Kesultanan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah
kesultanan hasil dari pemecahanKesultanan Berau, dimana Berau dipecah
menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun
1810-an. Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddinyang lebih
dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit
Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau
pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas
mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua
dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan
Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya
perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja
Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua,
atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.
Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan
ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih
kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).
Sejarah
Kesultanan Gunung Tabur merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Awal mula
perpecahan tersebut terjadi pada abad ke-17, yaitu ketika penjajah
Belanda memasuki Kerajaan Berau dengan berkedok sebagai pedagang (VOC).
Belanda kemudian menerapkan “devide et empera” (politik perpecahan) pada
tahun 1810 yang menyebabkan Kerajaan Berau terpecah. Pecahnya kerajaan
ini bersamaan dengan masuknya ajaran agama Islam ke Berau yang dibawa
oleh Imam Sambuayan dengan pusat penyebarannya di sekitar Desa Sukan,
Kabupaten berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.
Sultan pertama yang berkuasa di Kesultanan Sambaliung adalah Raja Alam
dengan gelar Alimuddin (1830-1836). Sebelum kesultanan ini berdiri, Raja
Alam sebenarnya adalah sultan pertama di Kesultanan Batu Putih, yang
berdiri pada tahun 1830. Pada tahun 1834/1836 nama Batu Putih berubah
menjadi Tanjung,yang kemudian pada tahun 1849 berubah menjadi
Sambaliung. Meski demikian, sejarah berdirinya Kesultanan Sambaliung
sebenarnya sudah ada sejak tahun 1830.
Pada generasi Kesultanan Berau yang ke-9 (sayangnya data lengkapnya
tidak ditemukan), di mana Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan
ibu, yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran
Dipati. Sejak saat itu, Kesultanan Berau diperintah secara bergantian
antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Dalam perjalanan
sejarahnya, fakta tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat
yang terkadang berujung pada perselisihan. Berdasarkan silsilah
tersebut, Raja Alam merupakan cucu Sultan Hasanuddin dan cicit dari
Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma (raja
pertama Kerajaan Berau).
Raja Alam dikenal sebagai sultan yang sangat gigih dalam menghadapi
kolonialisme Belanda. Pada bulan September 1834 ia memimpin pasukannya
bertempur melawan pasukan Belanda di laut dekat Batu Putih. Pihak
Belanda menuduh Raja Alam telah bersekongkol dengan pelaut Bugis dan
Sulu dari Mindanao Selatan yang menyebabkan perairan selat Makassar
tidak aman. Akibatnya, sejak tahun 1834 hingga tahun 1837, ia ditawan
dan diasingkan ke Makassar. Selama masa pengasingan, tahta kekuasaan
Kesultanan Tanjung (Batu Putih) oleh Belanda diserahkan kepada Sultan
Gunung Tabur, yang bertindak sebagai pelaksananya adalah Pangeran Muda
dari Kutai, yaitu keluarga dari istri Raja Alam. Pada tanggal 15
September 1836, Raja Alam dapat kembali ke Berau setelah permintaan Aji
Kuning Gunung Tabur dikabulkan oleh pemerintah Belanda.
Sekembalinya dari masa pembuangan, Raja Alam tetap konsisten melawan
kolonialisme Belanda. Bahkan, ketika Belanda berusaha selama tujuh tahun
membujuknya agar berubah pikiran untuk tidak lagi menyerang mereka,
pendirian Raja Alam tetap bulat. Belanda akhirnya mengalah. Pada tahun
1844, Belanda mengakui eksistensi Kesultanan Tanjung. Namun, tetap saja
Raja Alam tidak menerima pengakuan tersebut karena hal itu sama saja
dengan bersedia di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Prinsip
yang dianutnya adalah bahwa syariat Islam melarang mengangkat orang
kafir (baca: pemerintah koloial Belanda) sebagai pimpinan.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan perjuangannya, namanya
diabadikan sebagai nama Batalion 613 Raja Alam yang berkedudukan di
Kotamadya Tarakan. Melalui SK No.007/TK/1999 tanggal 13 Agustus 1999,
presiden RI kala itu telah menetapkan dirinya sebagai tokoh nasional
yang berhak mendapat penganugerahan tanda kehormatan bintang jasa
terhadap bangsa negara. Hanya saja, penganugerahan terhadap dirinya
sebagai pahlawan nasional masih diperjuangkan oleh pemerintah daerah
Kalimantan Timur agar disetujui oleh pemerintah pusat.
Fakta sejarah yang dapat membuktikan adanya kesultanan ini adalah istana
Sambaliung yang terletak di tepi Sungai Kelay, Kecamatan Sambaliung,
Provinsi Kalimantan Timur. Istana ini telah menjadi museum yang juga
merupakan salah satu obyek wisata yang menarik di Kalimantan Timur.
Museum ini menyimpan jejak-jejak sejarah peninggalan Kesultanan
Sambaliung. Di samping itu juga terdapat koleksi unik berupa dua tiang
kayu ulin berukir aksara asli Suku Bugis yang letaknya berada di halaman
depan museum. Koleksi ini dipercaya sebagai bentuk peninggalan dari
pengikut Raja Alam yang berasal dari keturunan Bugis Wajo. Aksara yang
tertulis dalam tiang kayu tersebut merupakan aturan-aturan bagi rakyat
jika akan melintasi keraton.
Perlawanan terhadap Belanda
Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang
kemudian bernama kerajaan Sambaliung nama lengkap Raja Alam sendiri
ialah Sultan Alumuddin Raja Alam, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin
atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampung Gurimbang) adalah raja
giliran ke IX kerajaan Berau, kakeknya bernama Sultan Hasanuddin Marhum
yang menikah dengan Dayang Lama anak dari raja Solok Pilipina Selatan.
Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan
Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II
adalah Raja Berau giliran ke X.
Campur tangan colonial terhadap kehidupan keraton makin meluas, sehingga
para penasihRakyat at raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan
kepemimpinan, sementara penguasaan colonial sangat menghimpit kehidupan
mereka. Rakyat ketakutan dan sulit menghadapi penindasan. Ini terjadi
sampai abad ke-14.
Walaupun kerajaan terpisah menjadi dua kerajaan, tidak menyurutkan
kerajaan Berau untuk tetap melawan penjajahan Belanda. Misalnya, ketika
Pemerintah Kolonial Belanda menjalankan politik adu dombanya untuk
memecah belah persekutuan Kerajaan Berau yang terdiri dari Kesultanan
Gunung Tabur dan Sambaliung. Akhirnya pada tahun 1800 kedua kesultanan
tersebut memisahkan diri. Setelah peristiwa tersebut kemudian Belanda
mendekati sultan Gunung Tabur, Aji Kuning II (1833-1850), putra sultan
Badaruddin. Pemerintah tahu bahwa kedua kerajaan itu tidak terdapat
kesatuan pendapat.
Kesultanan Sambaliung yang dipimpin Raja Alam dengan sekutu-kutunya
mengerti dengan siasat licik Belanda, karena itu ia mengadakan persiapan
dengan memperkokoh persatuan antara rakyatnya dengan suku bangsa Bugis
dan orang-orang Solok. Raja Alam beristana di Batu Putih (sekarang
Kecamatan Talisayan). Di daerah itu banyak bermukim pejuang-pejuang
Bugis yang disebut Belanda sebagai bajak laut. Persekutuan Raja Alam
dengan suku Bugis dan Solok semakin erat, kenapa orang orang Bugis dan
Solok membantu Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Ini karena
isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi Selatan keturunan bangsawan
Wajo. Yang memang pada dasarnya tidak menyukai kehadiran Belanda di
Tanah Berau
Ada yang mengatakan penyebab terjadinya perang antara Kesultanan
Sambaliung dan Belanda ialah dikarenakan ketika Belanda datang untuk
melakukan hubungan dagang dengan membeli hasil bumi kerajaan. Pada tahun
1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan berlabuh di tengah sungai antara
Sungai Segah dan Sungai Kelay, yaitu tempat berdirinya dua kerajaan
Berau yang masing masing bernama Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan
Sambaliung.
Kerajaan Gunung Tabur berada di tepi Sungai Segah, waktu itu rajanya
Raja Kuning II, sedang Kerajaan Sambaliung berada di tepi Sungai Kelay,
dirajai Raja Alam. Walau satu keturunan, kedua kerajaan ini tak pernah
akur. Hal inilah yang sangat dikehendaki oleh Belanda. Saat itu
hubungan dagang antara Belanda Sambaliung berjalan dengan lancar dan
sangat menguntungkan. Berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan
damar dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan usaha barang
barang keramik dari Cina dan Eropa yang dibawa Belanda. Sedang dengan
pihak Kerajaan Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil ikutan,
itupun dengan harga murah. Alasannya armada mereka terbatas untuk
segera membawa barang ke negaranya.
Namun demikian hubungan dengan pihak kerajaan Gunung Tabur berjalan
cukup baik dan bersahabat pula. Selain itu berbagai kebutuhan ekonomi
kerajaan Gunung Tabur merupakan tempatnya. Pihak Gunung Tabur dan
Sambaliung yang tak pernah akur, akhirnya terlibat dalam satu pertikaian
berdarah yang membawa mereka saling serang dan membunuh. Melihat
keadaan demikian pihak Belanda merasa puas akan keberhasilan mereka
melakukan politik adu domba dan pecah belah atas kedua kerajaan
tersebut. Saling serang dan saling menghancurkan berjalan selama
beberapa bulan dengan korban yang tak sedikit dari kedua belah pihak.
Pada suatu ketika pihak Belanda heboh dengan sering terjadinya
perampokan dan pembajakan atas kapal kapal dagang mereka di laut Selat
Makasar dan Tanjung Mangkaliat.
Namun secara diam-diam pihak Raja Kuning II atau Gunung Tabur
memanfaatkan situasi dengan memberi informasi pada Belanda kalau
perampokan tersebut dilakukan oleh orang-orang dari pihak Kerajaan
Sambaliung. Tentu saja fitnah ini dilengkapi dengan bukti palsu akan
keterlibatan Sambaliung. Pihak Belanda bukan tidak tahu kalau hal
tersebut adalah cerita bohong dari Raja Kuning II. Kenapa tidak,
sebenarnya kapal-kapal dagang Belanda tak pernah dirampok. Perampokan
tersebut hanyalah karangan pihak Belanda saja yang ingin mengambil
kesempatan pada situasi perang antar kedua kerajaan.
Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut dilakukan oleh pihak Raja
Alam Sambaliung, pihak Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada Raja
Kuning II Gunung Tabur dan menggempur kerajaan Sambaliung. Pihak
Sambaliung dengan gagah berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh
Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang-orang Bugis dan
Solok.
Baik Raja Alam beserta segenap rakyatnya maupun pejuang-pejuang suku
bangsa Bugis dan orang Solok, sudah bertekad bulat untuk tidak menerima
bangsa Belanda sebagai “yang dipertuan” di tanah air mereka.
Menurut pendirian dan kepercayaan mereka, bangsa Belanda adalah penjajah
yang tergolong orang kafir. Selain perlawanan rakyat Nusantara, Belanda
juga khawatir terhadap orang-orang Inggis yang bermaksud meluaskan
pengaruhnya di Kalimantan Timur seperti James Brooke di Kalimantan Utara
dan kemudian oleh Kapten Laut Inggris E. Belcher yang pada tahun 1834
dan 1848. Karena itu Belanda memberikan prioritas pertama untuk
menundukkan Sambaliung yang bersekutu dengan pejuang-pejuang Bugis dan
Solok.
Raja Alam mempunyai istana di Tanjung dan sebuah lagidi dekat Kampung
Bugis di Tanjung Radeb sekarang. Di tempat ini ia dibantu oleh seorang
panglima suku bangsa Bugis bernama Panglima Limbuti, keturunan Panglima
Li Madu Daeng Pallawa yang mendirikan Kampung Bugis di Tanjung Radeb.
Pertahanan yang kuat dibangun dekat laut di Batu Putih, Tanjung
Manglihat, tempat gabungan suku bangsa Berau, uku bangsa Bugis, dan
Solok pimpinan Sarif Dakula, menantu Raja Alam. Armada Bugis dan Solok
inilah yang dianggap berbahaya oleh Belanda.
Untuk menghancurkan armada kesultanan Sambaliung ini, pihak militer
Belanda mempersiapkan angkatan lautnya yang sejak bulan April 1834
dengan perlengkapan persenjataan di markas angkatan lautnya di Makasar.
Dengan dalih pengaduan Sutan Gunung Tabur Aji Kemuning II (Gazi
Mahyudin), bahwa Raja Alam bersekutu dengan bajak laut Bugis yang
menganggu ketertiban pelayaran di Berau, Pemerintah Hindia Belanda
menyetujui permintaan Sultan Aji Kuning II. Pada bulan September 1834,
Belanda mengirim ekspedisi guna menindak Raja Alam. Empat buah kapal
perang yaitu Korvet Heldin, brik Syiwa, sekuner Korokodil, dan Kastor
seta berpuluh-puluh perahu mendarat dibawah pimpinan Kapten Laut
Anemaelt, menyerang pertahanan armada laut Raja Alam di Batu Putih.
Untuk menghadapi serangan Belanda, Raja Alam dengan sekutu-sekutunya
dari suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok dibawah pimpinan
menantunya, Sarif Dakula, membuat kubu-kubu pertahanan, diantara Batu
Putih, daerah Tanjung Mangkalihat yang menghadap arah ke laut dan ke
darat, dan sebuah benteng di daerah pedalaman sepanjang 40x40 m, yaitu
di Sungai Dumaring tidak jauh dari Batu Putih. Di Tanjung yang sekarang
bernama Tanjung Radeb, Raja Alam dibantu oleh Panglima Bugis yang
bernama Panglima Limbuto, keturunan Pamglima La Madu Daeng Pallawa.
Kubu-kubu pertahanan mereka diperkuat dengan meriam-meriam besar dan
kecil yang sampai sekarang masih ada di daerah Berau. Senjata api dibeli
dari Singapura dengan perantaraan perahu-perahu Bugis.
Dengan perahu-perahu pendaratnya pasukan Belanda mengadakan serangan
terhadap pertahanan Raja Alam di Batu Putih dengan dilindungi oleh
tembakan meriam dari kapal-kapal perang Belanda. Pejuang-pejuang
Sambaliung, Bugis dan Solok mempertahankan atu putih dengan gigih.
Karena perlengkaan Belanda sudah dipersiapkan selama enam bulan di
Makasar dan pasukannya telah berpengalaman dalam Perang Diponegoro dan
Perang Imam Bonjol, maka Raja Alam terpaksa mengundurkan diri ke Tanjung
untuk mempertahankan istananya. Ia dibantu oleh Panglima Limboto, putra
Hadi, menantunya Sarif Dakula, dan orang-orang Bugis. Mereka bertahan
di Sungai Dumaring, daerah Tanjung Mangkalihat.
Raja Alam dapat dikalahkan Belanda dan bertahan di Muara Lasan. Di
tempat ini Raja Alam ditangkap Belanda dengan putranya Hadi, yang
kemudian menjadi Sultan Hadi menggantikan ayahnya, Raja Alam. Raja Alam
dan keluarganya dijadikan sandera oleh Belanda. Pimpinan tentara
Belanda, Kapten Anamaelt meminta agar Sarif Dakula dan orang-orang Bugis
menghentikan perlawanan dengan jaminan keselamatan Raja Alam dan
kelurganya. Untuk itu diminta Sarif Dakula dengan pengikut-pengikutnya
datang menghadap di kapal perang Belanda.
Ada dua versi cerita yang berbeda yang mengatakan mengenai Sarif Dakula dan kelurganya datang ke kapal perang Belanda.
Cerita yang pertama, ketika Sarif Dakula berunding dengan tentara
Belanda. Karena Sarif Dakula tetap tidak mau bekerja sama dengan
Belanda, ia ditangkap dan diasingkan ke Makasar akan tetapi Sarif Dakula
melakukan perlawanan , hingga akhirnya tewas. Mayatnya dibuang di laut.
Melihat peristiwa itu, istrinya, Pangeran Ratu Ammas Mira yang sangat
setia pada suaminya, melompat ke laut bersama-sama anaknya yang masih
kecil. Akan tetapi ia dan anaknya dapat diselamatkan. Karena Raja Alam
dan keluarganya antara lain putranya, Hadi Jalaluddin, Pangeran Ratu
Ammas Mira dianggap berbahaya oleh Pemeritah Kolonial Belanda, mereka
diasingkan ke Makasar sebagai tawanan negara (staatgevangene). Adapun
Sultan Bongkuch, salah seorang putra Raja Alam dapat melepaskan diri.
Versi yang kedua mengatakan bahwa Sarif Dakula datang bersama Raja Alam
menghadap Belanda untuk melakukan perundingan, bukan bersama anak dan
istrinya. Ketika itu, Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke
pedalaman. Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan pada
anak istri Raja Alam dan melakukan penangkapan kepada keluarga para
bangsawan yang telah tua-tua.Dengan ancaman pembantaian terhadap para
keluarga bangsawan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya Sarif
Dakula mau datang ke Sambaliung untuk melakukan perundingan sebagaimana
permintaan pihak Belanda.
Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa ada yang mengawal.
Sedang pasukannya masih menunggu di hutan hutan rimba sungai Kelay.
Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak berunding. Keduanya
ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan Belanda dengan penjagaan ketat
berlapis-lapis. Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya
Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda diputuskan dibuang ke Makasar.
Secara diam diam keduanya lewat tengah malam dibawa dengan sebuah kapal
kecil menuju muara dimana telah menunggu sebuah kapal perang yang akan
membawa kedua tawanan ini ke Makasar.
Namun belum lagi sampai ke muara, kedua tawanan ini berontak dan
melakukan perlawanan pada para pengawal yang membawanya. Dalam
perkelahian yang tak seimbang itu, Raja Alam akhirnya dapat dilumpuhkan.
Sedang Sarif Dakula menantunya tewas tertembak pasukan yang membawanya.
Namun walau demikian, pihak Belanda sempat pula kehilangan tiga nyawa
serdadunya. Raja Alam pun terus dibawa dan dibuang ke Makassar
Sulawesi Selatan, yang juga merupakan markas besar Belanda untuk
Indonesia Tengah dan Timur.
Selama Raja Alam dalam pembuangan di Makasar maka sejak tahun 1834,
kerajaan Berau menjadi tidak aman. Pengikut-pengikut Sarif Dakula dan
Pangeran Petta melakukan pengacauan di perairan Selat Makasr dan
kampung-kampung di daerah Berau. Sungai Ulak dahulu bekas pusat
pemerintahan Kerajaan Berau, dirampok oleh suku Bugis dan orang Solok.
Kampung Pujut, wilayah Gunung Tabur, diserang suku bangsa Bugis dan
Solok. Pemimpin pejuang suku bangsa Bugis ialah Tuassa dan pemimpin
bangsa Solok yang mengadakan perlawanan terhadap kerajaan yang diakui
Belanda sebagai jajahannya itu ialah Datu Kamsah.
Untuk mengatasai keadaan yang selalu tidak aman itu, Sultan Gunung
Taabur meminta bantuan ipar Raja Alam, saudara istrinya yang menjadi
pengeran mangkubuni Kerajaan Kutai dan memerintah di Batu Putih. Untuk
menentramkan keadaan yang tidak ada kepastian itu, Sultan Gunung Tabur
dan Pangeran Mangkubumi bersama-sama mengajukan permohonan kepada
gubernur Belanda di Makasar, supaya Raja Alam dengan keluarga serta
putra-putri dan cucunya dikembalikan ke Berau.
Menanggapi permohonan ini pihak Belanda lagi-lagi mengambil keuntungan.
Dengan dalih keamanan bersama, maka kedua kerajaan tidak dibenarkan
menghimpun atau memiliki laskar. Keduanya hanya boleh merekrut
penjagakeamanan lingkungan keraton dengan tidak lebih dari lima puluh
orang. Selebihnya masalah keamanan wilayah berada di tangan
Belanda.Permohonan ini kemudan disetujui oleh Pemerintah Kolonial
Belanda pada 15 September 1836. Setahun kemudian, pada 24 Juni 1837,
gubernur Belanda mengizinkan Raja Alam beserta kelurganya kembali ke
Batu Putih dengan ketentuan Raja Alam harus mengakui kedaulatan Belanda.
Raja Alam kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Batu Putih ke
Tanjung, daerah Kampung Bugis. Antara kedua kerajaan itu yaitu Gunung
Tabur dan Sambaliung memang selalu terjadi peperangan. Karena Raja Alam
tidak dapat memenuhi perjanjian yang didiktekan Belanda, maka ia harus
kembali ke Batu Putih dan meninggal pada 7 Juli 1848. Ia dimakamkan di
dekat Sungai Rindang, dekat Batu Putih.
Putranya, Sultan Hadi Jalaluddin yang diangkat Belanda sebagai sultan
Salambiung sejak tahun 1844, meninggal pada tahun 1855. Pada akhir
pemerintahannya, yang berpengaruh ialah saudaranya, Sultan Asyik
Syarafuddin, putra Raja Alam dengan istrinya, putri dari Bugis yang
menggantikannya pada bulan April 1850. Raja ini pada tahun 1852 berumur
38 tahun. Ia adalah seorang sultan yang berpengaruh, memerintah dengan
tidak ada penguasa (rijkbestierder) di sampingnya. Sultan Bongkoch,
putra Raja Alam yang sejak semua tidak dapat ditawan oleh Belanda, tetap
tidak bersedia bekerjasama dengan Belanda dan terus berjuang mengadakan
pengacauan bersama-sama pejuang Bugis dan Solok di perairan Berau, Laut
Sulawesi dan Selat Makasar.
Sampai saat ini, bangunan Keraton Sambaliung masih berdiri kokoh
menghadap ke Sungai Kelay di Kecamatan Sambaliung. Sejak dialihfungsikan
menjadi Museum, Keraton Sambaliung sering dikunjungi oleh wisatawan
dari berbagai daerah untuk melihat sejumlah koleksi peninggalan sejarah
masa lalu. Untuk menghidupkan kembali dan melestarikan nilai-nilai
sejarah dan budaya yang tak ternilai harganya tersebut, keraton ini
dipimpin oleh Pemangku Adat Keraton Kesultanan Sambaliung yang kini
dijabat oleh Datu Fachruddin bin Sultan Muhammad Aminuddin.
Silsilah
Berikut ini adalah silsilah Kesultanan Sambaliung, namun data terkait
tahun kekuasaaan para sultan masih banyak yang belum lengkap:
Sultan Muhammad Alimuddin/raja Alam (1810-1844)
Sultan Muhammad Kaharuddin/raja Bungkoh (1844-1848)
Sultan Muhammad Hadi Jalaluddin bin Alam (1848-1850)
Sultan Muhammad Hasyik Syarifuddin bin Alam (1850 - 1863)
Sultan Muhammad salehuddin (1863-1869)
Sultan Muhammad Adil Jalaluddin bin Muhammad Jalaluddin (1869 - 1881)
Sultan Abdullah Muhammad Khalifatullah Bayanuddin bin Muhammad Jalaluddin (1881-1902 ))
Sultan Muhammad Aminuddin (Datuk Ranik) (1902-1960 )
Periode Pemerintahan
Kekuasaan Kesultanan Sambaliung berdiri sejak tahun 1830 M hingga tahun
1960 M. Artinya kesultanan ini pernah eksis selama hampir satu setengah
abad. Pada tahun 1960 M, bersama dengan Kesultanan Gunung Tabur,
Kesultanan Sambaliung dihapuskan melalui keputusan parlemen Indonesia.
Setelah itu, Kesultanan Sambaliung berubah nama menjadi Kecamatan
Sambaliung. Sistem dan tata pemerintahannya pun tidak lagi berdasarkan
pada model kesultanan, namun sudah beralih sebagaimana yang berlaku pada
umumnya di Republik Indonesia. Untuk wilayah kekuasaanKesultanan
Sambaliung sendiri sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah
kekuasaan Kesultanan Sambaliung meliputi daerah yang kini dikenal dengan
nama Kecamatan Sambaliung.
Ketika Raja Alam masih memimpin, kehidupan sosial di Kesultanan
Sambaliung terasa tenteram, aman, dan tidak ada konflik masyarakat
berdasarkan suku, etnis, dan ras. Padahal, sejak saat itu, masyarakat
Sambaliung sudah terdiri dari beragam suku, ada suku Banuwa (Berau),
Basap, Bajau, dan Bugis. Raja Alam berhasil mempersatukan suku-suku
tersebut. Bahkan, semua suku yang ada di Sambaliung, termasuk suku Dayak
Kenyah, Modang, dan Punan di Sungai Kelay, bersatu padu dan ikut serta
berjuang mempertahankan wilayah mereka dari serangan pasukan Belanda.
Peninggalan Kesultanan Sambaliung
Beberapa peninggalan yang cukup unik dan menarik untuk disaksikan,
antara lain adalah sebuah tugu prasasti dari kayu ulin yang bertuliskan
huruf Arab-Melayu dan dua buah tugu yang berukir aksara asli (lontara)
Suku Bugis yang terletak di halaman depan keraton. Lontara Bugis ini
menjadi bukti peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari
keturunan Bugis-Wajo. Ketiga tugu tersebut berisi aturan-aturan bagi
rakyat ketika akan melintasi keraton pada masa lalu. Tugu yang
bertuliskan Arab-Melayu berisi pesan bahwa jika Sultan sedang duduk di
depan rumah atau di depan lawang sakaping, maka setiap orang harus duduk
dulu baru bisa melewatinya.
Sementara itu, dua buah tugu yang berukiran Lontara Bugis tersebut
berisi 7 buah pesan, yaitu setiap orang harus duduk terlebih dahulu
kemudian meneruskan langkahnya ketika Sultan sedang berada di depan
pintu gapura, tidak diperbolehkan berselisih di dalam wilayah istana,
tidak diperkenankan tertawa saat melihat istana dan dilarang duduk di
jalanan depan istana, tidak boleh melihat-lihat ke dalam istana jika
tidak ada keperluan, tidak boleh menutup atau memotong arah jalan
perempuan di tengah jalan, seorang laki-laki yang akan menuju ke jalanan
tidak boleh langsung memotong arah jalan, dan bagi siapa saja yang
mengabaikan aturan-aturan tersebut maka dia dianggap telah meninggalkan
peraturan yang ditetapkan oleh Petta Sultan La Mappata(ng)ka Sambaliung.
Koleksi lain dari Keraton Sambaliung yang menarik untuk dilihat adalah
seekor buaya raksasa berukuran sekitar 4 meter yang telah diawetkan.
Buaya yang telah diawetkan tersebut disimpan dalam akuarium kaca yang
terletak di luar bangunan keraton. Namun, asal usul dan keterangan
seputar buaya ini tidak disebutkan.
Selain koleksi peninggalan sejarah, masyarakat juga dapat menyaksikan
berbagai kegiatan budaya di Keraton Sambaliung, seperti atraksi kesenian
berupa Tari Jepen, Mamanda, dan syair-syair. Pada waktu-waktu tertentu,
di tempat ini keluarga keraton juga tak jarang menyelenggarakan pesta
budaya, seperti perkawinan yang dihiasi dengan pakaian adat dan
pelaminan serba warna kuning. Selain itu, keraton ini juga sering
digunakan untuk acara bapallasdalam upacara adat melahirkan serta
upacara kematian kerabat sultan.
Bangunan keraton yang ada sekarang diperkirakan berdiri sekitar tahun
1881 M. Belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai siapa pendiri
keraton yang terletak di tepi Sungai Kelay ini. Sejak terakhir ditempati
oleh Sultan ke—8, Muhammad Aminuddin (1902 M- 1959M),
Keraton Sambaliung tidak lagi tempati oleh para keturunan dan kerabat
Sultan. Kini, bangunan keraton ini telah beralih fungsi menjadi museum
yang dikenal dengan Museum Keraton Sambaliung.
Keraton Sambaliung dengan ciri arsitektur China terdiri dari 12 kamar
dan 1 (satu) ruang utama di bagian tengah yang berfungsi sebagai tempat
pertemuan. Secara umum, bangunan utama digunakan untuk menggelar upacara
adat dan pemberian gelar bangsawan kepada para keturunan Sultan. Selain
itu, keraton ini juga memiliki 4 buah taman kecil di mana tiga di
antaranya berada di teras depan. Pada bagian tengah, kiri, dan kanan
halaman keraton juga terdapat taman yang cukup luas dan tertata rapi. Di
depan halaman keraton terdapat gapura dengan hiasan lambang Keraton
Kesultanan Sambaliung di atasnya.
Pada masa revolusi fisik atau ketika diperintah oleh Sultan Muhammad
Aminuddin, Keraton Sambaliung pernah dua kali terancam untuk
dihancurkan. Pertama, Tentara Pendudukan Jepang yang menginvasi
Indonesia antara tahun 1942-1945 berusaha menghancurkan bangunan keraton
dengan cara membakar menggunakan bensin, namun cara ini gagal. Upaya
penghancuran keraton yang kedua terjadi pada 23 April 1945 sekitar pukul
13.00 WITA. Kala itu, Belanda yang datang dengan seragam pasukan sekutu
membombardir Keraton Sambaliung namun tidak berhasil.
Wilayah Kekuasaan
Sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan
Sambaliyung meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan
Sambaliung.
Struktur Pemerintahan
(Dalam proses pengumpulan data)
Kehidupan Sosial-Budaya
Ketika Raja Alam masih memimpin, kehidupan sosial di Kesultanan
Sambaliung terasa tenteram, aman, dan tidak ada konflik masyarakat
berdasarkan suku, etnis, dan ras. Padahal, sejak saat itu, masyarakat
Sambaliung sudah terdiri dari beragam suku, ada suku Banuwa (Berau),
Basap, Bajau, dan Bugis. Raja Alam berhasil mempersatukan suku-suku
tersebut. Bahkan, semua suku yang ada di Sambaliung, termasuk suku Dayak
Kenyah, Modang, dan Punan di Sungai Kelay, bersatu padu dan ikut serta
berjuang mempertahankan wilayah mereka dari serangan pasukan Belanda.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2005, tercatat jumlah penduduk
Kecamatan Sambaliung adalah sebanyak 22.279 jiwa. Setiap tahunnya
terjadi peningkatan jumlah penduduk, yaitu rata-rata 1,4 persen.
Komposisi penduduknya adalah 40 persennya sebagai pendatang dan
selebihnya penduduk asli Sambaliung. Banyaknya jumlah pendatang ke
daerah ini dikarenakan terdapat sumber daya alam yang cukup melimpah,
seperti tambang batu bara, pertanian, perkebunan, perikanan, juga
hasil-hasil hutan. Banyak penduduk Sambaliung bermata pencaharian dalam
bidang bidang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar