Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang
memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini
terletak di Muara Kaman Kalimantan Timur. Tepatnya di hulu sungai
Mahakam.
Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat
ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut.
Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan
memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara
pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang
menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah
Kerajaan Kutai.
Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat
oleh para brahman atas kedermawanan raja Mulawarman. Dalam agama hindu
sapi tidak disembelih seperti kurban yang dilakukan umat islam. Dari
salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan
Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000
ekor sapi kepada kaum brahmana. Dapat diketahui bahwa prasasti diatas
adalah sebagai berikut:
śrīmatah śrī-narendrasya; kuṇḍuṅgasya mahātmanaḥ; putro śvavarmmo
vikhyātah; vaṅśakarttā yathāṅśumān; tasya putrā mahātmānaḥ; trayas traya
ivāgnayaḥ; teṣān trayāṇām pravaraḥ; tapo-bala-damānvitaḥ; śrī
mūlavarmmā rājendro; yaṣṭvā bahusuvarṇnakam; tasya yajñasya yūpo ‘yam;
dvijendrais samprakalpitaḥ.
Artinya:
Sang Mahārāja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur,
Sang Aśwawarmman namanya, yang seperti Angśuman (dewa Matahari)
menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aśwawarmman mempunyai putra
tiga, seperti api (yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu
ialah Sang Mūlawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa.
Sang Mūlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan)
emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu
ini didirikan oleh para brahmana.
Aswawarman
Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri
dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya
pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah
satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat
Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena
kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang
mendengar namanya.
Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman
dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila
dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan
Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum
menganut agama Hindu.
Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma
Setiatewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji
Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai
Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu
ibukota di Kutai Lama (Tanjung Kute).
Kutai Kartanegara inilah, pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra
JawaNegarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan
Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya
bergelar Pangeranberubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad
Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
Raja-raja Kutai
Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)
Maharaja Marawijaya Warman
Maharaja Gajayana Warman
Maharaja Tungga Warman
Maharaja Jayanaga Warman
Maharaja Nalasinga Warman
Maharaja Nala Parana Tungga
Maharaja Gadingga Warman Dewa
Maharaja Indra Warman Dewa
Maharaja Sangga Warman Dewa
Maharaja Candrawarman
Maharaja Sri Langka Dewa
Maharaja Guna Parana Dewa
Maharaja Wijaya Warman
Maharaja Sri Aji Dewa
Maharaja Mulia Putera
Maharaja Nala Pandita
Maharaja Indra Paruta Dewa
Maharaja Dharma Setia
Kesultanan Kutai
Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara
ing Martadipura (Martapura) merupakankesultanan bercorak Islam yang
berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama
dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001kembali eksis di
Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai
Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutaiditandai dengan dinobatkannya sang
pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya
Adiningratmenjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar
H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang
bernamaTepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah
KecamatanAnggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung
Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan
Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu
daerah taklukan di negara bagian PulauTanjungnagara oleh Patih Gajah
Mada dariMajapahit.
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji
Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau
disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atauKerajaan Kutai Martapura
atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai
Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai
Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan
tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang
Paranganditerima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat
itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun,
sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad
Idris(1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang
menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti
menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin(1663), negeri Kutai merupakan
salah satutanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada
Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14
hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun
1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC
dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk
menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636,
Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena
Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk
menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh
Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622)
Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazalKesultanan Demak (penerus
Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak
lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638
(sebelum perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjamPasir
serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai
tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum
Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut
terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan
perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang
Sultan Mahmud yaitu RajaTallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan
Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.
Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan
Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC
Belanda berjanji membantu SultanTamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk
menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai
berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756. karena VOC bermaksud menyatukan
daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai
di bawah pengaruh La Maddukelleng (rajaWajo) yang anti VOC. Pangeran
Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya -
Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut tahta tetapi mengalami
kegagalan.
Pada 13 Agustus 1787, Sultan BanjarSunan Nata Alam membuat perjanjian
dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat
VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada
abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak
sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian
besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan
Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan
bentengTabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat.
Kemudian wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda
kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di
Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan
kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya
kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan
Sultan Banjar. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia
Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari1817
antara Sultan Sulaiman dari Banjardengan Hindia Belanda diwakili Residen
Aernout van Boekholzt. Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri
Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak
Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823antara Sultan Sulaiman
dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar. Negeri
Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia
Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah
dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di
Banjarmasin pada tanggal 4 Mei1826
Pemindahan ibukota kerajaan
La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris
merupakan raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan
sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang berada
dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu
dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo,Sulawesi Selatan
untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan
Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan
Perwalian.
Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga.
Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji
Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil
kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai
Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad
Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari
Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis
dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut
dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji
Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan
diMangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasatembargo yang ketat oleh Mangkujenang
terhadap Pemarangan. Armada bajak lautSulu terlibat dalam perlawanan
ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan.
Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan
dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji
Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado
dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan
ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara keTepian Pandan pada tanggal 28
September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh
kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah
kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga
Arungyang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer
dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.
Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji
Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Serangan kapal Inggris
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray
asalInggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk
berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak
eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairanMahakam. Namun Sultan
A.M. Salehuddinmengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah
Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah
beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam
ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun
tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan
diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari
pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara yang tewas
tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris.
Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai,
namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian
dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya
dibawah komando t'Hooftdengan membawa persenjataan yang lengkap.
Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai.
Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglimaperang
kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama
pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk
mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur
dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai
Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus
menandatanganiperjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan
Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah
Hindia Belanda diKalimantan yang diwakili oleh seorangResiden yang
berkedudukan diBanjarmasin.
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang
pertama di pantai timur Kalimantan. Menurut Staatsblad van Nederlandisch
Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam
zuid-ooster-afdeeling berdasarkanBêsluit van den Minister van Staat,
Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8
Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaimanmemegang tampuk kepemimpinan
Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853,
pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwagersebagai Assisten Residen
di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomimasih berada dalam
genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk
Kesultanan Kutai 100.000 jiwa. Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk
sebagai bagian dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo. Pada
tahun1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian
dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai
Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Pembukaan tambang batubara pertama
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu
Panggaloleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga
meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai.
Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat
Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu.
Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada
Sultan Sulaiman.
Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat.
Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda
dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai
Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau
wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget
masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran
Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini
juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak
setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini
dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak
diangkat menjadi Sultan Kutai. dalam beberapa media juga di sebutkan
bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya
telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari
berbagai pihak.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat
sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada
tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap
melalui surplusyang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai
telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat
fantastis untuk masa itu.
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan
kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun,
istana tersebut selesai dibangun.
Kedatangan Jepang
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai
harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan
gelar kehormatanKoo dengan nama kerajaan Kooti.
Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai
Kartanegara dengan status DaerahSwapraja masuk ke dalam Federasi
Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti
Bulungan,Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasirdengan membentuk Dewan
Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik
Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadiDaerah Istimewa Kutai yang
merupakandaerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU
Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan
Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai
dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukotaTenggarong
Kotapraja Balikpapan dengan ibukotaBalikpapan
Kotapraja Samarinda dengan ibukotaSamarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda,
A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan
atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan
mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra
tersebut, yakni:
A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari1960 bertempat di Balairung
Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah
Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan
dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit
kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai,
Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota
Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan
Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat
biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar