Wiens aldoor
snuffelende brein Een gansche werelt valt te klein” Yang artinya
sebagai berikut: “Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari
sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya”. Karaeng
Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu.
Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang
ditinggalkan antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu
kerajaan besar, yaitu:
1. Punna taenamo naero
nipakainga’ Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo
tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri
lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi
soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi
atanna Mangguka.
Yang artinya sebagai berikut :
1. Apabila raja yang memerintah
tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum
cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak
kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan
pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah
tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Beliau wafat ketika ikut dalam
barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah
wafatnya, ia kemudian mendapat
sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”. Dari sudut pandang terminologi, belum ada
kesempatan (konsensus) arti kata Gowa yang menjelaskan secara utuh
asal-usul kata serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan perkiraan
antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang
berarti kamar atau bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang
berarti liang yang berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja
Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya
tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai untuk mengintegrasikan
kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi di bawah paccallaya,
yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga leburlah
Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada
abad XIII (1320).
Sampai masa kekuasaan Raja Gowa
VIII I Pakere’ Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan
kerajaan dipusatkan di Taka
Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana
raja ini dipindahkan ke Somba Opu
oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi yang bergelar Tumapa’risi
Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis sebagai kerajaan
yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa mulai
memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk menjalin
hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini berlangsung
sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590).
Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar.
Bandar yang dimilikinya menjadi
bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena
telah memiliki berbagai fasilitas
sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI
dan XVII. Pada waktu itu
pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori
Mare Leberum (laut bebas)
yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi,
ambisi itu pula yang menciptakan
persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin
memegang hegomoni dan zuserenitas
di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan
Bone. Ketika persaingan itu
memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan
melancarkan politik devide et
impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem
monopoli yang sangat bertentangan
dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang
Makassar (1666-1669).
Di sisi lain, agama Islam salah
satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha
mengintroduksi agama Islam. Usaha
itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng
Manrabbia Karaeng Lakiung
bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639)
yang menjadi muslim pada tanggal
9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau
berusaha mewujudkan penyatuan
Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan
Sultan Hasanuddin (1653-1669)
yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18
November 1667 setelah Perang
Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar