KESULTANAN DEMAK
Kerajaan Demak adalah kesultanan islam
pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478.
Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari
kerajaan Majapahit, dan terpecah menjadi pelopor penyebaran agama Islam
di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami
masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan
diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut
saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada
masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah
dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari
Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.
A. Kehidupan Politik Kerajaan Demak
a. Raden Patah
Raden Patah dianggap sebagai pendiri dari
kerajaan Demak dan merupakan orang yang berhubungan langsung dengan
kerajaan Majapahit. Salah satu bukti menyebutkan bahwa beliau adalah
putra dari raja Brawijaya V dari Majapahit (1468-1478). Beliau
memerintah dari tahun 1500-1518. Di bawah pemerintahnya, Demak mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal itu disebabkan Demak memiliki
daerah pertanian yang sangat luas sebagai penghasil bahan makanan
terutama beras. Oleh karena itu, Demak menjadi kerajaan agraris-maritim.
Wilayah kekuasaan Demak tak hanya sebatas
pantai utara Jawa, seperti Semarang, Jepara, Tuban, dan Gresik tapi
hingga ke Jambi dan Palembang di Sumatera timur.
Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat
perdagangan dan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Jasa para wali
dalam penyebaran agama Islam sangat besar, baik di pulau Jawa maupun
daerah-daerah di luar Pulau Jawa, seperti penyebaran agama Islam ke
daerah Maluku dilakukan oleh Sunan Giri, ke daerah Kalimantan Timur
dilakukan oleh seorang penghulu dari Demak yang bernama Tunggang
Parangan. Pada masa pemerintahan Raden Patah, dibangun masjid Demak yang
pembangunan masjid itu dibantu oleh para wali atau sunan.
Akan tetapi, ketika Kerajaan Malaka jatuh
ke tangan Portugis tahun 1511 M, hubungan Demak dan Malaka terputus.
Kerajaan Demak dirugikan oleh Portugis dalam aktivitas perdagangan.
b. Pati Unus
Pada
tahun 1513 Raden Patah memerintahkan Pati Unus memimpin pasukan Demak
untuk menyerang Portugis di Malaka. Serangan itu belum berhasil, karena
pasukan Portugis jauh lebih kuat dan persenjataannya lengkap. Atas
usahanya itu Pati Unus mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor.
Setelah Raden Patah wafat, tahta Kerajaan
Demak dipegang oleh Pati Unus. Ia memerintah Demak dari tahun 1518-1521
M. Masa pemerintahan Pati Unus tak begitu lama karena ia meninggal
dalam usia yang masih sangat muda dan tak meninggalkan seorang putra
mahkota. Walaupun usia pemerintahannya tak begitu lama, namun namanya
cukup dikenal sebagai panglima perang yang memimpin pasukan Demak
menyerang Portugis di Malaka.
c. Sultan Trenggana
Sultan
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa
lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau
tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun
(1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan,
kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima
perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera),
yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal
pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan
kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.
B. Keruntuhan Demak
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak
berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu
Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh.
Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya “dihabisi” oleh
suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya
Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya
Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini
menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya Penangsang akhirnya berhasil
dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Joko
Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia
mendirikan Kesultanan Pajang.
C. Kehidupan di Demak
Perekonomian di Kerajaan Demak berkembang
dengan pesat dalam dunia maritim karena didukung oleh penghasilan dalam
bidang agraris yang cukup besar. Kerajaan Demak mengusahakan kerjasama
yang baik dengan daerah-daerah di pantai utara Pulau Jawa yang telah
menganut agama Islam sehingga tercipta semacam federasi atau
persemakmuran dengan Demak sebagai pemimpinnya.
Kehidupan sosial Kerajaan Demak
kebanyakan telah diatur oleh aturan -aturan Islam tapi tak juga
meninggalkan tradisi yang lama.
Kebudayaan yang berkembang di Kerajaan
Demak mendapat dukungan dari para wali terutama Sunan Kalijaga. Masjid
Demak dan perayaan Sekaten adalah salah satu peninggalan budayanya.
KERAJAAN BANTEN
Kerajaan Banten didirikan oleh Hasanuddin
pada abad ke 16 dan terletak di barat laut Banten atau Jawa pada
umumnya. Hasanuddin sendiri adalah putra dari Fatahillah atau Sunan
Gunung Jati dan mencapai masa keemasan pada kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa.
Dengan posisi yang strategis inilah
yang membuat Kerajaan Banten menjadi kerajaan besar di Jawa Barat dan
bahkan menjadi siangan berat VOC (Belanda) yang berkedudukan di Batavia.
A. Kehidupan Politik Kerajaan Banten
a. Raja Hasanuddin
Setelah Banten diislamkan oleh
Fatahillah, daerah Banten diserahkan kepada putranya yang bernama
Hasanuddin. Ia memerintah Banten dari tahun 1552-1570 M. Ia meletakkan
dasar-dasar pemerintahan Kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai
raja pertama. Pada masa pemerintahannya, agama Islam dan kekuasaan
kerajaan Banten dapat berkembang cuup pesat.
Raja Hasanuddin juga memperluas wilayah
kekuasaannya ke Lampung. Dengan menduduki daerah Lampung, maka Kerajaan
Banten merupakan penguasa tunggal jalur lalu lintas pelayaran
perdagangan Selat Sunda, sehingga setiap pedagang yang melewati Selat
Sunda diwajibkan untuk melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar
Banten.
b. Panembahan Yusuf, Maulana Muhammad, Abu’ Mufakir
Setelah wafatnya Raja Hasanuddin tahun
1570 M, putranya yang bergelar Panembahan Yusuf menjadi Raja Bnaten
berikutnya. Ia berupaya untuk memajukan pertanian dan pengairan. Ia juga
berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya. Setelah 10
tahun memerintah, Panembahan Yusuf wafat akibat sakit keras yang
dideritanya.
Setelah Panembahan Senopati wafat
digantikan oleh putranya yang baru berumur sembilan tahun bernama
Maulana Muhammad dengan gelar Kanjeng Ratu Benten. Mangkubumi menjadi
wali raja. Mangkubumi menjalankan seluruh aktivitas pemerintahan
kerajaan samapi rajanya siap untuk memerintah.
Pada tahun 1596 M Kanjeng Ratu Banten
memimpin pasukan kerajaan untuk menyerang Palembang. Tujuannya untuk
menduduki bandar dagang yang terletak di tepi selat Malaka agar bisa
dijadikan tempat untuk mengumpulkan lada dan hasil bumi lainnya dari
Sumatera. Palembang akan dikuasainya, tetapi tak berhasil, malah Kanjeng
Ratu Banten tertembak dan wafat. Tahta kerajaan kemudian berpindah
kepada putranya yang baru berumur lima bulan yang bernama Abu’ Mufakir.
Abu’ Mufakir dibantu oleh wali kerajaan
yang bernama Jayanegara. Akan tetapi, ia sangat dipengaruhi oleh
pengasuh pangeran yang bernama Nyai Emban Rangkung. Pada tahun 1596 M
itu juga untuk pertama kalinya orang Belanda tiba di Indonesia di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman. Mereka berlabuh di pelabuhan Banten.
Tujuan awal mereka datang ke Indonesia adalah untuk membeli
rempah-rempah.
c. Sultan Ageng Tirtayasa
Setelah
wafat, Abu’ Mufakir digantikan oleh putranya dengan gelar Sultan Abu’
Mu’ali Ahmad Rahmatullah. Tetapi berita tentang pemerintahan sultan ini
tidak dapat diketahui dengan jelas. Setelah Sultan Abu’ Ma’ali wafat, ia
digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Ia
memerintah Banten dari tahun 1651-1692 M.
Di bawah pemerintahannya, Banten
mencapai masa kejayaannya. Ia berupaya untuk memperluas kerajaannya dan
mengusir Beland adari Batavia. Di samping itu, ia memerintahkan kepada
pasukan Banten untuk mengadakan perampokan terhadap Belanda di Batavia.
Pada tahun 1671 M Sultan Ageng
Tirtayasa mengangkat putra mahkota menjadi raja pembantu dengan gelar
Sultan Abdul Kahar. Beliau lebih dikenal dengan Sultan Haji. Sultan
Haji membuat hubungan yang erat dengan Belanda dan hal itu mebuat
ayahnya menarik kembali tahta kerajaan. Kemudian terjadilah perang
saudara diantara keduanya. Peperangan dimenangkan oleh Sultan Haji dan
pada akhirnya membawa kehancuran pada Kerajaan Banten sendiri.
B. Kehidupan di Banten
Kerajaan Banten terletak di ujung Pulau
Jawa, yaitu daerah Banten sekarang. Daerah Banten berhasil direbut dan
diislamkan oleh Fatahillah dan berkembang sebagai banda perdagangan dan
pusat penyebaran Islam. Banten yang cepat maju dikunjungi oleh
pedagang-pedagang asing seperti pedagang Gujarat, Persia, Cina, Turki,
Pegu (Myanmar), Keling, Portugis, dan lain-lain. Di Banten pun banyak
berkembang perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu. Kehidupan
sosialnya kebanyakan telah mendapat pengaruh Islam. Tak banyak hasil
kebudayaan yang dapat diperoleh dari Kerajaan Banten karena kerajaan ini
banyak bergantung pada hasil pelayaran dan perdagangan. Masjid Agung
Banten (Grand Mosque of Banten) adalah salah satu hasil peninggalannya
yang dibangun sekitar abad ke-16.
KERAJAAN MATARAM
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam
di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng
Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang,
Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat
menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan
beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah
Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang.
A. Kehidupan Politik di Mataram Islam
a. Panembahan Senapati
Pada mulanya daerah Mataram merupakan
sebuah kadipaten yang diperintah oleh Kiai Gede Pamanahan (bekas kepala
prajurit Hadiwijaya yang mengalahkan Arya Penangsang).
setelah Kiai Gede Pamanahan wafat tahun
1575 M, kedudukan sebagai adipati Mataram digantikan oleh putranya yang
bernama Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senapati ing Aloko Saidin
Panotogomo. Ia bercita-cita menguasai tanah Jawa. Oleh karena itu,
berbagai persiapan dilakukan di daerah seperti memperkuat pasukan Wijaya
dan penyerahan tahta dari pangeran Benowo kepada Senapati.
Setelah berhasil membentuk kerajaan
Mataram, Senapati mengadakan perluasan wilayah kerajaan dan menduduki
daerah-daerah pesisir pantai seperti Surabaya. Adipati Surabaya menjalin
persekutuan dengan Madiun dan Ponorogo dalam menghadapi Mataram. Namun
Ponorogo dan Madiun berhasil dikuasai Mataram. Selanjutnya Pasuruan dan
Kediri berhasil direbut. Adipati Surabaya berhasil dikalahkan. Dengan
demikian dalam waktu singkat wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur telah
menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Mataram.
b. Mas Jolang
Mas Jolang memerintah Mataram dari tahun
1601-1613 M. di bawah pemerintahannya, Kerajaan Mataram diperluas lagi
dengan mengadakan pendudukan terhadap daerah-daerah di sekitarnya.
Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh Mataram di bawah pemerintahan
Mas Jolang adalah Ponorogo, Kertosono, Kedir, Wirosobo (Mojoagung). Pada
tahun 1612 M, Gresik-Jeratan berhasil dihancurkan. Namun, karena
berjangkitnya penyakit menular maka pasukan Mataram yang langsung
dipimpin oleh Mas Jolang terpaksa kembali ke pusat Kerajaan Mataram.
Pada tahun 1613 M, Mas Jolang wafat di desa Krapyak dan dimakamkan di
Pasar Gede. Selanjutnya ia diberi gelar Pangeran Seda ing Krapyak.
c. Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar
Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan
Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di
Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira
gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan
lokasi kraton ke Kerta (Jw. “kertÃ¥”, maka muncul sebutan pula “Mataram
Kerta”). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara
Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi
dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam
beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat
(dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar
Amangkurat (Amangkurat I).
d. Amangkurat 1
Amangkurat 1 memindahkan lokasi keraton
ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar sultan, melainkan “sunan” (dari “Susuhunan” atau “Yang
Dipertuan”). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan
besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu
dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga
dijuluki Sunan Tegalarum.
e. Amangkurat 2
Amangkurat 2 memerintah Mataram dari
tahun 1677-1703 M. di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kerajaan
Matarm semakin sempit. Sebagian daerah-daerah kekuasaan diambil alih
Belanda. Amangkurat II yang tidak tertarik untuk tinggal di ibukota
Kerajaan, selanjutnya mendirikan Ibu Kota baru di desa Wonokerto yang
diberi nama Karta Surya. Di Ibu Kota inilah Amangkurat II menjalankan
pemerintahannya terhadap sisa-sisa kerajaan Mataram, hingga akhirnya
meninggal tahun 1703 M.
B. Keruntuhan Mataram Islam
Pengganti Amangkurat II berturut-turut
adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat
IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat
III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger)
sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi “king in
exile” hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat
diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram
menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta
tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam
Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah
timur kota Karanganyar Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai
satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat
Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
adalah “ahli waris” dari Kesultanan Mataram.
C. Kehidupan di Mataram
Mataram yang letaknya jauh di pedalaman
Jawa Tengah adalah sebuah negara agraris, yaitu negara yang mengutamakan
pertanian sebagai sumber kehidupan. Di bawah pemerintahan Sultan Agung,
kehidupan perekonomian masyarakatnya berkembang sangat pesat dengan
didukung oleh hasil bumi yang melimpah.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung
pula dilakukan usaha memperluas areal persawahan dan memindahkan banyak
petaninya ke daerah Karawang yang sangat subur sehingga terbentuklah
masyarakat feodal.
Upacara Grebeg yang bersumber dari pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan merupakan tradisi dari zaman Majapahit.
KESULTANAN CIREBON
Kesultanan Cirebon adalah sebuah
kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi,
dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran
antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi
pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga
tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
A. Kehidupan Politik di Kesultanan Cirebon
a. Pangeran Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan
Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari
istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama
kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama
Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara
Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia
tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal
ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh
Subanglarang – ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama
mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda)
Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa,
anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring
Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang
penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan
kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan
membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap
sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah
haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai “raja” Cirebon
pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan
agama Islam kepada penduduk Cirebon.
b. Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian
digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya
dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568)
yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif
Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur
Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat
pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti
raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama
Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda
Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah
kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada
mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati
Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran
Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
c. Fatahillah,Panembahan Ratu1 dan Panembahan Ratu 2
Kekosongan pemegang kekuasaan itu
kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan
Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh
Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan
memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568.
Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun
karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan
Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung
Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena
tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh
kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran
Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian
bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79
tahun.
Setelah Panembahan Ratu I meninggal
dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh
cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah
Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian
menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma
yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau
Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa
pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu
Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua
Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon
tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.
Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di
Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya
di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu
Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di
Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di
Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun
Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam
Sultan Agung di Imogiri.
B. Kehidupan di Cirebon
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan
pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka
Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang
dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi
sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran),
karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar
mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah
pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai
serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah
sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi
Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai
dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah
kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara
Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan
Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh
menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Masuknya Islam ke
Indonesia ternyata bukan hanya merubah kepercayaan dan pandangan
masyarakat Jawa terhadap konsep ketuhanan yang mereka anut sebelumnya,
melainkan juga merubah beragam hal lain termasuk dalam bidang politik.
Perubahan di bidang politik yang dianut masyarakat Jawa setelah masuknya
Islam dibuktikan dengan terbentuknya beberapa kerajaan Islam sejak abad
ke 15, dengan Kesultanan Demak yang menjadi pelopornya. Berikut ini
kami akan bahas beberapa kerajaan Islam di Jawa lainnya sebagai tambahan
wawasan untuk kita semua.
Kerajaan Islam di Jawa
Kerajaan Islam di Jawa
1. Kesultanan Demak (1500 - 1550)
Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pesisir
pantai utara Jawa. Kerajaan ini sebelumnya merupakan sebuah kadipaten
dari kerajaan Majapahit. Setelah datang dan masuknya pengaruh Islam
serta dimulainya masa keruntuhan Majapahit, kadipaten ini kemudian
bermetamorfosis sebagai basis penyebaran Islam di Nusantara. Salah satu
bukti peninggalan sejarah Islam di Indonesia dari kerajaan ini adalah
Masjid Agung Demak. Masjid ini merupakan warisan peninggalan wali songo,
para ulama penyebaran Islam di Jawa.
Sumber: http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/7-kerajaan-islam-di-jawa-dan-sejarah.html
Disalin dari Blog Kisah Asal Usul.
Sumber: http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/7-kerajaan-islam-di-jawa-dan-sejarah.html
Disalin dari Blog Kisah Asal Usul.
Masuknya Islam ke
Indonesia ternyata bukan hanya merubah kepercayaan dan pandangan
masyarakat Jawa terhadap konsep ketuhanan yang mereka anut sebelumnya,
melainkan juga merubah beragam hal lain termasuk dalam bidang politik.
Perubahan di bidang politik yang dianut masyarakat Jawa setelah masuknya
Islam dibuktikan dengan terbentuknya beberapa kerajaan Islam sejak abad
ke 15, dengan Kesultanan Demak yang menjadi pelopornya. Berikut ini
kami akan bahas beberapa kerajaan Islam di Jawa lainnya sebagai tambahan
wawasan untuk kita semua.
Kerajaan Islam di Jawa
Kerajaan Islam di Jawa
1. Kesultanan Demak (1500 - 1550)
Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pesisir
pantai utara Jawa. Kerajaan ini sebelumnya merupakan sebuah kadipaten
dari kerajaan Majapahit. Setelah datang dan masuknya pengaruh Islam
serta dimulainya masa keruntuhan Majapahit, kadipaten ini kemudian
bermetamorfosis sebagai basis penyebaran Islam di Nusantara. Salah satu
bukti peninggalan sejarah Islam di Indonesia dari kerajaan ini adalah
Masjid Agung Demak. Masjid ini merupakan warisan peninggalan wali songo,
para ulama penyebaran Islam di Jawa.
Sumber: http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/7-kerajaan-islam-di-jawa-dan-sejarah.html
Disalin dari Blog Kisah Asal Usul.
Sumber: http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/7-kerajaan-islam-di-jawa-dan-sejarah.html
Disalin dari Blog Kisah Asal Usul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar