Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia
yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang.
Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman, seorang
bangsawan Palembang keturunan Jawa pada tahun 1659 dan dihapuskan
keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari
Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu
itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Cina,
Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat
dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Sejarah
Menurut catatan sejarah, cerita tentang Kesultanan Palembang muncul
melalui proses yang panjang dan berkaitan erat pula dengan
kerajaan-kerajaan besar lain, terutama di Pulau Jawa, seperti Kerajaan
Majapahit, Demak, pajang dan Mataram.
Raja Majapahit, Prabu Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama
Aria Damar atau setelah memeluk Islam disebut Aria Dilah dikirim kembali
ke Palembang untuk menjadi penguasa. Di sini ia menikah dengan saudara
Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk, dan diangkat
menjadi raja (1445-1486). Pada saat Aria Dilah memerintah Palembang, ia
mendapat kiriman seorang puteri Cina yang sedang hamil, yakni isteri
ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang
puteri ini melahirkan seorang putera di Pulau Seribu, yang diberi nama
Raden Fatah atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi
raja pertama di Demak dan menjadi menantu Sunan Ampel.
Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak I (1478-1518), ia berhasil
memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di
Jawa. Akan tetapi, kerajaan Demak tidak dapat bertahan lama karena
terjadinya kemelut perang saudara dimana setelah Pangeran Trenggono
Sultan Demak III anak Raden Fatah wafat, terjadilah kekacauan dan
perebutan kekuasaan antara saudaranya dan anaknya. Saudaranya,
mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri kembali ke
Palembang.
Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 Kepala Keluarga ini diketuai oleh
Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 ilir)
yang saat itu Palembang dibawah pimpinan Dipati Karang Widara,
keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan Kerajaan Palembang yang
bercorak Islam serta mendirikan Istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi
Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan sebagai Raja
adalah anaknya, Ki Gede Ing Sura Tuo selama 22 tahun (1552-1573). Oleh
karena beliau tidak berputera, maka ia mengangkat keponakannya menjadi
penggantinya dengan bergelar pula Ki. Gede Ing Suro Mudo (1573-1590).
Setelah wafatnya ia di ganti oleh Kemas Adipati selama 12 tahun.
Kemudian digantikan oleh anaknya Den Arya lamanya 1 tahun. Selanjutnya
ia diganti oleh Pangeran Ratu Madi Ing Angsoko Jamaluddin Mangkurat I
(1596-1629) yang wafat teraniaya di bawah pohon Angsoka. Pengganti
selanjutnya ialah adiknya Pangeran Madi Alit Jamaluddin Mangkurat II
(1629-1630). Setelah wafat diteruskan pula oleh adiknya yang bernama
Pangeran Sedo Ing Puro Jamaluddin Mangkurat III (1630-1639), wafat di
Indra laya. Lalu digantikan oleh kemenakannya yang bernama Pangeran Sedo
Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639-1650) bersama dengan
isterinya Ratu Senuhun. Ratu Senuhun inilah yang menyusun "Undang-undang
Simbur Cahaya" yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, ad at
perkawinan, piagam dan lain sebagainya.
Sebagai ganti Pangeran Sido Ing Kenayan ialah Pangeran Sedo Ing Pesarean
Jamaluddin Mangkurat V (1651-1652) bin Tumenggung Manca Negara. Tongkat
estafet selanjutnya dipegang oleh puteranya yang bernama pangeran Sedo
Ing Rejek Jamaluddin Mangkurat VI (1652-1659) sebagai raja Palembang.
Beliau raja yang alim dan wara'. Pada masanya ini terjadilah pertempuran
pertama dengan Belanda pada tahun 1659 yang mengakibatkan Keraton Kuto
Gawang hangus terbakar. Pangeran Sido Ing Rejek menyerahkan
kepemimpinannya kepada adiknya, Pangeran Kesumo Abdurrohim Kemas Hindi.
Sedangkan ia mengungsi ke Saka Tiga sampai akhir hayatnya dan di sana
pula jasadnya dikebumikan.
Latar Belakang Terbentuknya Kesultanan Palembang Darussalam
KERATON KUTO GAWANG (1659)
Pada tahun 1658 datang diperairan sungai musidi pelimbang kapal-kapal
kompeni Belanda dari Batavia (jakarta sekarang) yang dipimpin oleh
Cornelisz Oc-kerse. Diantara kapal-kapal itu terdapat dua kapal besar
bernama ’Jakarta’ dan ’de Wachter’
Kedatangan Cornelisz Oc-kerse ke Pelimbang itu adalah dalam rangka
memenuhi pelaksanaan kontrak dagang antara kompeni belanda dan kerajaan
pelimbang, diantaranya adalah timah putih dan rempah- rempah seperti
lada putih dan lada hitam.
Kito atau keraton pelimbang pada abad ke 16 dan awal abad ke 17 terletak
di seberang ilir atau sebelah kiri dari sungai musi dan bernama waktu
itu KUTO GAWANG (Pusri Sekarang). Yang kemudian setelah Kuto tersebut
berpindah lagi ke tempat yang baru, bernama Kuto Cerancangan pada akhir
abad ke 18, maka Kuto Gawang diberi nama PELIMBANG LAMA.
Keraton Kuto Gawang ini terletak diantara dua sungai yaitu bernama
Sungai Buah dan Sungai Linta dan ditengah-tengah kuto tersebut terdapat
sungai Rengas.
Kuto atau Keraton Kerajaan Pelimbang tersebut panjang dan lebarnya sama
yaitu 700 Depa atau k.l. 1100 m lebar, dan dikelilingi oleh tembok atau
benteng terbikin dari kayu setinggi 7,25 m, dan terdiri atas
balok-balok dari kayu besi atau kayu unglen (kayu tulen) berukuran
30x30 cm.
Dibelakang benteng kayu ini yang disusun secara rapih sekali dan
teratur, terdapat pula tembok dari tanah dimana tersusun meriam-meriam
pertahanannya. Dibagian pinggir sungai musi terdapat pula tiga
(BULUARTI) atau anjungan (bastion). Satu diantaranya yang terletak
dibagian tengah adalah dibikin dari batu. Ketiga buluarti ini dilengkapi
pula dem\ngan alat-alat persenjataannya seperti meriam, lelo, dan lain
sebagainya.
Pintu utama masuk ke dalam kuto ini adalah dari sungai rengas, dan
begitulah terdapat pula pintu-pintu lainnya dari samping kiri kanan dan
belakang.
Disebelah timur dari kuto ini terdapat pula kembara yang pada masa jauh
sebelum kedatangan belanda ini telah dibangun kubu-kubu pertahanan yang
dilengkapi dengan lapisan-lapisan cerucug dari kayu unglen terbentang
dari pantai sebelah hilir sungai musi sampai kepantai seberang hulu
sungai musi berikut rantainya. Ketiga kubu pertahanan atau istilah
sekarang benteng yang terletak di pulau kembara, bernama benteng
”manguntama” yang kedua terletak disebelah hilir bagus kuning yaitu
bernama benteng pertahanan ”Martapura” dan yang terletak di muara pelaju
adalah benteng pertahanan yang terbesar bernama ”Tambakbaja”.
Seperti kita ketahui bukan saja di pelimbang. Kompeni belanda dalam
melakukan kontraknya selalu berbuat curang dan melakukan
penyelundupan-penyelundupan, baik oleh pihak kompeninya sendiri. Maupun
pribadi orangnya sendiri, tetapi rata-rata diseluruh wilayah nusantara
kita ini. Maka atas penipuan-penipuan tersebut timbulah amarah rakyat
pelimbang terhadap kompeni belanda. Pada bulan desember 1658 kapl-kapal
belanda diserbu secara serentak oleh kerajaan pelimbang bersama-sama
rakyat dibawah pimpinan Pangeran Ario Kusuma Abdulrochim Kiayi Mas Endi
dengan dibantu oleh :
1. Adiknya Putri Ratu Emas Temenggung Bagus Kuning Pangluku
2. Pangeran Mangku Bumi Nembing Kapal.
3. Kiyai Demang Kecek.
Didalam pertempuran tersebut maka sebahagian dari anak kapal Cornelisz
Oc-kerse dapat ditewaskan, sebagian ditawan sebagian lagi dapat lolos
melalui Jambi kemarkasnya di Betawi. Dua kapal besar belanda dari
angkatan lautnya yaitu, ’JAKARTA’ dan ’ de WACHTER’ dapat dikuasai dan
dimenangkan oleh pelimbang dalam peperangan tersebut. Kemudian kedua
kapal tersebut disimpan di pulau kembara. Kesemuanya ini adalah akibat
kecurangan dari pihak kompeni belanda yang dalam pelaksanaan kontrak
dagangnya dengan kerajaan pelimbang tidak mematuhi peraturan kontraknya
sendiri.
Rupanya kompeni tidak melupakan kejadian tersebut begitu saja, satu
tahun kemudian pada tanggal 10 november 1659 menyusul satu armada kapal
perang dibawah pimpinan commandeur JOHAN vender LAAN dimuka kubu
pertahanan (benteng) Manguntama, dan benteng tambak jaya yang terletak
di pulau kembara dan muara sungai komering, menggempur benteng
pertahanan pelimbang tersebut. Pada hari permulaan Belanda keisian dan
dipukul mundur sampai posisi pulau salah nama sebab kapal-kapal perang
mereka banyak yang rusak tenggelam, orang-orangnya banyak yang cidera
karena tembakan oleh meriam Sri Pelimbang yang sangat dibanggakan oleh
rakyat pelimbang dan diakui oleh musuh kehebatannya itu, baik dari segi
kaliber kekuatan maupun keampuhannya sehingga pada jaman itu meriam
musuh yang dapat menandinginya.
Dalam keadaan posisi yang parah itu maka pihak pihak musuh mencari
siasat dan jalan keluar berupa mengincar letak pusat penyimpanan obat
mesiu pelimbang. Walaupun bagaimana sulitnya untuk mendapatkan rahasia
penyimpanan tersebut, akhirnya letak dari gudang-gudang obat mesiu itu
dapat juga diketahui oleh mereka, diledakkan oleh musuh pusat
pennyimpanan mesiu di benteng tambak baya di muara pelaju itu.
Oleh karena itu maka posisi pertempuran beberapa kali berubah –ubah dan
akhirnya dikarenakan gudang-gudang mesiu pelimbang terbakar, maka
palembang harus bertempur dengn senjata tajam, seperti keris, pedang,
panah, tombak nibung, yaitu semacam tombak bambu runcing yang berbisa
sekali. Dikarenakan kuto gawang hampir habis terbakar itu maka pasukan
dan rakyat palemban berangsur mengundurkan diri kepedalaman. Raja
pelimbang, sido ing rejek berikut rakyatnya kemudian mendirikan kuto
baru di pedalaman yang diberi nama indralaya yang dijadikan tempat
kedudukan raja pelimbang. Sebagian besar rakyat pelimbang dibawa oleh
raja mengungsi ke saka tiga, pedamaran, tanjung batu dan pondok, tetapi
kemudian sebagian besar dari mereka tinggal menetap ditempat-tempat
tersebut hingga sekarang telah berkeluarga, turun temurun menjadi
penduduk ditempat-tempat tersebut.
Setelah pelimbang dan kuto gawang hampir dikosongkan dengan mengungsinya
sebagian besar penduduknya ke pedalaman, maka dalam pada itu raja
mengambil siasat melakukan sistem peperangan secara pengepungan
(blokade) dan gerilya terhadap kompeni belanda dan raja sendiri pindah
ke saka tiga. Ternyata masih banyak peniggalannya di tempat tersebut
yaitu. Makam perkuburannya sendiri, masjid, balainya dan lain-lain. Pada
siang harinya rakyat dan tentara pelimbang menghilang tidak menampakkan
diri di kuto yang sebagian telah dibakar dan dibumi hanguskan itu, dan
baru pada malam harinya diadakan kesibukan-kesibukan. Sandang dan pangan
tidak di jual belikan kepada kompeni belanda, sehingga mereka lama
kelamaan menderita kekurangan persediaan.
Di indralaya, saka tiga, pedamaran, pondok, tanjung batu, dan daerah
sekitarnya rakyat sibuk membuat alat-alat persenjataan untuk perang dan
pembangunan. Di pondok khususnya untuk pertemuan, oleh raja sendiri
diadakan dan dipimpin musyawarah besar bersama dengan alim ulama,
hulubalang, pemimpin pasukan, pemuka rakyat perihal bagaimana cara
melakukan siasat peperangan melawan musuh. Jikalau tadinya hanya kaum
pria saja yang berperang, maka didalam musyawarah di pondok tersebut
diambil keputusan antara lain, bahwa didalam peperangan yang akan
diadakan nanti kaum wanita juga akan ikut serta yang pimpinananya akan
ditunjuk adalah adik dari kyai kemas endi pangeran ario kusumo abdul
rochim, ratu bagus kuning dengan gelar Tumenggung Bagus Pangluklu, yaitu
adik dari Pangeran Sido Ing Rejek.
Maka didalam menghadapi peperangan yang akan dilakuakan pada hari-hari
mendatang melawan belanda itu setelah diadakan persiapan-persiapan itu
da;lam waktu yang cukuo lama dan matang dengan cara kerja sama dan
persaudaraan yang baik itu, maka di aturlah pimpinan oleh empat orang
yaitu :
Pangeran Ario Kesumo Abdul Rochim adik raja sendiri, selaku pimpinan umum
Pangeran Mangku Bumi Nembing Kapal dengan alim ulama, hulubalang dan pasukan sabililahnya
Ki Demang Kecek dengan pasukan dan rakyatnya sebagian dari jambi dan sekutu-sekutunya.
Ratu Tumenggung Bagus Kuning Pangluku, dengan srikandi-srikandi pimpinan serta pasukan-pasukannya.
Maka didalam peperangan berlangsung begitu dahsyat dan agak lama banyak
jatu korban dikedua belah pihak. Lama kelamaan dipihak belanda tidak
bertahan dengan serangan dari rakyat pelimbang secara gerilya maupun
secara langsung terus menerus dari pedalaman dan segala penjuru.
Disamping itu menilik pula bahwa posisi belanda selama di blokade itu
banyak diantara mereka yang sakit akibat kekurangan obat dan pangan dan
selama itu tidak dapat turun ke daratan dan kekurangan perlengkapan.
Melihat hal demikian serangan dari pihak palembang berjalan terus , maka
armada belanda kemudian tidak dapat bertahan lebih lama lagi dengan
banyak korban Comandeur JOHAN vander LAAN
Menundurkan diri ke perairan yang aman di luar jarak tembakan meriam
dari ketiga benteng pertahanan pelimbang yaitu : Tambak baya, pulau
kembara laut dan kembara darat dan mangun tama. Dua hari kemudian armada
angkatan perang belanda dipimpin oleh Comandeur JOHAN vander LAAN dan
wakil komandeurnya JOHAN TEREUYTMAN meninggalkan perairan musi dan
mengundurkan diri ke Batavia (Betawi).
Sejak terbakar habisnya keraton Kuto Gawang, Palembang telah rata dengan
tanah. Akan tetapi Palembang harus bangkit dan perlu kepemimpinan.
Kemas Hindi dengan upaya dan kharismanya yang tinggi, menegakkan kembali
harkat dan martabat Palembang. Ia berhasil memimpin, membentuk serta
membangun kembali peradaban Palembang pasca perang 1659, dan memutuskan
keterikatan dengan Jawa terutama Mataram. Kemudian pada tahun 1666,
Pangeran Ario Kusumo Kemas Hindi memproklamirkan Palembang menjadi
Kesultanan Palembang Darussalam dan beliau dilantik sebagai sultan oleh
Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan
Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (Susuhunan Abdurrahman)
serta mendapat legalitas pula dari Kerajaan Istambul (Turki Usmani).
Sebuah keraton baru Kuto Cerancangan di Beringin Janggut dibangunnya
dalam tahun 1660, dan sebuah masjid negara (1663). Masjid ini kemudian
dikenal dengan Masjid Lama (17 ilir sekarang) dan kini hanya tinggal
namanya saja.
Bapak pembangunan Kesultanan Palembang Darussalam ini setelah wafatnya
disebut dengan Sunan Candi Walang, makamnya terdapat di Gubah Candi
Walang 24 ilir Palembang, pemerintahannya selama 45 tahun. Dibawah
kepemimpinan beliaulah Islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang
Darussalam (Darussalam = negeri yang aman, damai dan sejahtera) dan
pelaksanaan hukum syareat Islam berdasarkan ketentuan resmi. Beliaulah
yang memantapkan menyusun, mengatur serta mengorganisir struktur
pemerintahan modern secara luas dan menyeluruh, hukum dan pengadilan
ditegakkan, pertahanan, pertanian, perhutanan dan hasil bumi lainnya
ditata dengan serius. Struktur pemerintahan di tata sesuai menurut adat
istiadat negeri yang lazim diatur leluhur kita di Palembang ini. Sultan
mempunyai seorang penasehat Agama dan seorang sekretaris. Juga
didampingi pelaksana pemerintahan sehari-hari sebagai pelaksana harian
dan didampingi oleh Kepala Pemerintahan setempat sebagai Kepala Daerah.
Tiga orang sebagai anggota Dewan Menteri terdiri dari pangeran
Natadiraja, pangeran Wiradinata dan pangeran Penghulu Nata Agama yang
mengatur tentang seluruh permasalahan Agama Islam.
Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan
Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang
letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data
tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran
keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin
Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan
keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di
sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai
Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan
sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan
Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk
yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk,
tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat
diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah
berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
Kuto Tengkuruk
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektare
dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur
berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal
Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di
sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal
tanah yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya terdapat bangunan Kuto
Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang
atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di
sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan
berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai
Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.
Kuto Besak
Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun
Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk.
Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter,
tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah
barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion.
Bastion yang terletak di sudut baratlaut bentuknya berbeda dengan tiga
bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada
benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu
merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan,
dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut
lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi.
Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua,
tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang
1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823,
bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto
Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah
Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud
Badaruddin II.
Perang antara Kerajaan Palembang – VOC pada tahun 1659 di Kuto Gawang pada tahun 1659.
Hancurnya Kuto Gawang sebagai pertanda berakhirnya eksistensi Kerajaan
Palembang dan berpengaruh terhadap pemindahan pusat pemerintahan dan
pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara
Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian dikenal dengan
nama Beringin Janggut. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka
lahirlah Kesultanan Palembang Darussalam.
Pemindahan pusat Kerajaan Palembang Darussalam dari Kuto Gawang ke
Beringin Janggut berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan yang
kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam (Purwanti, 2004:20).
Sebagai pemimpin yang pertama dari kesultanan ini adalah Ki Mas Hindi
Pangeran Arya Kesumo yang kemudian ditabalkan oleh Badan Musyawarah
Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman
Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 - 1706 M), yang pada masa akhir
hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang.
Di masa pemerintahannya, Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman mencoba
menjalin ikatan dengan Kesultanan Mataram Islam.. Akan tetapi, upaya
tersebut mengalami kegagalan. Beberapa kali utusan dari Palembang
ditolak menghadap Sultan Mataram. Penolakan itu membuat Sultan
Abdurrahman berkeputusan untuk memutuskan hubungan dengan Mataram.
Keberanian Sultan Abdurrahman memutuskan hubungan dengan Kesultanan
Mataram Islam karena ia mendapat dukungan Kesultanan Istanbul dari
Dinasti Turki Usmani.
Jika dilihat dari sejarahnya, terdapat ikatan yang kuat antara
Jawa-Palembang. Seperti diketahui, anak tiri dari Arya Dillah, raja
pertama Kerajaan Palembang, adalah Raden Patah (1478 – 1518 M), pendiri
Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, sisa-sisa kerajaan ini pindah ke
Jawa bagian timur dan menjadi Kesultanan Pajang (1549 – 1587 M).
Kesultanan Pajang pada akhirnya menjadi bagian dari Kesultanan Mataram
Islam.
Kesultanan Palembang Darussalam di Era Kolonial
Setelah Sultan Abdurrahman wafat pada tahun 1706 M, tahta kekuasaan
Kesultanan Palembang Darussalam diteruskan oleh putranya yang bergelar
Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 - 1714 M). Nama Jayo Ing
Lago (Jaya di laga) diperoleh karena sebelum menjadi sultan, ia
memenangkan peperangan di Jambi. Pada tahun 1714 M, Sultan Muhammad
Mansyur Jayo Ing Lago meninggal dunia dan dimakamkan di Kebon Gede
(Kelurahan 32 Ilir, Palembang)
Sepeninggal Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, terjadi perebutan
tahta di Kesultanan Palembang Darussalam. Konflik bermula dari gugurnya
Pangeran Purbaya yang seharusnya dinobatkan menjadi sultan. Tahta
Kesultanan Palembang Darussalam kemudian dilimpahkan kepada Sultan Agung
Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M), adik dari almarhum Sultan
Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Para putra Sultan Muhammad Mansyur Jayo
Ing Lago, yaitu Raden Lembu dan Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin,
menolak keputusan itu dan melakukan perlawanan.
Sultan Agung Komaruddin berinisiatif berdamai dengan kedua keponakannya
itu dengan mengangkat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin sebagai
Sultan Anom Alimudin dan Pangeran Jayo Wikramo sebagai Pangeran Ratu
Jayo Wikramo. Dengan demikian, Kesultanan Palembang Darussalam memiliki 3
sultan pada masa yang sama, hanya saja dalam struktur pemerintahan,
kedudukan Sultan Agung Komaruddin tetap paling tinggi.
Solusi tersebut ternyata tidak membuat Pangeran Adipati Mangkubumi
Alimuddin puas, karena ia merasa Pangeran Ratu Jayo Wikramo lebih
diuntungkan dengan mendapatkan istri dari putri Sultan Agung Komaruddin
bernama Ratu Rangda. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik antar
Sultan Anom Alimuddin dan Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Pangeran Ratu Jayo
Wikramo menang sehingga mengantarkan dirinya sebagai sultan dengan
gelar Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Badaruddin I
(1724 – 1758 M) dan berhak menggantikan Sultan Agung Komaruddin sebagai
pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam.
Sultan Badaruddin I adalah sosok pemimpin yang berwawasan luas dan
agamis. Sultan pernah menulis kitab berjudul Tahqidul Yakin. Selain itu,
Sultan Badaruddin I juga seorang petualang di mana ia pernah
menyinggahi Makassar, Johor, Kelantan, Kedah, Siam, Timur Tengah, dan
lain sebagainya.
Sultan Badaruddin I menggagas pentingnya pembaharuan di lingkungan
Kesultanan Palembang Darussalam dengan cara mengintrodusir pengetahuan
dan perkembangan teknologi namun tanpa meninggalkan tradisi lama. Ia
telah melakukan perubahan dan pembangunan ke arah yang lebih maju,
misalnya dengan membangun Gubah Talang Kenanga (1728 M), Gubah Kawah
Tekurep (1728 M), Keraton Kuto Lamo (1737 M), dan Masjid Agung Palembang
(1738 M)
Masjid Agung Palembang
Sultan Badaruddin I wafat pada tanggal 3 Muharam 1171 H atau 17
September 1757 M dan penerusnya adalah Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 –
1776 M). Pada masa pemerintahannya, Sultan Ahmad Najamuddin I membangun
menara Masjid Agung Palembang pada tahun 1757 M dan membuat kontrak
perdagangan dengan Belanda terutama untuk komoditi lada dan timah, serta
memperbaharui kontrak perdagangan yang telah dibuat pada masa
pemerintahan para sultan sebelumnya. Sultan Ahmad Najamuddin I wafat
pada tanggal 6 Dzulqaidah 1190 H (1776 M)
Tahta Kesultanan Palembang Darussalam selanjutnya dipegang oleh Sultan
Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M) yang membangun Istana Benteng Kuto
Besak. Selain itu, bersama Aceh, Palembang Darussalam menjadi salah satu
pusat sastra agama Islam di nusantara. Sultan Muhammad Bahauddin wafat
pada tanggal 21 Dzulhijjah 1218 H atau 2 April 1804 M.
Benteng Kuto Besak
Penggantinya adalah Raden Muhammad Hasan bergelar Paduka Sultan Mahmud
Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804
– 1821). Sultan Badaruddin II dikenal sebagai ulama, Imam Besar Masjid
Agung, ahli bela diri, dan penulis. Beberapa karyanya antara lain: Syair
Nuri, Pantun Sipelipur Hati, Sejarah Raja Martalaya, dan Nasib Seorang
Ksatria Signor Kastro.
Sultan Badaruddin II dikenal sebagai tokoh pejuang melawan Inggris dan
Belanda, seperti pada Peristiwa Loji Sungai Aur (1811-1812), Perang
Palembang (1819-1821). Namun, akhirnya Kesultanan Palembang Darussalam
mengalami kekalahan. Sebagai konsekuensi, pada tanggal 3 Juli 1821,
Sultan Badaruddin II dan putra sulungnya, Sultan Ahmad Najamuddin III
Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara, hingga Sultan
Badaruddin II wafat di sana pada tanggal 26 November 1852. Atas
perjuangannya melawan penjajah, Sultan Badaruddin II mendapatkan
anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah RI pada tahun 1984.
Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II)
Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, dia mengangkat Pangeran
Adimenggala Raden Muhammad Husin bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II
Husin Diauddin (1813 – 1821). Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin
merupakan adik dari Sultan Badaruddin II. Selain itu, diangkat pula
putra sulungnya sebagai sultan bergelar Sultan Ahmad Najamuddin III
Pangeran Ratu (1819 - 1821).
Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821) adalah adik dari
Sultan Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian
dalam memimpin kesultanan. Hal itu terjadi karena Sultan Badaruddin II
pernah hijrah ke Muara Rawas antara tahun 1813 hingga tahun 1818.
Selain itu, pada tahun 1818, Sultan Badaruddin II pernah dipecat oleh
Inggris dan Belanda yang pernah menguasai wilayah Kesultanan Palembang.
Pemecatan ini dijadikan alasan untuk mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin
III Pangeran Ratu pada 1819.
Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) adalah putra
sulung dari Sultan Badaruddin II yang dilantik pada tahun 1819. Sehingga
di masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (antara
tahun 1819-1821), terdapat tiga sultan yang memimpin secara bergantian
dalam satu waktu, yaitu Sultan Badaruddin II (1804 – 1821), Sultan Ahmad
Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821), dan Sultan Ahmad Najamuddin
III Pangeran Ratu (1819 - 1821).
Pelantikan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu didasari atas
pemecatan yang dilakukan Belanda dan Inggris terhadap Sultan Badaruddin
II. Meskipun telah dipecat, tetapi secara adat Sultan Badaruddin II
tetap dianggap sebagai pengampu kekuasaan tertinggi di Kesultanan
Palembang Darussalam.
Pada masa peperangan dengan Belanda, Sultan Ahmad Najamuddin III
Pangeran Ratu menjabat sebagai komandan pertahanan Benteng Martapura di
perairan Sungai Musi. Dia bahu membahu dengan sang ayah (Sultan
Badaruddin II) untuk berperang melawan kaum kolonial. Akan tetapi
perlawanan ayah-anak ini harus berakhir, karena pada tanggal 3 Juli
1821, Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran
Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara.
Sebelum diasingkan ke Ternate, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu
beserta keluarga dan para pengikut setianya, termasuk permaisuri,
sejumlah anaknya, para ulama, dan panglima kesultanan, diasingkan ke
Batavia terlebih dahulu. Tidak semua keluarga dan para pengikut
setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya, dibawa ke
pengasingan karena keterbatasan kapal.
Pasca pembuangan Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III
Pangeran Ratu, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Sultan Ahmad
Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 – 1821). Pada tahun 1821, Sultan
Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin melantik puteranya yang bergelar
Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823) (Sultan Najamuddin
II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam
berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda dan mulai masuk pula pengaruh
dari Inggris.
Akibat berbagai tekanan dari pihak Belanda dan Inggris yang menyudutkan
posisi Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu
Anom sering melakukan perlawanan. Perlawanan tidak hanya dilakukan di
pusat pemerintahan, akan tetapi menyebar sampai ke daerah-daerah, hingga
Belanda menjuluki Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom dengan gelar
Sultan Amuk. Akhirnya perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Ahmad
Najamuddin IV Prabu Anom terhenti karena ia ditangkap pada tahun 1823.
Setahun kemudian, pada tanggal 6 Desember 1824, Sultan Ahmad Najamudin
II Husin Dhiauddin yang merupakan ayah dari Sultan Ahmad Najamuddin IV
Prabu Anom, diasingkan ke Batavia dan wafat di sana pada tanggal 22
Februari 1825. Di sisi lain, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom
akhirnya juga diasingkan pada tahun 1825 ke Banda kemudian ke Menado.
Pada tahun 1844, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom wafat di Manado.
Terhitung sejak tertangkapnya Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom
selaku sultan terakhir di Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun
1823, maka secara resmi Kesultanan Palembang Darussalam telah dihapuskan
oleh Belanda.
Upaya Membangkitkan Kesultanan Palembang Darussalam
Kebesaran Kesultanan Palembang Darussalam di masa silam membuat beberapa
pihak berupaya untuk membangkitkannya kembali. Kenangan indah yang
mengendap selama 157 tahun (1666 - 1823), diusahakan dibangun kembali
dengan kemunculan dua tokoh yang merasa sebagai pewaris tahta Kesultanan
Palembang Darussalam, yaitu Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu
Diradja, S.H dan Ir. H. Raden Mahmud Badaruddin.
Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. bin Raden H. Abdul
Hamid Prabudiradja IV adalah seorang perwira polisi yang bertugas di
Kepolisian Daerah Sumatra Selatan. Pada tanggal 3 Maret 2003, bertempat
di Masjid Lawang Kidul, Majelis Musyawarah Adat Kesultanan Palembang
Darussalam menobatkan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H.
sebagai Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan
Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III)
Ada dua alasan yang mendasari pengangkatan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei
Prabu Diradja, S.H. Pertama, berdasarkan wawancara dengan harian
Sumatera Ekspres, pada tanggal 11 Maret 2003, dengan judul “Saya
Menerima Wangsit”, Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H
mengaku menjadi Sultan Mahmud Badaruddin III karena menerima wangsit.
Kedua, menurut silsilah Kesultanan Palembang Darussalam, Drs. Raden H.
Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. merupakan keturunan ke-11 dari
Sultan Abdurrahman. Sehingga jika dirunut secara garis keturunan, dia
adalah putera dari Raden H. Abdul Hamid Prabu Diratdjah IV, bin R.H.
Sjarif Prabu Diratdjah III, bin R. H. Abdul Habib Prabu Diratdjah II,
bin Pangeran Prabu Diratdjah Haji Abdullah, bin Sultan Mahmud Badaruddin
Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II), bin Sultan
Muhammad Bahauddin, bin Sultan Ahmad Najamuddin I, bin Sultan Mahmud
Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I), bin Sultan Muhammad
Mansyur Jayo Ing Lago, bin Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin
Sayidul Iman.
Tokoh kedua yaitu Ir. H Raden Mahmud Badaruddin, adalah Ketua Umum
Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dilantik pada
tanggal 4 September 2005 di halaman Benteng Kuto Besak. Pada tanggal 18
November 2006, para zuriat (keturunan) sepuluh sultan yang pernah
berkuasa di Palembang beserta zuriat Melayu di Sumatra Selatan melakukan
musyawarah yang akhirnya mengukuhkan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin
sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin. Pelantikan dia dilakukan pada tanggal 19 Desember 2006 di
halaman Dalam Benteng Kuto Besak.
Alasan penobatan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang
Darussalam didasari atas silsilah Sultan Palembang Darussalam. Raden
Iskandar Mahmud Badaruddin merupakan keturunan dari dua sultan yang
pernah berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Sultan
Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo
Wikramo.
Silsilah
Penulisan silsilah Kesultanan Palembang Darussalam berikut ini merupakan
rangkuman dari beberapa sumber, yaitu: Djohan Hanafiah. 1995.
Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja
Grafido Persada; Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”,
dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah
Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara; dan Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang:
Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam sebagai berikut:
Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 – 1706 M)
Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 – 1714 M)
Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)
Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758 M)
Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M).
Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)
Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II)(1804 – 1821)
Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)
Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)
Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)
Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III)(2003 – 2006)
Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)
Sistem Pemerintahan
Menurut Hanafiah (1995), selama memerintah, Sultan Abdurrahman telah
meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Dalam
bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman
atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan
peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem
(piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam
pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi
(Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang
Bawang/Mesuji).
Dalam bidang pertanian, Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah
tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia juga membuat sistem
perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja
digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan.
Dalam mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang
Darussalam memilih sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Salah
satu sikap kompromistis penguasa dilakukan dengan jalan lembaga
perkawinan Sebagai contoh, Sultan Abdurrahman pernah melangsungkan
perkawinan dengan puteri penguasa Bangka. Imbas dari perkawinan
tersebut, Sultan Abdurrahman mendapatkan warisan kepulauan Bangka yang
kemudian masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang
Darussalam.
Selain menggunakan lembaga perkawinan, penguasa di Kesultanan Palembang
Darussalam juga menunjukkan sikap untuk lebih menghormati adat setempat
yang berlaku di masing-masing komunitas adat. Kehidupan hukum masyarakat
yang ada di bawah kekuasaan sultan biasanya berjalan sesuai dengan
tradisi masing-masing. Tetapi kadang-kadang mereka terdesak sampai
musnah. Di lain, tempat konstruksi hukumnya mengalami perubahan hak
ulayat kepala-kepala (rakyat yang telah turun-temurun misalnya, tetap
berlaku seperti sediakala, tetapi selanjutnya disebut-sebut seolah-olah
didasarkan atas satu karunia daripada seorang sultan.
Sikap kompromis Kesultanan Palembang dapat dibuktikan ketika
Undang-Undang Simbur Cahaya dibuat untuk dijadikan pedoman terhadap
kekuasaan yang berlaku di daerah. Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan
suatu pedoman yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat
perkawinan, piagam, dan lain sebagainya. Undang-undang ini disusun oleh
Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 – 1650 M)
bersama sang istri, Ratu Senuhun, ketika Kesultanan Palembang Darussalam
masih berbentuk Kerajaan Palembang. Undang-Undang Simbur Cahaya masih
dijadikan pedoman meskipun bentuk kerajaan telah beralih ke bentuk
kesultanan.
Menurut J.W. van Royen, para sultan tidak melakukan apapun selain
mengukuhkan (vastleggen) hukum adat yang berlaku di daerah-daerah .Sikap
penguasa Palembang secara jelas digambarkan oleh P. dee Roo de Faille.
“Orang Pasemah bukan semata-mata orang bawahan, mereka lebih merupakan
kawan-kawan seperjuangan dari Sultan yang dilindunginya, meskipun mereka
… telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas dan mengikat
diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk pengakuan daripada
kekuasaan”
Secara stuktural, sultan menempatkan diri sebagai penguasa tertinggi.
Kedudukan sultan bermakna dua, sebagai pemimpin wilayah sekaligus
sebagai pelindung agama Islam. Pemerintahan tersusun dengan adanya
pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kesultanan yang
berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di luar wilayah
ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak
didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena
faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut.
Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah sebagaimana berikut:
1. Sindang
Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan
wilayah kesultanan. Penduduk di daerah sindang memperoleh status mardika
(merdeka atau bebas). Tugas utama penduduk daerah perbatasan adalah
menjaga perbatasan.
2. Kepungutan
Kepungutan merupakan sebutan bagi daerah yang langsung berada dalam
pengawasan kekuasaaan sultan. Kepungutan merupakan daerah bebas pajak
tetapi mempunyai kewajiban lain yang disebut tiban atau tukon. Tiban
adalah kewajiban bagi penduduk di daerah kepungutan untuk memproduksi
komoditi ekspor seperti lada atau menambang timah. Komoditi ini menjadi
hak (monopoli) Kesultanan Palembang Darussalam dalam pemasarannya.
Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan tiban.
Hanya saja dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran.
3. Sikap
Sikap merupakan suatu wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk memenuhi
kebutuhan perekonomian di Istana Kesultanan Palembang Darussalam. Pada
umumnya daerah sikap terikat dengan kewajiban seperti menyediakan tenaga
pengangkut hasil produksi istana dan menyiapkan keperluan-keperluan
istana Daerah sikap secara khusus menjadi tanggungjawab golongan priyayi
yang disebut dengan jenang (pemimpin suatu wilayah di luar ibukota
kesultanan). Hanya saja, kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja.
Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka
tanah (sikap), namun harus membayar pajak atas tanah dan hasil
pertanian. Meskipun demikian, baik golongan priyayi maupun rakyat
petani, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.
Hubungan Dengan Kerajaan Lain
Hubungan Palembang dengan Demak
Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan
puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521,
kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang
wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak).
Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara
saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata).
Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian
Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak
Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang.
Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat
dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya
juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan
Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton
Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan
Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481
sampai 1546.
Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini,
berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden
Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing
Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan
baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan
raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto
Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri,
Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para
penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya.
Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu,
yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.
Hubungan Palembang dengan Mataram
Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan
pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah
Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo
(putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin
Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan
atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati
Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah
sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan
keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan
dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara
Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa
pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai
akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai
pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad
(1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu
Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada
perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan
Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya
Pangiri dari Demak.
Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri
dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu
kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin
bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga
dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang
termasuk Palembang juga merenggang.
Hubungan Palembang dengan VOC
Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai
mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari
penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan
Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun
1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa
Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Tiongkok, juga
sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada
VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC
hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat
dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya
Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx
(1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di
Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru
pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil
pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena
belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619
ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji
dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan
bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung
dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian
bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau
yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan
dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun
1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena
antara lain ia menyita sebuah jung Tiongkok bermuatan lada.
Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si
Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di
Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang
terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota
Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal
22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang ( Putri Ratu Emas,
Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal,
Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama
Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda
lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena
kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk
Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda
mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan
pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di
Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya
menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).
Dari wilayah Sumatra Selatan, wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang
Darussalam meluas ke beberapa daerah seperti Bangka, Belitung, sebagian
Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang
Bawang/Mesuji). Perluasan wilayah ini sebagian besar terjadi ketika
Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan
Abdurrahman.
Ekonomi
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan
hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar.
Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka
Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak
abad ke-18.
Peperangan
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara
Belanda yang berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan
Inggris, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan
menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan
diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad
Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun
1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun
satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat
kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan
keluarga dalam kesultanan Palembang.
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya
dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin
II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali
bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan
Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan
dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagaiPerang Menteng
(diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan
lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan
berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan
ke Ternate. Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III
anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada
tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah
pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan
istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat
dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad
Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Naira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar