Kesultanan Lamuri adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di daerah
kabupaten Aceh Besar dengan pusatnya di Lam Reh, kecamatan Mesjid Raya.
Kerajaan ini adalah kerajaan yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya
Kesultanan Aceh Darussalam, dan merupakan cikal bakal kesultanan
tersebut.
Sumber asing menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh yaitu "Lamuri",
"Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua
(1225) misalnya mengatakan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti
ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamuri"
di antara daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam
Suma Oriental-nya, penulis PortugisTomé Pires mencatat bahwa Lamuri
tunduk kepada raja Aceh.
Data tentang sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur.
Data yang pernah dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih
bersifat spekulatif dan tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana
dan bersifat sementara karena keterbatasan data yang diperoleh.
Secara umum, data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita
dari luar, seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan
pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di
samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti Hikayat Melayu dan
Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang keberadaan
kesultanan ini.
Data tentang lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P.
Groeneveldt, seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini
terletak di sudut sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya
berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut
bahwa Lambri atau Lamuri merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi
pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan India. Menurut
pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires, letak
Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah
Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas dari pantai hingga ke
daerah pedalaman.
Menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958),
diperkirakan bahwa kesultanan ini berada di tepi laut (pantai), tepatnya
berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh,
menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di Aceh Besar dekat dengan
Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh
lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di
dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar,
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak
kesultanan ini masih menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati
sejarah Aceh. Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan
Lamuri berdekatan dengan laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah
pedalaman. Persisnya, letak kesultanan ini berada di sebuah teluk di
sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu bernama Bandar Lamuri. Kata
“Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati
(Krueng Raya). Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian
menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang
Aceh.
Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri
telah ada sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah
berdiri sejak sekitar tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan
Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki
banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di
bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah kekuasaan Sriwijaya,
Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai kerajaan Islam yang
berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban untuk
mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga
datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.
Menurut Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri
pernah diserang oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja
Rayendracoladewa I. Pada akhirnya, Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan
oleh Kerajaan Chola, meskipun telah memberikan perlawanan yang sangat
hebat. Bukti perlawanan tersebut mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri
bukan kerajaan kecil karena terbukti sanggup memberikan perlawanan yang
tangguh terhadap kerajaan besar, seperti Kerajaan Chola.
Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri
merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh
pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab.
Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang tersebut.
Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua rakyat
di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah historiografi
Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan
daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail
sebelum ia mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa Kesultanan Lamiri jelas merupakan salah satu
kerajaan Islam di Aceh.
Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di
Kesultanan Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang
dari salah seorang sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan
Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat pemerintahan Kesultanan
Lamuri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh)
yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut
dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan
muara sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama
Kesultanan Makota Alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan
Lamuri beserta dengan Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie),
Perlak, Benua Tamian, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh
Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M).
Jadi, bisa dikatakan bahwa Kesultanan Lamuri merupakan bagian dari cikal
bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam. Nama kesultanan ini
berasal dari salah satu desa di Kabupaten Aceh Besar, yang pusat
pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.
Berita tentang kerajaan Lamuri diperoleh dari suatu prasasti, yang di
tulis pada masa raja Rajendra Cola I pada tahun 1030 di Tanjore ( India
Selatan ) serangan Rajendra Cola I, mengakibatkan beberapa kerajaan di
Sumatera dan semenanjung Melayu menjadi lemah (1023/1024) dan disebutkan
bahwa Rajendra Cola I mengalahkan Ilmauridacam ( Lamuri ) yang telah
memberikan perlawanan yang hebat dan dapat dikalahkan dalam suatu
pertempuran habis-habisan. Penyerangan terhadap Lamuri di ujung pulau
Sumatera dilakukan karena kerajaan Lamuri merupakan bagian dari kerajaan
Sriwijaya yang sebelumnya juga mendapatkan serangan dari kerajaan Cola
pada tahun 1017 M dan tahun 1023/1024M. maka dapat disimpulkan bahwa
kerajaan ini diperkirakan sudah mulai berdiri pada abad ke IX dan sudah
mempunyai angkatan perang yang kuat dan hebat, dibuktikan ketika dengan
susah payah diserang oleh kerajaan Cola barulah dapat dikalah kan oleh
prajurit kerajaan Cola. Ini membuktikan bahwa kerajaan Lamuri adalah
suatu kerajaan yang mempunyai pemerintahan yang teratur dan kuat pada
zamannya. Tentu saja untuk mengatur pemerintahan yang teratur dan kuat
angkatan perangnya Lamuri memerlukan sumber-sumber kekayaan yang
dihasilkan dari kegiatan perekonomian,pertanian dan lain-lain.Tentang
nama Lamuri diperoleh banyak versi, ada Lamuri seperti yang disebutkan
oleh Marcopolo, ada Ramini atau Ramni sebagaimana yang disebutkan oleh
orang-orang Arab, sejarah Melayu pun menyebut Lamuri dan orang-orang
Tionghoa menyebut Lan-li,Lan-wuli dan Nanpoli. Seorang saudagar Arab
yang bernama Ibnu Khurdadbah (885) menyebutkan bahwa Ramni mempunyai
hasil alam berupa kemenyan, bambu, kelapa,gula,beras,kayu cendana.
Sedangkan saudagar Sulaiman (851) ketika setelah melewati lautan India
bahwa daerah yang dikunjungi nya adalah Ramni. Abu Zayd Hasan (916)
menyebut Rami,juga menceritakan tentang hasil alam dari Rami/Lamuri
yaitu kapur barus dan kemenyan, demikian juga dengan Mas’udi (945) dia
menyebut Al-Ramin, dimana didapati tambang emas dan letaknya dekat
dengan daerah Fansur/Barus yang termasyur dengan kapurnya. Seorang
muslim Parsi yang bernama Buzurg ( 955). Tatkala menunjuk Sriwijaya
menyebutkan letaknya di Selatan Lamuri. Dan menurut Buzurg, dari pantai
Barus dapat dilakukan perjalanan darat ke Lamuri.Dr. Solomon Muller
menulis berita tertentu tentang suatu kerajaan di ujung pulau Sumatera,
bersumber dari abad ke-9. dia mengutip Renaudot dalam “ Anciannes
relations des Indes et de la Chine” Paris 1718. Dalam buku ini
diperkenalkan nama dua pulau yaitu Ramni dan Fantsoer, dan diceritakan
letaknya antara laut Harkand (India) dengan laut Sjalahath ( selat
Malaka) di daerah Ramni juga terdapat binatang gajah, dan di perintah
oleh berbagai kekuasaan. Sedangkan Fansur disebut kaya dengan kapurnya
dan tambang emas. Telah diceritakan tentang Lamuri atau Lamri atau nama
lain yang mirip,terletak di ujung Sumatera utara yaitu di Aceh Besar
sekarang. Dan telah diceritakan bahwa Lamuri pun ikut terpukul oleh
serangan dari Rajendra Cola I, walaupun tidak sampai runtuh pada tahun
1023 dan 1024.
Dan kira-kira 75 tahun kemudian kerajaan Majapahit melakukan serangan ke
Sumatera, diantara yang diserang termasuk kerajaan Samudera Pasai dan
Lamuri. Sesudah serangan Majapahit, Lamuri juga pernah didatangi oleh
Laksamana Cheng Ho (1414 )Dari akibat peristiwa yang berlangsung dalam
lebih kurang tiga abad ( serangan Cola,serangan Majapahit dan akhirnya
Cheng Ho ) tentunya Lamuri pada akhirnya menjadi lemah. Timbullah di
bekasnya beberapa kampong yang akhirnya bersatu atau disatukan kembali
dibawah kekuasaan seorang raja, dan kemudian terdengarlah berbagai nama
disamping akan lenyapnya Lamuri, diantaranya Darul Kamal, Meukuta Alam,
Aceh Darussalam dan juga disebut nama Darud Dunia.Dan disekitar masa itu
juga terdengar adanya kerajaan Pedir ( di Pidie ). Menurut Veltman
sumber Portugis mengatakan bahwa sultan Ma’ruf Syah Raja Pedir Syir
Duli. Itu pernah menaklukkan Aceh Besar pada tahun 1497, dan diangkatnya
dua orang wakil satu di Aceh Besar dan satu lagi di Daya.Seorang
Sejarahwan yang bernama Husein Djajadiningrat mengeluarkan pendapat yang
berasal dari dua naskah hikayat tentang asal mula raja Lamuri dan raja
kerajaan Aceh Darussalam. Pertama (122) Hikayat yang dimulai asal raja
Aceh ( Lamuri ) yang bernama Indra Syah ( mungkin yang dimaksud adalah
Maharaja Indra Sakti ).
Dan dikatakan bahwa raja Indra Syah pernah berkunjung ke Cina. Kemudian
hikayatnya berhenti sampai disitu, dan tiba-tiba hikayat itu
menceritakan Syah Muhammad dan Syah Mahmud, dua bersaudara putera dari
raja, Syah Sulaiman kemudian mempunyai dua orang anak yaitu raja Ibrahim
dan puteri Safiah. Sedangkan Syah Mahmud setelah menikah dengan
bidadari Madinai Cendara juga mempunyai dua orang anak yaitu, raja
Sulaiman dan puteri Arkiah, dan kemudian dikisahkan juga kalau Sulaiman
di nikah kan dengan sepupunya Safiah dan Ibrahim dinikahkan dengan
sepupunya yang bernama Arkiah, pernikahan ini merupakan usulan dari
kakek mereka yang bernama raja Munawar Syah.Dikatakan pula raja Munawar
Syah yang dimaksudkan memerintah di kerajaan Lamuri. Hikayat ini juga
melanjutkan cerita tentang lahirnya dua orang putera yang bernama
Musaffar Syah yang memerintah di Mekuta Alam dan Inayat Syah yang
memerintah di Darul Kamal. Kedua raja ini tidak henti-hentinya salaing
berperang, peperangan tersebut kemudian dimenangkan oleh raja Musaffar
Syah yang kemudian menyatukan dinasti Meukuta Alam dengan dinasti Darul
Kamal.
Dan dikatakan juga bahwa Inayat Syah berputera Firman Syah Paduka
Almarhum, kemudian Firman Syah berputera Said Al-Mukammil yang kemudian
beberapa orang anak diantara nya Paduka Syah Alam Puteri Indra Bangsa
bunda Sri Sultan perkasa Alam Johan Berdaulat ( Sultan Iskandar Muda
Meukuta Alam ). Jadi Said Al-Mukammil merupakan kakek sultan Iskandar
Muda dari sebelah ibu. Selain itu Sultan Alaidin Al-Mukammil mempunyai
beberapa orang putera, salah satunya adalah sultan Muda Ali Ri’ayat Syah
(1604-1607 ), yang merupakan paman dari Sultan Iskandar Muda.Naskah
kedua (124) yang dimaksud dalam pembicaraan Husein Djajadiningrat
mengenai hikayat raja-raja Lamuri ( Aceh ), dimana hikayat ini yang
dibuat silsilah berpangkal pada Sultan Johan Syah ( mungkin maksudnya
Meurah Johan atau Sultan Alauddin Johan Syah yang merupakan putera raja
Lingge, Adi Genali. Dan kemudian menikah dengan Puteri Blieng Indra
Kusuma). Berbeda dengan hikayat yang pertama,hikayat ini menentukan
hari,tanggal dan bulan tahunnya. Pada permulaan disebutkan bahwa Johan
Syah memerintah dimulai pada tahun Hijrah 601 ( atau tahun 1205 M ),
lamanya 30 tahun.
Dia digantikan oleh anaknya yang tidak disebutkan namanya, sultan kedua
meninggal dan digantikan oleh anakanya yang bernama Ahmad Syah yang
memerintah selama 34 tahun 2 bulan 10 hari, hingga mangkat nya pada (
885 Hijrah ). Kemudian kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang bernama
sultan Muhammad Syah yang memerintah selama 43 tahun. Pada masa itu
sultan Muhammad Syah menceritakan pemindahan kota dan pembangunan kota
baru yang diberi nama Darud Dunia, sultan ini meninggal pada tahun 708
Hijrah. Berpegang pada tahun ini maka pembangunan Darud Dunia adalah
sekitar tahun 700 Hijrah atau kira-kira tahun 1260 Masehi.Sesudah sultan
Muhammad Syah meninggal, maka yang naik tahta menjadi raja adalah
Mansur Syah yang memerintah selama 56 tahun 1 bulan 23 hari. Ia kemudian
digantikan oleh anakanya yang bernama raja Muhammad pada tahun 811
Hijrah yang memerintah selama 59 tahun 4 bulan 12 hari dan meninggal
pada tahun 870 Hijrah. Raja Muhammad kemudian digantikan oleh Husein
Syah selama 31 tahun 4 bulan 2 hari untuk kemudian digantikan oleh
anaknya yang bernama sultan Ali Ri’ayat Syah yang memerintah selama 15
tahun 2 bulan 3 hari, meninggal pada tanggal 12 Ra’jab 917 Hijrah ( atau
tahun 1511 Masehi ).
Atas dasar hikayat-hikayat yang di telitinya itu, Husein Djajadiningrat
telah membuat rentetan nama raja-raja Aceh ( Lamuri ). Yang memerintah
semenjak Johan Syah (1205 Masehi ) sebagai berikut;
1. Sultan Johan Syah Hijrah -601-631
2. Sultan Ahmad -631-662
3. Sri Sultan Muhammad Syah, anak Sultan ke-2, berumur setahun
ketikaMulai naik tahta pergi dari Kandang Dan membangun kota Darud Dunia
Hijrah -665-708
4. Firman Syah, anak Sultan ke-3 -708-755
5. Mansur Syah -755-811
6. Alauddin Johan Syah, anak sultan ke-5,Mulanya bernama Mahmud -811-870
7. Sultan Husin Syah -870-901
8. Ri’ayat Syah ( Mughayat Syah?-MS) -901-907
9. Salahuddin, digantikan oleh no.10 (adiknya) -917-946
10. Alau’ddin ( Alkahar?-MS) adik no.9. -946-975.
Sebagai yang dapat diperhatikan dari ke 10 nama raja-raja diatas, tidak
ada didapati nama sultan yang bernama Musaffar Syah, tidak pula ada nama
Inayat Syah dan Syamsu Syah. Padahal nama-nama itu dapat dibuktikan
adanya dari nukilan pada makam mereka yang dijumpai kemudian.
Nama Musaffar Syah terdapat dalam naskah yang tersebut lebih dulu,
sementara nama Mahmud Syah sebagai pembangun kota Darud Dunia terdapat
pada naskah yang tersebut ke-2. Suatu penemuan penting adalah makam
sultan Musaffar Syah, didapati tidak di Meukuta Alam, ditempat dimana
dia pernah bertahta,akan tetapi disuatu kampung bernama Biluy,IX
mukim,termasuk wilayah Aceh Besar juga. Pada batu nisannya ternukil
tahun meninggalnya yaitu 902 Hijrah atau 1497 Masehi.
Lamuri Hingga ke Aceh Darussalam Sekitar tahun 1059-1069 Masehi,
kerajaan Tiongkok yang berada di Cina menyerang kerajaan Lamuri ( Indra
Purba ), yang pada masa itu diperintah oleh maharaja Indra Sakti yang
waktu itu masih memeluk agama Hindu. Tetapi tentara Tiongkok dapat
dikalahkan oleh sebanyak 300 orang dibawah pimpinan Syaikh Abdullah
Kan’an ( bergelar Syiah Hudan,turunan Arab dari Kan’an ) dari kerajaan
Peurlak. Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyatnya akhirnya masuk agama
Islam. Maharaja Indra Sakti mengawinkan puterinya, Puteri Blieng Indra
Kusuma dengan Meurah Johan yang ikut menyerang tentara Tiongkok, yang
merupakan putera Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yang menjadi raja
Lingge. Dua puluh lima tahun kemudian,maharaja Indra Sakti meninggal
dunia, dan diangkatlah menantunya Meurah Johan menjadi raja dengan gelar
Sultan Alaiddin Johan Syah, dimana kerajaan Indra Purba atau Lamuri
menjadi kerajaan Islam, dan ibu kota kerajaan dibuat yang baru yaitu di
tepi sungai krueng Aceh sekarang dan dinamai dengan Bandar Darussalam.
Pada masa sultan Alaiddin Ahmad Syah yang memerintah dari tahun
1234-1267 Masehi, baginda berhasil merebut kembali kerajaan Indra Jaya
dari kekuasaan tentara Tiongkok. Pada masa Sultan Alauddin Johan Mahmud
Syah yang memerintah dari tahun 1267-1309 Masehi. Beliau berhasil
mengislamkan daerah Indrapuri dan Indrapatra. Dan sultan Alauddin Johan
Mahmud Syah juga membangun dalem atau keraton ( Istana) yang di namai
dengan Darud Dunia ( Rumah dunia ). Dan mesjid raya Baiturrahman di
Kutaraja ( Banda Aceh ) pada tahun 1292 Masehi. Istana adalah lambang
rumah dunia,sementara mesjid adalah lambang rumah akhirat. Keseimbangan
atau harmoni inilah yang menandai system nilai sosial budaya masyarakat
Aceh yang terkenal sangat religius. Pada masa sultan Alaiddin Husain
Syah yang memerintah dari tahun 1465-1480 Masehi, beberapa kerajaan
kecil dan Pidie bersatu dengan kerajaan Lamuri yang sudah berganti nama
menjadi kerajaan Darussalam, dan dalam sebuah federasi yang kemudian
diberi nama kerajaan Aceh, sedangkan ibu kota kerajaan dirubah menjadi
Bandar Aceh Darussalam. Pada masa sultan Alaiddin Syamsu Syah yang
memerintah dari tahun 1497-1511,ia membangun istana baru yang dilengkapi
dengan sebuah mesjid yang diberi nama mesjid Baiturrahman.
Para Raja
Dari lebih kurang 84 batu nisan yang tersebar di 17 komplek pemakaman,
terdapat 28 batu nisan yang memiliki inskripsi. Dari ke-28 batu nisan
tersebut diperoleh sebanyak 10 raja yang memerintah Lamuri, 8 orang
bergelar malik dan 2 orang bergelar sultan.
Malik Syamsuddin (wafat 822 H/1419 M)
Malik 'Alawuddin (wafat 822 H/1419 M)
Muzhhiruddin. Diperkirakan seorang raja, tanggal wafat tidak diketahui.
Sultan Muhammad bin 'Alawuddin (wafat 834 H/1431 M)
Malik Nizar bin Zaid (wafat 837 H/1434 M)
Malik Zaid (bin Nizar?) (wafat 844 H/1441 M)
Malik Jawwaduddin (wafat 842 H/1439 M)
Malik Zainal 'Abidin (wafat 845 H/1442 M)
Malik Muhammad Syah (wafat 848 H/1444 M)
Sultan Muhammad Syah (wafat 908 H/1503 M)
Di Lam Reh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat 1211),
penguasa pertama di Indonesia yang diketahui menyandang gelar "sultan".
Penemuan arkeologis pada tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam
tertua di Asia Tenggara yaitu pada tahun 398 H/1007 M. Pada inskripsinya
terbaca:Hazal qobri [...] tarikh yaumul Juma`ah atsani wa isryina mia
Shofar tis`a wa tsalatsun wa tsamah […] minal Hijri.
Periode Pemerintahan
Kesultanan Lamuri berumur sekitar lebih dari 6 abad karena terhitung
sejak tahun 900-an hingga tahun 1513. Kesultanan ini berakhir setelah
menyatu bersama dengan beberapa kerajaan lain di Aceh ke dalam
Kesultanan Aceh Darussalam.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Lamuri mencakup daerah yang kini dikenal
sebagai wilayah administratif Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam, Indonesia.
Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri tidak jauh berbeda dengan
struktur pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena
kedua kesultanan ini memiliki pola pemerintahan yang berdasarkan pada
konsep Islam dan konsep maritim (kelautan). Dalam struktur pemerintahan
Kesultanan Lamuri, sultan merupakan penguasa yang tertinggi. Ia dibantu
oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang perdana menteri, seorang
bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan gelar
laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama (atau
disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung
jawab pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung
komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).
Kehidupan Sosial-Budaya
Kesultanan Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar
kehidupan masyarakat di kesultanan ini di samping mengandalkan hasil
pertanian juga mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan masyarakat
sekitar dengan pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India,
dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud berupa lada dan jenis
rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak. Hasil-hasil
perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak
perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara
keseluruhan.
Pembahasan
Kebesaran Lamuri (kini disebut Lamreh) ditandai dengan keberadaan
bangunan-bangunan benteng diperkirakan merupakan perkembangan
selanjutnya atau bahkan bersamaan dengan keberadaan makam-makam
tersebut. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa bangunan-bangunan
pertahanan yang ada merupakan peralihan fungsi dari bentuk yang ada
sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa jauh sebelumnya, setidaknya
telah ada suatu pemukiman yang cukup maju. Pembangunan
bangunan-bangunan pertahanan tidak berhenti sampai disitu. Pada masa
belakangan, disaat kekuasaan dipegang oleh Sultan Ali Riayat Syah pada
sekitar tahun 1604 M terdapat pembangunan benteng yang dilakukan oleh
Portugis di Kuta Lubuk, hal ini sangat kontradiktif dengan kenyataan
bahwa di dalam benteng tersebut di temukan makam dengan nisan bertipe
plakpling yang dibaca oleh Suwedi Montana, yang menunjukkan angka tahun
yang jauh lebih tua daripada pembangunan pembangunan benteng tersebut.
Pembacaan yang dilakukan oleh Suwedi Montana terhadap salah satu nisan
adalah sebagai berikut:
assulthan Sulaiman bin Abdullah bin al Basyir Tsamaniata wa sita mi’ah 680 H
( 1211 M) apabila kematian Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al Basyir
adalah pada tahun 680 H (1211 M), berarti jauh sebelum itu di Lamreh,
lokasi benteng Kutha Lubuk, sudah berkembang Agama Islam. Hal ini
diketahui dari nama ayah dan kakek Sultan Sulaiman (Abdullah bin Basyir)
yang berbau Islam.
Pertanggalan tersebut menunjukkan umur yang lebih tua dibandingkan
dengan nisan Sultan Malik as-Shaleh di Samudera Pasai -yang berangka
tahun 696 H (1297 M)- yang dikenal sebagai daerah asal mula penyebaran
Islam. Yang menjadi pertanyaan adalah, apabila bangunan benteng tersebut
dibangun pada masa belakangan oleh Portugis, untuk apa keberadaan makam
tersebut terawetkan di dalam lokasi benteng ?, yang notabene merupakan
makam-makam Sultan yang merupakan lawan politiknya. Namun seperti kita
ketahui bahwa bangunan benteng tersebut sangat kental dengan unsur barat
yaitu dengan adanya bastion di sudutnya. Saat kekuasaan dipegang oleh
Sultan Iskandar Muda, pembangunan benteng-benteng pertahanan digalakkan
kembali untuk menjaga stabilitas dalam negeri dari ancaman bangsa lain.
Hal itu ditandai dengan pembangunan Benteng Iskandar Muda dan Benteng
Inong Bale.
Nisan bertipe plakpling, di Lamreh menunjukkan bahwa di daerah tersebut
terdapat komunitas yang telah memeluk Islam sebelum Samudera Pasai, yang
ditandai dengan keberadaan nisan atasnama Sultan Sulaiman, yaitu di
dalam Benteng Kuta Lubuk. Tipe-tipe nisan sejenis terdapat di atas bukit
berdekatan dengan Benteng Inong Bale. Pembacaan sekilas menunjukkan
nisan tersebut juga cukup tua. Beberapa bangunan pertahanan kemungkinan
melanjutkan tradisi yang telah ada sebelumnya, yaitu melengkapi
pemukimannya dengan bangunan-bangunan pertahanan. Sayang sekali tidak
ada penelitian yang secara khusus mengungkap keberadaan
bangunan-bangunan benteng di daerah tersebut.
Nisan tipe plakpling merupakan nisan-nisan tipe peralihan, pra-Islam ke
Islam. Batu nisan tipe ini berbentuk sederhana, sebelum dipakainya batu
nisan yang disebut “Batu Aceh”, (nisan tipe Aceh). Batu-batu ini umumnya
memiliki gaya sederhana namun diberi hiasan berupa relief dan/atau
inskripsi (kaligrafi). Nisan tipe ini merupakan awal perkembangan,
melanjutkan tradisi yang telah ada sebelumnya. Bentuk nisan ini
mengadopsi bentuk-bentuk phallus/lingga, meru dan menhir dengan
hiasan-hiasan yang disesuaikan. Tipe nisan seperti ini memiliki
persamaan dengan tinggalan arkeologis lain yang berasal dari masa yang
lebih tua, megalithik, yang dikenal sebagai menhir. Tipe-tipe nisan
tersebut di atas, menunjukkan pengaruh yang sangat kental dari
tradisi-tradisi megalithis dan Hinduistis. Adapun bentuk-bentuk motif
hiasan yang dipakai kemungkinan merupakan perpaduan dari budaya
tersebut.
Salah satu penyebab munculnya nisan tipe-tipe lokal (plakpling) adalah
karena latar belakang sejarah budaya nusantara yang permisive terhadap
anasir yang datang dari luar. Kreativitas mengubah dan menggubah anasir
asing menjadi anasir nusantara merupakan strategi adaptasi. Corak lokal
merupakan wujud dari kebebasan seniman ataupun model yang berkembang
dalam mengekspresikan cita rasa keseniannya. Perkembangan bentuk dari
yang sederhana sampai pada yang rumit adalah sebagai respon dari
pengetahuan, teknologi yang mereka peroleh.
Nisan plakpling terdapat hampir diseluruh wilayah Aceh, dengan populasi
terbanyak di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Menilik bentuk dari
nisan-nisan tipe ini, kemungkinan nisan ini merupakan tipe nisan yang
dipakai berkelanjutan, mulai dari masa-masa awal kedatangan Islam sampai
pada beberapa abad sesudahnya. Nisan tipe ini masih digunakan
berdampingan dengan periode sesudahnya, walaupun pada masa itu telah
terjadi perubahan trend tipe nisan, yaitu nisan tipe Gujarat atau
tipe-tipe “Batu Aceh” lainnya.
Penutup
Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa Lamuri pada masa
sebelum Pasai merupakan sebuah kerajaan Islam yang cukup besar.
Kebesaran Lamuri tidak hanya berlangsung sebentar, keberadaan bangunan
benteng pertahanan menunjukkan bahwa Lamuri yang kemudian berubah nama
menjadi kerajaan Aceh masa selanjutnya dapat dipertahankan bahkan
diperbesar. Puncak kejayaan Lamuri adalah pada masa tampuk kekuasaan
dipegang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal ini menepis anggapan bahwa
Samudera Pasai dengan rajanya Malik as Shaleh merupakan kerajaan Islam
tertua di Nusantara.
Inilah untaian kisah/sejarah tentang kerajaan lamuri yang mulai
terlupakan, kerajaan atjeh yang di rencanakan akan di bangun lapangan
golf di domisilinya terdahulu, dan rencana ini akan memusnahkan tempat
bersejarah di Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar