Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik
Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah
sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain
di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya
perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan
perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan
Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara
lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun1946,
Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
Sejarah
Riwayat Kesultanan Serdang memiliki perjalanan yang rumit dan penuh
gejolak. Latar belakang berdirinya kesultanan yang terletak di Sumatra
Timur ini tidak bisa dilepaskan dari kejayaan Kesultanan Aceh. Sejarah
Kesultanan Serdang sebenarnya diawali dengan munculnya Tuanku Sri Paduka
Gocah Pahlawan. Dia merupakan sosok pemberani yang terkenal sebagai
Panglima Besar Tentara dan Panglima Armada Aceh. Mengusung panji-panji
kebesaran Kesultanan Aceh di bawah naungan Sultan Iskandar Muda, Tuanku
Sri Paduka Gocah Pahlawan memimpin operasi penaklukkan dan berhasil
menundukkan negeri-negeri di sepanjang Pantai Barat dan Pantai Timur
Sumatra, hingga Johor serta Pahang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan itu
tidak lain adalah Laksamana Malem Dagang yang memimpin armada Aceh
melawan Portugis (1629) dan yang menaklukkan Pahang (1617), Kedah
(1620), Nias (1624), dan lain-lainnya.
Berkat jasa dan pengabdian terhadap Kesultanan Aceh, pada 1632 Sultan
Iskandar Muda berkenan memberikan penghargaan dengan melantik Tuanku Sri
Paduka Gocah Pahlawan sebagai wakil Sultan Aceh atau Wali Negeri untuk
memimpin wilayah Haru atau yang kemudian dikenal sebagai wilayah Sumatra
Timur. Haru sebenarnya merupakan sebuah kerajaan mandiri yang berhasil
ditaklukkan Kesultanan Aceh di bawah komando Tuanku Sri Paduka Gocah
Pahlawan. Sosok inilah yang menjadi kakek moyang raja-raja di Haru atau
yang kelak bersulih nama menjadi wilayah Deli dan Serdang. Nama Haru
sendiri muncul pertama kali dalam catatan pengelana dari Tiongkok yang
singgah di Sumatra pada sekitar abad ke-13. Dalam catatan itu
disebutkan, Haru mengirimkan misi ke Tiongkok dalam tahun 1282 Masehi
ketika tanah Tiongkok dikuasai imperium Mongol di bawah pimpinan Kubilai
Khan. Selain itu, nama Haru juga tercantum dalam kronik Pararaton
ketika membahas fragmen tentang Ekspedisi Pamalayu, yakni upaya
Majapahit untuk menaklukkan negeri Melayu yang dimulai pada abad ke-13.
Haru tercatat sebagai salah satu dari negeri-negeri utama di Sumatra di
samping Lamuri, Samudera, Barlak (Perlak), dan Dalmyan (Temiang).
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang legendaris itu juga
menyinggung soal keberadaan Haru dengan menyebutkan, di samping Pane,
Majapahit berhasil pula menguasai Kompai dan Haru.
Data tentang keberadaan Kerajaan Haru masih berlanjut ketika seorang
pejalan yang juga berasal dari Tiongkok, Fei Sin, menulis bahwa dalam
tahun 1436 M, Haru terletak di depan Pulau Sembilan. Manakala angin
baik, tulis Fei Sin, kapal layar bisa sampai ke Haru dari Malaka dalam
waktu 3 hari 3 malam. Keterangan Fei Sin ini didukung oleh catatan dari
Dinasti Ming yang mengisahkan bahwa pada masa pemerintahan Kaisar Yung
Lo, penguasa ke-3 Dinasti Ming yang memerintah sejak 1402, Sultan Husin
dari Haru mengirimkan misinya ke Tiongkok. Sebaliknya, dalam tahun 1412,
Kaisar Yung Lo mengutus Laksamana Cheng Ho untuk mengunjungi
negeri-negeri di Nusantara, termasuk Haru. Hubungan kekerabatan antara
Kerajaan Haru dan Kekaisaran Tiongkok semakin harmonis karena Tuanku
Alamsyah, pengganti Sultan Husin, juga mengirimkan misinya ke Tiongkok,
berturut-turut dalam tahun-tahun 1419, 1421, dan 1423 Masehi.
Pada masa-masa berikutnya, Kerajaan Haru bersama kerajaan-kerajaan kecil
lainnya melakukan perlawanan terhadap Kesultanan Aceh yang muncul
sebagai kekuatan baru di sekitar Selat Malaka. Berkali-kali Haru
melancarkan gerakan penentangan terhadap dominasi Aceh hingga kerajaan
ini berhasil ditaklukkan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda yang memunculkan nama Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai
panglima perang yang paling berhasil pada masa itu. Oleh penguasa
Kesultanan Aceh, pada 1632 wilayah Haru diberikan kepada Tuanku Sri
Paduka Gocah Pahlawan selaku wakil Sultan Aceh. Dari sinilah riwayat
Kerajaan Deli dan Kerajaan Serdang dimulai.
Pendudukan atas bekas wilayah Kerajaan Haru ini diberikan oleh Kesultanan Aceh dengan misi:
Menghancurkan sisa-sisa perlawanan Kerajaan Haru (yang dibantu oleh Portugis).
Mengembangkan misi Islam ke wilayah pedalaman.
Mengatur pemerintahan yang menjadi bagian dari Imperium Aceh.
Pada 1632 M, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan menikah dengan Puteri Nan
Baluan Beru Surbakti, adik dari penguasa Kerajaan Sunggal, Datuk Imam
Surbakti. Kerajaan Sunggal merupakan salah satu pemerintahan kecil yang
terdapat di wilayah Urung asal Karo di Deli. Pengakuan dari
kerajaan-kerajaan kecil di regional itu yang diberikan kepada Tuanku Sri
Paduka Gocah Pahlawan membuat pemerintahan Deli di bawah naungan Aceh
semakin mantap. Setelah Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan meninggal dunia
pada 1641 M, kekuasaan atas wilayah Deli diberikan kepada putranya,
Tuanku Panglima Perunggit (1614-1700 M) yang kemudian bergelar sebagai
Panglima Deli.
Ketika kebesaran Kesultanan Aceh mulai melemah, di mana Sultan Iskandar
Muda mangkat dan pemerintahan Aceh dipegang oleh raja-raja perempuan,
pada 1669 M Panglima Perunggit memproklamirkan kemerdekaan Deli atas
penguasaan Aceh. Sebagai legitimasi, Deli di bawah komando Panglima
Perunggit menjalin hubungan dengan Belanda di Malaka. Tuanku Panglima
Perunggit atau Panglima Deli meninggal dunia pada 1700 M. Pengganti
Tuanku Panglima Perunggit sebagai penguasa Deli adalah sang putra
mahkota, Tuanku Panglima Paderap yang memerintah hingga tahun 1720 M.
Sepeninggal Tuanku Panglima Paderap, Deli mulai dilanda perpecahan.
Selain karena mulai berpengaruhnya Kerajaan Siak di wilayah Sumatra
Timur, ancaman yang mengguncang Deli juga disebabkan oleh adanya
perebutan kekuasaan di antara anak-anak Tuanku Panglima Paderap. Meski
terdapat beberapa versi, ada sejumlah kalangan yang meyakini bahwa anak
Tuanku Panglima Paderap berjumlah empat orang, yaitu:
Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari turunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tg. Mulia.
Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari turunan bangsawan Deli dan Bedagai.
Kejeruan Santun, berasal dari turunan bangsawan Denao dan Serbajadi.
Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari turunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan.
Perang saudara dalam memperebutkan kekuasaan Deli itu terjadi pada
sekitar tahun 1723. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan
yang merasa paling berhak atas tahta Deli, karena merupakan anak yang
berasal dari permaisuri, tidak berhasil memperoleh haknya. Dalam
pertempuran melawan kakak keduanya, Tuanku Panglima Pasutan, Tuanku Umar
Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan menelan kekalahan dan bersama
ibundanya, Tuanku Puan Sampali yang tidak lain adalah permaisuri Tuanku
Panglima Paderap, terpaksa menyingkir dan mengungsi hingga kemudian
mendirikan Kampung Besar (Serdang). Atas kemenangan yang diperoleh dari
adiknya itu maka Kesultanan Deli dikuasai oleh Tuanku Panglima Pasutan.
Dalam catatan Tengku Luckman Sinar Basarshah II, yang kini mengemban
mandat sebagai Sultan Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang atau
Sultan Serdang ke VIII, disebutkan bahwa menurut adat Melayu yang benar,
yang berhak menggantikan Tuanku Panglima Paderap sebagai pemimpin
Kerajaan Deli adalah Tuanku Umar Johan selaku putra dari permaisuri.
Namun, Tuanku Umar Johan disingkirkan oleh kakaknya karena masih di
bawah umur. Atas perlakuan terhadap Tuanku Umar Johan tersebut maka dua
orang besar di Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah
serta bersama dengan seorang Raja Urung Batak Timur yang menghuni
wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan juga seorang pembesar
dari Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar Johan selaku Raja
Serdang yang pertama diangkat yaitu pada 1723 M.
Sultan Serdang pertama, Tuanku Umar Johan, memiliki tiga orang putra,
yakni Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan Tuanku Sabjana atau
yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir. Oleh karena
Tuanku Malim menolak dilantik menjadi raja sebagai pengganti ayahnya,
maka yang kemudian didaulat untuk menduduki tahta Kesultanan Serdang
setelah Tuanku Umar Johan mangkat adalah Tuanku Ainan Johan Alamsyah
(1767-1817). Sultan Ainan Johan Alamsyah beristrikan Tuanku Puan Sri
Alam dari Kerajaan Perbaungan yang kemudian bergabung dengan Kesultanan
Serdang. Sebelumnya, salah seorang keturunan Panglima Paderap (Raja Deli
terakhir) yang lain, yaitu Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun,
yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi, sudah
menggabungkan diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan Sultan
Serdang yang pertama.
Putra pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin,
terbunuh ketika berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku
Sultan Thaf Sinar Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan
Alamsyah, sebagai penerus tahta Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar
Baharshah yang kemudian dianugerahi nama kebesaran sebagai Sultan Besar
Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M. Pada masa pemerintahan
Sultan Thaf Sinar Baharshah ini Kesultanan Serdang mengalami era jaya
dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena perdagangannya.
Nama Kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain
sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain,
seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari
Kesultanan Serdang.
Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang
tertua, yaitu Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880).
Kepemimpinan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi
dari Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap
Sembilan. Ketika pada 1854 Aceh mengirim ekspedisi perang sebanyak 200
perahu perang untuk menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak
Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful
Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir, serta raja-raja
taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang
diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun luar.
Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang
juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang
pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang
kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang
tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.
Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279
Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota, Sulaiman
Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan
Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda
Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman
Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari
pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini
baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada
era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian
Serdang dengan Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah
dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan
perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful
Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme
Belanda berkuasa (1866) hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia
(1946). Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal
17 Agustus 1945, pada Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah pimpinan
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menyatakan dukungan terhadap
berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat.
Selanjutnya, tahun 1946 wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda
situasi yang mencekam. Pada 3 Maret 1946, terjadi peristiwa
menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi
penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang
komunis. Raja-raja dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap
sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Menurut buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang (2003)
yang ditulis oleh Pemangku Adat Kesultanan Serdang Tuanku Luckman Sinar
Basarshah II, penangkapan terhadap raja-raja di Sumatra Timur itu,
seperti yang terjadi di Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa
orang di antaranya dibunuh, dan istana mereka dijarah. Di Langkat,
Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku
Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri
dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya
kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar. Demikian juga
di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para
bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok.
Masih menurut catatan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, di Serdang
keadaan sedikit berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain. Berkat adanya
dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap
kaum pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak
zaman kolonial Belanda serta sokongan penuh Kesultanan Serdang atas
berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, maka tidak
terjadi aksi penangkapan, pembunuhan, atau penjarahan di Serdang. Sultan
Sulaiman Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan
Sekutu karena banyak kerabat dan para bangsawan Serdang yang dianjurkan
menempati posisi di dalam struktur angkatan bersenjata Republik,
partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis. Oleh karena
itu, ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah suatu
perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI di
Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan
Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa
Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang
dalam hal ini bertindak mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Sebagai tindak lanjut atas kesepakatan tersebut, maka keesokan harinya,
yakni tanggal 4 Maret 1946, diutuslah Jaksa Tengku Mahmuddin dan
Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi
menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama
pemerintah Republik Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional
Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi masyarakat serta
organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Timbang
terima yang mulai berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah
Serdang itu agaknya merupakan sebuah peristiwa unik yang berlaku untuk
pertamakalinya di Indonesia. Sejak saat inilah Kesultanan Serdang
meleburkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai wujud komitmennya terhadap kemerdekaan dan berdirinya negara
Indonesia yang berdaulat.
Pada 13 Oktober 1946, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah meninggal dunia
dalam usia 80 tahun dan dikebumikan dengan upacara militer di makam
raja-raja di sebelah masjid raya di Perbaungan yang masih termasuk di
dalam wilayah administratif Serdang. Sebagai pemegang tahta Serdang ke
VI sepeninggal Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah adalah Tengku Putera
Mahkota Rajih Anwar. Namun, dikarenakan oleh situasi politik dan
keamanan di Serdang dan umumnya di Sumatra Timur yang belum stabil, maka
penabalan mahkota kesultanan kepada Tuanku Tengku Putera Mahkota Rajih
Anwar hanya sebagai kepala adat. Di samping itu, Tengku Putera Mahkota
Rajih Anwar sendiri tidak bersedia dinobatkan sebagai Sultan Serdang
karena merasa masih trauma dengan serentetan kejadian tragis atau
“Revolusi Sosial” yang terjadi di tahun 1946 itu. Tengku Putera Mahkota
Rajih Anwar wafat di Medan pada 28 Desember 1960 dan dimakamkan di
Perbaungan.
Setelah mangkatnya Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar, masyarakat adat
Serdang tidak lagi mempunyai kepala adat selama masa-masa selanjutnya
dan posisi ini mengalami kevakuman selama lebih kurang 35 tahun. Hingga
akhirnya, pada 30 November 1996, Kerapatan Adat Negeri Serdang
mengadakan sidang serta memutuskan bahwa Pemangku Adat Serdang dipilih
dan ditetapkan dari putra-putra almarhum Sultan Sulaiman Syariful
Alamsyah yang masih hidup. Dari sidang-sidang tersebut kemudian
diputuskan Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj, putra ketiga
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dan pemegang mahkota Kesultanan Negeri
Serdang yang ke VII sebagai Pemangku Adat Negeri Serdang dan Ketua
Kerapatan Adat Negeri Serdang. Penabalannya dilakukan dalam upacara adat
di Gedong Juang 45 di Perbaungan pada 5 Januari 1997.
Namun, kebangkitan Kesultanan Serdang ini tidak bisa lepas dari himpitan
sistem politik negara. Institusi kesultanan semata-mata dilihat dari
perspektif politik. Keberadaan Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami
sebagai representasi perilaku budaya dan adat masyarakatnya. Oleh karena
itu, aktivitas kesultanan dibatasi hanya sebagai institusi istiadat
saja. Dalam penyelenggaraan istiadat pun “diarahkan” tidak menjadi
perenggang masyarakat dengan akar budayanya, apalagi unsur budaya yang
berhubungan dengan tradisi kesultanan, khususnya tradisi kesultanan
yang terdapat di Sumatra Timur. Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam
Al-Haj mangkat pada 28 Januari 2001 karena sakit dan dikebumikan di
Makam Raja Diraja di samping Masjid Raya Perbaungan.
Sebagai penerus keberadaan Kesultanan Serdang setelah Tuanku Abunawar
Sinar Syariful Alam Al-Haj wafat adalah Tuanku Luckman Sinar Baharshah
II. Sebelum jenazah Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj
diberangkatkan pada tengah malam tanggal 28 Januari 2001, sesuai dengan
Adat Melayu “Raja Mangkat Raja Menanam”, dimusyawarahkanlah mengenai
pengganti Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj dan anggota sidang
dengan suara bulat menyepakati bahwa Tuanku Luckman Sinar Baharshah II
(waktu itu bergelar Temenggong Mangkunegara Serdang) sebagai Pemangku
Adat Serdang berikutnya. Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar
Baharshah II selaku Pemangku Adat Kesultanan Negeri Serdang yang ke VIII
digelar pada 12 Juni 2002 di Perbaungan dan dihadiri 6.000 orang utusan
dari seluruh Serdang dan 2.000 orang undangan dari kalangan pemerintah
serta empat negara. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II yang memegang
tahta adat Kesultanan Negeri Serdang hingga sekarang menjadi penegas
bahwa Kesultanan Serdang masih eksis sampai hari ini.
Silsilah Raja-Raja
Berikut nama-nama sultan yang pernah memimpin pemerintahan Kesultanan Serdang:
Sultan Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (1723−1767).
Sultan Ainan Johan Alamsyah (1767−1817).
Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850).
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819−1880).
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah (1866−1946) . - Selama tahun 1880 −
1866, pemerintahan Kesultanan Serdang dipegang oleh Tengku Raja Muda
Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali karena Sulaiman
Syariful Alamsyah masih sangat belia.
Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar (1946−1960).
Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj (1997−2001).
Tuanku Luckman Sinar Baharshah II (2001−sekarang), dinobatkan pada 2002.
Wilayah Kekuasaan
Sejak awal berdirinya hingga sekarang, wilayah Kesultanan Serdang
beberapa kali mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan
kondisi sosial-politik yang terjadi. Kesultanan Serdang sendiri, pada
era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dimasukkan ke dalam Residensi
Sumatra Timur, bersama sejumlah kerajaan lainnya antara lain Kerajaan
Asahan, Kerajaan Deli, Kerajaan Kualuh dan Leidong, Kerajaan Langkat,
Kerajaan Pelalawan, serta Kerajaan Siak Sri Inderapura. Setelah
Indonesia merdeka tahun 1945 dan dilanjutkan dengan pengakuan kedaulatan
tahun 1949, secara administratif, Kesultanan Serdang yang semula
termasuk ke dalam wilayah Sumatra Timur, sejak tahun 1950 dilebur
menjadi Provinsi Sumatra Utara hingga kini.
Ditinjau dari perjalanan sejarahnya, perubahan luas wilayah Kesultanan
Serdang dari zaman ke zaman diperoleh melalui beberapa cara, di
antaranya dengan jalan penaklukan, kekerabatan (ikatan perkawinan), atau
penggabungan wilayah oleh kerajaan-kerajaan kecil ke wilayah Kesultanan
Serdang. Berdasarkan data yang ditemukan dari beberapa catatan karya
Tuanku Luckman Sinar Baharshah II, daerah-daerah yang pernah dan masih
menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Serdang (dikumpulkan dari
beberapa sumber), antara lain: Percut, Perbaungan, Sungai Ular, Sungai
Serdang, Padang, Bedagai, Sinembah, Batak Timur, Negeri Dolok, Batubara
(Lima Laras), Serbajadi, Denai, Patumbak, Rantau Panjang, Bandar
Labuhan, Lengo Seperang/Kwala Namu, Pantai Cermin, Pertumbukan/Galang,
Medan Senembah, Tambak Cikur, Rantau Panjang, hingga Lubuk Pakam.
Sistem Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama, yaitu Tuanku Umar
Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, pemerintahan Kesultanan Serdang
masih dalam kondisi yang tidak menentu karena banyaknya konflik yang
harus dihadapi. Baru pada era Sultan Serdang kedua, Sultan Ainan Johan
Alamsyah (1767-1817), Kesultanan Serdang mulai menyusun konsep untuk
mengatur tata pemerintahannya. Salah satu yang terpenting adalah dengan
dibentuknya Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat
Wazir Sultan, yaitu:
Pangeran Muda, berwilayah di Sungai Tuan.
Datok Maha Menteri, berwilayah di Araskabu.
Datok Paduka Raja, berwilayah di Batangkuis.
Sri Maharaja, berwilayah di Ramunia.
Sultan Ainan Johan Alamsyah memperkokoh legitimasi Lembaga Orang Besar
Berempat itu berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan
kekuatan empat penjuru alam (barat, timur, utara, selatan) dan kokohnya
kaki binatang serta asas Tungku Sejarangan (empat batu penyangga untuk
memasak) yang merupakan asas sendi kekeluargaan tradisi masyarakat
Melayu di Sumatra Timur. Terdapat empat sosok penentu di dalam upacara
perkawinan maupun perhelatan-perhelatan besar lainnya.
Selain itu, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Sultan Serdang
dibantu oleh Syahbandar dan Temenggong sebagai kepala keamanan dan
panglima besar. Pemerintahan Sultan Ainan Johan Alamsyah mencoba
mengharmonisasikan antara Hukum Syariat Islam dengan Hukum Adat. Hal ini
mengacu pada filosofi pepatah “Adat Melayu bersendikan Hukum Syara’ dan
Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”. Pada masa ini juga diperketat
aturan tentang adat-istiadat kerajaan, yaitu antara lain:
1. Adat Sebenar Adat
Adat ini menganut pemahaman sesuai berlakunya Hukum Alam, misalnya: api
itu panas, air itu dingin, hidup-mati, siang-malam, lelaki-perempuan,
dan lainnya.
2. Adat yang Diadatkan
Adat ini muncul sebagai hasil dari konsensus permufakatan Orang Raja dan Para Orang Besar Kerajaan.
3. Adat yang Teradat
Adat ini lahir dari suatu kebiasaan yang kemudian diikuti secara
terus-menerus dan turun-temurun oleh masyarakat, sehingga menjadi resam
hingga dijadikan sebagai Hukum Adat dan terdapat sanksi-sanksi adat jika
hukum itu dilanggar.
4. Adat-Istiadat
Adat ini berupa seremonial yang dirujuk dari ketentuan yang belaku di
istana raja. Adat ini bersifat dinamis, bisa berubah ketika terjadi
pergantian raja.
Sementara pada era pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah (1817−1850),
Kesultanan Serdang mencapai masa keemasan dengan memperoleh kemajuan
pesat, terutama di bidang perdagangan. Pada masa ini, penerapan Adat
Melayu yang bersendikan Islam sangat dijunjung tinggi. Yang menjadi hal
utama adalah Budi yang Mulia (budi daya, budi bahasa, budi pekerti, dan
lain-lain), sebab dengan ketinggian budi akan menunjukkan ketinggian
peradaban suatu bangsa. Dampak positif dari penerapan konsepsi budi ini
salah satunya adalah rakyat Batak Hulu banyak yang masuk Islam. Dalam
memegang pemerintahan umum, Sultan Thaf Sinar Baharshah dibantu beberapa
Orang Besar, seperti Pangeran Muda Sri Diraja Mattakir sebagai Raja
Muda, Tuanku Ali Usman (gelar Panglima Besar Negeri Serdang) di Sungai
Tuan (Kampung Klambir), Tuanku Tunggal (gelar Sri Maharaja) di Kampung
Durian, dan Datuk Akhirullah gelar Pekerma Raja Tg. Morawa.
Pemimpin Serdang yang selanjutnya, Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah
(1819−1880), mengalami masa-masa di mana eksistensi Kesultanan Serdang
mulai terusik dengan kedatangan penjajah Belanda. Di dalam menghadapi
pengaruh Belanda yang semakin kuat di Pantai Timur Sumatra, Serdang di
bawah komando Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah tanpa tedeng
aling-aling berdiri di belakang Aceh yang memang gencar melakukan
perlawanan terhadap hegemoni penjajah. Atas dukungan tersebut, pada 1854
Sultan Aceh berkenan menganugerahi gelar kepada Sultan Basyaruddin
Syaiful Alamsyah sebagai “Wazir Sultan Aceh” dengan simbol kekuasaan
yang disebut Mahor Cap Sembilan. Seperti sultan-sultan sebelumnya,
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah juga selalu didampingi Orang-orang
Besar dan Wazir serta raja-raja dari wilayah yang berhasil ditaklukkan
Serdang. Akan tetapi, karena konflik yang berkepanjangan berakibat
dengan sering terjadinya pergantian Orang-orang Besar dan para Wazir
serta raja-raja dari wilayah jajahan Serdang tersebut. Selain itu, di
luar Dewan Kerajaan yang terdiri dari orang-orang Besar pilihan Sultan,
terdapat lagi lembaga pemerintahan yang mengurus daerah-daerah yang
termasuk wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang. Institusi ini dikenal
dengan nama “Lembaga Orang Besar Berlapan” yang terdiri dari delapan
orang pejabat yang ditunjuk Sultan Serdang untuk memimpin daerah-daerah
di luar pusat kerajaan
Berikutnya adalah rezim pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
(1866−1946) di mana Kesultanan Serdang melakukan beberapa tindakan
strategis karena semakin kuatnya tekanan dari penjajah Belanda.
Kebijakan penting yang dilakukan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah salah
satunya adalah melakukan perlawanan menentang Belanda ketika pada 1891
Kontrolir Serdang sebagai wakil dari pemerintah kolonial Hindia Belanda
memindahkan ibukota Serdang dari Rantau Panjang ke Lubuk Pakam. Sebagai
bentuk perlawanan, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menolak ikut pindah
ke ibukota baru pilihan penjajah, dan sebaliknya justru membangun
istana baru, yakni Istana Perbaungan (Kraton Kota Galuh), pada 1886
serta mendidikan Masjid Raya Sulaimaniyah. Selain itu, Sultan Sulaiman
Syariful Alamsyah juga membangun kedai, pasar ikan, dan kompleks
pertokoan sehingga berdirilah sebuah kota kecil yang diberi nama Simpang
Tiga Perbaungan. Kota inilah yang dijadikan Sultan Sulaiman Syariful
Alamsyah sebagai tandingan ibukota Serdang versi pemerintah kolonial
Hindia Belanda.
Perlawanan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap penetrasi Belanda
masih berlanjut ketika pada 1898 menolak dengan dingin permintaan dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia agar menghadap Ratu
Kerajaan Belanda. Tidak hanya itu, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
beserta rombongan bahkan memilih melawat ke Jepang dan Tiongkok pada
tahun itu juga sebagai tindakan nyata bahwa Kesultanan Serdang
memberikan perlawanan terhadap Belanda karena pada masa itu Jepang dan
Tiongkok merupakan negeri di Asia yang maju dan berani menentang
kekuatan militer dan penguasaan ekonomi oleh Barat. Dalam kunjungannya
di Jepang, Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dijamu secara pribadi oleh
Tenno Heika Kaisar Meijimutshuhito. Namun, lawatan ke Jepang itu
dimanfaatkan Belanda untuk berbuat licik sebagai balasan atas
“pembangkangan” yang dilakukan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dengan
mempersempit batas wilayah Serdang. Kebijakan mempersempit wilayah
Kesultanan Serdang oleh Belanda ini tak pelak menyebabkan perubahan
dalam susunan para Orang Besar. Belanda menghapuskan beberapa posisi
pemerintahan, termasuk Raja Muda dan Wazir Paduka Setia Maharaja.
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berkuasa di Serdang hingga akhir
hayatnya, yaitu di penghujung tahun 1946, di mana sebelumnya di tahun
itu telah terjadi “Revolusi Sosial” sehingga Kesultanan Serdang memilih
menggabungkan diri dengan Tentara Rakyat Indonesia sebagai wakil dari
pemerintahan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan sebelumnya.
Keputusan itu diambil atas dasar kemantapan hati untuk bergabung dan
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada era
pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, Kesultanan Serdang pada
bulan Desember 1945 telah menyatakan dukungannya terhadap berdirinya
negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh.
Di masa-masa selanjutnya, pemerintahan adat Kesultanan Serdang nyaris
tidak terlihat karena situasi politik yang sedang carut-marut, bahkan
geliat Serdang sempat mati suri selama sekitar 35 tahun karena calon
pengganti Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menolak ditabalkan sebagai
Sultan Serdang dengan alasan masih trauma atas berbagai kejadian
berdarah di tahun-tahun revolusi fisik itu. Setelah dihidupkan lagi pada
1997, Kesultanan Serdang tidak bisa mencapai kejayaan seperti dulu
dikarenakan keterikatan dan situasi politik Indonesia di bawah rezim
Orde Baru. Aktivitas kesultanan tidak lagi berpengaruh banyak terhadap
keberlangsungan dan kehidupan rakyat di Serdang, melainkan hanya sebatas
institusi istiadat semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar