Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan yang didirikan pada tahun 1632
oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di wilayah bernama Tanah Deli (kini
Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Indonesia). Kesultanan Deli masih
tetap eksis hingga kini meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik
setelah berakhirnya Perang Dunia II dan diproklamasikannya kemerdekaan
Indonesia.
Di Sumatera Utara terdapat dua kerajaan islam atau kesultanan Melayu
yang terkenal, yaitu Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Kesultanan
yang pertama kali berdiri adalah Deli. Dalam perkembangannya, kemudian
terjadi friksi dan konflik internal antara keluarga raja dalam
kesultanan Deli tersebut. Akibatnya, muncul kemudian kesultanan baru
yang memisahkan diri dari Deli, yaitu Serdang.
Sejarah Pendirian
Sejarah berdirinya kesultanan deli dapat dilihat dari Hikayat Deli,
seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik berhasil menjadi laksamana
dalam Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal
sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada pula
sumber yang mengeja Laksamana Kuda Bintan), adalah keturunan dari Amir
Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang
menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudera Pasai. Dia dipercaya
Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang
berpusat di daerah Sungai Lalang-Percut.
Sri Paduka Gocah Pahlawan bersama pasukannya pergi memerangi Kerajaan
Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M dan berhasil menaklukkan
kerajaan ini. Pada tahun 1630, ia kembali bersama pasukannya untuk
melumpuhkan sisa-sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh
kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan, Gocah Pahlawan kemudian menjadi
penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan Aceh,
dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Dalam
perkembangannya, atas bantuan Kerajaan Aceh, Gocah Pahlawan berhasil
memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil yang ada di daerah tersebut.
Gocah Pahlawan menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal yang
bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti. Sunggal merupakan sebuah
daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Di daerah
tersebut, ada empat Raja Urung Batak Karo yang sudah masuk Islam.
Kemudian, empat Raja Urung Raja Batak tersebut mengangkat Laksamana
Gocah Pahlawan sebagai raja di Deli pada tahun 1630 M. Dengan peristiwa
itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana Gocah Pahlawan
menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut,
Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat
setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk
pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah
seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.
Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah Kesultanan Aceh
pada tahun 1632. Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya
Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan Pada tahun 1669,
Deli memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan situasi Aceh yang
sedang melemah karena dipimpin oleh raja perempuan, Ratu Taj al-Alam
Tsafiah al-Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, ia digantikan
oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”.
Tuanku Panglima Perunggit memerintah hingga tahun 1700 M.
Pada tahun 1669, Deli memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan
situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh raja perempuan,
Ratu Taj al-Alam Tsafiah al-Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia,
ia digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar
“Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit memerintah hingga tahun
1700 M.
Pada tahun 1780, Deli kembali berada dalam kekuasaan Aceh. Ketika Sultan
Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali
menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya dari kekuasaan Aceh.
Negeri-negri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina, Sunggal, Langkat dan
Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli. Namun, independensi
Deli dari Aceh tidak berlangsung lama, pada tahun 1854, Deli kembali
ditaklukkan oleh Aceh, dan Raja Osman Perkasa Alam diangkat sebagai
wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman meninggal dunia pada tahun 1858,
ia digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari
tahun 1861 hingga 1873. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud ini,
ekspedisi Belanda I yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.
Perpecahan Keluarga Kesultanan Deli
Sultan Deli penerus Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Tuanku Panglima
Perunggit alias Panglima Deli, wafat pada tahun 1700 Masehi. Penerus
tahta Kesultanan Deli berikutnya adalah Tuanku Panglima Paderap yang
memerintah hingga wafatnya pada tahun 1720 M. Kesultanan Deli diguncang
perpecahan internal tidak lama setelah Tuanku Panglima Paderap meninggal
dunia. Anak-anak Tuanku Panglima Paderap meributkan soal siapa yang
berhak menduduki posisi sebagai Sultan Deli berikutnya.
Dalam buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur yang
disusun Tuanku Luckman Sinar Basarshah II disebutkan bahwa Tuanku
Panglima Paderap mempunyai empat orang anak, yaitu
(1) Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari keturunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tanjung Mulia;
(2) Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari keturunan bangsawan Deli dan Bedagai;
(3) Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, berasal dari keturunan bangsawan Denao dan Serbajadi; dan
(4) Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari keturunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan.
Meski berstatus sebagai anak tertua, namun Tuanku Jalaludin Gelar
Kejuruan Metar dikesampingkan dari kandidat calon pemangku tahta
Kesultanan Deli karena yang bersangkutan mempunyai cacat mata. Keadaan
ini membuat Tuanku Panglima Pasutan, putra kedua almarhum Tuanku
Panglima Paderap, berkehendak mengambil-alih tahta meski sebenarnya yang
paling berhak memangku jabatan sebagai penerus kepemimpinan Kesultanan
Deli adalah Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (putra
keempat) karena dilahirkan dari permaisuri. Terjadilah perang saudara di
antara kedua putra almarhum Tuanku Panglima Paderap untuk memperebutkan
tahta Deli. Sedangkan Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun
memilih menghindar dari peperangan di antara kedua saudaranya itu dengan
menyingkir dan membuka negeri di Denai yang meluas hingga ke Serbajadi.
Dalam perang saudara yang memuncak pada tahun 1732 itu, Tuanku Panglima
Pasutan berhasil mengusir Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan
Junjongan ke luar istana Kesultanan Deli. Tuanku Umar Johan Alamsyah
Gelar Kejeruan Junjongan bersama ibundanya, Tuanku Puan Sampali
(permaisuri almarhum Tuanku Panglima Paderap), terpaksa berlindung ke
daerah lain hingga akhirnya sampai di sebuah tempat yang kemudian
dinamakan Kampung Besar (Serdang). Dengan keluarnya Tuanku Umar Johan
Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dari istana, maka Tuanku Panglima
Pasutan leluasa untuk mendeklarasikan diri sebagai Sultan Deli yang
baru.
Sementara itu, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan tidak
tinggal diam dan bersiap-siap mendirikan Kesultanan Serdang. Pendirian
Kesultanan Serdang dapat terwujud karena dukungan yang kuat kepada
Tuanku Umar Johan Alamsyah, terutama dari dua orang Raja Batak Karo,
yakni Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah. Selain itu, Raja Urung
Batak Timur yang menguasai wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong
Merawa dan seorang pembesar dari Aceh bernama Kejeruan Lumu, turut
menyokong berdirinya Kesultanan Serdang. Akhirnya, pada tahun 1723
Masehi, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dinobatkan
sebagai Sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan Serdang. Putra
ketiga almarhum Tuanku Panglima Paderap, Tuanku Tawar (Arifin) Kejeruan
Santun, yang mendirikan negeri di Denai, kemudian menggabungkan
wilayahnya dengan wilayah Kesultanan Serdang.
Kondisi internal pemerintahan Deli yang belum stabil membuat kesultanan
menjadi incaran sejumlah kerajaan besar yang sedang berebut pengaruh.
Kerajaan-kerajaan yang berupaya menguasai Deli tersebut antara lain
Kesultanan Siak Sri Inderapura, Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh
Darussalam yang rupa-rupanya masih menginginkan Deli menjadi wilayah
jajahannya kembali.
Wilayah Deli dirasa sangat menguntungkan terutama karena faktor
kandungan sumber daya alamnya. Deli mashyur dengan hasil minyak wangi,
kayu cendana, dan kapur barus. Selain itu, orang Belanda mendatangkan
beras, lilin, dan kuda dari Deli. Oleh sebab itulah, Belanda merasa
perlu memelihara hubungan baik dengan pihak penguasa Deli karena Belanda
juga mendatangkan tekstil dari Deli.
Tuanku Panglima Pasutan atau Sultan Deli yang ke-4 wafat pada tahun
1761. Pemerintahan Kesultanan Deli diteruskan oleh Kanduhid yang
bergelar Panglima Gandar Wahid. Pada tahun 1805, Panglima Gandar Wahid
meninggal dunia dan digantikan oleh Tuanku Amaluddin. Karena saat itu
Kesultanan Deli masih berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri
Inderapura, maka penobatan Tuanku Amaluddin sebagai Sultan Deli pun
berdasarkan akte Sultan Siak tanggal 8 Agustus 1814. Setelah resmi
menjadi Sultan Deli, Tuanku Amaludin memperoleh nama kehormatan yakni
dengan gelar Sultan Panglima Mangedar Alam.
Meuraxa dalam buku Sekitar Suku Melaju, Batak, Atjeh, dan Keradjaan Deli
(1956) menulis bahwa tahun 1669 wilayah Kesultanan Deli direbut
Kesultanan Siak Sri Inderapura dari kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam. Akan tetapi, ketika Kesultanan Siak Sri Inderapura takluk
kepada Kesultanan Johor, wilayah Kesultanan Deli pun berada di bawah
kekuasaan Johor.
Tahun 1854, Kesultanan Deli kembali dikuasai Kesultanan Aceh Darussalam,
dipimpin oleh panglima yang bernama Teuku Husin. Sultan Osman Perkasa
Alam Shah (1850-1858), Sultan Deli waktu itu, dibawa ke Istana Aceh
Darussalam. Namun kemudian Kesultanan Deli diakui kembali berdiri
sendiri di bawah naungan Kesultanan Aceh Darussalam yang waktu itu
diperintah oleh Sultan Sulaiman Syah (1838-1857). Oleh Aceh Darussalam,
wilayah Kesultanan Deli ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan
hingga perbatasan Tamiang.
Eksistensi Kesultanan Deli
Perang saudara yang terjadi antara Kesultanan Deli dan Kesultanan
Serdang baru berakhir pada awal abad ke-20 setelah adanya tekanan dari
Belanda. Hubungan antara Kesultanan Deli dengan Belanda sendiri berjalan
cukup selaras karena antara Belanda dan Deli ternyata saling
membutuhkan: Belanda mendatangkan berbagai jenis sumber daya alam dari
Deli, sedangkan Deli membutuhkan jaminan keamanan.
“Keharmonisan” antara Kesultanan Deli dan pemerintah kolonial Hindia
Belanda semakin kental pada masa ketika Deli berada di bawah pengaruh
Kesultanan Siak Sri Inderapura. Sepanjang Agustus 1862, Elisa Netscher
yang menjabat sebagai Residen Riau, diiringi oleh Asisten Residen Siak
dan para pembesar dari Kesultanan Siak, melakukan perjalanan ke
negeri-negeri di Sumatra Timur. Perjalanan ini dilakukan atas permintaan
dari pihak Kesultanan Siak karena beberapa kerajaan di Sumatra Timur
enggan mengakui kekuasaan Siak atas negeri-negeri itu, termasuk Deli.
Negeri-negeri di Sumatra Timur itu cenderung mendekat kepada Kesultanan
Aceh karena Siak dianggap telalu lemah.
Tanggal 21 Agustus 1862, rombongan Elisa Netscher memasuki Kuala Sungai
Deli dan disambut Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Kepada
rombongan tamu tersebut, Sultan Deli mengatakan bahwa Kesultanan Deli
tidak bersangkut-paut lagi dengan Kesultanan Siak dan tidak meminta
pengakuan dari siapapun. Namun, Netscher tetap membujuk agar pengaruh
Siak Sri Inderapura atas Deli tidak hilang dengan menyatakan bahwa “Deli
mengikut pada Negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Hindia
Belanda”. Sejak saat itu, pemerintahan Kesultanan Deli terikat kontrak
politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Rezim pemerintahan Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah berakhir
pada tahun 1873 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Makmun
Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Pada masa kepemimpinan Sultan Deli yang
ke-9 ini, Kesultanan Deli mengalami masa-masa kemakmuran, yang terutama
diperoleh dari sektor perkebunan tembakau. Kala itu, banyak
pengusaha-pengusaha asing yang membuka perkebunan tembakau di tanah
Deli. Pada tahun 1872, di Deli sudah beroperasi 13 perkebunan milik
asing yang tentu saja menguntungkan Kesultanan Deli dari segi pemasukan
finansial. Tanah Deli cocok untuk ditanami tembakau dan menghasilkan
tembakau dengan mutu kelas dunia. Pasaran tembakau saat itu sangat laku
di pasar Eropa sebagai bahan pembuat cerutu.
Ketika Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah mulai menduduki
singgasana Kesultanan Deli pada tahun 1873, jumlah perkebunan tembakau
di Deli sudah bertambah menjadi 44 perkebunan. Hasil panen tembakau yang
dituai setahun berikutnya mencapai 125.000 pak sehingga menjadikan Deli
sebagai salah satu produsen tembakau terbesar di dunia dan nama
Amsterdam juga ikut terangkat sebagai pasar tembakau terbesar di dunia.
Pembayaran pembukaan perkebunan dan uang sewa tanah dari para pengusaha
asing membuat Sultan Deli jadi kaya-raya.
Di masa inilah Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah membangun
sejumlah simbol kejayaan Kesultanan Deli, antara lain Kampong Bahari
(Labuhan) pada 1886, Istana Agung Maimoon pada 1888. Pengganti Sultan
Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah, yaitu Sultan Makmun Al Rasyid
Perkasa Alam Shah yang bertahta sejak tahun 1873, melanjutkan
pembangunan simbol-simbol kebesaran Kesultanan Deli dengan mendirikan
gedung Mahkamah Kerapatan Besar pada 1903 dan Masjid Raya Al Mansun pada
1906. Istana Maimoon sendiri dibangun di tempat yang sekarang menjadi
pusat pemerintahan Kota Medan dan mulai dihuni Sultan beserta keluarga
Kesultanan Deli sejak 18 Mei 1891. Sebelumnya, Sultan dan keluarga
Kesultanan Deli tinggal di Istana Kampong Bahari di Labuhan. Adapun
arsitek pembangunan Istana Maimoon adalah seorang tentara KNIL
(Koninklijke Nederlandsche Indische Leger, Tentara Kolonial Hindia
Belanda) bernama Kapten Th. van Erp.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan berlanjut dengan pengakuan
kedaulatan dari Belanda pada tahun 1949, Kesultanan Deli yang semula
termasuk ke dalam wilayah Sumatra Timur, sejak tahun 1950 dilebur ke
dalam Provinsi Sumatra Utara hingga kini. Di sisi lain, di masa itu
situasi Deli khususnya dan Sumatra Utara pada umumnya belum juga berada
dalam kondisi yang benar-benar damai. Keluarga-keluarga kerajaan di
Sumatra Utara, termasuk keluarga Kesultanan Deli, terancam
keselamatannya karena mendapat tentangan dari pihak-pihak yang
menyatakan antikaum bangsawan. Keluarga kerajaan waktu itu dianggap
sebagai antek Belanda dan termasuk ke dalam golongan feodal.
Masih dalam buku yang sama, Tengku Luckman Sinar juga menulis bahwa
hasutan-hasutan pemberontakan itu sudah dihembuskan sejak bulan Juni
1942 pada era pendudukan Jepang di Indonesia. Saat dimulainya
pemberontakan ialah tatkala kaum tani memulai panen padi yang dilakukan
secara gotong royong dan diakhiri dengan pesta panen.
Aksi kekerasan terhadap kaum bangsawan mencapai puncaknya ketika terjadi
peristiwa berdarah yang dikenal dengan nama Revolusi Sosial 1946.
Banyak raja dan keluarga istana di Sumatra Utara yang dibunuh dan
harta-bendanya dirampas, termasuklah penyair Tengku Amir Hamzah yang
dipancung di Kuala Begumit. Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang selamat
berkat penjagaan dari tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan
untuk menerima penyerahan dari Jepang. Setelah tragedi Revolusi Sosial
1946 berakhir, keluarga dan ahli waris Kesultanan Deli menempati Istana
Maimoon sebagai tempat tinggal karena hampir semua istana yang ada di
sana sudah hancur dibakar massa. Istana Maimoon merupakan satu-satunya
istana yang tersisa karena pada saat terjadinya Revolusi Sosial dijaga
ketat oleh tentara Sekutu.
Pada masa kemerdekaan, masa Revolusi Fisik, dan masa-masa selanjutnya,
Kesultanan Deli masih tetap eksis kendati tidak lagi memiliki kewenangan
politik karena telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Memasuki era Orde Baru, Kesultanan Deli dipimpin oleh Sultan
Azmy Perkasa Alam Alhaj yang bertahta dari tahun 1967 sampai dengan
1998. Sejak 5 Mei 1998, yang menjabat sebagai pemangku Kesultanan Deli
adalah Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam. Namun, Sultan Deli ke-13 yang
berpangkat letnan kolonel ini meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat
Angkatan Darat CN 235 yang terjadi di Lapangan Udara Malikus Saleh,
Lhokseumawe, Aceh, pada tanggal 21 Juli 2005. Sebagai penggantinya, pada
tanggal 22 Juli 2005 putra mahkota Deli dengan gelar Sultan Mahmud
Lamanjiji Perkasa Alam dinobatkan sebagai Sultan Deli yang ke-14.
Silsilah Raja-Raja
Berikut nama para pemimpin Kesultanan Deli sejak awal berdirinya hingga sekarang:
Tuanku Panglima Gocah Pahlawan (1632-1669).
Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698).
Tuanku Panglima Paderap (1698-1728).
Tuanku Panglima Pasutan (1728-1761).
Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805).
Sultan Amaluddin Mangendar (1805-1850).
Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858).
Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1858-1873).
Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1873-1924).
Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam Shah (1924-1945).
Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam Shah (1945-1967).
Sultan Azmy Perkasa Alam Alhaj (1967-1998).
Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam (5 Mei 1998–21 Juli 2005).
Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam (sejak 22 Juli 2005).
Sistem Pemerintahan
Sejak awal didirikan oleh Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Kesultanan
Deli sudah memiliki Lembaga Datuk Berempat yang berfungsi sebagai dewan
penasehat pemerintahan. Saat itu, Lembaga Datuk Berempat terdiri dari
empat orang Raja Batak Karo yang sejak awal mendukung pendeklarasian
Deli sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. Lembaga Datuk Berempat juga
mempunyai peran sentral ketika diadakan upacara penobatan Sultan Deli.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Sultan Deli tidak hanya
menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,
tetapi juga sebagai kepala urusan agama dan sekaligus sebagai kepala
adat Melayu. Dalam menjalankan tugasnya, Sultan Deli dibantu oleh
bendahara, syahbandar, serta para abdi kesultanan yang mempunyai peran
dan tugas masing-masing.
Pada era kolonial Hindia Belanda, sistem pemerintahan Kesultanan Deli
diikat melalui perjanjian politik. Dalam buku Sejarah Medan Tempo Dolou
yang ditulis Tengku Luckman Sinar disebutkan bahwa perjanjian politik
Belanda dan Kesultanan Deli terbagi atas:
Acte van Verband (Akte Pengikat). Dalam akte ini disebutkan bahwa:
(1) Sultan Deli bersedia melaksanakan perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Deli, begitu juga penggantinya,
(2) Sultan Deli akan taat dan setia kepada Ratu Belanda/Gubernur
Jenderal Hindia Belanda dan melaksanakan pemerintahan di Deli sesuai
adat dan peraturan,
(3) Sultan Deli bersedia memajukan negeri dan rakyat, serta
(4) Sultan Deli bersedia mematuhi syarat-syarat penambahan akte yang belum jelas atau belum tercantum.
Akte ini ditandatangani oleh pegawai pemerintahan Belanda dan Orang-Orang Besar Deli sebagai saksi.
Acte van Bevestiging (Akte Penguatan). Dalam akte ini disebutkan bahwa
pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) mengakui Sultan tersebut
selaku Raja Deli dan pengakuan ini juga disebutkan dalam Ordonansi
Hindia Belanda.
Pemerintahan Kesultanan Deli dilaksanakan oleh Sultan Deli bersama-sama
dengan Dewan Orang-Orang Besar (sebagai pengganti Lembaga Datuk
Berempat) yang terdiri dari empat Urung dan Kejeruan Percut setelah
bermusyawarah dan dengan petunjuk dari Residen selaku wakil dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Orang-Orang Besar itu diangkat dan
diberhentikan Sultan Deli setelah bermusyawarah dengan Residen dengan
memperhatikan aturan adat-istiadat. Selain itu, Residen berhak
menghadiri rapat Orang-Orang Besar Kesultanan Deli juga sudah mempunyai
beberapa lembaga penting pendukung pemerintahan. Beberapa di antaranya
adalah lembaga peradilan atau Kerapatan Besar, Kepolisian Swapraja Deli,
dan Peradilan Agama.
System pemerintahan Kesultanan Deli bersifat federasi yang longgar
sesuai dengan pepatah yang terdapat di Deli "Raja Datang, Orang Besar
Menanti". Tuanku Panglima Gocah Pahlawan sebagai Raja Pertama di Tanah
Deli yang ditunjuk oleh Sultan Aceh sebagai wakilnya di Sumatera Timur
atau Tanah Deli.
Masa pemerintahan Panglima Parunggit (Raja Deli II), Deli
memproklamirkan kemerdekaannya dari Kesultanan Aceh pada tahun
1669mengikuti jejak-jejak negeri pesisir, dan berhubungan dagang dengan
VOC di Melaka. Pada masa pemerintahan Panglima Paderap (Raja Deli III)
terjadi perluasan wilayah di pesisir pantai hingga Serdang dan Denai.
Menurut laporan Jhon Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823,
bahwa Sultan Amaluddin Mangendar (Sultan Deli VI) adalah penguasa Deli
pertama yang bergelar "Sultan" setelah Deli ditaklukan Kesultanan Siak
pada tahun 1814. Menurut laporan Jhon Anderson pula, Sultan Deli dalam
memerintah dibantu oleh 8 orang menteri dimana Sultan berkonsultasi soal
perang, mengatur pemerintahan sehari-hari, mengadili perkara pidana,
dan lain-lain.
8 Menteri tersebut adalah :
Nahkoda Ngah bergelar Timbal-Timbalu
Wak-Wak
Salim
Tok Manis
Dolah
Wakil
Penghulu Kampong
Masih ada lagi Syah Bandar (Hamad) yang mengurus hubungan perdagangan
dan biasanya dibantu seorang mata-mata (seorang wanita yang pandai
bernama Encek Laut) yang bertugas memungut cukai. Kemudian ada lagi para
pamong praja, penghulu, para panglima, dan mata-mata yang melaksanakan
tugas bila di kehendaki Sultan, serta kurir istana yang mengantar surat
ke berbagai kerajaan. Jika Sultan mangkat, apabila penggantinya masih
belia, maka Tuan Haji Cut atau Kadi (ulama tertinggi) bertindak dan
melaksanakan semua fungsi pemerintahan kerajaan.
Di bidang agama Islam Tuan Haji Cut juga bertindak sebagai mufti
kerajaan, kemudian di bawahnya ada bilal, imam, khalif, dan penghulu
masjid. Merekalah yang menangani masalah yang berhubungan dengan
keagamaan. Kehidupan mereka diperoleh dari sumbangan masyarakat.
Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan. Permaisuri Sultan bergelar
Tengku Maha Suri Raja, atau Tengku Permaisuri, sedangkan putera mahkota
bergelar Tengku Mahkota. Putera dan puteri yang lain hanya bergelar
tengku. Keturunan yang lain berdasarkan garis patrilineal hingga
generasi ke lima juga bergelar tengku.
Dalam kehidupan sehari-hari, sultan tidak hanya berfungsi sebagai kepala
pemerintahan, tapi juga sebagai kepala urusan agama Islam dan sekaligus
sebagai kepala adat Melayu. Untuk menjalankan tugasnya, raja/sultan
dibantu oleh bendahara, syahbandar (perdagangan) dan para pembantunya
yang lain.
Periode Pemerintahan
Kerajaan Deli berdiri sejak paruh pertama abad ke-17 M, hingga
pertengahan abad ke-20, ketika bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Selama rentang masa yang cukup panjang tersebut, kerajaan
Deli mengalami masa pasang surut silih berganti. Selama dua kali, Deli
berada di bawah taklukan kerajaan Aceh. Ketika kerajaan Siak menguat di
Bengkalis, Deli menjadi daerah taklukan Siak, kemudian menjadi daerah
taklukan penjajah Belanda. Dan yang terakhir, Deli bergabung dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah yang menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Deli meliputi Labuhan,
Langkat, Suka Piring, Buluh Cina, Denai, Serbajadi, dan sejumlah negeri
lainnya di sekitar pesisir timur pulau Sumatra. Ketika Kesultanan Aceh
Darussalam kembali menguasai Deli pada tahun 1854, Kesultanan Deli
dinyatakan berdiri sendiri di bawah kendali Aceh Darussalam dan
wilayahnya ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga
perbatasan Tamiang (Meuraxa, 1956:25).
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, menurut kontrak politik
antara Deli dengan pihak pemerintah kolonial, dirumuskan bahwa wilayah
Kesultanan Deli meliputi:
Wilayah langsung Sultan (kotapraja).
Urung (Negeri) XII Kota Hamparan Perak yang dikepalai Datuk Hamparan Perak Setia Diraja.
Urung Serbanyaman-Sunggal, dikepalai oleh Datuk Sunggal Sri Indera Pahlawan.
Urung Sukapiring-Kampung Baru, dikepalai oleh Datuk Sukapiring Sri Indera Asmara.
Urung Senembah-Petumbak, dikepalai oleh Kejeruan Senembah Deli.
Negeri Percut, dikepalai oleh Kejeruan Percut Paduka Raja.
Jajahan Negeri Bedagai, dikepalai oleh Pangeran Nara Kelana Raja Bedagai.
Jajahan Negeri Padang, dikepalai oleh Maharaja Negeri Padang.
Secara garis besar, wilayah kekuasaan Kesultanan Deli terbagi dua, yakni
wilayah Hilir yang didiami suku bangsa Melayu dan sudah memeluk agama
Islam, serta wilayah Hulu yang dihuni suku bangsa Karo yang kebanyakan
belum memeluk agama Islam atau masih mempercayai keyakinan leluhur.
Kehidupan Sosial-Budaya
Ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan tembakau dibuka
secara luas. Tak ada yang menduga bahwa, dalam perkembangannya di
kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang
menjadi jantung kolonialisme dunia Eropa. Berkat perkebunan tembakau
tersebut, sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan
mengelola lahan perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Dengan kekayaan
yang melimpah ini, para sultan kemudian hidup mewah dan glamour dengan
membangun istana yang mewah dan indah, membeli kuda pacu, mobil mewah
dan sekoci pesiar, serta mengadakan berbagai pesta untuk menyambut para
tamunya yang kebanyakan datang dari Eropa. Saksi bisu kekayaan tersebut
adalah Masjid Raya al-Mashun Medan dan Istana Deli yang masih berdiri
megah di kota Medan hingga saat ini.
Berbeda dengan kehidupan para keluarga istana, masyarakat awam tetap
hidup apa adanya, dengan menggantungkan sumber ekonominya dari
perladangan yang sederhana. Ketika komoditas tembakau sedang meledak di
pasar Eropa, para petani tradisional tersebut banyak yang berpindah
menanam tembakau, sehingga petani padi jadi berkurang. Komoditas
pertanian lain yang banyak ditanam masyarakat adalah kopi, karet,
cengkeh dan nenas. Tidak semua orang Deli menjadi petani, sebagian di
antara mereka juga ada yang menjadi buruh tani di perkebunan tembakau
bersama orang-orang Jawa dan Cina.
Dalam sistem kekerabatan, orang Deli lebih dominan menganut sistem
patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda
untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama
ketika pasangan muda tersebut telah dikarunia anak. Jika belum memiliki
rumah dan anak, pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal
bersama keluarga perempuan. Dari kenyataan ini, sebenarnya pola
kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah diterapkan dengan cukup
seimbang oleh masyarakat Deli.
Masa Kolonial
Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak,
Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut
kepada mereka. Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui
merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas
untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda maupun
perusahaan-perusahaan luar negeri lainnya.
Pada masa ini Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat
terlihat dari semakin kayanya pihak kesultanan berkat usaha perkebunan,
terutamanya tembakau, dan lain-lain. Selain itu, beberapa bangunan
peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini
pada masa itu, misalnya Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.
Tembakau Deli merupakan komoditas unggul yang sangat bernilai jual di
dunia internasional saat itu. Kemajuan perkebunan tembakau Deli berawal
pada tahun 1862 ketika perusahaan Belanda, JF van Leuween, mengirimkan
ekspedisi ke Tanah Deli yang kala itu diwakili oleh Jacobus Nienhuys.
Setiba di Deli, mereka menemukan lokasi yang masih perawan, Deli saat
itu adalah dataran rendah berawa-rawa dan mayoritas ditutupi hutan-hutan
primer.
Usaha awal ini gagal, JF van Leuween memutuskan mundur setelah membaca
laporan tim perusahaan, tetapi Jacobus Neinhuys tidak putus asa. Setelah
mendapat konsesi tanah dari Sultan Mahmud Al Rasyid, Neinhuys menanam
tembakau di Tanjung Spasi. Kali ini usahanya berasil, contoh daun
tembakau hasil panen yang dikirim ke Rotterdam diakui sebagai tembakau
bermutu tinggi. Sejak itulah, tembakau Deli yang bibitnya diperkirakan
berasal dari Decatur County, Georgia, Amerika Serikat menjadi terkenal.
Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan yang didirikan oleh Jacobus
Neinhuys, P.W. Jenssen, dan Jacob Theodore Cremer, pada tahun 1870 telah
berhasil mengekspor tembakau sedikitnya 207 kilogram. Pada tahun 1883
perusahaan ini mengekspor tembakau Deli hampir 3,5 juta kilogram, dan
ditaksir nilai kekayaan perusahaan ini mencapai 32 juta gulden pada
tahun 1890. Puncaknya pada awal abad ke-20 ketika Deli Maatschappij
tampil sebagai "raja tembakau Deli". Diperkirakan lebih 92 % impor
tembakau cerutu Amerika Serikatberasal dari Kesultanan Deli.
Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem
pemerintahan dan perekonomian. Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan
adalah pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara
meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk
dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya sebatas
antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil
penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin
memperluas lahan yang telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan
negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik
lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak
kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah
kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan,
pertanian, perkebunan, dan lainnya.
Masa Pendudukan Jepang
Tanggal 12 Maret 1942 mendarat pasukan "Imperial Guard" (pasukan penjaga
kaisar yang sangat terlatih dan terpilih) di Perupuk Tanjung Tiram
(Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono dan dari sana mereka segera
menuju Medan. Sementara itu pasukan KNILdan Stadwacht Belanda berhasil
melarikan diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah
Alas), tetapi di tengah jalan banyak orang-orang pribumi yang merampas
pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung masing-masing. Karena
sisa pasukanBelanda yang 3.000 orang itu tidak akan sanggup melawan
pasukan Jepang sebanyak 30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman
perang, maka pada tanggal 29 Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel
Gosenson menyerah kepada Jepang.
Sejak direbutnya Malaya, Singapura, dan Sumatera oleh Bala Tentara ke 25
Jepang, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh markas Bala
Tentara ke 25 yang berkedudukan di Singapura. Sampai sekitar April 1943,
kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh Bala Tentara ke 25 sebelum
akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi
Sumatera dan Malaya/Singapura terpisah. Di Sumatera, Jepang
hampir-hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada.
Setiap Residen disebut syu dan dibawah pengawasan seorang pejabat
militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan-kesultanan di
Sumatera Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi Sumatera
Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang, yaitu sekitar Binjai
(Padang Brarang), Sungai Karang (Galang), Dolok Merangir,Kisaran, dan
perkebunan Wingfoot.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur
oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis terhadap penguasa
kesultanan-kesultanan Melayu. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum
komunis yang hendak menghapuskan sistem monarkidengan alasan
antifeodalisme.
Karena sulitnya komunikasi dan transportasi, berita proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku
Gubernur Sumatera serta Mr. Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan
diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada
tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI
dibawah pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan
pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk
mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang
Belanda di Medan.
Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa kelompok
bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah adanyaProklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bangsawan tidak begitu antusias
dengan pembentukan republik, karena setelahJepang masuk, Jepang
mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil
alih oleh para buruh. Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap
untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan NICA,
sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Walaupun saat
itu juga banyak kaum bangsawan dan sultan yang mendukung kelompok
pro-republik, seperti Amir Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan
Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan Serdang.
Sementara itu, pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional
wilayah Sumatera Timur agar sistem pemerintahan swaprajadihapuskan dan
menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan
semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-repbulik sendiri
terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan
secara kooperatif untuk membujuk beberapa bangsawan dan kubu radikal
(yang didukung kaum komunis) yang menginginkan jalan kekerasan dengan
penggalangan massa para buruh perkebunan.
Revolusi oleh kaum radikal akibat hasutan kaum komunis pecah pada Maret
1946. Berawal di Kesultanan Asahan, revolusi menjalar ke seluruh monarki
Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Deli. Istana Sultan Deli (Istana
Maimun) beserta Sultan dan para bangsawan berhasil terlindungi karena
penjagaan TRI dan adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar