Kerajaan Islam Barus
Pendidikan di peradaban Batak bukanlah sesuatu yang baru. Institusi
“partungkoan” bisa dikatakan sebuah media yang sudah dikenal sejak
dahulu kala sebagai cara untuk meneruskan ilmu pengetahuan dan sarana
pengembangan sosial bagi generasi muda berikutnya.
Sejak pertama kali kedatangan Islam ke tanah Batak melalui tanah Batak
pesisir, Barus, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting saat
itu. Melihat konstelasi politik di pesisir dan tanah Batak yang
berubah-ubah disinyalir bahwa sistem pendidikan Islam di tanah Batak
juga berubah-ubah.
Seperti diketahui, ada dua aliran besar yang pernah memasuki tanah
Batak. Pertama adalah kalangan Sunni dengan empat mazhabnya: Syafii,
Maliki, Hambali dan Hanafi. Namun nampaknya pengaruh mazhab maliki tidak
terlalu nampak dalam kedudayaan Islam di tanah Batak. Satu aliran lain
adalah dari golongan syiah yang paling kuat menancapkan pengaruhnya di
tanah Batak.
Bisa dikatakan bahwa syiahlah yang pertama sekali membentuk sistem
pendidikan keagaaman di tanah Batak melalui Barus, pantai barat sumatera
dan porsea dan kota-kota Batak lainnnya yang dialiri sungai asahan,
dimana sumber airnya berasal dari danau Toba.
Sistem pendidikan syiah tersebut, merupakan sistem tyang lazim dipakai
di negeri-negeri Islam di tanah Arab saat itu. Perlu diketahui bahwa
Universitas Al Azhar merupakan istitusi pendidikan tertua yang didirikan
oleh kaum syiah. Salah satu sisa dari kejayaan syiah di tanah Batak
adalah praktek tasawuf dan tarekat yang masih diamalkan oleh tetua Batak
di pedalaman Batak. Sistem tarekat ini terkenal dengan sistem
pembelajaran yang menggunakan kelambu.
Pusat-pusat pengembangannya adalah di tanah Batak selatan, Barus dan
lain sebagainya. Orang-orang dari tanah Batak utara biasanya akan pergi
ke daerah-daerah tersebut untuk menimba ilmu dan mengamalkannya di
kampung halaman masing-masing dengan istilah “mangaji“.
Pengaruh dari Hanafi dibawa oleh warga muslim Cina yang banyak datang
berdagang di kawasan Batak Simalungun. Namun, sistem yang dibawa oleh
kalangan Cina tersebut menyatu dengan sistem yang dibawa oleh
orang-orang Persia, yang syiah sehingga sampai sekarang tidak terlalu
terasa pengaruhnya. Sistem pendidikan hanafi menekankan kepada kemampuan
analisa akal yang dibarengi oleh arguentasi-argumentasi dari kitab
suci.
Di pedalaman Batak, sistem ini ternyata sangat manjur karena kurangnya
kesempatan mereka untuk kontak dengan ulama atau da’i yang tidak selalu
datang untuk meng-upgrade atau memberi solusi atas masalah-masalah dan
pengetahuan mereka ke desa-desa mereka yang terisolir.
Sistem pendidikan hambali yang ditandai atas kepatuhan dan kejuhudan
serta penghormatan terhadap tradisi nabi mulai diterapkan saat masuknya
orang-orang Padri ke tanah Batak. Sementara itu sistem syafii, yang
menekankan hukum-hukum fiqih, baru terasa belakangan saat hubungan
antara penduduk Batak dengan dunia luar sudah sangat minim akibat
penjajahan Belanda. Paska kemerdekaan, sistem syafii ini pula yang
banyak diberlakukan.
Yang dimaksud dengan sistem syafii adalah sistem pendidikan yang
diterapkan oleh kalangan muslim yang bermazhab syafii di seluruh dunia.
Begitu juga dengan sistem lainnya. Kalangan syafii, khusunya di
Indonesia, menekankan pembelajaran kepada tokoh dan individu yang
dianggap mahir dalam ilmu fiqih. Sehingga masalah dan ilmu pengetahuan
apapunm yang akan mereka hadapi akan didasarkan kepada paradigma
berpikir fiqhiyah.
Kalangan hambali lebih menekankan jalur hadits dan al-Quran, sedangkan
kalangan hanafi lebih menekankan kemampuan filosofi dan ilmu kalam.
Sementara itu kalangan syiah, sebagai sistem pendidikan yang paling tua
di tanah Batak lebih menekankan kepada kemampuan memahami fenomena dunia
melalui tarekat dan suluk.
Agama parmalim di tanah Batak diyakini merupakan sistem kepercayaan
tradisional Batak yang banyak dipengaruhi oleh cara berpikir tarekat dan
suluk yang banyak berkembang di Barus pada awal-awal masuknya Islam.
Istilah malim sendiri, yang berarti seorang yang dianggap parmalim,
sama-sama dipakai oleh kalangan Islam dan Parmalim paska pengkristalan
kepercayaan ini menjadi sebuah agama, juga berarti seorang yang alim dan
dekat dengan Tuhan.
Walaupun begitu, semua sistem pendidikan tersebut, bisa saja memakai
cara yang sama ketika berhadapan dengan masalah-masalah sehari-hari.
Misalnya semua sistem terbut akan menggunakan ilmu hisab, ilmu hayat dan
al jabar serta ilmu-ilmu lainnya untuk menangani hal-hal yang dianggap
masalah duniawiyah.
Berikut adalah angka tahun pendidikan Islam di tanah Batak. Yang
meliputi tanah Batak pedalaman yang sering disebut pusat tanah Batak
atau Batak utara, Barus, Mandailing, Angkola atau Batak selatan, Gayo,
Simalungun, Karo dan kawasan Batak di sekitar sungai Asahan sampai ke
hilir sungainya di sumatera bagian timur.
633-661 M
Disinyalir pemerintahan Khulafa’ Al Rasyidin telah menjalin hubungan
dengan beberapa kerajaan di Sumatera, termasuk Batak. Tapi hubungan itu
masih sekedar hubungan antar negara dalam sebuah upaya untuk menjalin
hubungan kerjasama ekonomi. Kapur barus, emas, merica dan rempah-rempah
lainnya. Sumatera dikenal dengan istilah Zabag. Beberapa catatan
mengenai kedatangan utusan dan pelaut muslim ke Barus dan pelabuhan
sumatera lainnya yang dikuasasi Sriwijaya pernah didokumentasikan.
661-750
Pelaut-pelaut Arab yang Islam mulai berdatangan secara intens di masa
pemerintahan Dinasti Umayyah. Kedatangan mereka untu misi dagang
tersebut telah membentuk kantong-kantong muslim di tanah Batak,
khususnya Barus, yang tentunya terjadinya transfer ilmu pengetahuan
kepada penduduk setempat melalui medium non-formal.
718-726
Islam berkembang pesat di tanah Barus. Di lain pihak Islam berkembang di
Sumatera masuknya beberapa raja Sriwijaya kepada Islam. Diantaranya Sri
Indra Warman di Jambi.
730
Pedagang Arab di pesisir Sumatera mendapat persaingan dari pedagang Cina
yang sangat aktif menyebarkan agama buddha mahayana. Kerajaan-kerajaan
buddha dengan Sriwijaya-nya menjadi kekuatan yang sangat kuat menguasai
sebagian besar pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara. Diyakini
orang-orang Sriwijaya ini juga berhasil memasukkan ajaran Buddha ke
komunitas Batak khusunya yang di Mandailing.
851
Seorang pedagang Arab berhasil mendokumentasikan kedatangannya di kota
Barus. Laporan Sulaiman itu pada tahun 851 M membicarakan tentang
penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus
Disinyalir bahwa para pendatang asing seperti Romawi, Yunani, Arab,
Cina, India, Persia dan dari kepulauan Indonesia lainnya telah membangun
kantong-kantong pemukiman yang lengkap dengan prasarana pendukungnya di
Barus. Penambangan emas dan perkebunan kamper tersebut merupakan contoh
bahwa kedua komoditas ini telah diolah secara modern dan bukan didapat
secara tradisional di hutan-hutan.
Sekarang ini ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang
memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang
awal di Sumatera seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar
abad-9 dan 10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat
Muslim dengan kehidupan yang cukup mapan. Kehidupan yang mapan itu pula
memungkinkan mereka untuk hidup secara permanen di kawasan ini yang
sudah pasti didukung oleh sarana pengembangan ilmu pengetahuan agar
mereka tidak tertinggal dengan pesaing lainnya.
Sebagai pelabuhan yang sangat masyhur, Barus menjadi tujuan pendidikan
tertua bagi masyarakat Batak. Hal ini dikarenakan bahwa Barus merupakan
wilayah Batak yang paling mudah dicapai oleh orang-orang Batak dari
pedalaman yang ingin menimba ilmu. Jalan-jalan menuju Barus telah
dirintis rapi oleh pedagang-pedagang Batak yang ingin menjual kemenyan
dan membeli produk jadi dari Barus. Sampai era tahun 1980-an,
madrasah-madrasah tradisional Barus masih menjadi primadona tujuan
pendidikan di tanah Batak sebelum akhirnya digantikan oleh Mandailing
dengan pesantren-pesantrennya yang sudah modern.
Masuknya gelombang pedagang dan saudagar ke Barus mengakibatkan penduduk
lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus, Sorkam, Teluk
Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa
elemen sudah menganutnya. Walaupun begitu, mayoritas masyarakat Batak di
sentral Batak masih menganut agama asli Batak.
Kelompok Marga Tanjung di Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di
Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga,
Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan
Islam dengan kaffah.
900
Ibnu Rustih kurang lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur, nama kota di
Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara
.Sementara itu tahun 902, Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus merupakan
pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera.
Sambil berdagang, para saudagar-saudagar Batak, marga Hutagalung,
Pasaribu, Pohan dan Daulay biasanya akan memberikan ceramah dan majlis
pendidikan kepada penduduk Batak pedalaman. Tradisi ini masih
berlangsung sampai era 1980-an di negeri Rambe, Sijungkang dan lain
sebagainya. Di daerah Bakkara, komunitas yang aktif dalam pendidikan
Islam adalah kalangan Marpaung sejak abad-15. Pembelajaran secara
cuma-cuma dan gratis ini bisa diartikan sebagai taktik dagang untuk
mendekatkan mereka dengan penduduk setempat.
976-1168
Paham syiah mulai datang ke daerah Barus. Hal itu karena ekspansi perdagangan Dinasti Fatimiyah Mesir.
1128-1204
Kota Barus, dan beberapa daerah Batak lainnya seperti Gayo pernah
direbut oleh Kesultanan Daya Pasai, dengan rajanya Kafrawi Al Kamil.
Ekspanasi ini terlaksana dengan motif monopoli perekonomian. Sistem
pendidikan yang lebih sitematis dari kalangan syiah menjadi marak di
Barus dan daerah Batak lainnya. Kalangan intelektual Batak mulai unjuk
gigi. Khususnya mereka kawin campuran dengan pedagang asing dari Arab,
India dan Persia. Namun penguasaan pihak Aceh tersebut berlangsung hanya
sementara. Di Barus kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi penguasa
tunggal menjadi kesultanan Batak muslim yang sangat kuat. Kesultanan ini
mempunyai aliansi yang kuat dengan Aceh, khusunya Singkel dan Meulaboh.
Kerajaan Batak Hatorusan yang menjadi penguasa di Barus dan pesisir
Sumatera bagian barat sejak abad sebelum masehi tidak tampak
hegemoninya. Disinyalir keturunannya menjadi raja-raja huta di Sorkam
dengan penduduknya yang bermarga Pasaribu. Pada abad ke-16, Kerajaan
Hatorusan ini muncul kembali dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu
menjadi Sultan Barus Hilir. Dinasti Pardosi kemudian dikenal sebagai
Sultan Barus Hulu.
Persaingan politik antar mereka membuat kedua kesultanan ini sering
berpecah. Sultan di Hulu lebih dekat kepada Aceh dan yang di Hilir lebih
dekat kepada Minang. Minang dan Aceh sendiri merupakan dua kekuatan
yang saling berkompetisi dalam memperebutkan pengaruh di Barus. Baik
pada saat mereka Islam maupun Buddha dan Hindu.
Kalangan intelektual Arab mulai berdatangan ke Barus. Ekspor kapur barus
meningkat tajam seiring dengan meningkatnya permintaan. Barus menjadi
rebutan banyak kekuatan asing dan lokal. Pada permulaan abad ke-12,
seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai ekport kapur
di Sumatera. Kapur bahasa latinnya adalah camphora produk dari sebuah
pohon yang bernama latin dryobalanops aromatica gaertn. Orang Batak yang
menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.
Beberapa istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur al-Fansuri
dengan istilah latin Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa
Batak dikenal sebagai produk terbaik di dunia dan produk lain adalah
Benzoin dengan bahasa latinnya Styrax benzoin. Semua ini adalah
produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana penduduk aslinya adalah
orang-orang Pakpak dan Toba.
1275-1292
Orang-orang Hindu Jawa mulai unjuk gigi dengan Ekspedisi Pamalayu
kerajaan Singosari. Beberapa daerah Batak dijadikan menjadi kerajaan
Hindu, khususnya yang di Simalungun. Pihak Hindu Jawa yang menggantikan
kekuatan Buddha mengancam perdagangan saudagar-saudagar muslim yang
didukung oleh Kesultanan Daya Pasai dengan beberapa sekutunya seperti
Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Kuntu Kampar, Aru Barumun, Bandar
Kalipah dan lain-lain.
1285-1522
Kesultanan Samudera Pasai mulai tampak ke permukaan dengan raja
pertamanya Sultan Malik Al Shaleh, seorang putera Batak Gayo, bekas
prajurit Kesultanan Daya Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas
puing-puing kerajaan Nagur di sungai Pasai, yang dirobohkan oleh orang
Batak Karo.
Uniknya, kesultanan ini telah memakai paham syafii yang menjadi
kompetitor terhadap syiah yang sudah lama menancapkan kekuatan politik
dan budayanya kepada masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan ala syafii
mulai masuk ke tanah Batak.
Kesultanan Samudera Pasai sekarang ini dikenal sebagai kesultanan Aceh
karena secara geografis memang terletak di tanah Aceh. Namun sebagai
sebuah kesultanan yang dibangun oleh maha putera Batak Gayo dari Nagur,
posisinya tidak dapat dihilangkan dalam percaturan sistem budaya dan
pendidikan di tanah Batak.
Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah
merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten
(Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang
dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil
menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.
Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia
adalah mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang
berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya
adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua.
Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.
Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al
Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295
berkuasa di barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun
1299.
Malik Al Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya yang
sunni. Dia adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan
kesultanannya sebagai daerah syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan
sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo). Semua ini dikarenakan karena dia
menikah dengan putri Nur Alam Kumala Sari binti Sultan Muhammad Al
Kamil, pemimpin di Kesultanan Muar Malaya yang syiah.
Kekuasaan Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun
yang menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai
Kampar. Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan
lain sebagainya.
Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina pada era
Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari
Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji
Kung Wu Ping. Di era ini paham Hanafi ikut serta dalam memperkaya
khazanah sistem pendidikan di tanah Batak, karena para utusan dari Cina
yang muslim tersebut menganut faham hanafi dalam praktek sehari-hari.
Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Barumun adalah sebagai berikut:
Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)
Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan
kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang
Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung
kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia
ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan
Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era
Dinasti Ming dengan nama ‘Adji Alasa’ (A Dji A La Sa). Orang Batak yang
paling dikenal di Cina.
Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada
tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka,
atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun
1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut
Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.
Semua anggota dinasti di atas adalah bersuku Batak Gayo. Saat menurunnya
kekuasaan Kesultan Aru, maka pihak Aceh mulai menancapka hegemoninya di
Aru Barumun. Pihak Aceh berkompetisi dengan para bajak laut Eropa di
kekosongan kekuatan politik di daerah tersebut.
Pada tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap, seorang
Batak Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya dari
Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua
lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.
1331-1364
Era Majapahit. Hegemoni kekuatan Imperialisme Hindu Jawa di Nusantara,
tak terkecuali tanah Batak. Perkembangan pendidikan di tanah Batak
sedikit tidak mengalami penambahan yang signifikan. Kekuatan penduduk
yang menjadi militer di tanah Batak sibuk membendung kekuatan Majapahit
dengan bantuan pihak Aceh.
Panglima Mula Setia dan Samudera Pasai berhasil mengusir kekuatan
Majapahit dari Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1409, tentara Majapahit
dimusnahkan oleh kekuatan tentara Pagarruyung di Minang, Sumatera
Barat. Kekuatan Majapahit melemah.
1345
Kedatangan para intelektual Arab dan asing kembali terjadi di beberapa
kota pelabuhan di Sumatera. Tidak terkecuali Barus. Pada abad-13 Ibnu
Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama untuk
wilayah Sumatera.
1450-1515
Samudera Pasai menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan sosial
mazhab syafii yang bersaing melawan pusat-pusat pendidikan dan sosial
syiah yang banyak bertebaran di beberapa tempat di Sumatera termasuk
tanah batak.
1451
Misi pedagang dari Malaka yang menjadi sekutu Samudera Pasai berhasil
menjalin kerjasama ekonomi dengan para saudagar Batak di sepanjang
sungai Asahan. Tokoh seperti Datuk Sahilan menjadi inspirator bagi
saudagar Batak untuk masuk agama Islam (Syafii).
Di pedalaman Batak pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi
orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok marga Marpaung yang
bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak
Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar,
Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai Karang.
Antara tahun 1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi supplaier
utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi
pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak;
Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di
Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang
sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberapa kilometer
sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang ingin
menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat
ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.
Dominasi pedagang muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah
Batak terjadi antara 1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan
karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang
menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung
di Silindung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung. Marga
Hutagalung menjadi komunitas Islam syiah di pedalaman Batak.
Abad 15-16
Barus dengan kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi Sultan Hulu dan
Dinasti Pasaribu yang menjadi Sultan Hilir Barus, membangun sistem
pendidikan yang modern di Barus. Zaman kejayaan pendidikan Islam muncul
di era ini. Beberapa tokoh intelektual lokal bermunculan. Barus menjadi
kota tujuan utama musafir asing.
Pada permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang
terkenal dan mencatat di dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa Barus
merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi
para pedaganga asing.
Dia menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam
jumlah besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu
gaharu, madu, kayu manis dan aneka rempah-rempah.
Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus
pada awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya al-Umdat al-Muhriya fi
Dabt al-Ulum al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama
pelayaran orang-orang Arab, Persia dann India. Barus, tulis al-Muhri
lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai Barat
Sumatera.
Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali
Syalabi juga berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan
kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatera.
Sebuah misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan
di dalam laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih
yang bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga
kamfer yang penting bagi orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu,
asam kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur
yang dibawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga
didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari
Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kanpur, Pidie dan Lampung.
Syair-syair Hamzah Fansuri menggambarkan keindahan kota Barus saat itu.
Keramaian dan kesibukan kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai
emasnya yang cekatan mengubah emas menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang
besar yang datang dan pergi dari dan ke negeri-negeri jauh, para
penjual lemang tapai di pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari kayu
barus dan keramaian pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan
membawa obor yang telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila
berjalan malam.
Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka
bergantung kalung emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah
hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah anjung yang pintu-pintunya
dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya
terhadap perilaku politik sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang
kaya yang tamak dan zalim.
Hamzah Fansuri yang hidup di masa perebutan kekuatan maritim antara Aceh
dan Minang mendapat pengaruh besar di kalangan intelektual Aceh.
berpendapat bahwa Hamzah Fansuri memainkan peran penting di dalam
kehidupan kerohanian di Aceh sampai akhir pemerintahan Sultan Ala’uddin
Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1590-1604).
Sementara itu muridnya Syamsuddin al-Sumatrani naik peranannya baru pada
zaman Sultan Iskandar Muda saat dia bermigrasi ke Aceh. Diyakini dalam
mundurnya pamor Barus, banyak sarjana-sarjana Batak yang pindah ke Aceh,
Kutaraja, karena kehadiran mereka disana sangat disegani.
Namun pemikiran filsafat Wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat tantangan
dari ulama Aceh. “Selain sebagai mufti, Syeikh Nuruddin juga seorang
penulis yang menyanggah Wujudiyah. Seringkali ia mengadakan perdebatan
dengan penganut ajaran ini, dan kadang-kadang majelis diskusi diakadakan
di istana dimana sultan sendiri menyaksikannya.
Dalam perdebatan itu Syeikh Nuruddin berkali-kali memperlihatkan adanya
kelemahan dan penyimpangan dalam ajaran Wujudiyah…., serta meminta agar
mereka ini bertobat… tetapi himbauannya tidak dihiraukan mereka, dan
akhirnya mereka dihukum kafir yang boleh dibunuh, sedangkan kitab-kitab
karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di
halaman mesjid raya Baiturrahman.”
Tentang peristiwa pembakaran kitab karangan penulis Wujudiyah, dan hukum
bunuh terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Perlakuan itu diterima Hamzah Fansuri, karena kritik-kritik tajamnya
terhadap pemerintahan monolitik Sultan Aceh, perilaku buruk orang-orang
kaya dan praktik yoga (dari Hindu India) yang diamalkan ahli-ahli
tarekat di Aceh pada awal abad ke-17,
Akibat pertentangan politik antara Barus dan Aceh, berakibat pula kepada
pertentangan faham keyakinan. Intelektual Barus yang banyak condong ke
paham syiah dibasmi oleh kekuatan Aceh sehingga menyebabkan kemunduran
atas kemajuan pendidikan di Barus. Dikatakan bahwa orang-orang yang
mendukung faham Fansur bahkan harus hidup dalam persembunyian untuk
menyelamatkan jiwa mereka. Kuburan-kuburan tokoh yang sepaham dengannya
sengaja tidak ditandai batu nisannya agar keberadaan mereka tidak
terdeteksi oleh pihak Aceh yang penduduknya banyak berdagang di Barus.
Para sarjana Batak yang berpaham syiah mengalami kendala dalam
melanjutkan sistem pendidikan di Barus yang sudah sangat modern saat
itu. Praktis pendidikan di Barus dan wilayah-wilayah Batak lainnya
mengalami kepunahan. Di tanah Batak sendiri hanya Parmalim yang terus
eksis.
1497-1513
Panglima Manang Sukka, oranga Batak Karo, mendirikan Kesultanan Haru Delitua dengan nama Sultan Makmun Al Rasyid.
1697
Universitas Islam Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, menjadi pusat
pengembangan Islam syiah dengan tokoh Syekh Burhanuddin. Pengaruh
universitas ini sampai ke tanah Natal, Singkuang, teluk Sibolga dan
Barus. Sumatera Barat menjadi tujuan mencari ilmu pengetahuan bagi
orang-orang Batak
1804-1807
Dominasi sistem pendidikan berbasis syiah yang sedikit dicampur dengan
faham syafii dan hanafi mendapat kompetisi dari mazhab hambali yang
muncul di Sumatera Barat dengan gerakan padrinya.
1873
Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji
dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari
tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan
pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.
1912
Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap
pendidikan, walau paska kebijakan balas budi, kemudian bangkit
mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi
pertama di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis. Peran mazhab
syafii mulai terlihat.
Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas
perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid
dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al
Azhar.
Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan
perguruan-perguruan lain di berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang
Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba Isumbaon mendirikan
Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan
perguruan lain di Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan
merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.
Pada tahun 1928, di tanah Batak selatan mulai memodernisasi sistem
pendidikan oleh para sarjana Batak yang belajar dari berbagai
universitas di luar negeri. Di antaranya Maktab Ihsaniyah di Hutapungkut
Kotanopan oleh Muhammad Ali bin Syeikh Basyir. Maktab merupakan
transformasi partungkoan, sebuah sistem pendidikan tradisional Batak
yang berubah menjadi sikola arab dan madrasah di era berikutnya.
Para lulusan Maktab Islamiyah Tapanuli mendirikan “Debating Club” pada
tahun 1928. Dua tahun kemudian anggota “Debating Club” ikut serta dalam
mendirikan Jamiatul Washliyah sebuah organisasi pendidikan dan sosial di
Sumatera Utara.
Diniyah School didirikan di Botung Kotanopan tahun 1928 oleh sarjana
Batak lainnya, Haji Fakhruddin Arif. Berikutnya berdiri Madrasah
Islamiyah di Manambin Kotanopan tahun 1928 oleh Tuan Guru Hasanuddin.
1929
Madrasah Subulussalam berdiri di Sayur Maincat Kotanopan pada tahun 1929
oleh Haji Muhammad Ilyas. Berikutnya Madrasah Syariful Majalis di
Singengu Kotanopan pada tahun 1929 oleh Haji Nurdin Umar. Di Hutanamale,
Maga, Kotanopan Syeikh Juneid Thala mendirikan sebuah Madrasah
Islamiyah pada tahun yang sama.
1930
Orang-orang Batak mendirikan Jamiatul Washliyah pada tanggal 30 November
1930. Sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan agama dalam
arti yang luas. Organisasi ini memakai mazhab syafii.
Nama Jamiatul Washliyah berarti perkumpulan yang hendak menghubungkan.
Menurut Muhammad Junus, tokoh paling penting dalam organisasi ini, nama
Jamiatul Washliyah dihubungkan dengan keinginnan untuk menghubungkan
manusia dengan Tuhannya, menghubungkan antar sesame manusia,
menghubungkan suku dengan suku antara bangsa dengan bangsa dan lain
sebagainya.
Tiga tokoh penting dalam organisasi Al Washliyah adalah Abdurrahman
Syihab, seorang organisatoris yang dapat menghimpun khalayak ramai, Udin
Syamsuddin, seorang yang ahli administrasi dan Arsyad Thalib Lubis,
mufti organisasi.
1933
Pembentukan komisi yang bertugas mengadakan inspeksi ke sekolah-sekolah
Alwashliyah untuk standarisasi mutu. Didirikan juga sebuah lembaga
pendidikan yang besar di Tapanuli Selatan.
1934
Penyusunan peraturan yang mengatur hubungan antar sekolah di Alwashliyah.
1935
Pada tahun ini Madrasah Mardiyatul Islamiyah didirikan di Penyabungan
oleh Syeikh Ja’far Abdul Qadir. Sebelumnya, sejak tahun 1929, madrasah
ini dikenal dengan nama madrasah mesjid karena kegiatan pendidikannya
dilakukan di sekitar sebuah mesjid sebelum dimodifikasi menjadi sistem
madrasah.
1936
Orang-orang Batak mendirikan Fond atau Yayasan untuk mengirimkan beberapa generasinya, khususnya yang di Alwashliyah, ke Mesir
1937
Jamiatul Washliyah memberikan perhatian khusus pada pemahaman Islam
khusunya mereka yang belum beragama. Di Porsea didirikan HIS untuk
mereka yang membutuhkan pendidikan. Melalui lembaga “Zending Islam”
perkumpulan ini berinisiatif untuk berdakwah ke seluruh Indonesia.
1940
Modernisasi pendidikan Islam Batak, khususnya yang di Alwashliyah dengan
menyusun peraturan pusat untuk mengadakan ujian dan pemberian ijazah
yang dikeluarkan kantor pusat di medan.
1945
Sistem pendidikan modern diterapkan di tanah Batak. Banyak madrasah dan
tempat pengajian tradisional diubah menjadi tsanawiyah dan aliyah
dibawah departemen agama. Negatifnya adalah, institusi pendidikan di
tanah Batak menjadi kerdil. Institusi yang bermutu yang lulusannya bisa
ditandingkan dengan lulusan universitas modern akhirnya hanya diakui
sebagai lulusan madrasah aliyah yang pengakuannya sangat minimal di
tengah-tengah masyarakat. Banyak desa-desa di tanah Batak (khususnya
yang utara) ditinggalkan oleh penduduknya yang muslim karena ketiadaan
regenerasi kalangan pendidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar