Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di gugusan kepulauan
Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan
nama Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini
sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api --bahkan
tertinggi di gugusan kepulauan Maluku-- yang mereka namakan gunung
Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore
berasal dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab dialek
Irak: bahasa Tidore, To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’ dan bahasa
Arab dialek Irak anta thadore yang berarti ‘kamu datang’. Penggabungan
dua rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang
terjadi di Tidore. Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering
terjadi pertikaian antar para Momole (kepala suku), yang didukung oleh
anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan
persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan
darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami
kegagalan.
Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah,
utusan Khalifah al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di
Tidore. Pada saat itu, di Tidore sedang terjadi pertikaian antar
momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah
seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub turun
tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo.
Pertemuan disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang.
Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan
menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam peristiwa itu, setiap
momole yang sampai ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re,
karena merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang.
Namun, ternyata beberapa orang momole yang bertikai tersebut tiba pada
saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang
beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi fasilitator juga tiba
di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para
momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi
pemenang, akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub.
Konon, sejak saat itu mulai dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua
kata: Ta ado re dan Thadore. Demikianlah, kata Tidore akhirnya
menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar.
Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano
Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M). Namun, sumber
tersebut tidak menjelaskan secara jelas lokasi pusat kerajaan pada saat
itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah kedatangan Djafar Noh
dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian mempersunting seorang gadis
setempat, bernama Siti Nursafa. Dari perkawinan tersebut, lahir empat
orang putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut adalah: Sahjati,
pendiri kerajaan Tidore; Darajati, pendiri kesultanan Moti; Kaicil
Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur Malamo, pendiri kesultanan
Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah: Boki Saharnawi, yang
menurunkan raja-raja Banggai; Boki Sadarnawi, yang menurunkan raja-raja
Tobungku; Boki Sagarnawi, yang menurunkan raja-raja Loloda; dan Boki
Cita Dewi, yang menurunkan Marsaoli dan Mardike. Kerajaan Tidore
merupakan salah satu pilar yang membentuk Kie Raha, yang lainnya adalah
Ternate, Makian dan Moti.
Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak bahwa empat kerajaan ini
berasal dari moyang yang sama: Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas
dari benar atau salah, kemunculan dan perkembangan legenda asal-usul
tersebut secara jelas menunjukkan adanya kesadaran persaudaraan di
antara kerajaan Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara,
yaitu: Ternate, Tidore, Makian dan Moti) sehingga mereka kemudian
melegitimasinya dengan sebuah mitos asal-usul.
Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum
bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung,
informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih
dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati
sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga
ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang
mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa
Tidore pertama yang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan
berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia
memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum
Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan
diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang
indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi
pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab
yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan
Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini
disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi
ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat
lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk
berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar
memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore
di masa Sultan Saifudin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti
nama menjadi Soasio hingga saat ini.
Pada abad ke 16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku
--termasuk Tidore-- untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan
kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha
untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran
antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis
dan Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu
sehingga kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan
Tidore dan kerajaan lainnya.
Sepeninggal Portugis, datang Belanda ke Tidore dengan tujuan yang sama:
memonopoli dan menguasai Tidore demi keuntungan Belanda sendiri. Dalam
sejarah perjuangan di Tidore, sultan yang dikenal paling gigih dan
sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku (1738-1805 M). Selama
bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh
kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan
tersebut membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku
pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo
kembali merdeka dari kekuasaan asing. Inggris yang juga ikut membantu
Tidore dalam mengusir Belanda kemudian diberi kebebasan untuk menguasai
Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai dengan Sultan Nuku,
sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan cukup harmonis. Di
masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi
kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh
kolonial Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke
Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri
yang datang dan memberi nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia
hingga Melanesia dan Kepulauan Solomon. Nama-nama pulau yang masih
memakai nama Nuku hingga saat ini adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku
Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono.
Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke
Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka
agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.
Silsilah Para Sultan
Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah berkuasa 38 orang
sultan di Tidore. Saat ini, yang berkuasa adalah Sultan Hi. Husain Syah
bin Sultan Djafar Syah.
Kolano Syahjati alias Muhammad Naqil bin Jaffar Assidiq
Kolano Bosamawange
Kolano Syuhud alias Subu
Kolano Balibunga
Kolano Duko adoya
Kolano Kie Matiti
Kolano Seli
Kolano Matagena
1334-1372: Kolano Nuruddin
1372-1405: Kolano Hasan Syah
1495-1512: Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
1512-1526: Sultan Al Mansur
1526-1535: Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain
1535-1569: Sultan Kiyai Mansur
1569-1586: Sultan Iskandar Sani
1586-1600: Sultan Gapi Baguna
1600-1626: Sultan Mole Majimo alias Zainuddin
1626-1631: Sultan Ngora Malamo alias Alauddin Syah; memindahkan pemerintahan dan mendirikan Kadato (Istana) Biji Negara di Toloa
1631-1642: Sultan Gorontalo alias Saiduddin
1642-1653: Sultan Saidi
1653-1657: Sultan Mole Maginyau alias Malikiddin
1657-1674: Sultan Saifuddin alias Jou Kota; memindahkan pemerintahan dan
mendirikan Kadato (Istana) Salero di Limau Timore (Soasiu)
1674-1705: Sultan Hamzah Fahruddin
1705-1708: Sultan Abdul Fadhlil Mansur
1708-1728: Sultan Hasanuddin Kaicil Garcia
1728-1757: Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan
1757-1779: Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin
1780-1783: Sultan Patra Alam
1784-1797: Sultan Hairul Alam Kamaluddin Asgar
1797-1805: Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati Nuku
1805-1810: Sultan Zainal Abidin
1810-1821: Sultan Motahuddin Muhammad Tahir
1821-1856: Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah; pembangunan Kadato (Istana) Kie
1856-1892: Sultan Achmad Syaifuddin Alting
1892-1894: Sultan Achmad Fatahuddin Alting
1894-1906: Sultan Achmad Kawiyuddin Alting alias Shah Juan; setelah
wafat, terjadi konflik internal (Kadato Kie dihancurkan) hingga vakumnya
kekuasaan
1947-1967: Sultan Zainal Abidin Syah; pasca wafat, vakumnya kekuasaan
1999-2012: Sultan Djafar Syah; pembangunan kembali Kadato Kie
2012-sekarang: Sultan Husien Syah
Masuknya Bangsa Eropa Ke Tidore
Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 dan
kemudian ia menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Ia adalah
Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore untuk beraliansi
secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh Ternate
dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521,
turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang
etnolog dan sejarawan Italia.
Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan
perdagangan di Tidore. Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu
bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah
gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore
ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan
Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin
berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang
militer.
Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah
perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang
berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota
Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut
mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya
dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua tahun
berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti.
Kegagalan serangan tersebut berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa
antara Raja Portugis, John III dan Raja Spanyol, Charles V pada tahun
1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats, Charles V bersedia
melepaskan klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut tidak serta
merta menyebabkan seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku.
Pada tahun yang sama dengan Perjanjian Zaragosa, putera bungsu Almansur,
Amiruddin Iskandar Zulkarnaen, dilantik sebagai Sultan Tidore dengan
dibantu oleh Kaicil Rade seorang bangsawan tinggi Kesultanan Tidore
sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi tribulasi, ketika Gubernur
Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan untuk kembali meyerang
Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas Tidore pada tanggal
21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual seluruh
rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis akan
meninggalkan Tidore.
Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat dan
digantikan oleh Sultan Saifuddin, demikian pula tongkat estafet
kesultanan berikutnya, berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani dan Gapi
Baguna hingga tahun 1599. Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang
luar biasa di Kesultanan Tidore, kecuali pada tahun 1578 Portugis
membangun Benteng “Dos Reis Mogos” di Tidore. Namun demikian benteng
tersebut tidak mencampuri urusan internal kesultanan.
Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi
kekuatan Portugis dan Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol
pada tahun 1580. Sehingga demikian semua benteng Portugis dan Spanyol di
seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua belah pihak.
Unifikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu
penaklukan benteng Portugis-Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah,
Sultan Ternate terbesar, pada tanggal 26 Desember 1575. Menyerahnya
Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda,
menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Hal ini
mengakibatkan mau tidak mau armada perang Portugis membentuk persekutuan
dengan Spanyol di kepulauan Maluku.
Pada tanggal 26 Maret 1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don
Pedro da Cunha, mulai membaca gerak-gerik VOC-Belanda memperluas wilayah
dagangnya hingga Maluku. Karena merasa terancam dengan kehadiran armada
dagang VOC-Belanda yang mulai menjalin kerjasama dengan Kesultanan
Ternate, ia memimpin pasukan menggempur Benteng Gamlamo tentu saja
dengan bantuan dari Tidore yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole
Majimu.
Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama
setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian
disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah timur laut
Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol.
Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan
Maluku.
Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun
1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari
Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina.
Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara,
membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan
bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de
Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni
1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore
melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya
di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan
Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari
VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC
mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja
Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli
perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.
Batavia kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore yang membatasi
produksi cengkeh dan pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar
wilayah ini semua pohon rempah diperintahkan untuk dibasmi. Pohon-pohon
rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi produksi rempah sampai
seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali perdagangan
atas Maluku.
Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau
eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai
“Hongi Tochten”. Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih dahulu
mengadakan perjanjian yang berkenaan dengan “Hongi Tochten” pada tahun
1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya setelah
Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer Belanda di Maluku. Pihak
kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie penningen) dari pihak
VOC akibat operasi ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat banyaknya
penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih
menjadi turun drastis.
Sepeninggal Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah.
Banyaknya pertentangan dan pemberontakan di kalangan istana kesultanan
menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok sebagian besar wilayah
Tidore. Hal ini mencapai puncaknya hingga pemerintahan Sultan
Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan mencatat bahwa sultan ini
memiliki perangai yang kurang baik. Namun demikian lambat laun situasi
mulai berubah ketika Tidore memiliki Sultan yang terbesar sepanjang
sejarah mereka yaitu Sultan Nuku.
Pada tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan
menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari
kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya
meliputi semua wilayah Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan
Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur,
Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan Garang, Watubela dan
Tor.
Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang
gemilang. Ia berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan
Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan
abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku. Pada titik ini,
kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan Sultan
Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.
Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari
kondisi politik yang terjadi di negeri Belanda. Tahun 1794, Napoleon
Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke
Inggris. Selama menetap di Inggris, ia mengeluarkan instruksi ke
seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan daerahnya
ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris
menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini
semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.
Tetapi pada tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan
yang pada masa hidupnya dikenal sebagai “Jou Barakati” atau di kalangan
orang Inggris disapa dengan “Lord of Forrtune”. Wafatnya Sultan Nuku
dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat Malaku,
tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada
yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.
Selain memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal
akan keberanian dan kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa
lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya
kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan diri dari segala
bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.
Kemunduran Kerajaan Tidore
Mundurnya Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan
Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang
bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut.
Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah Diadu
Domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil
mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan
tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan
Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol
dalam bentuk organisasi yang kuat.
Periode Pemerintahan
Kerajaan Tidore berdiri sejak 1108 M dan berdiri sebagai kerajaan
merdeka hingga akhir abad ke-18 M. setelah itu, kerajaan Tidore berada
dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Tidore
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Wilayah Kekuasaan
Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup kawasan yang
cukup luas hingga mencapai Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau
Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau
Raja Ampat dan pulau Seram. Di Kepulauan Pasifik, kekuasaan Tidore
mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu, Kepulauan
Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang
masih menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku
Maboro dan Nuku Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan
Tidore adalah Haiti dan Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange
dan Nuku Nono.
Struktur Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik.
Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore
tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan
lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme
seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil
marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola
Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di
antaranya untuk menjadi sultan.
Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem
pemerintahan di Tidore telah berjalan dengan baik. Saat itu, sultan
(kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut
Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana
tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan wazir
terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semcam departemen)
dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan
melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah:
(1) pehak labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah
syariah. Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan
modim;
(2) pehak adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari
Jojau, Kapita Lau (panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar),
Hukum Soasio (menteri urusan dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan
kabinet);
(3)Pehak Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa;
(4) pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan).
Di bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler
kerajaan bidang kerohanian), Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang
Cina), Fomanyira Ngare (public relation kesultanan) dan Syahbandar
(urusan administrasi pelayaran). Selain struktur di atas, masih ada
jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti
Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli yang membidangi urusan
propaganda.
Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat di Kesultanan Tidore merupakan penganut agama Islam yang
taat, dan Tidore sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di
kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya
pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki
status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara
masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka:
Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara
bersendi Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini
Berkenaan dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem
matrilineal. Namun, tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal
seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen patrilineal
yang terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat Tidore, perkawinan
ideal adalah perkawinan antar saudara sepupu (kufu). Setelah pernikahan,
setiap pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di
lingkungan kerabat suami atau istri. Dalam antropologi sering disebut
dengan utrolokal.
Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore
menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara upacara
tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri, upacara Lufu Kie daera se
Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara Ngam
Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore
menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia.
Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan
dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo
(semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis
yang diiringi alat tifa atau gendang), kabata(sastra lisan yang
dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam
bentuk syair, gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara satra lisan ini
disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis
gendang. Sasra tulisan juga cukup baik berkembang di Tidore, hal ini
bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih
tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi,
manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat
secara individual.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang
bercocok tanam di ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah padi,
jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh,
pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal,
dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya
menjadi rebutan para kolonial kulit putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar