Nama Yogyakarta ialah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta
berasal dari kata Ayodya & Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan
dlm kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti [13 Februari 1755] antara
Pangeran Mangkubumi & VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel,
maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai
Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I & berkuasa atas setengah
daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono
III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru
Kasunanan Surakarta & daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan
beserta istananya yg baru dengan membuka daerah baru [jawa: babat alas]
di Hutan Paberingan yg terletak antara aliran Sungai Winongo &
Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan
Ngayogyakarta Hadiningrat & landscape utama berhasil diselesaikan
pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan
gelar yg digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yg
sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa ”
ingkang jumeneng kaping…. ing Ngayogyakarto ” [Indonesia: “yang bertahta
ke…. di Yogyakarta”]. Selain itu ada beberapa nama khusus antara lain
Sultan Sepuh [Sultan yg Tua] untuk Hamengku Buwono II.
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ialah negara dependen yg
berbentuk kerajaan. Kedaulatan & kekuasaan pemerintahan negara
diatur & dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yg dibuat
oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen
Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk
dengan kesultanan ialah Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo. svg
[Staatsblad 1941, No. 47]. Sebagai konsekuensi dari bentuk negara
kesatuan yg dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka
pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat [bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman] diturunkan
menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Penduduk Yogyakarta
Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti
dengan pembagian pegawai kerajaan [abdi Dalem] & rakyat [kawula
Dalem] yg menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tak
terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yg menggunakan
sistem lungguh [tanah jabatan]. Diperkirakan penduduk kesultanan pada
waktu perjanjian berjumlah 522. 300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya
dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930
penduduk meningkat menjadi 1. 447. 022 jiwa. Dalam strata sosial,
penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan [bandara], pegawai [abdi Dalem] & rakyat jelata [kawula Dalem]. Sultan yg merupaken anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dlm sistem sosial.
Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan
Sultan yg pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan
1-4 [anak, cucu, anak dari cucu, & cucu dari cucu] dari Sultan yg
termasuk Keluarga Kerajaan dlm artian mereka memiliki kedudukan &
peran dlm upacara kerajaan. Lapisan pegawai mendasarkan
kedudukan mereka dari surat keputusan yg dikeluarkan oleh Sultan.
Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai
Kepatihan, Kabupaten, & Kapanewon, serta pegawai yg diperbantukan
pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas
penduduk asli & pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga
orang-orang asing maupun keturunannya yg bukan warga negara Kasultanan
Yogyakarta yg berdiam di wilayah kesultanan.
Wilayah Yogyakarta
Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada
mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta
[wilayah ibukota], Nagara Agung [wilayah utama], & Manca Nagara
[wilayah luar]. Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta & wilayah
Nagara Agung memiliki luas 53. 000 karya [sekitar 309,864500 km
persegi], & keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33. 950
karya [sekitar 198,488675 km persegi]. Selain itu, masih terdapat
tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1. 600 karya
[sekitar 9,3544 km persegi].
Nagari Ngayogyakarta
Kota tua Yogyakarta [di antara Sungai Code & Sungai Winongo], danDaerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
Nagara Agung
Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma [wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di
antara Pajang dengan Demak] bagian timur yg tak jelas batasnya dengan
wilayah Kesunanan],
Daerah Siti Bumijo [wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu],
Daerah Siti Numbak Anyar [wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta & Sungai Progo],
Daerah Siti Panekar [wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin
ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang], dan
Daerah Siti Gadhing Mataram [wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]].
Pembagian Mataram & Manca Nagara pada tahun 1757.
Manca Nagara
- Wilayah Madiun yg terdiri dari daerah-daerah:Madiun Kota,Magetan,Caruban, & Setengah Pacitan;
- Wilayah Kediri yg meliputi daerah-daerah:Kertosono,Kalangbret, & Ngrowo [Tulung Agung];
- Wilayah Surabaya yg meliputi daerah Japan [Mojokerto];
- Wilayah Rembang yg meliputi daerah-daerah: Jipang [Ngawen] & Teras Karas [Ngawen];
- Wilayah Semarang yg meliputi daerah-daerah: Selo atau Seselo [makam nenek moyang raja Mataram], Warung [Kuwu-Wirosari], & Sebagian Grobogan.
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yg utuh,
namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan &
Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupaken hasil dari Perjanjian
Palihan Nagari yg ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga
disebut Perjanjian Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels & Raffles.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda
akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula
ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yg menegaskan
wilayah & batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan
Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram &
Gunungkidul dengan luas 2. 902,54 km persegi. Di wilayah tersebut
terdapat enklave Surakarta [Kotagede & Imogiri], Mangku Negaran
[Ngawen], & Paku Alaman [Kabupaten Kota Paku Alaman].
Ekonomi & Agraria Nagari Ngayogyakarta
Sumber ekonomi utama yg tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta ialah
tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, & uang sewa. Oleh karena
itu sistem ekonomi tak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai
seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan,
pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu.
Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu
tanah yg diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan & tanah
yg diberikan kepada pegawai kerajaan.
Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, & disebut sebagai tanah lungguh
[apanage land/tanah jabatan]. Tanah yg berada dlm pemeliharaan para
keluarga kerajaan & pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh
masyarakat umum sebagai tempat tinggal & pertanian dari generasi ke
generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen
sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat & rakyat umum memiliki
kebebasan dlm mengatur, mengolah, & mendiami tanah tersebut mereka
tak diijinkan untuk menjualnya.
Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yg besar dari penebangan
hutan kayu keras dlm skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821
pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari
hutan kayu keras & istana bertanggung jawab atas manajemen &
eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi
kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan & dlm ganti rugi Sultan
memperoleh biaya penebangan & pengangkutan kayu. Pada 1904 masa
pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil
alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan
itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar
Rukmo & Ambar Winangun.
Perkebunan yg dikembangkan di Yogyakarta, terutama sesudah 1830,
ialah kopi, tebu, nila, & tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani
oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yg semula ada 20 buah
pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring
pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, & pembangunan
infrastruktur. Restrukturisasi di zaman HB IX karena dihadapkan pada
beban ekonomi & sumber yg terbatas. Pada 1942, Sultan tak melaporkan
secara akurat jumlah produksi beras, ternak, & produk lain untuk
melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna
meningkatkan produksi beras & untuk mencegah rakyat Yogyakarta
dijadikan romusha Jepang.
Pendidikan, Kebudayaan, & Kepercayaan di Kesultanan Yogyakarta
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan
Yogyakarta tak begitu memiliki batas yg tegas antar aspeknya. Kebiasaan
umum [adat istiadat], kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan,
& sebagainya saling tumpang tindih, bercampur & hanya membentuk
suatu gradasi yg kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton
tak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” [raja yg agung yg dihormati
bagaikan dewa] yg merupaken pandangan hidup masyarakat yg juga menjadi
bagian dari sistem kepercayaan [penghormatan kepada dewa/tuhan].
Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap
sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan & penguasa alam.
Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis
& berkaitan dengan dunia roh dlm pandangan hidup masyarakat. Oleh
karenanya dlm pergaulan sehari-haripun ada pantangan yg bila dilanggar
akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yg menimbulkan
tata kebiasaan yg diberlakukan dengan ketat. Kebudayaan tersebut
diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke
mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita
wayang yg pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit
maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan & nasihat tentang
pandangan hidup & sistem kepercayaan juga ditransmisikan dlm bentuk
tembang [lagu] maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tak lepas
dari sistem bahasa yg digunakan & membuatnya berkembang.
alam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko [bahasa Jawa rendah], Krama Andhap [bahasa Jawa tengah], & Krama Inggil
[bahasa Jawa tinggi]. Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit,
namun tercermin budaya penghormatan & saling menghargai. Ada satu
lagi bahasa yg khusus & hanya digunakan di lingkungan istana yg
disebut dengan Bagongan yg lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan
kedudukan di antara pemakainya. Perkembangan budaya sebagaimana
dijelaskan di awal tak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya
sistem pendidikan yg digunakan meneruskan sistem yg digunakan zaman
Mataram.
Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan.
Pendidikan itu meliputi pendidikan agama & sastra. Pendidikan agama
diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di
kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh
Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem & tak terpisah.
Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, & literatur
[serat & babad].
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada
awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka.
Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan & kemudian dipindahkan di
Keputran. Sekolah ini masih ada sampai sekarang dlm bentuk SD N
Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yg dibuka oleh
pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, & AMS B. Pada 1946,
kesultanan ikut serta dlm mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah
Mada yg pada 1949 dijadikan UGM.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupaken kepercayaan resmi
kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dlm bidang kepercayaan
dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun
demikian kepercayaan-kepercayaan lokal [baca kejawen] masih tetap
dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam.
Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yg
dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan
sebuah kepercayaan baru yg merupaken sinkretis antara kepercayaan Islam
& kepercayaan lokal.
Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal & westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yg menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
Pertahanan & Keamanan Kesultanan Yogyakarta
Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupaken seorang serdadu militer.
Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupaken
komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela
kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara
kerajaan yg dikenal dengan abdi Dalem Prajurit.
Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja
yg dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula
paramiliter yg berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para
penguasa di Manca Nagara. Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19
tentara kerajaan di Yogyakarta merupaken kekuatan yg patut
diperhitungkan. Walaupun Sultan merupaken panglima tertinggi namun dlm
keseharian hanya sebagian saja yg berada di dlm pengawasan langsung oleh
Sultan. Sebagian yg lain berada di dlm pengawasan Putra mahkota &
para pangeran serta pejabat senior yg memimpin kementerian/kantor
pemerintahan.
Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh Daendels
pada 1810 & ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan
Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan
demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, & penguasa
daerah tak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris
& itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh sesudah selesainya perang
Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi
pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, & Pepatih Dalem. Jumlahnya
sangat dibatasi & persenjataannya tak lebih dari senjata tajam &
beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab
pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai pengganti kekuatan militer yg dikebiri Kesultanan Yogyakarta
dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk
mengindari keterlibatan kesultanan dlm perang pasifik Sultan
membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dlm
perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus
1942. Dengan demikian kesultanan tak memiliki lagi kekuatan militer.
Hukum & Peradilan Kesultanan Yogyakarta
Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada
di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta
terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto,
Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, & Pengadilan Darah
Dalem.
- Pengadilan Pradoto merupaken pengadilan sipil yg menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
- Pengadilan Bale Mangu merupaken pengadilan khusus yg menangani tata urusan pertanahan & hubungan antar tingkat antara pegawai kerajaan.
- Al Mahkamah Al Kabirah atau yg sering disebut dengan Pengadilan Surambi ialah pengadilan syar’iyah yg berlandaskan pada Syariat [Hukum] Islam. Pengadilan ini merupaken konsekuensi dari bentuk Pemerintahan Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah [hukum keluarga] seperti nikah & waris, serta jinayah [hukum pidana]. Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, & waris.
- Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Ponconiti merupaken pengadilan khusus [Forum Privilegatum] yg menangani urusan yg melibatkan anggota keluarga kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua pengadilan yg berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah Dalem & Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika
pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri &
mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk
Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan
pembentukan pengadilan Gubernemen [Landraad] di Yogyakarta. Akhirnya
Pengadilan Pradoto & Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916
& 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta.
Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yg digunakan ialah sistem peradilan nasional.
Pengadilan yg digunakan ialah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari
Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan
pengadilan kerajaan yg terakhir, Pengadilan Darah Dalem. nDalam sistem
hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum [KUH]
Kesultanan yg disebut dengan nama Kitab Angger-angger
yg disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta & Kasunanan Surakarta
pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku [volume] yaitu Angger
Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem,
Angger Pradoto Akhir [khusus Yogyakarta], & Angger Ageng. Seiring
dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH
Belanda seperti Burgerlijk Wetboek & Wetboek van Strafrecht.
Runut Waktu Kesultanan Yogyakarta Abad ke-18
- 1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja Mataram oleh pengikutnya & para bangsawan senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
- 1750, RM Said [MN I] yg telah menjadi perdana menteri P Mangkubumi menggempur Surakarta.
- 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran [daerah pantura Jawa] mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
- 1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata & perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yg sama.
- 1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi Pepatih Dalem Danurejo I.
- 1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya yg diberi nama Ngayogyakarta.
- 1773, Angger Aru-biru yg menjadi acuan dlm peradilan yg pertama disahkan.
- 1774, Putra mahkota [kelak HB II] menulis buku Serat Raja Surya yg kemudian menjadi pusaka.
- 1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana dibangun secara mendadak & diselesikan dlm 2 tahun.
- 1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan control VOC.
- 1799, Danurejo I wafat & diganti cucunya dengan gelar Danurejo II.
Runut Waktu Kesultanan Yogyakarta Abad ke-19
- 1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru tentang penggantian residen dengan minister & perubahan kedudukannya yg sejajar dengan Sultan & Sunan.
- 1810, Awal prahara politik Yogyakarta yg akan berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan minister. Danurejo II dipecat & digantikan oleh Notodiningrat [PA II]. Atas tekanan Daendels Danurejo II mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer & mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta merampas kekayaan istana.
- 1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yg menjadi pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II merebut kembali tahtanya. HB III dikembalikan dlm posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana. Sindunegoro [Danurejo III] menjadi Pepatih Dalem.
- 1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan & dibuang ke Penang [wilayah Malaysia sekarang]. 1 Agustus, HB III menandatangani perubahan pemerintahan & demiliterisasi birokrasi kerajaan.
- 1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yg mengepalai sebuah principality yg terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro diganti oleh Bupati Jipan yg bergelar Danurejo IV.
- 1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yg masih berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yg tak disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai 1821.
- 1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada Hindia Belanda.
- 1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab Undang-undang Hukum [KUH] ditetapkan bersama Yogyakarta & Surakarta.
- 1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra mahkota yg masih berusia 3 diangkat menjadi HB V. Sebuah dewan perwalian yg terdiri atas Ibu Suri, Nenek Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro & Danurejo IV dibentuk.
- 1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
- 1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan perang namun tak membawa hasil.
- 1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan perwalian baru.
- 1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yg tetap antara Surakarta & Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian Klaten.
- 1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan Yogyakarta.
- 1848, Peraturan yg mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
- 1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
- 1868, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
- 1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
- 1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya memberontak & gagal.
Runut Waktu Kesultanan Yogyakarta Abad ke-20
- 1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan & pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
- 1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
- 1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
- 1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi dua APBN.
- 1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
- 1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
- 1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
- 1921, Sultan HB VIII bertahta. Kesultanan Yogyakarta memiliki dua APBN.
- 1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang kerabat Paku Alaman.
- 1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan Danurejo VII.
- 1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
- 1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
- 1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi kekuasaan Pepatih Dalem. 1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1 Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB IX & PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada BP KNID Yogyakarta.
- 1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei, Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan & Paku Alaman.
- 1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah Indonesia.
- 1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta & Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi, & mulai berlaku pada 15 Agustus.
- 1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
- 1988, Sultan HB IX wafat.
Keraton Yogyakarta
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang sendiri oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono I saat mendirikan Kasultanan. Keahliannya dlm
bidang arsitektur antara lain dihargai oleh Dr. Pigeund & Dr. Adam,
yaitu para peneliti berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton ialah
Kompleks Alun-alun Lor yg terdiri dari sub kompleks: Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor, Mesjid Ageng , & Pagelaran ; Kompleks Siti Hinggil Lor ; Kompleks Kamandhungan Lor ; Kompleks Sri Manganti ; Kompleks Kedhaton yg terdiri dari sub kompleks: Pelataran Kedhaton, Ksatriyan, Keputren , & Kraton Kilen ; Kompleks Kamagangan ; Kompleks Kamandhungan Kidul ; Kompleks Siti Hinggil Kidul ; & Kompleks Alun-alun Kidul & Nirbaya .
Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain merupaken kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai salah satu cagar budaya
masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya, keraton sering melaksanakan
kegiatan-kegiatan budaya & merupaken salah satu maksud pariwisata
Daerah Istimewa Yogyakarta, yg sering didatangi para wisatawan dlm &
luar negeri.
Akhir dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada Tahun 1950 & Pembentukan Kerotonomi Khusus Yogyakarta
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX &
Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan
bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta & Daerah Paku Alaman menjadi
bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu,
mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yg bersifat kerajaan.
Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian
menjadi Kepala Daerah Istimewa & Wakil Kepala Daerah Istimewa &
bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pada
tahun 1950 secara resmi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini,
bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi Daerah Istimewa
Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai
bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah negara [state] berakhir &
menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan
institusi istana kemudian dipisahkan dari “negara” & diteruskan oleh
Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar