PENDAHULUAN
Islam bukan hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi merupakan asas
dari sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam kurun waktu 23,
Nabi Muhammad SAW mampu membangun peradaban Islam di jazirah Arabia yang
berdasarkan pada prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam waktu yang
singkat, pengaruh peradaban Islam tersebut segera menyebar ke berbagai belahan
dunia, termasuk ke wilayah Nusantara.
Ada berbagai macam teori yang menyatakan tentang masuknya Islam ke
Nusantara. Beberapa teori tersebut ada yang menyatakan bahwa Islam masuk ke
Nusantara sekitar abad ke-7, abad ke-11, dan sebagainya. Dari teori tersebut,
proses sentuhan awal masyarakat Nusantara dengan Islam terjadi pada abad ke-7
melalui proses perdagangan , kemudian pada abad selanjutnya Islam mulai tumbuh
dan berkembang. Selanjutnya melahirkan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Seperti
kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, antara lain Samudera Pasai, Aceh,
Minangkabau. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, antara lain, Demak,Pajang,Mataram,Cirebon,Banten.
Semua kerajaan tersebut memiliki andil dalam mengembangkan khazanah
peradaban Islam di Nusantara, khususnya peradaban Islam di wilayah kekuasaan
kerajaan tersebut.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai tumbuh dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera dan Jawa. Beberapa kerajaan
Islam di Sumatera dan Jawa sudah penulis sebutkan di atas.
PEMBAHASAN
A. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Sumatera
Banyak
kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh dan berkembang di Sumatera. Beberapa kerajaan
Islam tersebut antara lain:
1. Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dan merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Kerajaan ini terletak
di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan berdirinya Kesultanan
Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan
para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim,
menyatakan bahwa kemunculannya sebagai
kerajaan Islam diperkirakan mulai awal
atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi
daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad
ke-7 dan seterusnya.[1] Berdasarkan
berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan
Islam, yaitu
kerajaan Samudra Pasai.[2]
Hal ini dibuktikan dengan adanya
batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja
pertama Samudra Pasai.[3]
Malik Al-Saleh, raja pertama
kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Dalam Hikayat
Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah
Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan
dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah.[4]
Pendapat bahwa Islam sudah
berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita China dan
pendapat Ibn Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai pada pertengahan abad ke
14 M (tahun 746 H/1345 M).[5]
Dalam kisah
perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Zhahir
sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian
kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Zhahir tidak
pernah bersikap sombong. Kerendahan
hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah.[6]
Samudera Pasai ketika itu
merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari
berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.[7]
Selain itu, Sultan Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke
berbagai wilayah Nusantara.[8]
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan
Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi
(berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar
memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India,
Tiongkok, Majapahit dan Malaka.[9]
Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah
satu kota dengan bandar
pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai
menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu
komoditas ekspor utama. Bukan hanya
perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera
Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang
terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.[10]
2. Kerajaan
Aceh
Kurang diketahui kapan
kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, sebagaimana yang
dikutip dalam buku Badri Yatim, bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M,
di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah
yang membangun kota Aceh Darussalam.[11]
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini
hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat
Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil
memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk
menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan
kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di
Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera
Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal
sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis,
kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam
wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh
Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan
kecil di sekitarnya.[12]
Peletak
dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada masa
pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh Darussalam semakin meluas sampai di
Bengkulu di pantai Barat, seluruh Pantai Timur Sumatera, dan Tanah Batak di
pedalaman. Kegiatan perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan
Gujarat, Arab, dan Turki.[13]
Puncak
kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling gemilang bagi Aceh, di mana
kekuasaannya meluas dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.[14]
Di masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat pengembangan
Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun masjid Baiturrahman, rumah-rumah ibadah,
dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang
terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan
Abdul Rauf As-Sinkili.[15]
3. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai
Kerajaan Minangkabau yang
merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi
Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh
Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi
Kesultanan Islam.[16]
Munculnya nama
Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari
beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa
Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.[17]
Pengaruh Islam di
Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan
guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid
ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu
Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan
agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya
berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat
Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama
Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai
dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama
Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada
agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan
secara fundamental terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam
memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
Islam juga membawa
pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur
pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan
dengan Islam. Penamaan
nagari
Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci)
sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari
bahasa Arab atau Islam.
Selain itu dalam
perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin
(Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan
Buddha yang dipakai sebelumnya.[18]
B. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa
1. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah bawahan dari
Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja
Majapahit yang terakhir.[19]
Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit
melemah, Raden Patah memisahkan diri sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478
M. Dengan dukungan dari para adipati,
Raden Patah mendirikan kerajaan Islam
Demak dengan gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang
Sayidin Panatagama. Sejak saat itu, kerajaan Demak berkembang menjadi
kerajaan maritim yang kuat. Wilayahnya cukup luas, hampir meliputi sepanjang
pantai utara Pulau Jawa. Sementara itu, daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa,
seperti ke Palembang, Jambi, Banjar, dan Maluku.[20]
Dalam masa
pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya
adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya,
serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan
Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia
melanklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga
dapat menggambil alih kekuasaan Majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan
perlawanan terhada portugis, yang telah menduduki Malaka dan ingin mengganggu Demak.
Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus
atau Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah
kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518.[21]
Dalam
bidang dakwah Islam dan pengembangannya, Raden Patah mencoba menerapkan hukum Islam
dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan
mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung
Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisongo.
Di antara
ketiga raja Demak, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan
Demak ke masa jayanya. Pada masa Trenggana, daerah kekuasaan Demak meliputi
seluruh Jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya.
Cepatnya
kota Demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat
kegiatan pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah
para wali dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang
dibarengi oleh kegiatan dakwah Islam ke seluruh Jawa.[22]
2. Kerajaan Pajang
Kesultanan
ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman.
Sebelumnya, kerajaan Islam selalu berada di daerah pesisir, karena Islam datang
melalui para pedagang dari Asia Barat yang berlabuh di pesisir.[23]
Sultan
pertama pajang adalah Mas Kerebet. Ia berasal dari Pangging, desa di lereng
Gunung Merapi sebelah tenggara. Mas Karebet memiliki nama lain, yakni Jaka
Tingkir. Tingkir adalah nama tempat Mas Karebet dibesarkan. Oleh Raja Demak
ketiga, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya
dinikahkan dengan anak perempuannya.[24]
Setelah Sultan
Trenggana meninggal pada tahun 1546, anaknya yang bernama Sunan Prawoto
diangkat sebagai penggantinya. Akan tetapi, ia kemudian meninggal terbunuh
dalam perebutan kekuasaan oleh keponakannya sendiri, yaitu Arya Panangsang.
Selanjutnya,
Arya Penangsang menjadi penguasa Demak. Namun karena Kadipaten Pajang juga
telah beranjak kuat dan memiliki wilayah yang luas terjadilah pertentangan
antara Jaka Tingkir dan Arya Penangsang. Dengan bantuan dari
kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Jaka
Tingkir akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang.
Sebagai raja Pajang, Jaka Tingkir bergelar
Sultan Adiwijaya (1568 – 1582). Gelar itu disahkan oleh sunan Giri, dan segera
mendapat pengakuan dari para adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai
langkah pertama peneguhan kekuasaan, Adiwijaya memerintahkan agar semua benda
pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah itu, ia menjadi salah satu raja
yang paling berpengaruh di Jawa.
Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaannya
di Jawa pedalaman ke arah timur sampai daerah Madiun, di aliran anak bengawan
Solo yang terbesar. Tahun 1554, Blora, dekat Jipang, diduduki pula. Kediri
ditundukannya pada tahun 1577. tahun 1581, sesudah usia sultan Adiwijaya
melampaui setengah baya, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan Islam
dari raja-raja terpenting di Jawa Timur.[25]
Kesultanan
Pajang adalah kesultanan Islam yang menggantungkan hidupnya pada budaya
agraris, karena secara geografis pajang jauh terletak di pedalaman Jawa. Pengaruh
agama Islam yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman. Pada
masa pemerintahan Sultan Adiwijaya, Pajang berusaha mengembangkan kesusasteraan
dan kesenian Islam.[26]
3. Kerajaan Mataram
Pada waktu Sultan Adiwijaya berkuasa
di Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik menjadi adipati di Mataram
sebagai imbalan atas keberhasilannya membantu menumpas Aria Penangsang.
Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Adiwijaya.
Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi
Adipati di Mataram. Setelah menjadi Adipati, Sutawijaya ternyata tidak puas dan
ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa, sehingga terjadilah peperangan
sengit pada tahun 1528 M yang menyebabkan Sultan Adiwijaya mangkat. Setelah itu
terjadi perebutan kekuasaan di antara para Bangsawan Pajang dengan pasukan
Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran Pangiri beserta pengikutnya diusir dari
Pajang, Mataram. Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Adiwijaya)
menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat
pemerintahannya ke Kota Gede pada tahun 1568 M. Sejak saat itu berdirilah
Kerajaan Mataram.[27]
Dalam menjalankan pemerintahannya,
Sutawijaya, Raja Mataram banyak menghadapi rintangan. Para adipati di pantai
utara Jawa seperti Demak, Jepara, dan Kudus yang dulunya tunduk pada Pajang
memberontak ingin lepas dan menjadi kerajaan merdeka. Akan tetapi, Sutawijaya
berusaha menundukkan adipati-adipati yang menentangnya dan Kerajaan Mataram
berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jabar) sampai
Pasuruan (Jatim).
Setelah Sutawijaya mangkat, tahta
kerajaan diserahkan oleh putranya, Mas Jolang, lalu cucunya Mas
Rangsang atau Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung,
muncul kembali para adipati yang memberontak, seperti Adipati Pati, Lasem,
Tuban, Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro.
Untuk menundukkan pemberontak itu,
Sultan Agung mempersiapkan sejumlah besar pasukan, persenjataan, dan armada
laut serta penggemblengan fisik dan mental. Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil
pada tahun 1625 M. Kerajaan Mataram berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali
Banten, Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan
Agung mencoba merebut Batavia dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan mengalami
kegagalan.[28]
Kehidupan masyarakat di kerajaan
Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan
norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat
kerajaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang
bertugas menjalankan pengadilan istana.[29]
Kerajaan Mataram menggantungkan
kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada
di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah
pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah
pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa
seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah
Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan
Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan
karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan
perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya
Alam.[30]
4. Kerajaan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam
yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia
kemudian diyakini sebagai pendiri kesultanan Cirebon dan Banten, serta menyebar
islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah
Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan
pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat
penggantinya adalah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu Syarif
Hidayatullah. Namun, Pangeran Adipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun
1565 M.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
istana yang memegang kendali pemerintahan selama Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah
Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi Sultan Cirebon sejak
tahun 1568. Setelah wafat, Fatahillah digantikan berturut-turut oleh Pangeran
Dipati Ratu, Pangeran Dipati Anom Carbon, dan Panembahan Girilaya.[31]
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya,
pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di
tahun 1677 M, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu
dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
a. Pangeran
Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad
Samsudin (1677 – 1703 M)
b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan
Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723 M)
c. Pangeran Wangsakerta atau
Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1677 – 1713 M).[32]
5. Kerajaan Banten
Semula Banten menjadi daerah
kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Pada tahun 1552 M, Fathahillah
menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya, Hasanuddin.
Raja Banten pertama, Sultan
Hasanuddin mangkat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh putranya, Maulana
Yusuf. Sultan Maulana Yusuf memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman.
Pada tahun 1579 M kekuasaan Kerajaan Pajajaran dapat ditaklukkan, ibu kotanya
direbut, dan rajanya tewas dalam pertempuran. Sejak saat itu, tamatlah kerajaan
Hindu di Jawa Barat.[33]
Pada masa pemerintahan Maulana
Yusuf, Banten mengalami puncak kejayaan. Keadaan Banten aman dan tenteram
karena kehidupan masyarakatnya diperhatikan, seperti dengan dilaksanakannya
pembangunan kota. Bidang pertanian juga diperhatikan dengan membuat saluran
irigasi.
Banten tumbuh menjadi pusat
perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang
banyak. Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang
berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem
kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah
perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.[34]
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada
tahun 1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan
tahta di Banten. Setelah peristiwa itu, putra Sultan Maulana Yusuf, Maulana
Muhammad yang baru berusia sembilan tahun diangkat menjadi Raja dengan
perwalian Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana Muhammad
berlangsung tahun 1580-1596 M. Kemudian digantikan oleh Abdul Mufakir yang
masih kanak-kanak didampingi oleh Pangeran Ranamenggala. Setelah pangeran Rana
Menggala wafat, Banten mengalami kemunduran.[35]
Kesultanan banten mulai bangkit
kembali, ketika dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada tahun
1651-1680 M. Cita-cita Sultan Ageng Tirtayasa adalah mempersatukan wilayah
Pasundan di bawah kekuasaan Banten dan memajukan agama Islam. Untuk memajukan
agama Islam, Sultan bekerjasama dengan ulama-ulama tasawuf yang mumpuni, salah
satunya adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari. Menetapnya Syaikh di Kesultanan
Banten menyebabkan banten berkembang menjadi salah satu pusat pengajaran
tarekat Khalwatiyah dan Rifa’iyah.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa,
pelabuhan Banten mampu berkembang menjadi pelabuhan ekspor internasional. Dari pelabuhan
Banten, banyak komoditi dagang yang diekspor ke Persia, India, Arab, Manila,
Tiongkok, Jepang. Di sektor pertanian, beliau membuka ladang-ladang baru,
perluasan sawah, dan perbaikan pengairan.[36]
C. Pola Pembentukan Budaya Islam Di Sumatera
Islam yang semula datang di
Nusantara pada abad pertama Hijriyah dahulu, mau tidak mau menghadapi kenyataan
adanya beraneka warna perdaban itu. Baik yang membawa itu kaum pedagang, kaum
da’i ataupun ulama. Tetapai bagaimanapun juga, mungkin kurang sempurnanya
keislamannya kaum pedagang, kaum da’i ataupun ulama tersebut, mereka semuanya
menyiarkan suatu rangkaian ajaran dan cara hidup, yang secara kwalitatif lebih
maju daripada perdaban yang ada. Tidak hanya bidang teologi monotheismenya dibanding dengan teologi polytheisme tetapi juga di bidang kehidupan kemasyarakatan yang
tidak mengenal pembagian kasta.Bila dibandingkan dengan peradaban Hindu-Budha,
di mana masih dominan paham ‘‘animisme“ dan ‘‘dinamisme‘‘ primitif, maka
ajaran-ajaran Islam jelas secara kualitatif jauh lebih maju lagi.[37]
Pada hakikatnya, melihat corak
keberagaman masyarakat Islam di Indonesia yang lebih mempertahankan praktek
budaya aslinya, Ajid Thohir cenderung menilai bahwa pengaruh ini akibat dari
nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam. Maksudnya, Islam pada
tahap ini lebih sebagai pihak yang menampung dan mengakomodasi budaya lain,
bukan pihak yang mengubah atau mengkonversikan budaya itu.[38]
Adapun pola pembentukan budaya Islam
di Sumatera menggunakan pola Samudera Pasai. Sejak awal perkembangannya,
Samudera Pasai menunjukkan banyak pertanda dari pembentukan suatu negara baru.
Kerajaan ini tidak saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum
ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta
pertentangan keluarga yang berkepanjangan. Dalam proses perkembangannya menjadi
negara terpusat, Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama.
Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan
ekonomi dan politiknya menyusut.
Dengan pola tersebut, Samudera Pasai
memiliki “kebebasan budaya“ untuk memformulasikan struktur dan sistem
kekuasaan, yang mencerminkan gambaran tetantang dirinya. Pola sama dapat pula
disaksikan pada proses terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam.[39]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar