Kesultanan Banjar merupakan sebuah kesultanan yang terletak di daerah
yang sekarang kita kenal dengan nama Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Pengaruh dari Kesultanan Demak, suku Melayu, Banjar, dan Dayak menyatu
dalam sebuah kesultanan yang pernah berdiri di nusantara selama 379
tahun (1526-1905) ini.
Sejarah Berdirinya
Kesultanan Banjar adalah nama lain dari Kerajaan Banjarmasin atau
Kerajaan Banjar. Kesultanan Banjar yang berkembang sampai abad ke-19
merupakan sebuah kerajaan Islam merdeka dengan nation atau bangsa Banjar
sebagai bangsa dari Kesultanan Banjar.
Urang Banjar (orang Banjar) adalah nama untuk penduduk yang mendiami
daerah yang sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun
penduduk Kalimantan Selatan itu bukan seluruhnya etnis Banjar asli.
Setidak-tidaknya, yang disebut sebagai Urang Banjar terdiri dari etnis
Melayu sebagai etnis yang dominan kemudian, ditambah unsur Dayak Bukit,
Ngaju, dan Maanyan.
Kata “Banjar” berasal dari kata “Banjarmasin”. Banjarmasin adalah sebuah
kampung di muara sungai Kuwin, anak sungai Barito. Muara Kuwin terletak
di antara Pulau Kembang dan Pulau Alalak. Banjarmasin berasal dari dua
kata, “Banjar” yang berarti kampung dan “Masih” yang berasal dari nama
kepala suku Melayu yang oleh suku Dayak Ngaju disebut Oloh Masih yang
maksudnya adalah Orang Melayu. Disebut Oloh Masih karena kepala sukunya
bernama Patih Masih. Dengan demikian, Patih Masih berarti Patihnya Orang
Melayu.
Pada perkembangan kemudian, nama Banjarmasih berubah menjadi
Banjarmasin. Perubahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Catatan
resmi dari Belanda pada tahun 1664 Masehi masih menyebut kata
Banjarmasih. Tetapi pada tahun 1733 M, nama daerah ini telah berubah
menjadi Banjermasig dan menjadi Banjarmasin pada tahun 1845 M.
Sejarah nama Banjarmasin berawal dari berdirinya Kesultanan Banjar.
Sebelum berdirinya Kesultanan Banjar, terlebih dahulu telah berdiri
Negara Daha (Kerajaan Daha) di Muara Hulak. Kerajaan Daha merupakan
sebuah kerajaan lanjutan dari Negara Dipa (Kerajaan Dipa). Cikal bakal
Kesultanan Banjarmasin berawal dari suksesi perebutan tahta raja di
Kerajaan Daha. Perebutan tahta terjadi antara Raden Samudera dan
Pangeran Tumenggung.
Raden Samudera merupakan cucu angkat dari Raden Sukarama, penguasa
Kerajaan Daha. Sebelum Raden Sukarama wafat, beliau telah mewasiatkan
tahta Kerajaan Daha untuk diserahkan kepada Raden Samudera. Tanpa
disadari, wasiat ini menimbulkan bibit konflik karena salah satu anak
dari Raden Sukarama yang bernama Pangeran Tumenggung diam-diam tidak
sependapat dengan wasiat. sang ayah. Setelah Raden Sukarama meninggal,
Pangeran Tumenggung merebut tahta dan mengakibatkan Raden Samudera
terusir dari istana Kerajan Daha.
Sebagai pihak yang kalah, Raden Samudera terpaksa menyingkir ke luar
dari istana Kerajaan Daha menuju ke hilir sungai Barito. Di sana Raden
Samudera mendapat perlindungan dari komunitas suku Melayu yang dipimpin
oleh Patih Masih. Dalam komunitas suku Melayu tersebut, Raden Samudera
diangkat sebagai raja. Atas usulan Patih Masih, Raden Samudera diminta
untuk mencari dukungan ke Jawadwipa, yaitu ke Kesultanan Demak.
Ketika Pangeran Samudera berperang melawan pamannya, Pangeran Tumenggung
raja Negara Daha, Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat, yaitu
kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih, Pangeran
Samudera meminta bantuan pada Kesultanan Demak yang saat itu merupakan
kesultanan terkuat di pantai utara Jawa. Patih Balit diutus menghadap
Sultan Demak dengan disertai 400 pengiring dan 10 buah kapal. Patih
Balit menghadap Sultan Trenggono, penguasa di Kesultanan Demak, dengan
membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera.
Permintaan Raden Samudera dikabulkan oleh Sultan Trenggono, dengan
syarat bahwa Raden Samudera beserta para pengikutnya harus menjadikan
agama Islam sebagai Agama Resmi. Selain itu, jika nantinya berdiri
kerajaan di bawah kekuasaan Raden Samudera, maka agama Islam harus
dijadikan sebagai agama negara. Raden Samudera menyanggupi syarat dari
Sultan Trenggono.
Demak mengirim pasukan di bawah pimpinan Khatib Dayan untuk menyerbu
Kerajaan Daha. Gabungan kekuatan antara Raden Samudera, Patih Masih dan
komunitas suku Melayu, beberapa komunitas dari suku Dayak, serta pasukan
dari Demak berhasil menggulingkan tahta Pangeran Tumenggung. Kerajaan
Daha akhirnya takluk dan berada di bawah kekuasaan Raden Samudera.
Dikarenakan masih mempunyai ikatan kekerabatan, Pangeran Tumenggung
tidak dibunuh melainkan diperintahkan untuk berkuasa di Batang Alai.
Syarat dari Kesultanan Demak dipenuhi oleh Raden Samudera dengan
mengubah agama negara yang sebelumnya Hindu menjadi Islam. Selain itu,
nama Raden Samudera juga berganti menjadi Sultan Suriansyah
(Suryanallah). Status kerajaan berubah menjadi Kesultanan Banjar karena
pengaruh Islam sedangkan nama rakyatnya disebut sebagai Urang Banjar
(Orang Banjar). Sultan Suriansyah menjadikan tempat yang sekarang kita
kenal dengan nama Banjarmasin sebagai ibukota kesultanan sekaligus
sebagai bandar dagang. Perubahan status kerajaan dan sistem pemerintahan
dari Kerajaan Daha menjadi Kesultanan Banjar secara langsung membuat
suatu pergeseran politik, dari kerajaan di pedalaman (Muara Hulak) yang
bersifat agraris menjadi kesultanan dengan corak maritim.
Akhirnya, pada tanggal 24 September 1526, berdirilah kesultanan baru di
Banjarmasin dengan nama Kesultanan Banjar. Sultan pertama dari
Kesultanan Banjar bergelar Sultan Suriansyah.
Masuknya Pengaruh Kolonial
Banjarmasin sebagai ibukota Kesultanan Banjar mulai berkembang menjadi
bandar perdagangan yang besar. Para pedagang dari berbagai suku datang
ke Banjarmasin untuk mencari berbagai barang dagangan seperti lada
hitam, rotan, damar, emas, intan, madu, dan kulit binatang. Khusus lada
hitam, komoditi yang satu ini saat itu menjadi primadona dalam
perdagangan internasional.
Selain berfungsi sebagai bandar perdagangan, penduduk di Banjarmasin
(Orang Banjar) juga banyak yang berstatus sebagai pedagang. Mereka juga
melakukan perdagangan sampai ke Pulau Jawa, tepatnya ke pelabuhan Bantam
(Banten). Lewat perdagangan tersebut, informasi tentang bandar
perdagangan diBanjarmasin sampai ke telinga orang Belanda.
Kontak awal antara para pedagang Banjar dengan Belanda terjadi sekitar
tahun 1596 M, ketika Orang Banjar berdagang ke Banten. Dari sinilah
Belanda tahu bahwa di Banjarmasin terdapat komoditi lada hitam yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi di pasaran internasional. Pertemuan
dengan para pedagang Banjar tersebut kemudian berlanjut dengan
pengiriman ekspedisi oleh Belanda ke Kesultanan Banjar pada tahun 1603 M
di bawah pimpinan Admiral van Wouwijck.
Tujuan pengiriman ekspedisi tersebut adalah untuk menjalin hubungan
perdagangan antara Belanda dan Sultan Mustain Billah. Pada tanggal 14
Februari 1606, Belanda kembali mengirimkan ekspedisi ke Kesultanan
Banjar, tetapi ekspedisi kedua ini gagal karena semua orang Belanda yang
turut dalam ekspedisi kali ini dibunuh oleh Orang Banjar.
Terbunuhnya orang-orang Belanda oleh Orang Banjar membuat Belanda
semakin berambisi untuk memaksakan hubungan dagang, bahkan jika perlu
menguasai Kesultanan Banjar. Maka dikirimlah ekspedisi ketiga pada tahun
1612 M. Ekspedisi kali ini diperkuat dengan pengiriman kapal perang,
yaitu de Hzewind, de Brack, de Halve Maan, dan Klein van de Veer. Akibat
serbuan Belanda, Sultan Mustain Billah terpaksa memindahkan pusat
pemerintahan ke Martapura.
Upaya Belanda untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Banjar
lewat ekspedisi pada tahun 1612 tidak sepenuhnya berhasil. Sekitar tahun
1635, Belanda memaksa Sultan Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang
bergelar Sultan Inayatullah (1620 – 1637 M) untuk menandatangani
perjanjian monopoli lada hitam dengan harga yang ditetapkan oleh
Belanda. Perjanjian tersebut tidak berjalan lancar karena pada tahun
1638 orang-orang Belanda dibunuh dan kapal-kapal perangnya
ditenggelamkan oleh Orang Banjar.
Pengaruh Belanda di Kesultanan Banjar
Sulitnya menjalin hubungan dengan Kesultanan Banjar membuat Belanda
bersiasat untuk menunggu tanpa mengurangi gairahnya untuk menguasai
perdagangan lada hitam di Kesultanan Banjar. Siasat Belanda ini
menemukan waktu yang tepat ketika terjadi suksesi kepemimpinan
(perebutan tahta) di Kesultanan Banjar, antara Pangeran Muhammad
Aminullah, anak dari Sultan Kuning dengan Hamidullah, adik dari Sultan
Kuning.
Perebutan tahta diawali ketika Sultan Kuning wafat pada tahun 1734 M
dengan meninggalkan seorang putera yang masih berusia sekitar 5 tahun
yang bernama Muhammad Aminullah. Sebagai pengampu tahta sementara,
ditunjuk adik Sultan Kuning bernama Hamidullah, yang setelah diangkat,
bergelar Sultan Tamjidillah I.
Setelah Muhammad Aminullah dewasa dan meminta tahta Kesultanan Banjar,
ternyata Sultan Tamjidillah I tidak memberikan hak tersebut kepada
Muhammad Aminullah. Muhammad Aminullah bahkan hanya diberikan jabatan
mangkubumi dan dikawinkan dengan puteri sulung Sultan Tamjidillah I.
Belanda yang sejak awal berniat untuk menanamkan pengaruh di Kesultanan
Banjar melihat peluang untuk mendekati salah satu pihak dalam perebutan
tahta. Belanda akhirnya mendekati Sultan Tamjidillah I. Berkat bantuan
dari Belanda, Muhammad Aminullah terus dipojokkan dengan cara “ditahan”
di istana. Tetapi pada tahun 1753 M, Muhammad Aminullah berhasil
melarikan diri ke Tabanio, suatu daerah yang terletak di Tanah Laut,
ujung selatan dari Kalimantan Selatan yang menghadap ke barat laut Jawa.
Di tempat tersebut, Muhammad Aminullah berkomplot dengan beberapa bajak
laut dan membangun markas perlawanan dengan tujuan awal mengacaukan
jalur perdagangan dari dan menuju ke Kesultanan Banjar. Sebagai balasan
atas jasanya dalam mendesak Muhammad Aminullah untuk keluar dari istana,
Belanda memaksa Sultan Tamjidillah I untuk menandatangani perjanjian
perdagangan lada hitam pada tahun 1747 M dan izin untuk mendirikan kota
di Tabanio..
Belanda yang telah menanamkan pengaruh di Kesultanan Banjar, melalui
siasat politiknya, juga menjalin hubungan dengan Muhamamad Aminullah
yang telah bergabung dengan komplotan bajak laut di Tabanio. Belanda
melihat kekuatan kelompok Muhammad Aminullah untuk memotong jalur
perdagangan di Kesultanan Banjar mempunyai akibat yang cukup besar.
Salah satu rencana Belanda untuk menguasai perekonomian lada hitam bisa
menjadi kacau jika terus menerus mendapat gangguan dari Muhammad
Aminullah. Inilah alasan Belanda untuk mendekati Muhammad Aminullah.
Belanda bahkan menawarkan bantuan kepada Muhammad Aminullah untuk
kembali meminta haknya sebagai pewaris tahta di Kesultanan Banjar.
Sikap Belanda dengan memihak kedua kubu dibuktikan ketika Belanda yang
diwakili oleh J.A. Paraficini membuat surat perjanjian dengan Sultan
Tamjidillah I pada tanggal 20 Oktober 1756. Seminggu kemudian, tepatnya
pada tanggal 27 Oktober 1756, Paraficini juga membuat perjanjian dengan
Muhammad Aminullah di Tabanio (Kayutangi, Tatas). Dalam pernyataannya,
Paraficini menjanjikan kepada Sultan Tamjidillah bahwa Belanda akan
cenderung memberikan dukungan (bantuan) kepada Sultan Tamjidillah I.
Tetapi pada kesempatan lain, Paraficini juga memberikan pernyataan yang
sama kepada Muhammad Aminullah.
Siasat Belanda yang didasari oleh kekhawatiran atas kekuatan Muhammad
Aminullah, ternyata menemukan jawaban. Dengan laskar yang sangat besar,
Muhammad Aminullah menyerang Sultan Tamjidillah I pada tanggal 2 Agustus
1759. Atas dasar serangan inilah, Sultan Tamjidillah terpaksa
menyerahkan tahta Kesultanan Banjar kepada Muhammad Aminullah yang
akhirnya ditabalkan sebagai sultan pada tanggal 3 Agustus 1759.
Masa pemerintahan Sultan Muhammad Aminullah berlangsung sangat singkat
karena pada tanggal 16 Januari 1971 beliau meninggal dunia. Sebagaimana
halnya dengan ayahnya, Sultan Kuning, di akhir hayatnya Sultan Muhammad
Aminullah juga meninggalkan dua orang putera yang masih kecil, bernama
Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dengan alasan belum cukup umur
untuk mengampu jabatan sultan, maka jabatan wali sultan di Kesultanan
Banjar untuk sementara diserahkan kepada Pangeran Nata Dilaga, anak
Sultan Tamjidillah I, yang bergelar Sultan Tahmidillah II.
Seperti ayahnya, Sultan Tahmidillah II juga memutuskan secara sepihak
dengan menyatakan bahwa pengganti dirinya kelak sebagai sultan di
Kesultanan Banjar bukan Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir,
melainkan puteranya yang bernama Sulaiman (Suleman) Saidullah.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sultan Tahmidillah II selepas
sembahyang Jumat pada bulan Januari 1767. Dengan pernyataan tersebut,
maka peluang bagi Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir untuk menduduki
tahta di Kesultanan Banjar praktis telah tertutup.
Pada usia sekitar 18 tahun (1772 M), bersama seorang Belanda bernama
W.A. Palm, Pangeran Abdullah berencana untuk merebut kembali tahta
Kesultanan Banjar. Perencanaan tersebut ternyata memerlukan waktu yang
cukup lama sampai akhirnya siap untuk dijalankan. Akan tetapi rencana
penyerbuan ke Kesultanan Banjar ternyata telah tercium oleh Sultan
Tahmidillah II. Dengan berpura-pura mengundang jamuan makan malam,
Pangeran Abdullah diracun, dicekik, dan dibunuh oleh kaki-tangan Sultan
Tahmidillah II. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 16 Maret 1776.
Pembunuhan terhadap Pangeran Abdullah ternyata berimbas langsung
terhadap Pangeran Amir. Atas dasar kebijakan agar tidak mengobarkan
“pemberontakan” serupa, Sultan Tahmidillah II memaksa “secara halus”
kepada Pangeran Amir untuk meninggalkan Kesultanan Banjar (Banjarmasin).
Pada tahun 1782 M, Pangeran Amir meninggalkan Banjarmasin menuju ke
daerah yang bernama Pasir. Di daerah tersebut terdapat paman beliau,
seorang keturunan Bugis bernama Arung Turawe (Torawe). Arung Torawe
adalah saudara dari ibu Pangeran Amir yang merupakan seorang puteri
berdarah Bugis.
Pangeran Amir menyusun kekuatan di Pasir dengan Arung Turawe untuk
merebut tahta di Kesultanan Banjar. Rencana untuk menyerang Kesultanan
Banjar akhirnya dilaksanakan pada bulan Oktober 1785 M. Pasukan Pangeran
Amir dan Arung Turawe yang terdiri dari sekurangnya 60 kapal mendarat
di Tabanio dan mulai merebut benteng-benteng yang termasuk ke dalam
wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar.
Di sisi lain, kekuatan Kesultanan Banjar mulai bertambah karena mendapat
bantuan dari Belanda. Gabungan kekuatan antara Sultan Tahmidillah II
dan Belanda pada akhirnya berhasil mematahkan perlawanan yang dilakukan
oleh orang-orang Bugis dan Pangeran Amir dalam suatu perang pada tanggal
14 Maret 1786. Pangeran Amir akhirnya ditangkap dan diasingkan ke
Ceylon (Srilanka) pada tahun 1789 M.
Setelah perang, Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada Sultan
Tahmidillah II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk
mendirikan kantor di Tabanio, Hulu sungai, Pulau Kaget, dan Tatas.
Perjanjian antara Kesultanan Banjar yang diwakili oleh Sultan
Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten Christoffel Hoffman
ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787M.
Dalam perjanjian pada tanggal 13 Agustus 1787, salah satu poin penting
yang menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di
Kesultanan Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kesultanan Banjar
kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari Kesultanan
Banjar yang kemudian menjadi wilayah Belanda. Daerah tersebut, menurut
Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai Timur
Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai,
Sampit, Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah
taklukannya, serta sebagian dari desa Tatas.
Pada tahun 1801 M, Sultan Tahmidillah II meninggal dunia. Sebagai
pengganti kedudukan Sultan Tahmidillah II, pada tahun 1801, putera
beliau bernama Sulaiman (Suleman) Saidullah ditabalkan sebagai sultan di
Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suleman Almutamidullah bin
SultanTahmidillah II (1801 – 1825)
Pada tahun 1825 M, Sultan Suleman mengundurkan diri sebagai sultan dan
digantikan oleh puteranya yang bergelar Sultan Adam Al Wasik Billah
(1825-1857). Pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah,
dikeluarkan suatu undang-undang negara pada tahun 1835 M yang dikenal
sebagai Undang-undang Sultan Adam. Di dalam Undang-undang tersebut,
terlihat sangat jelas bahwa sumber hukum di dalam Kesultanan Banjar
bersumberkan pada hukum Islam. Oleh karena itulah kerajaan Banjar
disebut sebagai kerajaan Islam dan Urang Banjar dikenal sebagai orang
yang beragama Islam.
Masa Perlawanan terhadap Belanda
Akar permasalahan perlawanan terhadap Belanda dimulai dari perebutan
tahta. Perebutan ini diawali dari meninggalnya putera mahkota Kesultanan
Banjar, Sultan Muda Abdurrahman, pada tahun 1852 M. Meninggalnya putera
mahkota meninggalkan bibit-bibit perpecahan di Kesultanan Banjar.
Pihak-pihak yang bertikai terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu pertama,
Pangeran Tamjidillah yang mempunyai kedekatan dengan Belanda. Beliau
adalah anak dari hasil perkawinan antara Sultan Muda Abdurrahman dengan
seorang selir bernama Nyai Besar Aminah. Kedua, Pangeran Hidayatullah
yang mempunyai kedekatan dengan rakyat di Kesultanan Banjar. Beliau
adalah anak dari hasil perkawinan kedua antara Sultan Muda Abdurrahman
dengan Permaisuri Ratu Siti, puteri Mangkubumi Nata. Perkawinan pertama
Sultan Muda Abdurrahman dengan Permaisuri Ratu Antasari, saudara
perempuan Pangeran Antasari, tidak menghasilkan putera. Ketiga, Pangeran
Prabu Anom, adik dari Sultan Muda Abdurrahman yang mempunyai kedekatan
dengan birokrasi istana.
Dari ketiga kelompok tersebut, Pangeran Tamjidillah mempunyai kedudukan
yang menguntungkan karena kedekatannya dengan Belanda. Hal ini
dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Pangeran Tamjidillah untuk
menguatkan posisinya dalam menduduki jabatan sebagai sultan. Di sisi
lain, Belanda juga mempunyai kepentingan di Kesultanan Banjar. Dengan
diangkatnya Pangeran Tamjidillah sebagai sultan, maka secara langsung
kepentingan dan pengaruh Belanda di Kesultanan Banjar akan terjamin.
Sikap Belanda dibuktikan dengan mengangkat secara sepihak Pangeran
Tamjidillah sebagai putera mahkota pada tanggal 8 Agustus 1852.
Sementara itu, pada tanggal 9 Oktober 1856, Pangeran Hidayatullah
diangkat sebagai mangkubumi.
Pada tanggal 1 November 1857, Sultan Adam Al Wasik Billah meninggal
dunia. Pada tanggal 3 November 1857, secara sepihak, Belanda mengangkat
Pangeran Tamjidillah sebagai sultan di Kesultanan Banjar dengan gelar
Sultan Tamjidillah II. Di sisi lain, untuk menghindari perebutan tahta,
Belanda menangkap Pangeran Anom dan membuangnya ke Jawa .
Terpilihnya Sultan Tamjidillah II tidak secara langsung bisa meredakan
ketegangan seputar perebutan tahta. Kedekatan sultan dengan Belanda
diartikan sebagai keberpihakan secara total Kesultanan Banjar kepada
kekuasaan Belanda. Selain itu, Sultan Tamjidillah II merupakan anak dari
seorang selir yang, menurut tradisi Kesultanan Banjar, tidak berhak
untuk diangkat sebagai putera mahkota, terlebih lagi menjadi sultan. Hal
inilah yang menimbulkan perpecahan di antara pihak sultan, birokrasi
istana (khususnya Pangeran Hidayatullah), dan rakyat. Gesekan seputar
ketidakpuasan pengangkatan sultan baru akhirnya menimbulkan beberapa
gerakan Muning, yaitu gerakan sosial masyarakat tani yang kemudian
menjadi motor dalam Perang Banjar (1859-1905).
Pangeran Hidayatullah yang merupakan pewaris tahta yang sah, secara
bertahap berusaha merebut pengaruh dari bangsawan, pemimpin daerah di
wilayah Kesultanan Banjar, dan rakyat. Dukungan dari kaum bangsawan
datang dari orang-orang seperti Nyai Ratu Komala Sari, isteri almarhum
Sultan Adam Al Wasik Billah, dan tiga orang puteri beliau, Ratu Kasuma
Negara, Ratu Aminah, dan Ratu Keramat, serta Pangeran Antasari. Dukungan
dari pemimpin daerah datang dariPanembahan Muda Datu Aling, pemimpin
Gerakan Muning di daerah Muning, dan Jalil, pemimpin daerah Banua Lima.
Besarnya dukungan terhadap Pangeran Hidayatullah membuat Sultan
Tamjidillah II merasa terdesak. Beliau kurang mendapatkan dukungan dari
Belanda karena Belanda menganggap bahwa sengketa perebutan tahta di
kalangan para bangsawan di Kesultanan Banjar adalah persoalan internal
yang tidak secara langsung berpengaruh terhadap kepentingan Belanda.
Akhirnya, karena dilanda ketakutan akan pecahnya kudeta terhadap
dirinya, Sultan Tamjidillah II melarikan diri ke Banjarmsin pada bulan
April 1859.
Setelah larinya Sultan Tamjidillah II, praktis terjadi kekosongan
pemerintahan di Kesultanan Banjar. Untuk mengantisipasinya, Belanda
mengambil alih secara langsung pemerintahan Kesultanan Banjar dan
meletakkannya di bawah pemerintahan seorang residen yang bernama Residen
von Bertheim.
Sepeninggal Sultan Tamjidillah II, musuh utama gerakan Muning, kini
perlawanan beralih pada Belanda selaku “dalang” dalam sengketa di
Kesultanan Banjar. Dukungan kepada Pangeran Hidayatullah kini lebih
ditujukan untuk menghantam Belanda agar angkat kaki dari wilayah
Kesultanan Banjar. Belanda yang awalnya tidak terlalu peduli dengan
masalah internal Kesultanan Banjar, kini tidak mempunyai pilihan lain
karena berhadapan secara langsung dengan kekuatan yang digalang oleh
Pangeran Hidayatullah.
Nama Pangeran Antasari mulai dikenal karena perseleisihan ini. Pangeran
Antasari dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah untuk menjadi penghubung
antara istana, pemimpin pergerakan di daerah, dan rakyat. Beliau
menghimpun dan menggerakkan para pemimpin daerah beserta pengikutnya,
mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun, sampai Pasir. Bisa
disimpulkan bahwa otak perlawanan pada Perang Banjar adalah Pangeran
Antasari, meskipun pucuk pimpinan tertinggi yang diakui oleh rakyat
Kesultanan Banjar kala itu adalah Pangeran Hidayatullah. Keterangan ini
merujuk pada pernyataan Residen von Bertheim yang menjuluki Pangeran
Antasari sebagai “Pemimpin Pemberontakan”, jauh hari sebelum pertempuran
pertama dalam Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859.
Pada tanggal 28 April 1859, terjadi serangan pertama yang dipimpin
langsung oleh Pangeran Antasari. Dengan kekuatan sekitar 300 orang,
Pangeran Antasari memimpin penyerbuan ke benteng Belanda di Pangaron.
Setelah pertempuran pertama, beberapa pertempuran lain kemudian meletus,
antara lain, pertempuran di benteng Gunung Lawak pada tanggal 29
September 1859, pertempuran di kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan
Desember 1859, penenggelaman kapal Onrust di sungai Barito oleh
Tumenggung Surapati, seorang tokoh dari suku Dayak Siang, pada tanggal
26 Desember 1859, dan pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860.
Pada tanggal 28 Januari 1862, Pangeran Hidayatullah menyerah kepada
Belanda dengan alasan kesehatan. Tetapi karena Belanda bermaksud untuk
membuang Pangeran Hidayatullah ke Jawa, maka beliau akhirnya melarikan
diri. Hanya berselang satu bulan, tepatnya pada tanggal 28 Februari
1962, Pangeran Hidayatullah kembali menyerah kepada Belanda. Akhirnya,
pada tanggal 3 Maret 1862, dengan menggunakan kapal api Bali, Pangeran
Hidayatullah dan keluarga dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Beliau
meninggal di tempat pembuangan pada tahun 1904.
Setelah pembuangan Pangeran Hidayatullah, pemimpin tertinggi perlawanan
dalam Perang Banjar diambil alih oleh Pangeran Antasari. Pada tanggal 14
Maret 1962, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan tertinggi di
Kesultanan Banjar (Sultan Banjar). Beliau menyandang gelar Panembahan
Amir Oeddin Khalifatul Mukminin.Upacara penabalan beliau dilakukan di
hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah
Tanah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan, yaitu Kiai Adipati Jaya Raja.
Dirunut dari garis keturunan, ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran
Masohut (Mas‘ud) bin Pangeran Amir bin Muhammad Aminullah bin Sultan
Kuning, sehingga jika dilihat dari garis keturunan, sebenarnya Pangeran
Antasari adalah pewaris tahta Kesultanan Banjar yang sah, sebelum
terjadinya “pengusiran” atas pewaris tahta Kesultanan Banjar yang sah,
Muhammad Aminullah, oleh Pangeran Tamjidillah yang bergelar Sultan
Tamjidillah I. Akan tetapi kedudukan Pangeran Antasari sebagai pemimpin
tertinggi yang diakui oleh rakyat di Kesultanan Banjar ternyata tidak
berlangsung lama. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari
dikabarkan telah meninggal dunia karena penyakit cacar dan dimakamkan di
Desa Bayan Bengok, di hulu sungai Teweh.
Beliau tidak pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah kepada Belanda.
Oleh karenanya foto Pangeran Antasari sulit ditemukan. Gambar yang
dikenal sekarang merupakan ilustrasi dari ciri-ciri beliau yang dihimpun
dari berbagai data dan divisualkan. Salah satunya adalah karya dari
sebuah tim yang dibentuk berdasarkan SK Gubernur Kdh. Tkt. I Kalsel No.
0375 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994. Lukisan tersebut sekarang
ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta. Atas kegigihannya dalam melawan
Belanda, Pangeran Antasari ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional
Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 06/TK/Tahun
1968 tanggal 27 Maret 1968.
Pengganti Pangeran Antasari adalah puteranya yang bernama Muhammad
Seman. Di mata rakyat, beliau merupakan sultan Kesultanan Banjar
terakhir yang mendapatkan tugas utama untuk menggantikan sang ayah dalam
menjaga nyala api perlawanan dalam Perang Banjar. Perlawanan Muhammad
Seman terpaksa harus terhenti karena beliau meninggal dunia dalam suatu
pertempuran melawan Belanda di sungai Manawing pada tahun 1905. Beliau
dimakamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Dengan meninggalnya Muhammad Seman, berarti riwayat Kesultanan Banjar
juga telah berakhir. Setelah Perang Banjar (1859-1905), Belanda membuat
beberapa keputusan, antara lain Kesultananan Banjar dihapuskan dan
seluruh bekas daerah Kesultanan Banjar dimasukkan ke dalam tatanan baru
Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo. Dengan demikian
berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar yang telah berlangsung selama 379
tahun (1526-1905).
Silsilah Para Sultan
Berikut ini adalah silsilah para sultan di Kesultanan Banjar. Silsilah
para sultan tersebut dirangkum dari beberapa sumber, yaitu Rosyadi et
al. (1993, Hikayat Banjar dan Kotaringin), M. Suriansyah Ideham et al.
(eds.) (2003, Sejarah Banjar),
Berikut ini adalah silsilah para sultan di Kesultanan Banjar:
Pangeran Samudera (1526 – 1545 M) yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, raja pertama yang memeluk agama Islam
Sultan Rahmatillah (1545 – 1570 M)
Sultan Hidayatillah (1570 – 1595 M)
Sultan Musta‘in Billah atau Marhum Panembahan (1595 – 1620 M) yang
dikenal sebagai Pangeran Kacil. Sultan inilah yang memindahkan keraton
ke Kayutangi Martapura karena keraton di Kuwin hancur diserang Belanda
pada tahun 1612 M.
Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatillah (1620 – 1637 M)
Ratu Anum bergelar Sultan Sai‘dullah (1637 – 1642 M)
Adipati Halid (Pangeran Tapesana) (1642 – 1660 M) memegang jabatan
sebagai Wali Sultan karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus
Kesuma, belum dewasa
Amirullah Bagus Kesuma (1660 – 1663 M). Pada tahun 1663 M, Pangeran
Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan
pusat pemerintahan ke Banjarmasin, sekitar Sungai Pangeran sekarang,
sementara pemerintahan di Martapura dipegang kembali oleh Adipati Tuha
sampai tahun 1666 M.
Pangeran Adipati Anum (1663 – 1679 M). Beliau naik tahta pada tahun 1663
M setelah merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma dan memindahkan
keraton ke Banjarmasin dan bergelar Sultan Agung
Sultan Tahmidillah I (1679-1700 M)
Sultan Hamidillah bergelar Sultan Kuning (1700 – 1734 M)
Pangeran Tamjid bin Sultan Amirullah Bagus Kesuma bergelar Sultan
Tamjidillah I (1734 – 1759 M). Beliau naik tahta untuk menggantikan
Pangeran Muhammad Aminullah, anak Sultan Kuning yang belum dewasa.
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Kuning (1759 – 1761 M)
Pangeran Nata Dilaga (1761 – 1801 M). Beliau naik tahta sebagai wali
putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa dan memegang
pemerintahan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Sultan Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidillah II (1801 – 1825)
Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman (1825 – 1857)
Pangeran Tamjidillah II (1857 – 1859)
Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu‘mina (1859-1862)
Sultan Muhammad Seman (1862 – 1905)
Sistem Pemerintahan
Sejak awal didirikan, Kesultanan Banjar telah menjalin ikatan dengan
Kesultanan Demak di Jawa. Hubungan tersebut merupakan salah satu sikap
politik yang diambil oleh Pangeran Samudera untuk menghadapi berbagai
ancaman, misalnya dari penguasa di daerah pedalaman Kalimantan Selatan.
Selain itu, sikap untuk menempatkan agama Islam sebagai agama negara
juga berfungsi sebagai cara untuk mempermudah Kesultanan Banjar dalam
menjalin hubungan dengan berbagai kerajaan Islam di nusantara.
Sistem pemerintahan di Kesultanan Banjar tampaknya memiliki kemiripan
dengan sistem pemerintahan dalam kerajaan-kerajaan di Jawa, di mana
kraton (istana) merupakan miniatur kosmos dengan raja (sultan) sebagai
inti. Pemimpin pemerintahan di Kesultanan Banjar adalah raja atau
sultan. Di bawahnya terdapat Mangkubumi yang mempunyai pengaruh
kekuasaan yang sangat besar karena biasanya adalah saudara raja atau
sultan, mertua, dan paman.
Mangkubumi mempunyai wewenang dalam masalah administrasi negara untuk
mengurusi seluruh wilayah negara dan menentukan keputusan terakhir
tentang seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Di samping itu, Mangkubumi
juga mempunyai wewenang atas hak penyitaan segala harta benda milik
orang yang dijatuhi hukuman. Wewenang seperti ini berlaku sampai
permulaan abad ke-17.
Dalam menjalankan tugasnya, Mangkubumi didampingi oleh beberapa menteri
(deputi). Menurut Rosyadi, hanya ada dua jabatan yang langsung berada di
bawah Mangkubumi, yaitu penganan dan pengiwa. Di bawah penganandan
pengiwa, terdapat empat orang jaksa. Di bawah jaksa, terdapat empat
orangmenteri bumi. Sementara itu, di bawah menteri bumi, terdapat empat
puluh menteri sikap.
Akan tetapi, selain terdapat penganan danpengiwa, di bawah jabatan
Mangkubumi juga terdapat gampiran atau gumpiran dan panumping yang
jabatannya setara dengan penganan dan pengiwa. Keempat orang tersebut
mempunyai wewenang sebagai jaksa dan hakim, tetapi keputusan akhir harus
selalu didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku saat itu yang
terhimpun dalam sebuah kodifikasi hukum yang disebut Kutara. Kutara
merupakan pedoman hukum yang dipakai di Kesultanan Banjar, yang disusun
oleh Aria Taranggana ketika beliau menjabat sebagai Mangkubumi. Aria
Taranggana adalah Mangkubumi ketika Pangeran Tumenggung masih memegang
tampuk kekuasaan di Kerajaan Daha dan Kesultanan Banjar belum terbentuk
Sistem pemerintahan Kesultanan Banjar juga mengatur tentang bandar
perdagangan di Banjarmasin. Untuk mengatur bandar perdagangan, sultan
mengangkat seorang kepala pelabuhan yang bertugas sebagai kepala bea
cukai dengan jabatan yang disebut Kiai Pelabuhan. Jabatan Kiai Palabuhan
tidak sama dengan syahbandar. Kiai Palabuhan mempunyai tugas hanya
sebatas memungut bea cukai dan menjadi orang yang bertanggung jawab
sepenuhnya di bandar Banjarmasin. Sementara itu, Syahbandar bisa
berfungsi sebagai wakil sultan dalam kegiatan perdagangan dengan
pedagang-pedagang dari luar negeri. Dalam hal ini, jabatan syahbandar
lebih tinggi daripada Kiai Palabuhan karena syahbandar memainkan fungsi
yang sangat besar sebagai duta Kesultanan Banjar.
Menurut Amir Hasan Kiai Bondan ketika Kesultanan Banjar diperintah oleh
Sultan Adam Al Wasik Billah pada permulaan abad ke-19, terjadi
perubahan sistem pemerintahan. Perubahan tersebut menghasilkan beberapa
jabatan yang meliputi:
Mufti atau hakim tertinggi yang bertugas sebagai pengawas pengadilan umum
Qadi atau kepala urusan hukum agama Islam
Penghulu atau hakim rendah
Lurah yang bertugas secara langsung sebagai pembantu Lalawangan (atau
kepala distrik. Kedudukan Lalawangan sama seperti kepala distrik pada
masa penjajahan Belanda) dan mengamati pekerajaan beberapa orang
Pambakal (Kepala Kampung). Dalam menjalankan tugasnya, Lurah dibantu
oleh khalifah, bilal, dan kaum
Pambakal atau kepala kampung yang menguasai beberapa anak kampung
Mantri merupakan jabatan atau gelar kehormatan yang diberikan bagi
orang-orang terkemuka dan berjasa. Jabatan Mantri setara dengan kepala
desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
Tatulia Kampung atau orang terkemuka di kampung
Panakawan atau orang yang menjadi suruhan sultan dan diberikan kebebasan dari segala macam pajak dan kewajiban
Wilayah Kekuasaan
Ketika diperintah oleh Pangeran Samudera, wilayah kekuasaan Kesultanan
Banjar meliputi wilayah kekuasaaan yang dulu pernah menjadi daerah
taklukan Negara Daha, hingga meliputi sebagian besar wilayah Kalimantan
Selatan. Pada abad ke 17- pertengahan 18, wilayah kekuasaan Kesultanan
Banjar meliputi Kerajaan Berau, Kutai, Pasir, Dayak Besar, Sampit,
Kotawarigin, dan Lawai.
Pada tahun 1845, diadakan perjanjian antara Belanda dan Kesultanan
Banjar yang kala itu diperintah oleh Sultan Adam Al Wasik Billah bin
Sultan Suleman (1825 – 1857). Perjanjian tersebut secara tegas membagi
wilayah Kesultanan Banjar menjadi 4 bagian yang disebutkan di bawah ini.
Daerah Banjarmasin terletak di sebelah kanan sungai Martapura sampai
dengan sungai Kalayan, kemudian pinggir sebelah kanan sungai Kuwin dan
sepanjang sungai Barito. Di daerah ini, terletak istana Kesultanan
Banjar yang telah hancur karena serangan Belanda pada tahun 1612.
Daerah Martapura meliputi daerah Sungai Riam Kanan dan Sungai Riam Kiwa.
Daerah Banua Ampat yang meliputi daerah Banua Halat, Banua Gadung,
Parigi, dan Lawahan-Tambaruntung. Di daerah Lawahan ini, mengalir sungai
Muning.
Daerah Banua Lima yang meliputi daerah-daerah Negara, Amuntai, Alabio, Kalua dan sungai Banar.
Dilihat dari pembagian tersebut, wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar
telah mengalami penyempitan dan hanya memerintah secara langsung di
wilayah sebelah kanan sungai Martapura sampai dengan sungai Kalayan,
kemudian pinggir sebelah kanan sungai Kuwin dan sepanjang sungai Barito.
Jejak Peninggalan
Sebagai kerajaan yang besar, Kerajaan Banjar tentunya memiliki
peninggalan arsitektural. Sangat disayangkan hingga Saat ini tidak
ditemukan serta diketahui dimana lokasi Keraton Banjar dan bagaimana
bentuk arsitekturalnya.
Sehubungan dengan hal itulah penelitian ini dilaksanakan, dan melalui
kolaborasi antara sejarah, arkeologi dan arsitektur, diharapkan dapat
menguak tabir yang selama ini belum ada yang mengangkat dan
membicarakannya.
Diakibatkan minimnya tinggalan arkeologis, upaya melacak arsitektur
Keraton Banjar sangat sulit dilaksanakan. Walaupun demikian, upaya masih
dapat dilaksanakan melalui berbagai sumber, yaitu; sumber sejarah
Kerajaan Negara Daha, sumber sejarah Kotawaringin, sumber sejarah
Kerajaan Banjar, dan sumber dari relief candi masa kerajaan Majapahit.
Berdasar pendekatan tersebut diperoleh sketsa (bersifat spekulatif)
bentuk arsitektural Kraton Banjar.
SEJARAH KERATON BANJAR
Berdasarkan pendapat M. Idwar Saleh (1981) menyimpulkan bahwa Kerajaan
Banjar didirikan pada tahun 1526 Masehi. Selanjutnya dijelaskan bahwa
pusat kerajaan menggunakan rumah Patih Masih yang kemudian dikembangkan
dan diperluas menjadi istana yang terdiri dari Pagungan, Sitiluhur, dan
Paseban (M. Suriansyah Ideham Dkk., 2003, 68-69). Sultan Suriansyah dan
Patih Masih mampu membangun Kerajaan Banjar menjadi sebuah kerajaan
yang besar, aman-tenteram dan perekonomian masyarakatnya cukup makmur
karena perdagangan dengan pihak luar dapat dilakukan dengan bebas tanpa
adanya monopoli dari pihak manapun. Pengganti Sultan Suriansyah adalah
Sultan Rahmatullah.
Di bawah pemerintahan Sultan Rahmatullah Kerajaan Banjar semakin maju
dan berkembang dengan wilayah kekuasaannya hampir mencakup seluruh
Kalimantan. Perdagangan dengan para pedagang asing semakin berkembang
pesat bahkan ada beberapa perwakilan dagang dari Cina dan Negara-negara
Barat yang mendirikan kantor di Banjarmasin. Pusat Kerajaan Banjar di
kawasan Kuin ini sekurang-kurangnya dapat berlangsung hingga tahun 1612.
Pada tahun 1612 inilah terjadi peristiwa penyerangan yang dilakukan
oleh pasukan Belanda yang menghancurkan dan membumihanguskan Keraton
Banjar. Saat itu Kerajaan Banjar di bawah pemerintahan Raja
Mustaqimbillah (1595 – 1620). Setelah keraton hancur dan habis terbakar,
maka pusat kerajaan dipindahkan ke Teluk Selong daerah Martapura. Dalam
tulisannya tentang Perang Banjar, H. Gusti Mayur (1979) menjelaskan
bahwa pemindahan ibukota kerajaan Banjar ke Kayu Tangi atau Bumi
Selamat, daerah Martapura kira-kira tahun 1623. Sejak itulah tidak
henti-hentinya terjadi pertempuran secara sporadis antara Belanda dan
rakyat Banjar.
ARSITEKTUR KERATON
Keraton, sejauh yang dipahami menunjuk pada kekuasaan raja-raja,
khususnya di tanah Jawa. Secara lebih spesifik disimbolkan melalui
tempat kediaman raja beserta keluarga, pembantu dekat, dan para
pengawalnya. Keraton juga dipahami berdasarkan pemahaman kebahasaan
(linguistik). Kata keraton/karaton (ke-ra-tu-an) diartikan untuk
menunjukan tempat kediaman ratu atau raja, atau kedaton (ke-datu-an)
yaitu berarti istana/kerajaan. Makna ini serupa menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, yaitu keraton berarti tempat kediaman ratu atau raja;
istana raja; kerajaan.
Sebagai kediaman raja, keraton biasanya merupakan kompleks bangunan yang
dikelilingi batas-batas teritorial yang jelas. Batas-batas ini
merupakan penanda yang secara visual sangat dikenal serta sangat
fungsional, antara lain sebagai benteng pertahanan. Dari aspek
keruangan, terdapat batas-batas imaginer yang memisahkan peruangan
keraton, sehingga membentuk konsep hierarki yang berjenjang sesuai
dengan strata sosial-kemasyarakatan ataupun maksud-maksud lainnya. Dalam
Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca disebutkan sebagian
gambaran istana atau keraton Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam
Wuruk (1350-1389). Disebutkan bahwa pintu gerbang Istana Majapahit
berada di sebelah utara dengan dilengkapi menara pengawas, sedangkan
didalamnya terdapat alun-alun. Kompleks bangunan dikelilingi tembok batu
berwarna merah dan disebelah tenggara terdapat tempat kediaman raja
beserta saudaranya. Selain kompleks istana terdapat juga rumah-rumah
pemuka agama, tempat-tempat suci (peribadatan), balai pertemuan,
lapangan upacara, kediaman pejabat, dan berbagai bangunan lainnya.
MELACAK KERATON BANJAR
Tinggalan Arkeologis Tempat yang diyakini sebagai lokasi Keraton Banjar
adalah lokasi yang saat ini terdapat kompleks makam Sultan Suriansyah
dan sekitarnya di Kelurahan Kuin Utara, Kota Banjarmasin. Kompleks ini
dahulunya sangat tidak terawat akibat kerusakan dan padatnya perumahan
penduduk.
Berdasar kondisi tersebut maka pada tahun 1982 oleh Kanwil Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan Sejarah dan Purbakala Kalimantan
Selatan. Proyek pemugaran dimulai tahun 1982 hingga 1986. Kondisi situs
saat itu (1982) lebih menampakkan gambaran sebagai kompleks makam,
daripada gambaran dahulunya adalah bagian dari Keraton Banjar. Hal ini
disebabkan sejak tahun 1954 telah dibangun sebuah bangunan cungkup serta
lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lokasi makam Sultan Suriansyah.
Dalam perkembangan selanjutnya kawasan tersebut justru menjadi kompleks
pemakaman umum, sehingga pada saat dilaksanakan pemugaran, beberapa
kuburan umum yang ada harus dibongkar untuk dipindahkan. Dalam cungkup
makam sendiri terdapat 15 buah makam, sedangkan di luar cungkup juga
masih terdapat banyak makam lainnya. Ke 15 buah makam tersebut adalah
makam-makam para petinggi Kerajaan Banjar. Selain 15 makam, di dalam
cungkup makam juga terdapat sumur dengan ukuran diameter ±1m yang
dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.
Melihat kondisi pada saat sebelum dilakukan pemugaran, hampir tidak ada
peninggalan bangunan keraton yang tersisa dan muncul di atas permukaan
tanah, kecuali makam dan batu-batu yang berserakan. dilaksanakan
pemugaran Dari hasil penggalian situs di tahun 1982 diperoleh adanya
sebuah pola bebatuan yang menggambarkan sisa-sisa adanya 2 bagian
(bagian barat dan bagian timur) bangunan batu yang dihubungkan oleh
sebuah ruang antara. Konstruksi bangunan batu (pondasi) yang ditemukan
dalam kegiatan pemugaran situs Bangunan batu (pondasi) bagian barat
merupakan situs makam yang di dalamnya terdapat makam Sultan Suriansyah,
sedang bangunan batu bagian timur merupakan situs yang di dalamnya
terdapat Makam Rahmatullah dan Makam Hidayatullah. Kedua bagian ini
memiliki struktur batuan yang berbeda.
Bagian barat memiliki struktur batu yang semua batunya menggunakan batu
bata merah. Batu bata merah disusun secara bergantian antara
panjang-lebar-panjang lebar-dst. Demikian juga pada lapisan-lapisan di
atasnya. Batu-batu bata ini disusun tanpa menggunakan spesi. Batu bata
merah ini berukuran 35x 23x 9 cm, dengan berat 3-5 Kg/biji. Pola yang
membentuk ornamen geometris ini adalah sebagai berikut: dari atas ke
bawah: ½ bata, ¾ bata, 1 bata, ¾ bata, ½ bata. Struktur batu pada bagian
timur ini sangat berbeda, dimana terdiri dari dua jenis bata, yaitu
batu bata merah (sama dengan bagian barat) dan batu bata putih. Karakter
batu bata putih berbeda dengan batu bata merah, bata bata putih relatif
lebih ringan dan lebih kecil ukurannya.
Kedua batu ini disusun dengan pola: Batu bata merah di bagian bawah dan
batu bata putih di bagian atas. Jika ditinjau dari ilmu struktur,
penggunaan bata yang lebih ringan pada bagian atas akan meringankan
beban pada pondasi di bawahnya. Dan jika ditinjau dari segi
ornamentalis, maka penggunaan batu bata putih ini untuk mempermudah
proses ukir pada batu bagian barat bagian timur . Batu bata merah
disusun dengan pola: panjang-lebar-panjang-lebar-dst (lapisan di atasnya
juga demikian). Sedang batu bata putih disusun menyesuaikan dengan
jenis ornamennya. Bagian timur ini terdiri dari 2 bagian, yaitu situs
bagian depan (selatan) dan bagian belakang (utara).
Masing-masing bagian ini memiliki dinding bagian depan yang
ornamentalis. Yang membedakan kedua bagian situs ini adalah tinggi
lapisan alas yang terbuat dari batu bata merah dan jenis ornamennya.
Dengan kata lain di antara kedua halaman yang ada dalam bagian ini tidak
sama tingginya atau terdapat perbedaan elevasi. Pada bagian selatan,
lapisan bata merah terdiri dari 5 lapisan, sedang di bagian utara
terdiri dari 7 lapis bata merah. Bentuk Batuan. Dari beragamnya bentuk
batuan yang ada, dapat diperkirakan bagaimana proses pembuatan
konstruksinya. Berdasar informasi, batu merah yang digunakan sejenis
dengan batu yang terdapat di situs Candi Agung.
Informasi ini dapat menunjukkan beberapa kemungkinan, (1)situs makam
dibangun sejaman dengan situs Candi Agung atau setidaknya sebelum tahun
1612, (2)arsitektur situs makam dipengaruhi oleh kebudayaan Kerajaan
Negara Daha (Hindu), (3)material batu bata merah, sebagaimana Candi
Agung, diyakini tidak berasal dari daerah setempat, melainkan berasal
dari Jawa, (4)teknologi dan keterampilan tenaga pembangunnya berasal
dari Negara Daha. Hal ini sangat mungkin, sebab menurut catatan
sejarah setelah Sultan Suriansyah menjadi raja, sebagian besar penduduk
Daha dipindah kedaerah Kuin.
Tidak terlihat adanya pola tetap (ikatan) dalam penyusunan batu
sebagaimana lazim dikenal saat ini. Batu disusun dari potongan-potongan
yang volumenya relatif sama, selanjutnya baru dibentuk (dipahat) sesuai
keinginan. Potongan-potongan batu yang ada, memiliki keseragaman dalam
dimensi ketebalan (tinggi), khususnya untuk bagian yang sama, namun
berbeda dalam hal dimensi lebarnya (panjang dan lebar). Beberapa ikatan
batu bahkan membentuk patahan yang hampir segaris, hal ini berarti
konstruksi batu tidak dimaksudkan untuk menahan beban yang besar.
Terlihat bahwa batu putih yang diukir dengan berbagai bentuk hanya
berada di sekeliling bagian timur yang menyerupai pelataran (sisi
selatan).
Mungkin sekali bagian ini memang sebuah pelataran, yang memiliki
ketinggian (elevasi) lantai lebih rendah dari lantai utama yang berada
di sebelah utaranya. Beberapa bentuk batuan yang tersusun di bagian ini
sangat mengindikasikan bahwa bentuk batuan yang ada merupakan sebuah
bagian bawah dari konstruksi pagar keliling. Hal lain yang menunjukkan
pada bagian ini terdapat pagar adalah adanya bentuk batuan yang
menyerupai kaki kolom dan tersusun secara beraturan pada tiap jarak 1,5
m. Bentuk kaki kolom ini berjumlah masing-masing 5 buah pada sisi kiri
dan kanan dari sumbu as. Selain di bagian selatan, bentuk kaki kolom ini
juga terdapat di sisi barat dan timur. Dan di bagian tengah dari
dinding selatan terdapat undakan dengan penonjolan di bagian sisi kiri
dan kanannya.
Analisis Arsitektural Keraton.
Upaya melacak arsitektur Keraton Banjar yang ada di situs makam ini
sangat sulit dilaksanakan. Bukti-bukti peninggalan berupa bagian-bagian
bangunan hampir tidak ditemukan, kecuali sisa-sisa struktur bangunan
batu (pondasi) dari batu bata dan batu putih yang sudah dibahas
sebelumnya. Walaupun demikian, terdapat beberapa sumber di luar situs
yang dapat memberi gambaran, yaitu; sumber sejarah Kerajaan Negara
Daha, sumber sejarah Kotawaringin, sumber sejarah Kerajaan Banjar, dan
sumber dari relief candi masa kerajaan Majapahit. Jika dikaitkan dengan
sejarah periode Kerajaan Negara Daha (sebagai pendahulu Kerajaan Banjar)
kemungkinan yang dapat membantu memberi gambaran tentang Keraton Banjar
adalah fakta bahwa periode Negara Daha ini sejaman dengan masa akhir
kejayaan kerajaan Majapahit.
Hal ini berarti kemungkinan bentukan bangunan keratonnya juga serupa.
Jika asumsi ini benar maka kita dapat mempergunakan informasi
bangunan-bangunan pada jaman Majapahit, khususnya yang terdapat pada
relief candi-candi dari masa Majapahit. Dari informasi relief tersebut
dapat membantu untuk merekonstruksi bentukan Keraton Banjar. Juga
melalui informasi tata kota kerajaan Majapahit (pola Mandala) dapat
membantu menggambarkan lingkungan Keraton Banjar. Selain itu mungkin
yang lebih pasti adalah kebudayaan (khususnya tata pemerintahan)
Kerajaan Negara Daha yang sangat dipengaruhi tata pemerintahan di
kerajaan Jawa (Majapahit).
Dengan melihat tata pemerintahan Kerajaan Negara Daha, maka dapat
diperkirakan bentuk tata kota Keraton Banjar berdasar struktur
pemerintahan. Sejarah Kotawaringin diyakini dibangun oleh keturunan
raja-raja Banjar. Jika asumsi ini yang dipakai maka gambaran Keraton
Banjar lebih jelas, sebab peninggalan Istana Raja Kotawaringin masih
terpelihara hingga kini. Dilihat dari masanya, pembangunan Istana
Kotawaringin nampaknya pada periode dimana Kerajaan Banjar telah
berpindah dari Kuin. Sebagaimana bangunan Kerajaan Banjar di Kalimantan
Selatan, maka bangunan istana raja keraton ini dibangun pada kondisi
politik kolonialis Belanda.
Ada kemungkinan bangunan Istana Kotawaringin ini sangat berbeda jika
dibandingkan keraton pada periode aman, seperti Keraton Kerajaan Negara
Daha. Memang disebutkan dalam sebuah syair, bahwa Rumah Bubungan Tinggi
adalah wadah (kediaman) raja-raja, dan Istana Raja Kotawaringin memiliki
bentukan arsitektural yang mirip dengan rumah Bubungan Tinggi. Sumber
lain yang dapat memberi gambaran adalah ilustrasi Keraton Banjar di Kayu
Tangi (Martapura) dan berbagai bangunan lainnya pada masa lalu.
Ilustrasi-ilustrasi tersebut bersumber dari buku-buku penulis Belanda
yang juga dijadikan sumber informasi di Museum Negeri Lambung Mangkurat
Banjarbaru.
Dalam setiap ilustrasi terlihat adanya pagar tinggi yang terbuat dari
batang pohon mengelilingi kompleks istana. Atap bangunan terlihat di
balik pagar, dan memiliki bentuk limas persegi empat panjang. Walaupun
ilustrasi tidak langsung menggambarkan Keraton Banjar di Kuin, namun
dari gambaran Keraton Banjar di Kayu Tangi sudah memberi indikasi adanya
kesamaan. Keraton Kayutangi merupakan Keraton Banjar yang dibangun
setelah Keraton di Kuin di hancurkan Belanda. Dari semua informasi yang
ada, jika dibandingkan dengan peninggalan situs bangunan batu dimakam
Sultan Suriansyah sangat berbeda sekali. Pada situs makam tidak terlihat
sama sekali tanda-tanda bekas bangunan kerajaan atau rumah tinggal,
juga dilingkungan sekitar kawasan Kuin dan daerah Kalimantan Selatan
pada umumnya.
Di beberapa kota seperti di Martapura terdapat sebuah kampung yang
bernama Kampung Keraton, namun belum pernah dilaksanakan penelitian
untuk menjelaskan hubungannya dengan keberadaan kerajaan atau Keraton
Banjar. Kembali ke situs Makam Sultan Suriansyah yang ada, di
masing-masing bagian pondasi/dinding batu putih yang berada di bagian
selatan terdapat sejenis undakan yang diapit oleh dua bagian yang
simetris. Kedua bagian tersebut, jika diamati dengan seksama
menggambarkan adanya gambaran seperti sebuah gerbang. Adanya undakan
(tangga) dilengkapi kaki kolom di kiri dan kanannya memperkuat dugaan
ini. Selanjutnya dihubungkan dengan tipologi susunan batu yang telah
diuraikan sebelumnya, dimana diyakini bahwa susunan batu putih yang ada
di sisi selatan merupakan bagian bawah dari konstruksi pagar.
Keyakinan bahwa bagian undakan ini adalah gapura dapat dilihat dari
perubahan bentuk profil di sisi (kiri dan kanan) dengan di bagian
tengahnya. Di bagian tengah terlihat tidak ada profil, dan hanya batas
garis lurus saja, seperti batas elevasi untuk sebuah undakan (tangga).
Walaupun saat ini di bagian tersebut terdapat tumpukan batu merah, namun
tidak menghalangi asumsi ini. Adanya bentuk susunan batu yang merupakan
bagian kaki sebuah pagar dan membentuk tekukan ke dalam menunjukkan
bahwa bagian ini merupakan akses utama.
Sebagai satu-satunya peninggalan yang masih ada di situs Kuin,
keberadaan akses yang langsung menghadap ke Sungai Kuin ini memberi
petunjuk bahwa sungai merupakan sarana transportasi yang penting pada
masa itu. Berdasarkan hasil analisis terhadap struktur batu yang
ditemukan, dapat diperkirakan susunan batu diatas merupakan sebuah kaki
gapura.
Apabila perkiraan tersebut benar, maka dapat dipastikan bahwa struktur
tersebut merupakan bagian dari sebuah pintu gerbang sebagaimana yang
ditemukan pada gerbang pertama di bagian selatan. Jika bagian yang
berundak ini merupakan gerbang atau setidaknya menyerupai sebuah jalan
masuk, maka tentunya ada pagar dibagian kiri dan kanannya seperti
lazimnya kompleks bangunan dari masa Hindu-Budha hingga masa awal
masuknya agama Islam ke Indonesia Salah satu yang masih menjadi
pertanyaan adalah apakah bangunan di pengaruhi kebudayaan Hindu (Negara
Daha) ataukah sudah dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Hal ini
disebabkan dalam penelitian ini sempat diperoleh temuan batu yang
bertuliskan huruf arab, namun masih perlu bukti lain. Pengaruh dari
budaya Hindu-Budha jelas, terutama dari masa Majapahit.
Hasil budaya materi seperti bangunan dan perkakas rumah tangga dari
suatu periode biasanya secara kontinuitas dilestarikan pada masa-masa
berikutnya dengan perubahan-perubahan yang menyesuaikan pada budaya
baru. Proses seperti ini dikenal dengan istilah akulturasi budaya. Oleh
karena itu, kompleks kraton Kerajaan Banjar tersebut jelas merupakan
perpaduan antara budaya Islam dan budaya sebelumnya. Kemungkinan yang
lain, kompleks yang diduga sebagai Kraton Kerajaan Banjar tersebut pada
masa kejayaan Negara Daha sudah berfungsi sebagai daerah perwakilan dari
Kerajaan Daha, setelah Sultan Suriansyah bertahta, maka kompleks
tersebut dirubah dan difungsikan sebagai istana.
Dari berbagai data sejarah, sisa peninggalan arkeologis (baik yang
terdapat dilingkungan situs makam, maupun tersebar di berbagai lokasi
bekas Kraton Banjar) yang selanjutnya dianalisis sebagaimana di jelaskan
sebelumnya, maka dicoba untuk membuat sebuah rekayasa bentuk Kraton
Banjar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar