Kota Banten
awalnya adalah sebuah pelabuhan kecil di muara sungai Cibanten. Pelabuhan ini
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran dengan Pakuan sebagai ibu
kotanya (kira-kira letaknya di daerah Bogor sekarang) sejak awal abad ke-16
pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan besar Kerajaan Pajajaran
setelah Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Tradisi tutur
menyebutkan bahwa ketika Islam masuk ke tanah Banten, Kerajaan Pajajaran hanya
dikendalikan oleh seorang bupati dan sudah tidak diperintah oleh seorang raja
lagi. Pucuk Umum, putra Prabu Seda adalah penguasa terakhir dari Kerajaan
Pajajaran yang berpusat di Banten Girang. Setelah mengalami kekalahan dari
tentara Islam. Pucuk umum ”menghilang”. Roda pemerintahan oleh penguasa Islam
dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati dan anaknya Maulana Hasanuddin.
Pengambil
alih pusat Kerajaan Banten Girang (sekitar 3km dari pusat Kota Serang sekarang)
oleh tentara Islam menjadi awal mula berkembangnya kebudayaan Islam di Banten.
Pusat kerajaan yang semula berada di Banten Girang, dipindahkan ke muara
Cibanten, sekitar 13 Km dari Banten Girang (Michrob, 1993:46).
Pemindahan
ibu kota Banten didasarkan atas beberapa pertimbangan:
1. secara politik, memudahkan hubungan antara
pesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatera melalui Sunda Kelapa
2. secara Ekonomi, berdasarkan pada potensi
maritimnya, Banten berpotensi sebagai pelabuhan besar yang dapat menggantikan
Sunda Kelapa.
3. secara mistis religius, kota dan keraton
yang telah ditaklukan harus ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak memiliki
kekuatan magis lagi (Michrob, 1993:46).
Pengembangan
kota Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin. Atas petunjuk orangtuanya
Maulana Hasanuddin membangun pusat Kerajaan Banten dengan mendirikan Keraton
Surosowan, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan Masjid Agung Banten disebelah
alun-alun. Berita lain menyebutkan bahwa Masjid Pacinan Tinggi juga dibangun
pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (Juliadi, 2007:23).
Konsep kota
yang dibangun oleh Maulana Hasanuddin di pesisir pantai Teluk Banten pada masa
itu merupakan konsep kota Islam klasik dengan ciri kehadiran tiga unsur utama
arsitektur kota, yaitu: masjid, istana, dan alun-alun. Di alun-alun
diselenggarakan sejumlah kegiatan seperti pertemuan dewan kerajaan, sidang
pengadilan dan kegiatan publik lainnya. Di pagi hari alun-alun digunakan
sebagai pasar.
Konsep kota
Islam Banten menunjukkan beberapa persamaan dengan kota Madinah. Kota Madinah
yang dibangun oleh Nabi Muhammad merupakan konsep kota Islam klasik dan tertua
yang dibangun atas dasar konsep umah dalam
tata kota ukhuwah Islamiyah (Juliadi,
2007:24).
Pada
perkembangan berikutnya di Banten, ciri utama kota Islam mengalami evolusi
secara bertahap, disatukan bentuk dinding pelindung dengan masjid utama (Masjid
Agung atau Jami’) dan madrasah (tempat belajar) yang berfungsi sebagai
pusat-pusat keagamaan dan politik masyarakat, dan suq (pasar) sebagai pusat niaga dan kehidupan sosial. Struktur pola
perkotaan seperti didasari oleh hirarki terkendali atas jalur pola jalan,
ruang, dan bangunan. Beberapa bangunan yang teridentifikasi sebagai ciri utama
kota Islam pada tingkat ini adalah kehadiran unsur-unsur arsitektur masjid,
lembaga pendidikan, istana, pasar, tembok pertahanan, lapangan, bangunan
audiensi, pelabuhan, dan sebagainya. Komposisi etnik penduduk kota juga semakin
beragam akibat meningkatnya aktivitas perdagangan regional maupun
internasional.
Berdasarkan
konsep tata kota Islam maupun tata kota pra-Islam di Asia Tenggara, maka satu
hal yang menjadi ciri utama penempatan bangunan keagamaan di pusat kota. Dalam
konsep kota pra-Islam, kuil atau candi adalah pusat keagamaannya, sedangkan
Masjid Jami’ atau Masjid Agung sebagai pusat keagamaan Islam diintegrasikan ke
dalam jaringan perkotaan Islam. Masjid Agung salah satu perwujudan paling
penting dalam masyarakat Islam, mensyaratkan penempatan utama di dalam kota.
Pengarahan kiblat (orientasi) senantiasa ke ka’bah di Mekkah sebagai politik,
agama, dan intelektual, kedudukannya mempengaruhi lokasi pusat niaga.
Keberadaan sejajar antara fasilitas keagamaan dan niaga mengingatkan kita pada
kota-kota abad peretengahan di Eropa, dimana pasar dan lapangan katedral
terletak saling berdekatan(Juliadi, 2007:24).
2.1.1 Banten Lama
Memasuki
pintu gerbang situs Banten Lama di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang,
Banten. Ratusan
bahkan Ribuan terdapat banyak orang di Kompleks Masjid Agung Banten Lama.
Karena Kompleks peninggalan Kesultanan Islam Banten ini memang lebih dikenal
sebagai tempat berziarah. Kompleks Banten Lama ini menyimpan banyak cerita
sejarah. Apabila mengingat mengenai Banten lama tersebut maka dibenak adalah
masa di mana Kesultanan Banten mengalami kejayaan pada abad XVI-XVIII Masehi.
Sisa bangunan
tua mulai terlihat menyembul di antara rumpun padi. Bangunan itu merupakan sisa
gapura Gedong Ijo, tempat tinggal para perwira kerajaan. Kemudian beberapa meter dari gerbang, puing-puing
reruntuhan bangunan besar mulai terlihat. Itulah Keraton Surosowan, kediaman para sultan
Banten, dari Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1552 hingga Sultan Haji yang
memerintah pada 1672-1687.
Semula,
bangunan keraton yang seluas hampir 4 hektar itu bernama Kedaton Pakuwan.
Terbuat dari tumpukan batu bata merah dan batu karang, dengan ubin berbentuk
belah ketupat berwarna merah. Sisa bangunan yang kini masih bisa dinikmati
adalah benteng setinggi 0,5-2 meter yang mengelilingi keraton dan sisa fondasi
ruangan. Sisa pintu masuk utama di sisi utara kini tinggal tumpukan batu bata
merah dan bongkahan batu karang yang menghitam. (Lihat foto 2)
Bangunan
kolam persegi empat di tengah keraton merupakan pemandangan lain yang ada di
dalam benteng. Menurut catatan sejarah, puing itu merupakan bekas kolam Rara
Denok, pemandian para putri. Kemudian di bagian belakang atau di sisi selatan,
terlihat pula sisa bangunan berbentuk kolam menempel pada benteng. Dahulu,
kolam itu digunakan sebagai pemandian pria-pria kerajaan, yang disebut Pancuran
Mas (http:// www.kompas.com, diakses pada tanggal 28 Februari 2011).(Lihat foto
3)
Air yang
dialirkan ke kolam Rara Denok dan Pancuran Mas berasal dari mata air Tasik
Ardi, sebuah danau buatan yang berjarak sekitar 2,5 kilometer di sebelah
selatan atau tepatnya barat daya keraton. Disalurkan ke keraton dengan
menggunakan pipa yang terbuat dari tanah liat. Sebelum masuk keraton, air dari
Tasik Ardi harus melalui tiga kali proses penyaringan. Bangunan penyaringan itu
disebut Pangindelan Abang, Pangindelan Putih, dan Pangindelan Mas.
Saat ini lokasi Tasik Ardi masuk dalam wilayah
Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, yang dimanfaatkan
sebagai tempat rekreasi. Sementara itu, tiga bangunan pangindelan masih bisa
dilihat di Jalan Purbakala, antara Keraton Surosowan dan Tasik Ardi. Sayangnya,
sekarang jalan ini hanya bisa dilintasi sepeda karena warga masih menggunakan
tempat itu sebagai jalan air di tengah persawahan.
Di sudut
sebelah barat terlihat sebuah bangunan menyerupai cincin. Tempat itu disebut
ruang Pasepen, yang digunakan sebagai tempat sultan beribadah. Bangunan keraton ini pertama kali
dihancurkan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada
1680. Keraton dibumihanguskan saat Kesultanan Banten berperang melawan penjajah
Belanda.
Simbol
kebesaran kerajaan Islam Banten itu kembali dihancurkan pada 1813. Ketika itu,
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Daendels memerintahkan pasukannya untuk
menghancurkan keraton karena Sultan Rafiudin (sultan terakhir
Kerajaan Banten) tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Reruntuhan
bangunan keraton juga terlihat di bagian selatan Keraton Surosowan. Pada bagian depan terpancang papan
bertuliskan ”Situs Keraton Kaibon”, dengan luas sekitar 2 hektar. Keraton ini
dibangun pada 1815 sebagai tempat tinggal Ratu Aisyah, ibu Sultan Muhammad
Rafiuddin yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan karena putranya masih
berusia lima tahun. (Lihat foto 3)
Bangunan
bersejarah lain yang bisa dinikmati adalah Jembatan Rante, yang terletak di
depan Keraton Surosowan, tepatnya di sebelah utara Masjid Agung Banten Lama.
Jembatan hidraulis itu berdiri di atas kanal yang saat ini sudah menyempit dan
berubah fungsi menjadi kubangan air.
Dahulu
Jembatan Rante digunakan sebagai tempat pemeriksaan kapal-kapal yang keluar-masuk
keraton. Jembatan ini akan terangkat jika ada kapal yang lewat dan akan kembali
rata setelah kapal berlalu.
Salah satu
bangunan yang masih berdiri kokoh adalah Masjid Agung Banten Lama, berikut
menara setinggi 23 meter. Masjid inilah yang paling terkenal di Situs Banten
Lama dan selalu penuh sesak oleh para peziarah, terutama pada peringatan
hari-hari besar Islam. (Lihat foto 11)
2.1.2 Sejarah Masjid Banten
Masjid Agung Banten
termasuk masjid tua yang penuh nilai sejarah. Setiap harinya masjid ini ramai
dikunjungi para peziarah yang datang tak hanya dari Banten dan Jawa Barat, tapi
juga dari berbagai daerah di Pulau Jawa (http://id.wikipedia.org, diakses pada
tanggal 28 Februari 2011).
Masjid
Agung Banten terletak di Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar
10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin
(1552-1570), sultan pertama Kasultanan Demak. Ia adalah putra pertama Sunan
Gunung Jati. (Lihat foto 1)
Meskipun
telah berumur lebih dari 4 abad (didirikan pada kisaran tahun 1560-1570),
nampak masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Seperti juga mesjid-mesjid lainnya, bangunan induk
mesjid berdenah segi empat. Atapnya merupakan atap bersusun lima dengan bagian
kiri dan kanannya terdapat masing-masing serambi. Agaknya serambi ini dibangun
pada waktu kemudian. Di dalam serambi kiri, yang merupakan bagian utara dari
mesjid, terdapat makam-makam dari beberapa sultan Banten dan keluarganya,
diantaranya makam Maulana Hasanuddin dan isterinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan
Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar. (Lihat foto 10). Sedangkan di dalam serambi
kanan, yang terletak di selatan, terdapat pula makam-makam Sultan Maulana
Muhammad, Sultan Zainul 'Abidin dan lain-lainnya. Pada bagian tangga pada
masdjid itu memiliki model menyerupai goa, yang menurut sejarah pembangunannya
dilakukan atas bantuan seorang arsitektur asal Mongolia bernama Cek Ban Cut.
(Lihat foto 9).
Berdirinya
Masjid Agung Banten tidak lepas dari tradisi masa lalu, di mana dalam sebuah kota
Islam terdapat minimal 4 komponen. Pertama, ada istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal
raja-raja. Kedua, Masjid Agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, ada alun-alun
sebagai pusat kegiatan dan informasi. Keempat, ada pasar sebagai pusat kegiatan
ekonomi. Keempat komponen
ini, jejaknya masih terdapat di Desa Banten Lama Kecamatan Kasemen Kabupaten
Serang. Tapi yang masih kokoh berdiri dan berfungsi hingga saat ini hanya
Masjid Agung Banten.
Masjid
Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah lainnya, selalu diramaikan
para peziarah yang bisa mencapai ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa
umumnya. Sering kali jumlah mereka mencapai puncaknya pada bulan Syawal, Haji,
Maulud, Rajab dan Ruwah. Sementara setiap hari Kamis, Jumat dan Minggu juga
menjadi hari pilihan bagi para peziarah untuk mengunjungi Masjid Banten.
Bangunan masjid yang terletak sekira 10 km
sebelah utara Kota Serang ini merupakan peninggalan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570),
putera pertama Sunan Gunung Jati. Konon, pembangunan Masjid Agung Banten
bermula dari instruksi Sunan Gunung Jati kepada Hasanuddin untuk mencari
sebidang tanah yang masih suci untuk pembangunan Kerajaan Banten. Hasanuddin
lalu shalat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah yang
dimaksud ayahandanya. Setelah berdo’a, spontanitas air laut yang berada di
sekitarnya menyibak menjadi daratan. Selanjutnya, Hasanuddin mulai mendirikan
Kerajaan Banten beserta komponen-komponen lainnya, seperti alun-alun, pasar dan
masjid agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar