Kanjeng Sultan Hamengku Buwono (HB) II adalah raja di Kesultanan
Yogyakarta yang memerintah antara tahun 1792 dan 1828. Ada dua fenomena
menarik dari pribadi Sultan pada saat berkuasa. Pertama adalah masa
pemerintahannya yang ditandai dengan pergolakan politik yang belum
pernah terjadi di Jawa pada periode sebelumnya. Pada periode tersebut,
Jawa menjadi bagian dari perubahan besar yang berlangsung sebagai
konsekuensi konstelasi politik di Eropa. Hal ini ditandai dengan
terjadinya perubahan empat kali rezim kolonial dalam kurun waktu kurang
dari setengah abad, yaitu dari VOC, Prancis, Inggris, dan Belanda.
Perubahan rezim yang juga menimbulkan pergantian kebijakan kolonial ini
mengakibatkan terjadinya instabilitas politik dari penguasa kolonial
khususnya tindakan pemerintah kolonial terhadap raja-raja pribumi.
Kondisi ini meningkatkan eskalasi konflik yang cukup tajam antara
penguasa kolonial dan penguasa Jawa.
Fenomena kedua adalah pribadi Sultan Hamengku Buwono II yang cukup
kontroversial. Sejauh ini berbagai sumber data yang ditinggalkan oleh
para penguasa kolonial memuat laporan dan gambaran negatif terhadap raja
Jawa ini. Sultan HB II digambarkan sebagai seorang raja yang keras
kepala, tidak mengenal kompromi, kejam termasuk terhadap kerabatnya
sendiri, dan tidak bisa dipercaya. Informasi yang terkandung di dalam
data kolonial tersebut masih mendominasi historiografi baik yang ditulis
oleh sejarawan asing maupun sejarawan lokal. Hal ini menimbulkan daya
tarik tersendiri sebagai bahan kajian dalam penelitian sejarah khususnya
yang menempatkan para tokoh atau penguasa pribumi sebagai fokusnya.
Kredibilitas informasi yang dimuat dalam data kolonial tentang Sultan HB
II perlu dikritisi terutama lewat studi komparasi dengan sumber-sumber
yang diperoleh dari naskah lokal yang sezaman (Jawa).
Dari hasil perbandingan tersebut dapat diketahui bagaimana pribadi
Sultan HB II yang sebenarnya dan peristiwa penting apa yang terjadi
selama masa pemerintahannya. Di samping itu juga bisa diungkapkan karya
apa yang diwariskannya dan motivasi apa yang mendasarinya
Sebelum Menjadi Raja
Sultan HB II dilahirkan pada hari Sabtu Legi tanggal 7 Maret 1750 di
lereng gunung Sindoro, daerah Kedu Utara. Ketika lahir, Sultan HB II
diberi nama Raden Mas (RM) Sundoro. Nama ini diberikan sesuai dengan
nama tempat kelahirannya yang berada di lereng gunung Sindoro. RM
Sundoro adalah putra Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi raja
pertama di Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755 dengan gelar Sultan
Hamengku Buwono I.
Meskipun berstatus sebagai putra raja, masa kecil RM Sundoro tidak
dialaminya dengan penuh fasilitas dan kebahagiaan layaknya seorang
pangeran. Pada saat dilahirkan, ayahnya sedang bergerilya untuk melawan
VOC dan Kerajaan Mataram, di bawah Sunan Paku Buwono III. Medan perang
Mangkubumi yang terbentang dari Kedu di utara sampai pesisir selatan dan
dari Banyumas di barat hingga Madiun di timur membuat RM Sundoro hampir
tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Sejak lahir hingga usia lima
tahun, RM Sundoro diasuh oleh ibunya, Kanjeng Ratu Kadipaten, permaisuri
kedua Pangeran Mangkubumi.
Ketika perjuangan Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya
Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755, Kerajaan Mataram dibagi
menjadi dua (palihan nagari) . Sebagian kerajaan ini tetap dikuasai oleh
Sunan Paku Buwono III yang bertahta di Surakarta, dan sebagian lagi
diperintah oleh Mangkubumi yang menjadi raja baru. Kerajaan yang baru
diberi nama Kesultanan Yogyakarta dan Pangeran Mangkubumi diangkat
sebagai raja pertama yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Setelah
peristiwa palihan nagari ini, Sultan HB I membangun kompleks kraton baru
di Yogyakarta dan membawa seluruh keluarganya ke kraton, termasuk GKR
Kadipaten bersama putranya RM Sundoro. Sejak saat itu, RM Sundoro mulai
tinggal di kraton dengan status sebagai seorang putra raja.
Kecintaan dan kepercayaan Sultan HB I terhadap RM Sundoro mulai tampak
sejak mereka tinggal bersama. Ini terbukti dengan keinginan Sultan HB I
menunjuk RM Sundoro sebagai putra mahkota pada saat ia dikhitan pada
tahun 1758. Sultan HB I mengetahui sifat putranya yang memiliki
kekerasan jiwa sebagai akibat dari pengalaman hidupnya di wilayah
pengungsian. Pengalaman hidup inilah yang membentuk watak RM Sundoro
yang kelak dianggap sebagai pribadi yang keras dan tegas dalam
pengambilan keputusan. Meskipun ada beberapa orang calon lain, khususnya
dari permaisuri pertama GKR Kencono yang berputra dua orang, Sultan HB I
tetap memilih RM Sundoro sebagai putra mahkota. Keyakinan ini semakin
kuat ketika dua putra dari GKR Kencono dianggap tidak memenuhi syarat
sebagai putra mahkota.
Setelah Sundoro mulai tumbuh dewasa, Sultan HB I mulai berpikir tentang
calon pendamping hidup RM Sundoro khususnya yang akan memperoleh status
sebagai permaisuri. Sebagai seorang putra raja, RM Sundoro hendaknya
berdampingan dengan seorang wanita yang juga keturunan raja. Untuk itu
Sultan HB I berniat menjodohkan putranya dengan putri Sunan PB III.
Ketika RM Sundoro berkunjung ke kraton Surakarta, tahun 1763 dan 1765,
Sundoro disambut langsung oleh Sunan PB III.
Harapan yang ada dari kedua orang raja Jawa itu adalah bahwa dengan
ikatan perkawinan ini, ketegangan politik yang selama ini terjadi antara
Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akan berkurang. Akan
tetapi, usaha tersebut gagal akibat adanya campur tangan Pangeran
Adipati Mangkunegoro I yang juga menginginkan putri yang sama.
Akibatnya, RM Sundoro tidak berhasil mempersunting putri PB III.
Kejadian ini membuat hubungan kedua raja Jawa ini menjadi renggang.
Faktor lain yang memicu ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan
Kesunanan Surakarta adalah sengketa perbatasan daerah. Sesuai
kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti, pembagian daerah antarkedua
kerajaan itu tidak didasarkan pada batas-batas alam melainkan didasarkan
atas elit setempat yang berkuasa. Pembagian wilayah ditentukan oleh
adanya ikatan kekerabatan dan hubungan darat antara setiap penguasa
daerah dan masing-masing raja. Akibatnya, pembagian wilayah milik
Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta tidak ditentukan oleh
batas yang jelas tetapi letaknya tumpang tindih. Hal ini sering
mengakibatkan terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat bawah
yang memicu konflik vertikal antarsesama penguasa daerah.
Proses ini berlangsung hampir dua puluh tahun lamanya dan baru berakhir
dengan perjanjian yang difasilitasi oleh Gubernur VOC van den Burgh
tanggal 26 April 1774 di Semarang. Dalam perjanjian ini batas wilayah
masing-masing raja Jawa dipertegas dan diatur kembali dengan tujuan agar
konflik tersebut tidak terjadi lagi.
RM Sundoro mulai menyadari bahwa baik dalam Perjanjian Giyanti tahun
1755 maupun Perjanjian Semarang tahun 1774, kekuasaan dan wilayah
raja-raja Jawa semakin sempit. Sebaliknya, wilayah VOC menjadi semakin
luas. Perluasan wilayah dan kekuasaan VOC ini berlangsung seiring dengan
meningkatnya intervensi VOC dalam kehidupan kraton raja-raja Jawa.
Dengan adanya pembagian wilayah baru, VOC memperoleh kesempatan semakin
besar untuk melakukan eksploitasi ekonomi yang berbentuk pemborongan
sumber-sumber pendapatan raja-raja Jawa seperti tol, pasar, sarang
burung, penambangan perahu, pelabuhan laut dan penjualan candu. Tekanan
ekonomi dan politik VOC semakin intensif ketika kondisi fisik raja-raja
Jawa baik Sultan HB I maupun Sunan PB III semakin merosot setelah tahun
1780.
Hal tersebut menumbuhkan kebencian RM Sundoro kepada VOC khususnya dan
orang asing pada umumnya. Sultan HB I menyadari hal ini dan mengetahui
bahwa RM Sundoro adalah putra yang diharapkan mampu mempertahankan
kewibawaan dan menjaga keutuhan wilayah Kesultanan Yogyakarta dari
ancaman dan rongrongan pihak asing. Pandangan ini memperkuat tekad
Sultan HB I untuk mengukuhkan status Sundoro sebagai putra mahkota.
Meskipun ada penentangan dari para pejabat VOC yang sudah menyadari
sikapnya, Sultan HB I tetap menjadikan RM Sundoro sebagai calon pewaris
tahta pada tahun 1785.
Dengan statusnya yang baru, RM Sundoro memiliki wewenang yang lebih
besar. Hampir semua tindakan yang berhubungan dengan Kesultanan
Yogyakarta disetujui oleh ayahnya. Setelah diangkat menjadi putra
mahkota, langkah pertama yang diambilnya adalah melindungi kraton
Yogyakarta terhadap ancaman VOC. Ia menyadari bahwa ancaman VOC semakin
besar dengan pembangunan benteng Rustenburg oleh Komisaris Nicolaas
Harstink pada tahun 1765, yang sebagian materialnya dibebankan kepada
Sultan HB I. Ia berusaha mencegah agar benteng Rustenburg tidak
terwujud. Dengan segala upaya ia berhasil menghambat pembangunan benteng
itu. Akibatnya, hingga tahun 1785, bangunan benteng itu belum juga
selesai.
Ketika Johannes Siberg datang ke kraton Yogyakarta dalam acara
pelantikan RM Sundoro sebagai putra mahkota, Siberg mengingatkan kepada
Sultan HB I tentang kewajibannya membantu pembangunan benteng itu.
Desakan Siberg membuat RM Sundoro menghentikan aktivitasnya. Meskipun
setelah peristiwa itu pembangunan benteng dapat diselesaikan, RM Sundoro
tidak menghentikan aktivitasnya melawan VOC. Ia meminta izin ayahnya
untuk memperkuat pertahanan kraton Yogyakarta sebagai perimbangan
kekuatan menghadapi benteng VOC yang berada di depan kraton. Setelah
memperoleh izin dari ayahnya, RM Sundoro memerintahkan pembangunan
tembok baluwarti yang mengelilingi alun-alun baik utara maupun selatan
kraton Yogyakarta. Di bagian depan bangunan ini diperkuat dengan
pemasangan 13 buah meriam. Senjata ini diarahkan ke depan menghadap
benteng Rustenburg. Pembangunan yang dimulai pada tahun 1785 itu terus
berlangsung hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan HB II.
Kebijakan Politik dan Konflik
Pada saat yang hampir bersamaan dengan memuncaknya ketegangan antara
Kesultanan Yogyakarta dan VOC pada akhir tahun 1780- an, di Surakarta
terjadi pergantian tahta. Sunan PB III wafat pada tanggal 26 September
1788. Tiga hari kemudian putra mahkota RM. Subadyo diangkat menjadi
Sunan PB IV. Sifat-sifat Sunan PB IV yang juga diketahui anti-Belanda
telah mengalihkan perhatian Jan Greeve sebagai Gubernur Pantai Timur
Laut Jawa (Noord-oot-kust) dan Andries Hartsink sebagai Komisaris Kraton
Jawa dari Yogyakarta ke Surakarta. Hal ini dilakukan setelah
terbongkarnya rencana konspirasi Sunan PB IV dengan para penasehat
santrinya untuk membunuh orang -orang Belanda di Kesunanan Surakarta
pada bulan September 1790.
Peristiwa tersebut tidak hanya mengakibatkan pengawasan yang semakin
ketat terhadap Kesunanan Surakarta, tetapi juga memulihkan hubungan baik
antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran. Membaiknya hubungan
antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran ini disebabkan oleh
permintaan bantuan VOC kepada mereka untuk menghadapi Sunan PB IV.
Bersama-sama dengan VOC keduanya menemukan kesempatan untuk saling
bekerja sama.
Kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Sunan PB IV bersedia
menghentikan rencananya dan menyerahkan tujuh orang santri penasehatnya
kepada Hartsink bulan Oktober 1790. Ketenangan di kraton Jawa kembali
terusik, ketika Sultan HB I wafat pada tanggal 24 Maret 1792. Perhatian
para pejabat VOC kembali beralih ke Yogyakarta. Sesuai tradisi dan
kesepakatan yang dibuat dengan VOC, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa
Pieter Gerard van Overstraten 8 mengukuhkan RM Sundoro dan melantiknya
sebagai Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Sejak itu
masa pemerintahan Sultan HB II dimulai.
Selama masa pemerintahannya, sifatnya yang anti-kolonial semakin jelas.
Sultan HB II menyadari bahwa orang-orang Belanda merupakan ancaman utama
terhadap keutuhan wilayah dan kewibawaan raja-raja Jawa khususnya di
Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dengan Sunan PB IV yang berambisi untuk
memulihkan kekuasaan ayahnya sebagai raja Mataram, Sultan HB II tidak
berpikir untuk mengembalikan wilayah Kerajaan Mataram lama di bawah satu
pemerintahan.
Sebaliknya, tujuan utama Sultan HB II adalah menjadikan Kesultanan
Yogyakarta sebagai suatu kerajaan Jawa yang besar, berwibawa dan
disegani oleh para penguasa lain termasuk oleh orang -orang Eropa.
Harapan Sultan HB II adalah Kesultanan Yogyakarta menjadi penegak dan
pendukung utama tradisi budaya dan kekuasaan Jawa. Bertolak dari konsep
ini, Sultan HB II bertekad untuk menolak semua intervensi Belanda yang
mengakibatkan merosotnya kewibawaan raja Jawa dan berkurangnya wilayah
kekuasaan raja-raja Jawa.
Konflik terbuka pertama terjadi antara Sultan HB II dan VOC. Peristiwa
ini berlangsung tidak lama setelah pelantikannya. Gubernur van
Overstraten meminta kepada Sultan HB II agar dalam setiap acara
pertemuan dengan sultan, kursinya disejajarkan dan diletakkan di sebelah
kanan kursi sultan. HB II beranggapan bahwa ia harus menghormati orang
yang duduk di samping kanannya pada forum resmi di depan semua kerabat
dan rakyatnya.
Sultan HB II dengan tegas menolak tuntutan Overstraten itu. Karena tidak
berhasil memaksakan kehendaknya, Overstraten melaporkan hal itu ke
Batavia. Sebaliknya pemerintah VOC di Batavia yang sedang berada dalam
kondisi kesulitan keuangan dan menghadapi blokade Inggris bermaksud
mencegah insiden yang bisa menimbulkan konflik dengan raja-raja Jawa.
Gubernur Jenderal Arnold Alting melarang Van Overstraten bertindak lebih
jauh. Sampai ia diganti oleh J.R. Baron van Reede tot de Parkeler pada
tanggal 31 Oktober 1796, tuntutan itu tidak pernah dikabulkan oleh
Sultan HB II. Utusan Belanda tetap diperlakukan seperti seorang utusan
para penguasa taklukan di depan Sultan HB II.
Parkeler yang mengetahui diri Sultan HB II dari van Overstraten
bertindak hati-hati. Pertemuan politik pertama dengan sultan ini terjadi
pada bulan Agustus 1799 ketika Parkeler menghadiri acara pemakaman
Patih Danurejo I. Menurut perjanjian tahun 1743, Raja Mataram wajib
meminta pertimbangan VOC sebelum menunjuk seseorang menjadi patih.
Sultan HB II berusaha menghindari hal itu dengan alasan bahwa Kesultanan
Yogyakarta bukan Kerajaan Mataram dan Sultan berhak mengangkat patihnya
sendiri.
Parkeler bertindak hati-hati dan lebih banyak menggunakan jalur
diplomatik untuk mencegah ketegangan dengan Sultan. Melalui perundingan
dan pembicaraan yang dilakukan, akhirnya Parkeler berhasil membujuk
Sultan HB II untuk memperbaharui perjanjian itu. Pada bulan September
1799 Sultan HB II bersedia menandatangani perjanjian baru dengan
Parkeler yang memuat pengangkatan patih baru. Setelah perjanjian ini
disahkan, Sultan HB II mengangkat Tumenggung Mangkunegoro, cucu Patih
Danurejo I, yang bergelar Patih Danurejo II. Pada saat yang bersamaan
Sunan PB IV juga menandatangani perjanjian yang intinya menghindari
konflik terbuka ketika terjadi ketegangan dengan Kesultanan Yogyakarta
dan meminta VOC untuk menengahinya.
Meskipun terdapat perjanjian baru, sikap Sultan HB II kepada orang-orang
Belanda tidak berubah. Sultan HB II dengan tegas menolak intervensi
para pejabat Belanda di dalam kehidupan kraton Yogyakarta. Para pejabat
Republik Bataf yang berkunjung ke Yogyakarta, baik sebagai Gubernur
Pantai Timur Laut Jawa maupun sebagai residen Yogyakarta, mengeluhkan
sikap keras Sultan HB II yang tidak bisa diajak bekerjasama kepada
pemerintah pusat di Batavia. Akan tetapi kondisi perang di Eropa yang
semakin meluas ke perairan Asia telah mencegah para petinggi Belanda di
Batavia untuk terseret dalam konflik baru di dalam wilayah mereka yang
menguras tenaga dan biaya. Sementara itu kondisi keuangan Republik Bataf
yang sangat rawan akibat defisit anggaran dan besarnya hutang warisan
VOC juga mencegah para pejabat Belanda membuka konflik baru di Jawa.
Akibatnya para residen Belanda di Yogyakarta dan Surakarta serta
Gubernur Pantai Timur Laut Jawa berusaha keras dan bertindak hati-hati
untuk tidak memancing kemarahan Sultan HB II. Sejauh ini mereka hanya
bertugas mengawasi dan menjaga hubungan baiknya dengan Kesultanan
Yogyakarta.
Kondisi baru berubah setelah serah terima Gubernur Jenderal dari
Albertus henricus Wiese kepada Herman Willem Daendels pada tanggal 14
Januari 1808. Dalam upaya melakukan reorganisasi pemerintahan di Pantai
Timur Laut Jawa, ia membubarkan pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa dan
menurunkan pejabatnya yang waktu itu dijabat oleh Nicolaas Engelhard.
Langkah politik pertama Daendels khususnya terhadap raja-raja pribumi
ditunjukkan dengan tuntutannya bahwa semua raja pribumi di Jawa tunduk
kepada Raja Belanda, Louis Napoléon, yang berada di bawah perlindungan
Kaisar Napoléon Bonaparte. Oleh karena itu, raja-raja pribumi harus
menyatakan untuk tunduk, setia dan meminta perlindungan kepada raja
Belanda dan Kaisar Prancis.
Bertolak dari kebijakan ini, Daendels mengubah hubungan antara
pemerintah kolonial dan raja-raja Jawa sama seperti dengan raja Belanda,
karena pemerintah Belanda di Batavia mewakili raja Belanda. Oleh karena
itu, hubungan itu harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan status
mereka. Langkah yang diambil oleh Daendels untuk mewujudkan maksud ini
adalah dengan mengeluarkan peraturan baru. Daendels mengeluarkan dua
peraturan penting, pertama adalah menghapuskan jabatan residen di
masing-masing kerajaan Jawa dan menggantikannya dengan pejabat baru,
yaitu minister. Berbeda dengan residen yang merupakan pegawai pemerintah
kolonial,minister adalah utusan dari Raja Belanda di Batavia yang
mewakili kepentingan penguasa Belanda di kraton-kraton Jawa. Dengan
demikian minister memiliki kekuasaan penuh sebagai pemegang mandat dan
wakil dari Gubernur Jenderal di Batavia.
Yang kedua, berkaitan dengan perubahan pertama, adalah dikeluarkannya
peraturan baru oleh Daendels tentang tata upacara penyambutan minister
di setiap kraton Jawa. Karena statusnya sebagai wakil penguasa
Eropa,minister harus diperlakukan sejajar dengan raja Jawa dalam hal
status dan kedudukannya. Minister berhak memakai simbol-simbol
kekuasaan serta kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di
dalam kraton. Ministerjuga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi
Jawa yang merendahkan martabatnya seperti melepas topi, bersila dan
duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan sirih dan tuak kepada
raja Jawa. Daendels memerintahkan agar segera menggantikan peraturan
tata upacara lama dengan yang baru di kraton Jawa.
Di Kesunanan Surakarta, Sunan PB IV segera menyanggupi untuk
melaksanakannya. Sebaliknya di Kraton Yogya, peraturan baru yang
hakekatnya mirip dengan tuntutan van Overstraten tahun 1792 itu ditolak
oleh Sultan HB II. Pieter Engelhard, Minister pertama di Yogyakarta,
tetap diperlakukan seperti residen Belanda sebelumnya. Ketika Pieter
Engelhard menuntut agar peraturan itu dilaksanakan, Sultan HB II tidak
bersedia menemuinya. Engelhard melaporkan hal ini kepada Daendels pada
kesempatan kunjungan Daendels ke Semarang.
Setelah mendengar laporan Engelhard tentang sikap Sultan HB II, Daendels
bermaksud untuk datang sendiri ke Yogya dengan maksud memaksa Sultan HB
II untuk melaksanakannya. Ketika Sultan HB II mendengar berita bahwa
Daendels bermaksud datang ke Yogyakarta dengan membawa sejumlah besar
pasukan, Patih Danurejo II diperintahkan untuk menemuinya dan
menyampaikan bahwa Sultan bersedia menerapkan aturan itu. Pertemuan
Daendels dan Danurejo II berlangsung di Kemloko. Ketika mendengar
laporan Danurejo II, Daendels membatalkan maksudnya untuk berkunjung ke
Yogyakarta dan kembali ke Batavia melalui Surakarta.
Persoalan kedua yang menimbulkan ketegangan antara Daendels dan Sultan
HB II adalah tuntutan Daendels untuk pengambilalihan hak pengelolaan
hutan dan penyerahan monopoli penebangan kayu milik raja-raja Jawa.
Daendels menghendaki agar monopoli penebangan kayu dikuasai oleh
pemerintah mengingat persediaan kayu di hutan-hutan pemerintah tidak
lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur
pertahanan Jawa. Bagi Kesunanan Surakarta yang tidak memiliki banyak
hutan, tuntutan itu bukan merupakan masalah. Sebaliknya, bagi Kesultanan
Yogyakarta hal ini menjadi masalah besar, mengingat kayu menjadi salah
satu sumber pendapatan utama kraton Yogyakarta.
Wilayah hutan Yogyakarta terletak di Monconegoro wetan, yaitu daerah
Madiun sampai ke Mojokerto (dahulu bernama Japan). Wilayah ini
diperintah oleh menantu Sultan HB II yang sekaligus menjadi panglima
pasukan Kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo Prawirodirjo. Ketika Ronggo
mendengar tuntutan Daendels, ia mengusulkan kepada Sultan HB II agar
menolak tuntutan itu. Ronggo siap menjamin keselamatan Sultan dan
Kesultanan apabila Daendels marah terhadap penolakan tersebut. Ronggo
yang dianggap sering mengganggu penduduk di Delanggu (perbatasan Kraton
Surakarta dan Yogyakarta) dianggap sebagai pemberontak oleh Daendels.
Oleh karena itu, ia mendesak sultan untuk segera menyerahkan Ronggo
kepada Daendels pada bulan November 1810.
Ronggo yang merasa memperoleh dukungan dari kraton Yogyakarta, khususnya
dari kalangan kerabat kraton (Pangeran Notokusumo, Tumenggung
Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat) menolak menyerahkan diri.
Akibat tekanan yang terus menerus, akhirnya HB II bersedia memenuhi
tuntutan Daendels untuk mengirim Ronggo, Notokusumo dan Notodiningrat ke
Batavia. Di tengah perjalanan, Ronggo memisahkan diri dengan rombongan
untuk kembali memberontak. Ronggo kembali ke Madiun dengan membakar
desa-desa wilayah Kesunanan Surakarta.
Ketika pada akhir November 1810 Daendels mendengar berita kembalinya
Ronggo ke Madiun, ia memerintahkan agar pasukan gabungan dibentuk di
bawah Letnan Paulus dengan tujuan menangkap Ronggo hidup atau mati.
Melalui Pieter Engelhard (Minister Yogyakarta), Daendels mendesak Sultan
HB II agar ikut mengirim pasukan. Sultan HB II kemudian mengirim
pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Purwodipuro. Pasukan dari
Yogyakarta mulai berangkat ke Madiun pada awal Desember 1810. Pasukan
gabungan Belanda, Kesultanan, Kesunanan dan Legiun Prangwedanan ini
berhasil merebut pusat pertahanan Ronggo di Maospati pada tanggal 5
Desember 1810. Ronggo yang terdesak mundur bersama sisa pasukannya
melarikan diri ke Kertosono. Setelah dilakukan pengepungan oleh Letnan
Paulus, akhirnya Ronggo berhasil ditembak mati pada tanggal 19 Desember
1810 dan jenazahnya dibawa ke Yogyakarta. 20 Atas perintah Daendels,
jenazah Ronggo dipamerkan di alun-alun Yogyakarta sebagai peringatan
bagi setiap orang yang menentang perintahnya.
Setelah Ronggo terbunuh, Daendels melihat bahwa pemerintah kolonial
telah mengalami kerugian yang besar akibat dari pemberontakan yang
dilakukan oleh ronggo, dan curiga keterlibatan Sultan HB II dalam
peristiwa tersebut. Oleh karena itu, Daendels memutuskan untuk berangkat
ke Yogyakarta dengan membawa 3.300 tentara. Pasukan sejumlah itu dibawa
oleh Daendels untuk memaksa sultan agar bersedia melakukan perubahan di
Kraton sekaligus menurunkan Sultan HB II dan mengangkat putranya
menjadi sultan.
Berita kekalahan Ronggo baru diterima oleh Sultan tanggal 26 Desember
1810. Kematian Ronggo dilaporkan kepada Gubernur Jenderal yang saat itu
sudah sampai di Kemloko yang jaraknya beberapa kilometer dari
Yogyakarta. Dari Kemloko Daendels membalas surat HB II yang intinya
sultan tidak perlu merasa takut karena ia hanya membawa 3.200 tentara
yang digunakan untuk melindungi sultan dari musuh-musuhnya. Dalam surat
itu juga dijelaskan bahwa 15 hingga 16 ribu tentara telah disiapkan
untuk menuju ke Yogyakarta.
Pada tanggal 28 Desember sultan membalas surat Daendels yang intinya
sultan bersedia menjalankan nasehat persahabatan Daendels. Setelah
sampai di Yogyakarta, Daendels mengadakan pembicaraan dengan para
pangeran kraton Yogyakarta yang intinya meminta dukungan untuk
menurunkan Sultan HB II dari tahtanya dan menggantikannya dengan putra
mahkota RM Surojo.
Pada tanggal 31 Desember 1810 Sultan HB II turun tahta. Ia tetap
diizinkan tetap tinggal di kraton Yogyakarta. Putra mahkota diharuskan
untuk menandatangani beberapa perjanjian dan kontrak politik baru. Dalam
kontrak itu disebutkan bahwa penguasa penyambutanMinister, membayar
biaya pengiriman pasukan, menyerahkan hak monopoli kayu dan pertukaran
beberapa daerah Kesultanan dengan wilayah pemerintah. Selain itu,
Daendels juga menuntut agar Pangeran Notokusumo dan Tumenggung
Notodiningrat diserahkan kepadanya. Kedua orang ini kemudian dibawa oleh
Daendels sebagai tawanan perang dan dimaksudkan akan dihukum mati.
Untuk sementara keduanya ditawan di Cirebon di bawah pengawasan Residen
Waterloo.
Perjanjian baru yang dibuat pada bulan Januari 1811 ini tidak sempat
dilaksanakan, mengingat pada bulan Mei 1811 Daendels digantikan oleh Jan
Willem Janssens. Janssens memusatkan perhatian pada pertahanan Jawa
dari serangan Inggris. Meskipun dibantu oleh pasukan dari raja-raja
Jawa, pertahanan Janssens tidak mampu menghadapi serbuan Inggris yang
mendaratkan pasukannya pada tanggal 4 Agustus 1811. Setelah bertahan
sekitar satu setengah bulan, Janssens menyerah pada tanggal 18 September
1811 di Tuntang. Sejak itu Jawa berada di bawah penguasaan kolonial
Inggris dengan Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur jenderal.
Pergantian rezim kolonial yang berlangsung cepat ini diketahui oleh
Sultan HB II yang juga disebut Sultan Sepuh, yang masih tinggal di
kraton Yogyakarta. Dengan dukungan menantunya yang lain, Tumenggung
Sumodiningrat, panglima pasukan kraton, Sultan Sepuh mengambil alih
kembali tahtanya dan menurunkan status putra mahkota menjadi pangeran
kembali yang tidak memiliki kekuasaan sama sekali. Langkah berikutnya
setelah ini adalah menyingkirkan orang-orang yang dianggap membahayakan
kedudukannya. Patih Danurejo II, yang juga menantunya, diperintahkan
untuk dibunuh karena dianggap menjadi kaki-tangan Daendels di dalam
kraton. Begitu juga Minister P. Engelhard akan dibunuhnya melalui cara
diracun, tetapi Engelhard yang menyadari situasi ini telah melarikan
diri ke Kedu dan lolos dari usaha pembunuhan.
Pada awal Oktober 1811 utusan Raffles, Mayor Robison tiba di kraton
Yogyakarta. Dalam pertemuan dengan Sultan HB II, Robison menyatakan
bahwa kondisi lama tetap berlaku. Ini berarti semua perjanjian yang
telah dibuat dengan Daendels tetap dipertahankan. Sultan HB II
mengajukan tuntutan kepada Robison agar dirinya diakui sebagai raja
Yogyakarta dan wilayah yang telah dirampas oleh Daendels dikembalikan
kepadanya. Robison bisa menerima tuntutan pengakuan sebagai raja tetapi
tidak berhak memutuskan pengembalian wilayah itu dan harus menunggu
kedatangan Raffles. Ini merupakan awal kekecewaan Sultan HB II terhadap
pemerintah Inggris.
Raffles yang tiba di Yogyakarta pada awal Januari 1812 bersama Pangeran
Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat yang telah dibebaskan oleh
tentara Inggris, untuk bertemu dengan Sultan HB II di rumah Residen
Yogyakarta, John Crawfurd. Dalam pertemuan pertama ini terjadi insiden
kecil ketika tempat duduk Raffles di kraton Yogya dibuat lebih rendah
daripada Sultan HB II. Setelah insiden berhasil diatasi, Raffles
menjelaskan bahwa Sultan HB II tetap berkuasa di Yogyakarta tetapi
wilayah dan hak-hak monopoli yang telah diserahkan kepada rezim kolonial
sebelumnya seperti pemborongan pajak pantai, kayu dan hutan tidak bisa
dikembalikan kepada Sultan HB II. Sebaliknya Raffles meminta agar Sultan
HB II tetap menjaga keselamatan putra mahkota, Pangeran Notokusumo dan
Tumenggung Notodiningrat.
HB II tidak puas dengan hasil pertemuannya dengan Raffles. Bahkan Sultan
HB II semakin kecewa terhadap pemerintah Inggris. Hal ini diketahui
oleh Sunan PB IV yang juga mengharapkan kembalinya wilayah Kesunanan
akibat rampasan oleh Daendels. Secara diam-diam Sunan PB IV mengutus
Tumenggung Ronowijoyo untuk menghadap Sultan HB II dengan membawa surat.
Dalam surat itu Sunan PB IV mengusulkan kerjasama untuk melawan Inggris
dan bila berhasil akan membagi dua wilayah yang telah dirampas oleh
orang-orang Eropa. Sultan HB II menyetujui hal itu dengan mengirimkan
Tumenggung Sumodiningrat. Kesepakatan kemudian tercapai di Klaten pada
awal Mei 1812 antara Ronowijoyo dan Sumodiningrat.
Akan tetapi tanpa sepengetahuan Sultan HB II, Sunan PB IV mengutus Patih
Cokronegoro untuk menemui putra mahkota Yogya. Dalam pertemuan yang
juga dihadiri oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat ini,
Cokronegoro menyampaikan bahwa Sunan PB IV menghendaki putra mahkota
Surojo naik tahta dan bersedia membantunya. Untuk itu, Sunan menawarkan
kerjasamanya bangkit melawan Inggris dan ketika orang-orang Inggris
berhasil diusir dari Jawa, wilayah Jawa akan dibagi dua antara Surakarta
dan Yogyakarta.
Rencana konspirasi ini tercium oleh John Crawfurd yang segera
mengirimkan berita itu kepada Raffles. Setelah menerima berita dari
Crawfurd, Raffles memerintahkan Mayor Jenderal Gillespie untuk berangkat
ke Yogya dan menyerbu kraton Yogyakarta. Pada tanggal 20 Juni 1812
pasukan Inggris yang dibantu Legiun Mangkunegaran berhasil menduduki
kraton Yogyakarta. Setelah pendudukan dan penjarahan isi kraton, Raffles
memerintahkan penangkapan Sultan HB II. Atas perintah Raffles, Sultan
HB II dibawa ke Batavia dan selanjutnya menunggu pengadilan di sana.
Menurut keputusan pengadilan Inggris, Sultan HB II dijatuhi hukuman
pembuangan ke Pulau Penang. Pada tanggal 16 Juli 1812. Ia disertai oleh
putranya Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertosono berangkat
menuju Penang.
Di pulau Penang, Sultan HB II dan keluarganya ditempatkan di bawah
pengawasan Residen Inggris Mayor Farquhar. Tempat penahanan mereka
berada di benteng Fort Cornwallis dan untuk biaya hidupnya, pemerintah
Inggris membebankannya pada Kesultanan Yogyakarta. Selama masa
penahanannya, sejumlah pengikut Sultan HB II di kraton Yogyakarta
menunjukkan reaksi yang bisa mengancam keamanan dan ketertiban. Tokoh
yang memberikan reaksi atas pembuangan ini adalah Tumenggung
Mangkuwijoyo. Mangkuwijoyo adalah putra Mangkudiningrat yang menjadi
menantu Sultan HB III. Bersama-sama saudaranya, Mangkuwijoyo menyusun
rencana untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Inggris.
Rencana Mangkuwijoyo ini terdengar oleh Sultan HB III (Sultan Rojo) yang
kemudian membujuknya agar Mangkuwijoyo mengurungkan niatnya. Menurut
nasehat Sultan HB III kepadanya, Mangkuwijoyo akan disiapkan
menggantikan kedudukan ayahnya, Pangeran Mangkudiningrat. Oleh karena
itu, ia disarankan untuk membatalkan niatnya untuk pemberontakannya.
Setelah mendengar nasehat Sultan HB III, Mangkuwijoyo bersedia
menggagalkan rencana pemberontakan itu dan kembali hidup tenang di
Yogyakarta.
Pada awal tahun 1815 di Eropa diadakan kongres Wina. Kongres ini
dihadiri oleh semua wakil negara Eropa yang terlibat dalam peperangan
Napoleon, termasuk Prancis. Salah satu keputusan kongres itu adalah
pemulihan wilayah seperti kondisi sebelum tahun 1795. Dengan adanya
kesepakatan ini, Inggris wajib mengembalikan Jawa kepada Belanda.
Sebagai konsekuensi keputusan Kongres Wina, pada bulan April 1815,
Raffles menerima berita ini dan ia mulai bersiap-siap meninggalkan Jawa.
Agar tidak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah Inggris, Raffles
memutuskan untuk mengembalikan semua tawanan termasuk Sultan HB II. Atas
instruksinya, Mayor W.P. Kree komandan Fort Cornwallis mengirim kembali
Sultan HB II ke Batavia pada tanggal 10 April 1815.
Berita kembalinya Sultan HB II ke Jawa ini terdengar sampai ke
Yogyakarta. Beberapa bangsawan Yogyakarta termasuk Raden Brontokusumo
akan berangkat ke Batavia untuk menyambutnya. Pada awal Mei 1815 kapal
Naulitius yang membawa Sultan HB II tiba di pelabuhan Batavia.
Brontokusumo bertemu dengan Sultan HB II dan mengadukan nasibnya sebagai
wedono yang dipecat oleh Sultan HB III. Atas perintah Raffles yang
marah kepada Brontokusumo, Brontokusumo ditangkap tetapi kemudian
dibebaskan atas permohonan Sultan HB II.
Sejak itu, setiap hari para bangsawan Yogyakarta datang untuk menemui
Sultan HB II. Raffles tidak lagi mau berpikir tentang itu mengingat pada
bulan tersebut ia harus meninggalkan Jawa dan kembali ke India.
Penggantinya John Fendall juga lebih memikirkan penyerahan Jawa kepada
Belanda. Oleh karena itu, agar tidak muncul masalah baru, Fendall
memerintahkan penahanan Sultan HB II di Batavia sampai penyerahan
wilayah Jawa kepada Belanda.
Pada tanggal 9 Agustus 1816, setelah pembicaraan awal selama dua minggu,
serah terima kekuasaan dari Inggris kepada Belanda berlangsung.
Komisaris Jenderal Belanda yang menjadi penguasa baru memutuskan untuk
membuang kembali Sultan HB II dari Jawa agar tidak mengganggu keamanan
dan ketertiban politik di Jawa. Pada 10 Januari 1817 Komisaris Jenderal
memutuskan mengasingkan Sultan HB II ke Ambon. Sultan HB II berangkat
bersama rombongannya pada awal Pebruari 1817 dengan kapal Naulitius ke
Ambon. Rombongan itu tiba di Ambon pada akhir Maret 1817, HB II langsung
dibawa ke Fort Victoria. Atas keputusan Residen van der Wijck, sultan
dan keluarganya menempati perumahan yang sudah disiapkan di Batu Merah,
dekat Fort Victoria.
Sebulan kemudian di Ambon terjadi pemberontakan Saparua. Meskipun
pemberontakan berhasil ditumpas, ada tanda-tanda keterlibatan Pangeran
Mangkudiningrat dalam pemberontakan tersebut. Ketika dilakukan
pemeriksaan pada akhir Mei 1817, tidak terbukti bahwa Mangkudiningrat
ikut terlibat. Namun peristiwa lain menimbulkan kecurigaan Belanda
ketika Mangkudiningrat menyatakan dirinya sebagai ratu adil dan mulai
mengumpulkan orang-orang setempat untuk diberitahu tentang ilmu
kesaktian yang dimilikinya. Kendati tidak menimbulkan kerusuhan, Belanda
tetap mengawasi Mangkudiningrat sampai kematiannya bulan Maret 1824.
Sementara itu di Kesultanan Yogyakarta, sejak tahun 1815 terjadi
sejumlah pergantian kekuasaan. Sultan HB III mendadak wafat dan
digantikan oleh putranya, Sultan HB IV yang memerintah sampai tahun
1821. Mangkatnya Sultan HB IV secara tiba-tiba mengakibatkan kekosongan
tahta. Mengingat Sultan HB V (RM. Menol) masih berumur 2 tahun,
pemerintahan sementara dipegang oleh para wali.
Krisis politik yang diakibatkan oleh konflik kepentingan baik di antara
para wali Sultan maupun antara mereka dan Belanda diperparah dengan
eksploitasi ekonomi kolonial di Kesultanan Yogyakarta. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pengunduran diri para wali pada awal Maret
1824. Residen Smissaert kemudian mengusulkan pengangkatan wali baru
kepada Gubernur Jenderal van der Capellen. Calon yang diusulkan adalah
Tumenggung Mertosono yang ikut dalam pembuangan ke Ambon. Van der
Capellen menyetujui dan pada tanggal 17 Maret 1824 Mertosono dibawa dari
Ambon ke Yogyakarta.
Ketika Mertosono berangkat menuju Yogyakarta, Sultan HB II mendesak
kepada Gubernur Maluku P. Merkus diperkenankan ikut pulang ke Jawa.
Meskipun pada mulanya van der Capellen menolak, seminggu kemudian Sultan
HB II diizinkan kembali ke Jawa tetapi tidak diperkenankan tinggal di
Yogyakarta mengingat kondisi politik memanas saat itu. Atas izin van der
Capellen, Sultan HB II diangkut dengan kapal Mastoza dan tiba di
Surabaya pada bulan Juli 1824. Setibanya di pelabuhan Surabaya, Residen
Surabaya menyambutnya dan segera membawa Sultan HB II ke sebuah rumah
tahanan yang telah disiapkan di kampung Cina. Sultan HB II diizinkan
tinggal di sana dengan wajib lapor selama dua kali seminggu ke kantor
residen di Surabaya.
Kondisi Kesultanan Yogyakarta semakin tidak menentu, yang memuncak
dengan meletusnya Perang Diponegoro tanggal 21 Juli 1825. Minggu-minggu
pertama peperangan menunjukkan kelemahan kekuatan Belanda di Jawa di
bawah Jenderal M. De Kock.
Laskar-laskar yang tergabung dalam pasukan Diponegoro berhasil meraih
sejumlah kemenangan di berbagai medan pertempuran. Korban yang jatuh
tidak hanya terdiri atas orang-orang Eropa tetapi juga bangsawan pribumi
yang bersekutu dengan Belanda. Salah satunya adalah Tumenggung
Mertosono yang menjadi wali Sultan. Mertosono yang bergelar Pangeran
Murdaningrat, terbunuh dalam pertempuran di Nglengkong bulan September
1826. Hal ini mengkhawatirkan de Kock dan ia memutuskan untuk
menyelesaikan pemberontakan ini secara politis dan bukan secara
militer.
Atas saran Residen Yogyakarta, Nahuys van Burgst, de Kock harus
memulihkan kepercayaan di kraton Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa banyak bangsawan Yogyakarta yang ikut bergabung dengan
Diponegoro dan wibawa kraton merosot setelah terbunuhnya para wali
Sultan HB V. Mengingat tidak ada lagi yang layak diangkat menjadi wali,
kekuasaan Sultan HB V tidak mungkin dipertahankan. Nahuys menyarankan
agar Sultan HB II dikembalikan di atas tahta. Tujuannya adalah
mengangkat penguasa yang sah agar memerintah Yogyakarta sekaligus
menggunakan pengaruhnya untuk mengajak para bangsawan pemberontak
kembali ke kraton Yogyakarta karena keseganan mereka terhadap Sultan
Sepuh.
Usul Nahuys disetujui De Kock, yang kemudian membicarakannya dengan Van
der Capellen. Meskipun ada beberapa pejabat Belanda yang tidak setuju
dan van der Capellen digantikan oleh Du Bus, pengembalian Sultan HB II
dari Surabaya tetap berlangsung. Du Bus memutuskan agar Sultan HB II
dilantik kembali sebelum dipulangkan ke Yogyakarta. Pelantikan akan
diadakan di istana Gubernur Jenderal Belanda di Buitenzorg. Pada tanggal
11 Agustus 1826 Sultan HB II dan rombongan meninggalkan Surabaya dan
berangkat ke Buitenzorg. Pada tanggal 18 Agustus 1826, Sultan HB II
memasuki istana Buitenzorg dan oleh Du Bus dikukuhkan kembali sebagai
penguasa Yogyakarta.
Setelah upacara berlangsung, Du Bus memerintahkan De Kock membentuk
komisi yang akan membantu penataan kembali pemerintahan di Yogyakarta.
Bersama komisi ini pada tanggal 10 September 1826 Sultan HB II
meninggalkan Buitenzorg menuju ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 September
1826 rombongan Sultan HB II memasuki kraton Yogyakarta dan diumumkan
bahwa sejak itu Sultan HB II memegang pemerintahan kembali.
Berita kembalinya Sultan HB II kemudian disebarluaskan oleh Nahuys agar
terdengar oleh para bangsawan yang memberontak. Harapan Nahuys dan para
pejabat Belanda lainnya adalah agar pengaruh Sultan HB II masih bisa
digunakan untuk menarik kembali para bangsawan ke kraton.
Hal ini ternyata terasa pengaruhnya. Pada bulan November 1826 Pangeran
Mangkudiningrat (Mangkuwijoyo) mendengar kabar bahwa kakeknya telah
kembali ke kraton. Mangkudiningrat yang bergerilya di daerah Kedu
kemudian menyerahkan diri kepada Residen F.G. Valck dan komandan militer
setempat Kolonel Cleerens bahwa ia akan kembali ke Yogyakarta.
Alasannya bahwa Mangkudiningrat hanya mengakui kakeknya sebagai raja
yang sah di kraton. Pada tanggal 11 Desember 1826 Mangkudiningrat secara
resmi kembali ke kraton dan meninggalkan Diponegoro.
Kini Sultan Sepuh menuntut janji pemerintah Belanda yang akan memberikan
tunjangan f 100.000 per tahun kepadanya. Residen Belanda van Sevenhoven
menolak mengabulkan permintaan itu dan menyerahkannya kepada De Kock.
Untuk menenangkan Sultan HB II, de Kock memindahkan van Sevenhoven dan
menggantinya dengan van Lawicks van Pabst. Pada bulan Maret 1827
pengaruh Sultan HB II kembali terasa di antara para pemberontak.
Meskipun Pangeran Mangkubumi tetap menolak menyerah, putra-putrinya
menyatakan dirinya bersedia kembali ke kraton. Ini diikuti dengan
penyerahan Pangeran Notoningrat tanggal 29 Maret 1827, Pangeran
Notoprojo dan Pangeran Sumowijoyo pada bulan Juni 1827. Para pangeran
ini menyatakan kesetiaannya kepada Sultan HB II dan bersedia
menghentikan perlawanan. Atas desakan Sultan HB II, para pangeran yang
menyerah ini tidak dihukum oleh de Kock tetapi sebaliknya menerima
penghargaan berupa pemberian tanah apanage.
Sejak Oktober 1827 kondisi fisik Sultan HB II yang berusia 77 tahun
semakin merosot. Beban batin yang ditimbulkan oleh posisinya sebagai
seorang raja Yogyakarta dan harus berhadapan dengan anak dan cucunya
sendiri semakin memperparah penyakitnya. Akhirnya setelah mengalami
radang tenggorokan, pada tanggal 2 Januari 1828 Sultan HB II wafat. Dua
hari kemudian jenazahnya dimakamkan di pemakaman raja-raja di Imogiri.
Karya-Karya Sultan HB II
Di samping kebijakan politiknya yang kontroversial, Sultan HB II juga
melakukan pembangunan Kesultanan Yogyakarta. Langkah pembangunan yang
dilakukannya juga menimbulkan kecemasan di kalangan para penguasa
kolonial. Mereka khawatir bahwa tindakan Sultan ini akan membahayakan
keamanan dan ketertiban. Hal ini cukup beralasan karena pada masa
pemerintahannya, Sultan HB II membangun infrastruktur pertahanan yang
memperkuat Kesultanan Yogyakarta.
Bidang kemiliteran menjadi perhatian utama dari Sultan HB II. Motivasi
yang mendasari adalah bahwa Kesultanan Yogyakarta harus kuat untuk bisa
menolak intervensi dan ancaman dari luar. Sejumlah korps prajurit baru
dibentuk atas perintah Sultan HB II. Begitu juga perlengkapan dan
persenjataan modern seperti senapan dibagikan kepada setiap kesatuan
dalam korps itu. Sejumlah jabatan penting yang langsung terkait dengan
kemiliteran seperti panglima pasukan Kesultanan maupun pimpinan pasukan
pengawal kraton diisi oleh kerabatnya yang terpercaya seperti Ronggo,
Notodiningrat dan Sumodiningrat. Begitu juga pembangunan infrastruktur
seperti memperkuat tembok-tembok benteng dan penambahan jumlah meriam
yang dipasang di depan kraton. Kekuatan militer ini menjadi andalan dan
pendukung kebijakan Sultan HB II yang ditujukan untuk menentang tekanan
dan ancaman rezim kolonial.
Jiwa ksatria dan keberanian serta kekerasan hati juga tampak dalam
sejumlah karya seni. Di bidang seni tari, Sultan HB II memerintahkan
penggubahan wayang orang dengan cerita Jayapusaka. Dalam kisah itu
disampaikan bahwa Bima meninggalkan Amarta dan memerintah kerajaan lain
dengan nama Jayapusaka setelah melihat kondisi Amarta kacau. Ini
melambangkan bahwa Bima sebagai seorang ksatria tempur memerintah untuk
kesejahteraan rakyat. Kisah ini dimaksudkan untuk mencerminkan identitas
dirinya. Sifat serupa juga tampak dalam instruksinya untuk membuat
berbagai bentuk wayang kulit dengan wanda (watak) perang.
Karya sastra juga menjadi salah satu bidang yang diperhatikan oleh
Sultan HB II. Beberapa karya yang disusun di bawah perintahnya memuat
unsur-unsur heroik dan kepahlawanan seperti Babad Nitik Ngayogyakarta
dan Babad Mangkubumi. Keduanya merupakan karya sastra sejarah yang
mengisahkan riwayat perjuangan ayahnya Pangeran Mangkubumi hingga
menjadi raja di Yogyakarta dan diteruskan sampai wafatnya. Beberapa
karya sastra lain dengan cerita fiksi seperti Serat Suryorojo dan Serat
Baron Sekondar menunjukkan kisah-kisah peperangan raja-raja Jawa melawan
raja seberang yang dimenangkan oleh raja Jawa. Ini menunjukkan sindiran
pada kondisi yang ada maupun penonjolan diri serta penegasan diri atas
status dan posisinya.
Penutup
Dari uraian tersebut bisa diketahui bahwa Sultan HB II adalah seorang
raja yang tegas dan tidak mau menyerah kepada tekanan asing. Sebagai
seorang raja Jawa, Sultan HB II merasa wajib menjunjung tinggi dan
membela kewibawaan kekuasaan Jawa yang terwujud dalam tradisi. Ketika
tradisi Jawa yang menjadi idealismenya terancam oleh tindakan penguasa
asing, Sultan HB II tidak segan melawannya meskipun musuhnya jauh lebih
kuat.
Hal ini jelas terlihat pada saat Sultan HB II menolak permintaan van
Overstraten tentang kedudukan utusan Belanda yang akan disamakan dengan
raja Jawa. Begitu juga dengan tuntutan Daendels untuk mengubah tata
aturan penyambutan Minister yang merendahkan martabat seorang raja Jawa,
Sultan HB II dengan tegas menolaknya. Bahkan, selama masa
pemerintahannya, Sultan HB II tidak pernah mau menerapkan aturan baru
Daendels ini. Ketentuan tersebut baru berhasil dilaksanakan setelah
Sultan HB II turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya.
Pada masa pemerintahan Inggris, Sultan HB II tampil sebagai seorang raja
Jawa yang berani menghadapi Raffles bersama pasukannya meskipun harus
mengorbankan dirinya dan kratonnya. Ketika untuk kedua kalinya
diturunkan tahta pada tahun 1812 dan dibuang ke luar Jawa, Sultan HB II
tidak pernah menyatakan bersedia menyerah kepada penguasa kolonial.
Begitu juga ketika dirinya dibuang ke Ambon oleh pemerintah kolonial
pada tahun 1817, Sultan HB II tidak bersedia menyerah. Keinginannya
kembali adalah agar ia dapat dimakamkan berdekatan dengan ayahnya di
Imogiri. Ketika Belanda memerlukannya untuk kembali naik tahta pada
tahun 1826 dengan harapan menggunakan pengaruhnya untuk menyelesaikan
perang Diponegoro, Sultan HB II tetap menolak membujuk Diponegoro agar
menghentikan perlawanan atau menyerah kepada Belanda. Sebaliknya,
pengaruh Sultan HB II di antara para pangeran pengikut Diponegoro tampak
besar, yang terbukti dengan adanya penyerahan sejumlah bangsawan Yogya
yang kembali ke kraton dan menghentikan perlawanannya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Sultan HB II adalah sosok raja Jawa
yang pantang menyerah dan taat pada ajaran tradisi Jawa. Dirinya tetap
menjadi raja yang disegani dan dihormati sebagai seorang raja yang
mempertahankan tradisi dan kekuasaan Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar