Dahulunya, daerah Rokan Hulu dikenal dengan nama Rantau Rokan atau Luhak
Rokan Hulu, karena merupakan daerah tempat perantauan suku Minangkabau
yang ada di daerah Sumatera Barat
Sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi atas dua daerah:
– wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan
Kerajaan Kepenuhan.
– wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan
Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian
negeri Tandun dan kewalian Kabun)
Kerajaan-kerajaan di atas sekarang dikenal dengan sebutan Lima Lukah.
Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di atas mengikat perjanjian dengan
pihak Belanda. Diakuilah berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut sebagai
landscape. Setiap peraturan yang dibuat kerajaan mendapat pengesahan
dari pihak Belanda.
Kerajaan Rokan berdiri pada abad ke-14 M. Pusat kerajaan berada di Kota
Lama, Rokan. Nama kerajaan diambil dari sebuah sungai yang mengalir di
daerah tersebut, yaitu Sungai Rokan. Sungai Rokan merupakan salah satu
sungai besar yang mengalir di bagian utara Riau daratan. Hingga saat
ini, sungai ini masih memainkan peranan penting sebagi jalur perhubungan
antara rakyat daerah pantai dan pedalaman.
Menurut suatu riwayat, kata Rokan berasal dari bahasa Arab rokana,
artinya damai atau rukun. Konon, nama ini merupakan refleksi dari
keadaan rakyat yang selalu rukun dan mementingkan kedamaian, baik dengan
sesama penduduk negeri, maupun dengan orang luar negeri. Dari nama
tersebut yang menunjukkan adanya pengaruh Arab, juga bisa disimpulkan
bahwa, Kerajaan Rokan berdiri setelah Islam masuk ke kawasan tersebut.
Dalam sejarahnya, Rokan termasuk kerajaan yang cepat berkembang, berkat
hasil rempah-rempah yang dimilikinya, dan juga relasi perdagangannya
dengan negeri lain, seperti Malaka. Bahkan, Raja Malaka, Mahmud Syah
menjalin hubungan kekerabatan dengan Rokan, dengan memperistri putri
Raja Rokan, dan menjadikannya sebagai permaisuri. Dengan demikian,
hubungan antara Malaka dan Rokan jadi semakin erat.
Dari perkawinan Mahmud Syah dengan putri Raja Rokan, lahir kemudian
seorang anak yang bernama Ibrahim. Setelah Mahmud Syah wafat, Ibrahim
sempat menjadi raja di Malaka selama 1 tahun 5 bulan. Namun, Raja
Ibrahim kemudian dibunuh oleh Raja Kasim Muhammad Syah, saudara seayah
dari ibu asli Malaka.
Sejak Malaka dikalahkan Portugis, Kerajaan Rokan mengalami kemunduran,
karena terus mendapatkan ancaman dari Aru dan Aceh bagian utara. Menurut
sejarah, kehancuran Rokan akibat dari serangan Aceh. Namun, ketika
Rokan menghilang, muncul kerajaan baru menggantikannya, yaitu Kerajaan
Pekaitan dan Batu Hampar.
Setelah Kerajaan Pekaitan dan Batu Hampar lenyap, kemudian muncul tiga
kerajaan lagi di bagian hilir Sungai Rokan, yaitu: Kerajaan Kubu dengan
ibunegeri Teluk Merbabu; Kerajaan Bangko dengan ibunegeri Bantaian; dan
Kerajaan Tanah Putih dengan ibunegeri Tanah Putih. Sementara di bagian
hulu, muncul lima kerajaan yang diperintah secara turun-temurun oleh
bangsawan raja. Limakerajaan tersebut adalah:
Kerajaan Tambusai, ibunegerinya Dalu-dalu,
Kerajaan Rambah, ibunegerinya Pasir Pengaraian,
Kerajaan Kepenuhan, ibunegerinya Koto Tengah,
Kerajaan Kunto Dar el-Salam, ibunegerinya Kota Lama,
Kerajaan Rokan, ibunegerinya Rokan IV Koto.
Slsilah raja Rokan belum diketahui secara pasti. Hanya saja, ada
pendapat yang mengatakan bahwa, sebenarnya Raja Rokan adalah keturunan
Sultan Sidi. Problem selanjutnya adalah, siapa dan dari mana Sultan Sidi
ini juga tidak diketahui.
Struktur Pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja.
Untuk berhubungan dengan kelompok suku di masyarakat, raja mengangkat
seorang pembantu yang bergelar Datuk Bendahara. Diduga, susunan
pemerintahan di wilayah Rokan terpengaruh oleh sistem yang berkembang di
Minangkabau dan Mandailing.
Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Rokan disusun atas kelompok-kelompok suku, dan setiap suku
dikepalai oleh pucuk suku. Kepala dari semua pucuk suku dipegang oleh
Datuk Bendahara. Datuk Bendahara mendampingi raja dalam kerapatan adat.
Dalam kehidupan sehari-hari, sistem sosial budaya masyarakat setempat
menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Minangkabau, dan dalam tataran
tertentu, Mandailing.
Manuskrip milik perpustakaan Nasional Indonesia dengan nombor cod ML.
100. Berukuran 15.4 X 19.8 cm. Setiap halaman terdiri daripada 3-19
baris. Jumlah keseluruhan halaman manuskrip 58 halaman. Terdapat empat
halaman yang kosong. Manuskrip di tulis dengan tulisan Jawi menggunakan
dakwat hitam. Kertas ini tidak mempunyai klofon.
Isinya terdiri daripada empat bahagian (fasal). Bahagian pertama
menceritakan tentang silsilah Raja Rambah, bahagian kedua silsilah Raja
Mandang Kota Raja dan bahagian ketiga tentang silsilah Raja Kepenuhan
dan Mandang Kota Raja.
Ada beberapa catatan tentang Silsilah kerajaan yang ada di wilayah Rokan
Hulu, yang berdiri setelah runtuhnya Kerajaan Tua Rokan di Rantau
Kasai.
Bekas Kerajaan inilah pada zaman Belanda yang disebut dengan Luhak disesuaikan nama kerajaannya.
Silsilah Kerajaan Tambusai :
Raja-raja di Kerajaan Tambusai
Raja I. Sultan Mahyudin Gelar Mohamad Kahar (850-951M)
Raja II. Sultan Zainal
Raja III. Sultan Ahmad
Raja IV. Sultan Abdullah
Raja V. Sultan Syaifuddin
Raja VI. Sultan Abdurahaman
Raja VII. Sultan Duli Yang Dipertuan Tua
Raja VIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja IX. Sultan Duli Yang Dipertuan Saidi Muhamil
Raja X. Sultan Duli Yang Dipertuan Sakti
Raja XI. Sultan Duli Yang Dipertuan Ngagap
Raja XII. Sultan Duli Yang Dipertuan Akhir Zaman
Raja XIII. Sultan Duli Yang Dipertuan Djumadil Alam (Abdul Hamid)
Raja XIV. Sultan Duli Yang Dipertuan Besar
Raja XV. Sultan Abdul Wahid (1864-1887)
Raja XVI.Sultan Zainal Abidin (1887-1916)
Raja XVII. Sultan Ahmad (Glr T. Muhamad Silung 1916)
Raja XVIII. Yang Dipertuan Tengku Muhammad Yudo
Raja XIX. Tengku Ilyas Gelar Tengku Sulung.
(disusun dari sumber tertulis Terombo Siri pegangan Raja Tambusai dalam
memimpin kerajaan, disimpan oleh Haji Tengku Ilyas, Gelar Tengku Sulung
Raja Tambusai XIX)
Raja I s.d ke-4 kedudukan di Karang Besar, Raja ke-5 Pindah ke Tambusai
lalu ke Dalu-dalu, pada masa Raja VII Sultan Yang Dipertuan Tua
dibentuklah Datuk Non Berempat : Datuk Bendaharo, Datuk Rangkayo
Maharajo, Datuk Paduko Sumarajo, Datuk Paduko Majolelo
Raja XV Sultan Abdul Wahid, mendirikan Istana darurat di Rantau Binuang,
setelah di nobatkan Sultan Mohammad Zainal Abidin sebagai raja XVI
Tambusai berkedudukan di Istana II di Rantau Kasai
(sumber executive summary Sejarah Perjuangan Sultan Mohammad Dzainal
Abidin menentang Kolonial Belanda di Rokan - Riau - Indonesia 1887-1916,
oleh Pemdaprov Riau, BKS Pekanbaru 2006)
Silsilah Raja Rambah
Pada ketika itu Tambusai adalah Kerajaan terbesar di Rokan. Ia keturunan
daripada Pagaruyung. Pada masa itu yang memerintah ialah yang di
Pertuan Tua. Ia ada dua orang bersaudara, yang seorang perempuan bernama
To’ Permaisuri. Yang Dipertuan Tua mempunyai tiga orang adik beradik,
dua laki-laki dan seorang perempuan. Yang Perempuan bernama Siti Dualam,
yang laki-laki Tengku Raja Muda dan Yang Dipertuan Akhir Zaman.
Kemudian Tengku Raja Muda meminta kebenaran dari ayahndanya untuk
mendirikan sebuah kerajaan sendiri. Setelah dipersetujui perjanjian maka
Tengku Raja Muda pun dibenarkan membuka negeri. Isi perjanjian tersebut
berbunyi begini:
“Pertama-tama apabila menaikkanlah pihak kami akan raja/kerajaan,
melainkan raja Tambusyailah akan menaikkan kami hingga sampai kepada
anak cucu kami. Dan kedia pabila putus raja yang kerajaan pihak kami
yang pergi ini, melainkan raja Tambusyailah yang boleh menggantikannya.
Ketiga janganlah berdengki aniaya antara dua pihak itu. Keempat apabila
suku pihak yang di Tambusai masuk pihak kami, atau suku pihak yang kami
/suku/ masuk pihak yang tinggal di Tambusyai, yang tidaklah boleh
ditegah dan dilarang. Kelimaanya apabila pihak kami yang pergi itu tiada
menurut adat pusaka, melainkan bolehlah ia pulang ke Tambusyai. Segala
rakyat yang pergi itu, raja Tambusyai empunya rakyat yang tidak boleh
ditegah dilarang. Keenam apabila mengikut raja kepada pihak yang pergi
itu, melainkan segeralah memberitahu kepada Tambusyai, mengantarkan baju
helat dan syahab muka, di Tambusyai demikian juga”.
Setelah dipersetujui perjanjian tersebut, maka Tengku Raja Muda di
anugerahkan rakyat dan alat kebesaran. Kemudian Tengku Raja Muda pun
membuka negeri di Kalu Batang Lubuk. Kerena negeri tersebut di rambah
oleh orang Tambusai, maka negeri tersebutpun di namakan negeri Rambah.
Setelah Tengku Raja Muda mangkat di gantikan oleh anaknya bergelar Yang
Dipertuan Besar. Kemudian setelah Yang Pertuan Besar mengkat diganti
oleh Yang Dipertuan Jamalul Alam. Setelah Yang Dipertuan Jamalul Alam di
ganti oleh Yang Dipertuan Sakti. Setelah Yang Dipertuan Sakti mangkat
diganti oleh Yang Dipertuan Besar. Setelah yang Dipertuan Besar mangkat
di ganti oleh Putera baginda yang bergelar Yang Dipertuan Besar (Marhum
Galia).
Silsilah Kerajaan Rambah :
Raja I. Yang Dipertuan Muda
Raja II. Yang Dipertua Besar
Raja III. Yang Dipertuan Djumadil Alam
Raja IV. Yang Dipertuan
Raja V. Yang Dipertuan Besar
Raja VI. Yang Dipertuan Besar
Raja VII. Yang Dipertuan Besar
Raja VIII. Yang Dipertuan Besar
Raja IX. YanG Dipertuan Besar Rambah
Raja X. Yang Dipertuan Djumadil Alam Sari 1901
Raja XI. Mohamad Syarif Yang Dipertuan Besar
Raja XII. Sultan Zainal Puan Kerajaan Rambah
Raja XIII. Sultan Mahmud Manjang
Raja XIV. Tengku Saleh Yang Dipertuan Besar Rambah.
Silsilah Raja Kepenuhan
Setelah Negeri Johor pecah kerana diserang musuh, Rajanya yang bernama
Raja Purba masuk lari ke Rokan bersama sebelas orang panglima yang
gagah-gagah dan sejumlah rakyat. Kemudian mereka mudik ke Kuala Batang
Syasah. Setelah sampai di kuala sungai Rokan mereka tertarik pada tempat
tersebut dan bermaksud untuk menetap di situ. Raja Purba pun menghantar
utusan kepada Raja Tambusai yang bernama Raja Abdullah untuk meminta
kebenaran tinggal dan membuat negeri di situ. Raja Tambusai setuju dan
diberi kuasa hingga ke hilir Sungai tersebut, tetapi tetap di bawah
naungan raja Tambusai. Kawasan tersebut diperintah berdasarkan peraturan
(Teromba besar) yang berlaku dalam negeri Tambusai. Sebarang peraturan
baru atau perubahan dari peraturan yang berlaku dalam negeri Tambusai
harus dengan izin raja Tambusai.
Pada mulanya Raja Tambusai mengaturkan orang-orang Raja Purba kepada
tujuh suku, tetapi Raja Purba mahu dibahagi kepada sebelas suku
berdasarkan sebelas panglima yang dibawa bersama. Kemudian sebuah
perjanjian dipersetujui bersama yang berbunyi:
“Dan barang siapa kami yang sebelas pihak serta kami segala raja-raja
mengubahi ata ‘aturan adat dan pusaka yang datang daripada Raja Tambusai
itu, dan lagi jikalau ada perkara yang di dalam kami yang tiada habis,
melainkan hendaklah kami kabarkan melainkan kena hukumanlah kami
daripada Raja tambusai serta akan sumpah setia yang diperbuat ini hingga
sampai kepada anak cucu yang terkemudian kepada kami ini. Dan lagi
tiadalah kami mengubahi segala-gala perkataan teromba besar yang
pegangan Raja Tambusai itu adanya. Dan lagi jikalau barang siapa
sekalian kami mungkir daripada segala padan janji ikat karangan yang
diikrarkan dahulu itu, melainkan kena kutuk seribu siang dan seribu
malam serta ditimpa daulat sultan Iskandar Zulkarnain dan tiada selamat
selama-lamanya adanya”.
Perjanjian ini terjadi pada tahun 2745 tahun zai. Setelah itu Raja Purba
terus hilir. Setelah sampai di kuala Batang Syasah Raja Purba tertarik
pada tempat tersebut dan mengambil keputusan untuk membuat negeri di
situ, tetapi empat orang pembesarnya tidak setuju, mereka mahu membuat
negeri di pulau berhampiran Kuala Sungai Rokan seperti rancangan awal.
Tetapi Raja Purba tetap berkeras untuk membuka negeri di kawasan kuala
Batag Syayah. Maka pecahlah mereka. Akhirnya sebelas pembesar
(kerapatan) itu mengadap Raja Tambusai. Ketika mengadap Raja Tambusai
tujuh suku setuju untuk membuka negeri di Kuala Batang Syasya mengikut
raja mereka, sedangkan empat suku lagi tetap berkeras tidak mahu
mengikut Raja Purba, mereka tetap mahu membuka negeri di hilir dari
kuala Sungai Batang Syasa. Setelah berbincang dengan pembwsar sembilan
suku di Tambusai, Raja Tambusai mengambil keputusan untuk memecahkan
kumpulan tersebut. Tujuh suku membuka negeri di Kuala Batang Syasya
mengikut raja mereka. Empat suku lagi dihantarkan oleh ke tujuh suku
yang mengikut raja mereka untuk membuka negeri di Pulau ke hilir dari
Kuala Sayasa. Kerana mereka di hantar oleh ke tujuh suku yang mengikut
Raja Purba ke pulau tersebut maka di namakanlah pulau itu Pulau Antar.
Sedang tujuh pembesar yang mengikut raja Purba pun membuat istana yang
lengkap, rajanya enggan kerana tetap tidak mahu pindah dari rakit. Ia
mahu dibuatkan sebuah rakit yang besar dan indah sebagai istana.
Akhirnya dibuat sebuah rakit yang besar, lengkap dan indah sebagai
istana Raja Purba. Tetapi setelah membuka negeri tersebut, raja Purba
sebuk dengan hiburan dan bersuka ria sahaja. Makin lama makin lalai,
lama-kelamaan ia zalim, habis semua perempuan sama ada gadis atau isteri
orang diambilnya untuk memuaskan nafsu. Sehingga para pembesar tujuh
suku menjadi marah, kehidupan rakyat menjadi miskin dan sentiasa dalam
ketakutan. Akhirnya ketujuh pembesar tersebut berpakat dengan empat
pembesar yang membuka negeri di Pulau Antar untuk menghadap Raja
Tambusai.
“Baiklah kita mupakat dengan kaum kita yang empat pihak yang didalam
paulau Antar, sebarang mana mupakatkan dengan kaum kita yang empat pihak
yang di dalam Pulau Antar, dan sebarang mana-mana mupakat yang baik
boleh sama-sama kita mempahamkan daripada hukuman raja kita ini”.
Baiklah kita mudik ke hulu mengadap raja Tambusai supaya ia tahu akan
hal kita ini, minta carikan adat pusakanya akan hal kita yang demikian
ini”.
Mereka mengadap raja Tambusai dan meminta supaya dikenakan tindakan
terhadap raja mereka sesuai dengan undang-undang (tambo besar) yang
berlaku di negeri Tambusai dan meminta supaya Raja Purba di bunuh,
tetapi Raja Tambusai menolak permintaan para pembesar tersebut.
“Tiadalah sampai hemat kita akan merusak raja itu, kerana kita tua di
dalam Luwa’ Rokan ini, lagipun kita pegang aturan yang dahulu-dahulu
sampai sekrang ini, maka tiadalah sampai hemat kami yang demikian
itu”…Maka habiskanlah dahulu mufakat dan kebulatan mereka sebarang
mana-mananya kerana belumlah kita putuskan hukumannya, demikianlah
adanya”.
Akhirnya para pembesar tersebut pergi ke Rokan Kiri dan berjumpa dengan
raja Kuanta. Raja Kuanta setuju untuk membunuh raja Purba, tetapi dengan
syarat jika berjaya membunuh Raja Purba segala harta yang di dalam
istana rakit itu harus diserahkan kepada Baginda.
“maka jawab Raja Kuanta kepada orang yang datang itu. “Dan jikalau
begitu akan kelakuan raja itu yang tiadalah patut, maka tidaklah di
dalam adat dan pusaka raja itu membuat yang demikian itu kepada mereka
sekalian…”
“Adalah padan janji kita apabila mati raja mereka itu dengan sebab aku
perbuat, maka hendaklah mereka pulangkan seisi rakit itu kepada yang
demikian itu, tetapi yang patik pohonkan segala anak buah patik di dalam
rakit itu boleh patik pulangkan sekalian kepada ibu bapanya”
Para pembesar tersebut setuju tetapi perempuan yang diambil oleh Raja Purba harus diserahkan kembali kepada orang tua mereka.
Setelah kesepakatan diambil, maka Raja Kuanta dan pembesar tersebut
pergi ke istana Raja Purba. Mula-mula mereka memutuskan tali pengikat
rakit tersebut. Orang-orang yang di dalam istana rakit tersebut tidak
sedar kerana mereka sebuk dengan menari dan bersuka ria. Sehingga istana
rakit tersebut hanyut ke Teluk Rantau Kenawang. Di situlah Raja Kuanta
membunuh Raja Purba. Semua barang dalam rakit itu diambil oleh Raja
Kuanta dan perempuan yang diambil oleh Raja Purba dipulangkan kepada
orang tuanya sesuai dengan perjanjian.
Kemudian para pembesar pergi menyerah diri kepada Raja Tambusai dan
meminta keluarga Tambusai untuk dijadikan raja di negeri Kepenuhan. Raja
Tambusai menyerahkan adik perempuannya yang bernama To’ Permaisuri
untuk menjadi raja di negeri Kepenuhan. Kemudian itu Yang Dipertuan Tua
Pinang Awan meminang adik Raja Aru. Kemudian Yang Dipertuan Tua kahwin
dengan adik Raja Aru itu yang bernama Baruni Tarligan. Tidak lama
kemudian Raja Aru nikah pula dengan To’ Permaisuri.
Bila raja Aru itu, ia meninggalkan putera yang bergelar Datuk Negeri
Tinggal. Kemudian mangkat Datuk Negeri Tinggal digantikan oleh anaknya
Sultan Sulaiman. Mangkat Sultan Sulaiman di gantikan oleh puteranya Tuk
Maruhum Kaya, kemudian diganti pula oleh anaknya Tuk Muruhum Sutan
Makula, kemudian diganti oleh Tuk Muruhum Sutan Sulaiman.
Maruhum Akhir Zaman menjadi Raja di Tambusai isteri pertamanya adik
Sutan Abdullah tidak beranak. Isteri keduanya mendapat dua orang anak
Tengku Mansur dan Siti Jadah. Siti Jadah ibu kepada Tengku Muda yang
menggantikan Maruhum Akhir Zaman.
Silsilah Kerajaan Kepenuhan :
Periode Awal
Raja I. Raja Purba
Raja II. To' Permaisuri
Raja III. Raja Aru
Raja IV. Datuk Negeri Tingga
Raja V. Maruhum Sultan Sulaiman
Raja VI. To' Maruhum kayo
Raja VII. To' Maruhum Sultan Makulah Yang Dahulu
Raja VIII. To' Sultan Makula Yang Dahulu
Raja IX. To' Maruhum Sultan Sulaiman
Raja X. Sultan Makula
Raja XI. Sultan Sulaiman Yang Dipertuan Muda
Periode Kedua
Raja XII. Yang Dipertuan Besar (Yang Dipertuan Muda dari Pagaruyung)
Periode Ketiga
Raja XIII. Datuk Maruhum Merah Dada
Raja XIV. Tengku Muda Sahak
Raja XV. Montuo Muda (Mencong)
Raja XVI. Tengku Sultan Sulaiman.
Silsilah Kerajaan Rokan IV Koto
yang berdiri pada pertengahan Abad ke-14 sebagai berikut :
Raja I. Sultan Seri Alam 1340-1381
Raja II. Tengku. Raja Rokan 1381-1454
Raja III. Tengku Sutan Panglima Dalam 1454-1519
Raja IV. Tengku Sutan Sepedas Padi 1519-1572
Raja V. Tengku Sutan Gemetar Alam 1572-1603
Raja VI. Yang Dipertuan Sakti Mahyuddin (Raja Pertama dari Pagaruyung) 1603-1645
Raja VII. Yang Dipertuan Sakti Lahid 1645-1704
Raja VIII. Tengku Sutan Rokan (Pemangku) 1704-1739
Raja IX. Yang Dipertuan Sakti Selo 1739-1805
Raja X. Andiko Yang Berempat (Wakil) 1805-1817
Raja XI. Dayung Datuk Mahudun Sati (Pemangku) 1817-1837
Raja XII. Yang Dipertuan Sakti Ahmad 1837-1859
Raja XIII. Yang Dipertuan SaktiHusin 1856-1880
Raja XIV. Tengku Sutan Zainal (Pemangku) 1880-1903
Raja XV. Yang Dipertuan Sakti Ibrahim 1903-1942
Catatan dari Gazali pewaris Kerajaan Rokan IV Koto (juga salinan dari catatan sejarah Rokan IV Koto, sudah hilang aslinya)
Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar yang terletak kurang
lebih 85 km, di sebelah selatan Pekanbaru ibu kota Provinsi Riau. Desa
Kuntu termasuk desa tertua di Propinsi Riau yang syarat dengan lembaran.
Dalam buku Sejarah Minangkabau terbitan Bathara Jakarta tahun 1970, di
katakan bahwa Kuntu termasuk Wilayah Minangkabau Timur (Kerajaan Kuntu
Timur).
Sejak abad ke-6 pedagang dari Gujarat India mengembangkan agama Budha di
Kuntu. Ini dibuktikan dimana di Kota Tinggi (Sungai Sontan Kuntu)
terdapat kuburan raja darah Putih (Gagak Jao) dengan batu nisan
bertuliskan huruf Kawi yang belum bisa diartikan oleh penduduk setempat,
pada masa inilah Permaisuri Raja Putri Lindung Bulan menyebut daerah
ini dengan sebutan “Kuntu Turoba” yang berarti aku dari tanah tempatku
berpijak.
Pada tahun 670-730 M, terdapat dua kerajaan besar yaitu Cina di timur
(beragama budha Mahayana) dan Khalifah Muawiyah di barat (beragama
islam) masing-masing hendak memonopoli perdagangan, menanamkan pengaruh
ekonomi dan agama. Namun politik Muawiyah lebih berhasil dibanding Cina
sehingga abad ke-8 agama islam (syi’ah) masuk dan berkembang di Kuntu.
Dakwah pengembangan islam terhenti selama 4 abad disebabkan Cina merasa
terganggu kepentingan ekonomi dan pengembangan agamanya, maka Cina
mengutus dua orang sarjana agama Budha yaitu: Wajaro Bodhi dan Amogha
Bajra. Sejak saat itu, pedagang dari Arab dan Persi tidak datang lagi ke
Kuntu Timur. Pada masa inilah apa yang diistilahkan “Apik Tupai,
Panggang Kaluang” dimana pada saat itu penduduk kehilangan
pedoman/tuntunan agama.
Pada permulaan abad ke-7 sesudah Rajendra Cola dari India Selatan
berhasil melumpuhkan Sriwijaya. Maka raja Palembang bernama Aria Darma
mengirim surat ke Muawiyah meminta dikirimkan Ulama/mubaligh. Menindak
lanjuti permohonan raja Palembang tersebut, maka Khalifah Muawiyah
mengutus Syekh Burhanuddin. Yang akhirnya sampai ke Kuntu untuk
mengembangkan Islam Mazhaf syafi’i kurang lebih selama 20 tahun.
Kesultanan Kuntu Kampar terletak di Minangkabau Timur, daerah hulu dari
aliran Kampar Kiri dan Kanan. Kesultanan Kuntu atau juga disebut dengan
Kuntu Darussalam di masa lalu adalah daerah penghasil lada dan menjadi
rebutan Kerajaan lain, hingga akhirnya Kesultanan Kuntu dikuasai oleh
Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kini wilayah Kesultanan Kuntu
hanya menjadi sebuah cerita tanpa meninggalkan sedikitpun sisa masa
kejayaan, Kesultanan Kuntu kini berada di wilayah Kecamatan Kampar Kiri
(Lipat Kain) Kabupaten Kampar.
Kuntu di masa lalu adalah sebuah daerah yang sangat strategis baik dalam
perjalanan sungai maupun darat. Di bagian barat daya Kuntu, di
seberangnya ada hutan besar yang disebut Kebun Raja. Di dalam hutan yang
bertanah tinggi itu, selain batang getah, juga ada ratusan kuburan tua.
Satu petunjuk bahwa Kuntu dulu merupakan daerah yang cukup ramai adalah
ditemukannya empat buah pandam perkuburan yang tua sekali sehingga
hampir seluruh batu nisan yang umumnya terbuat dari kayu sungkai sudah
membatu (litifikasi). Salah satu di antara makam-makam tua itu makam
Syekh Burhanuddin, penyiar agama Islam dan guru besar Tarekat
Naqsabandiyah yang terdapat di Kuntu. Makam itu berada dekat Batang
Sebayang. Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir 530 H atau 1111 M di
Makkah dan meninggal pada 610 H atau 1191 M. Dengan peninggalannya yang
ada sampai saat ini: Sebuah stempel dari tembaga bertuliskan Arab “Syekh
Burhanuddin Waliyullah Qodi Makkatul Mukarramah” dan Sebilah Pedang,
tongkat, sebuah kitab Fathul Wahab dan sebuah Khutbah. Sejak masuknya
Syekh Burhanuddin di Kuntu mengembangkan islam Mazhaf Syafi’i, Islam
Syi’ah yang datang sebelumnya ke Kuntu kehilangan kekuatan politik dan
mundur pada tahun 1238 M.
Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas
Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama di Riau
yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan
negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan
dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah
daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara
500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur
dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan
hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar
besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab
terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan.
Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa
oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas
(pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama
resmi Sriwijaya di masa itu. Ketika Cina merebut pasaran dagang yang
menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran
Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali
berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan
Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al-Azhar di
Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di
Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan
Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Kuntu.
Silsilah Kerajaan Kuntodarussalam :
Raja I. Tengku Panglima Besar Kahar Yang Dipertuan Besar 1878-1885
Raja II. Tengku Syarif Yang Dipertuan Besar1885
Raja III. Tengku Ali Kasim Yang Dipertuan Besar 1895-1905
Raja IV. Tengku Ali Tandun Yang Dipertuan Besar 1905-1910
Raja V. Tengku Ischak Yang Dipertuan Muda 1910-1921
Raja VI. Tengku Ali Momad Tengku Panglima Besar 1921-1925
Raja VII. T. Kamaruddin Tengku Sultan Machmud 1925-1935
Raja VIII. Tengku Maali Tengku Pangeran 1935-1942
Keterangan diatas hanya yang bisa penulis kumpulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar