Kesultanan Ngayogjokarto Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan
sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan
masih mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya.
Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi
yang kemudian bergelar Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ing Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kholifatulloh (Sri
Sultan Hamengkubuwono I ) pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda
mengakui Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat sebagai kerajaan dengan
hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak
politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad
1941, No. 47.
Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan
Ngayogjokarto Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :
Sri Sultan Hamengkubuwono I
Beliau (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24
Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus Raja pertama
Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 – 1792
Nama aslinya adalah Raden Mas Sudjono yang setelah dewasa bergelar
Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan
Kertasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6
Agustus 1717.
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang
menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwono II (kakak
Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan
pihak VOC unggul, PakubuwonoII pun berubah pikiran.
Pada tahun 1742 istana Kertasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwono
II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan
tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cokroningrat dari Madura.
Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan
Pakubuwono II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati.
Pakubuwono II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah
untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi
dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia
dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya
membatalkan perjanjian sayembara.
Datang pula Baron Van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin
memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwono II supaya menyewakan daerah
pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton
terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah
pertengkaran di mana Baron Van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746
dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai
ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu
Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.
Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik
dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati.
Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya
V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih
sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya
bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran
Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang
memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan
mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan beliau berputera
Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini
menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan
putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri
bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.
SEJARAH SINGKAT PERANG MANGKUBUMEN:
Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwono II yang didukung VOC disebut
para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747
diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit. Perang
ini dikenal dengan “Perang Tahta Jawa Ketiga”
Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya
pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwono II
sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan
kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta
tanggal 11 Desember.
Sementara itu Mangkubumi telah diangkat oleh Rakyat sebagai Raja
bergelar Pakubuwono III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC
mengangkat putra Pakubuwono II sebagai Pakubuwono III tanggal 15. Dengan
demikian terdapat dua orang Pakubuwono III. Yang satu disebut Susuhunan
Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena
bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.
Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai
Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang
dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.
Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi
perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal
atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak pendapat dan pemungutan
suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh
tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan
kepada Mangkubumi. Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan
Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan kekuatan bersenjata untuk
mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan. Raden
Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam
kekuatan bersenjata. Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat
telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said. Akibat kekalahan yang telak
Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga
dengan Pakubuwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.
Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhirnya
diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang
menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah
Syaikh Ibrahim, seorang Ulama dari Turki. Perudingan-perundingan dengan
Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara
langsung pada bulan September 1754.
Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan
setengah wilayah kerajaan Pakubuwono III, sedangkan ia merelakan daerah
pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real
dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk
Pakubuwono III.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah
Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Ingkang Sinuwun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrohman Sayidin
Panotogomo Kholifatulloh (Hamengkubuwono I). Wilayah kerajaan yang
dipimpin Pakubuwono III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwono I mendapat
setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian
persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan
Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan
pemberontak kelompok Raden Mas Said.
Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Pakubuwono III adalah permulaan
menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia
membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden
Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan
tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan
pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap
dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua.
Pakubuwono III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar
Sultan Hamengkubuwono I menjadi raja di Yogyakarta. Mangkubumi sekarang
sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat
untuk memerintah belum dimilikinya. Untuk mendirikan Keraton/Istana
Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa
tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwono I memutuskan untuk membuka Hutan
Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya .
Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama
Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari
Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan
yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarto
Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwono I pindah dari Kebanaran
menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu
kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh
Hamengkubuwono I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan
Yogyakarta.
Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha
ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali.
Surakarta memang dipimpin Pakubuwono III yang lemah namun mendapat
perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwono I sulit diwujudkan,
apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak
senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan
kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.
Pada tahun 1788 Pakubuwono IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh
lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwono IV sebagai penguasa memiliki
kesamaan dengan Hamengkubuwono I. Pakubuwono IV juga ingin mengembalikan
keutuhan Mataram. Dalam langkah politiknya Pakubuwono IV mengabaikan
Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal
yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwono I. Setelah
pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Pakubuwono IV juga tidak
mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah
menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa
menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.
Pakubuwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan
tidak mau mencabut nama “Mangkubumi” untuk saudaranya. Memang dalam
Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan
Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini dapat
dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.
Sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat
penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan
VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh
lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said)
kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan
dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwono IV di Surakarta
karena Pakubuwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat
khawatir VOC. Pakubuwono IV akhirnya menyerah untuk membiarkan
penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja
sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat
spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial
pemberontakan kembali.
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri
Pakubuwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali
Mataram namun gagal. Pakubuwono IV yang merupakan waris dari Pakubuwono
III lahir untuk menggantikan ayahnya.
Hamengkubuwono I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya
sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwono
II.
Hamengkubuwono I adalah peletak dasar-dasar kesultanan Yogyakarta. Ia
dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung.
Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah
berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar
daripada jumlah tentara VOC di Jawa.
Hamengkubuwono I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam
strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya
arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton
Yogyakarta. Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang
terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan
nama Jawa Demang Tegis.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti
ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah
mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng
di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi
pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda
sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi
adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di jawa (sejak 1619 –
1799).
Rasa benci Hamengkubuwono I terhadap penjajah asing ini kemudian
diwariskan kepada Hamengkubowono II, Raja selanjutnya. Maka, tidaklah
berlebihan jika pemerintah Repuplik Indonesia menetapkan Sultan
Hamengkubuwono I sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2006
beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengkubuwono II
Nama aslinya adalah Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwono I, Ia
dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 saat ayahnya masih menjadi Pangeran
Mangkubumi dan melakukan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC di
bumi Sukowati. Ketika kedaulatan Hamengkubuwono I mendapat pengakuan
dalam Perjanjian Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui sebagai
Adipati Anom.
Pada tahun 1774 (atau tahun jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan
Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad,
bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas
Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos
akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di
bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan
sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.
Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwono II pada bulan
Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat
senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan
dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan
cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru
merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berbeda dengan
rajanya.
Hamengkubuwono II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan
mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok.
Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir
tahun 1799.
Sejak tahun 1808 yang menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda (pengganti
Gubernur Jendral VOC adalah Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia
menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja
jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen). Hamengkubuwono II
menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan
derajatnya, sedangkan Pakubuwono IV menerima dengan taktik tersembunyi,
yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan
Yogyakarta.
Hamengkubuwono II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat
dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran
Notodiningrat putra Pangeran Noto Kusumo (saudara Hamengkubuwono II).
Kemudian Hamengkubuwono II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu
Raden Ronggo Prawirodirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan
Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati
Toenggoel menikah dengan puteri Hamengkubuwono II dari isteri ampeyannya
BMA Yati. Raden Ronggo Prawirodirjo I adalah juga paman Hamengkubuwono
II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya adalah adik KPR
Prawirodirjo bapak mereka adalah Kyai Ageng Derpoyudo.
Belanda berhasil menumpas Raden Ronggo Prawirodirjo dan melimpahkan
beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwono II.
Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember
1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II,
dan menggantinya dengan Hamengkubuwono III, menangkap Pangeran Noto
Kusumo dan Pangeran Notodiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih
Danureja II.
Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut
oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwono II untuk kembali
menjadi Raja, dan menurunkan Hamengkubuwono III sebagai Putera Mahkota
kembali.
Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap
Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu
letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember
1811.
Pakubuwono IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwono II agar
berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua Raja ini
terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang
dibantu Mangkunegara menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwono II dibuang ke
Pulau Penang, sedangkan Pakubuwono IV dirampas sebagian wilayahnya.
Hamengkubuwono III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran
Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai
Adipati Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.
Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra
Hamengkubuwono III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun
1816). Saat itu Raja yang bertakhta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwono
V.
Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat.
Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan
mendatangkan Hamengkubuwono II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwono
II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwono V diturunkan
oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja
menganggap Pangeran Diponegoro sebagai Raja mereka.
Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh)
akhirnya meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan
kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwono V.
Sri Sultan Hamengkubuwono III
Beliau (lahir di Yogyakarta, 20 Februari 1769 – meninggal di Yogyakarta,
3 November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta
yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 –
1814.
Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwono II yang lahir
pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan
tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari
permusuhan antara Hamengkubuwono II melawan Herman Daendels.
Hamengkubuwono II diturunkan secara paksa dari takhta. Herman Daendels
kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III
berpangkat regent, atau wakil Raja. Ia juga menangkap dan menahan
Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwono II di Cirebon.
Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwono II untuk naik takhta
kembali dan menurunkan Hamengkubuwono III sebagai Putra Mahkota.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.
Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwono II melawan Thomas
Raffless, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi
di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwono
II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwono III sebagai
raja.
Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:
Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang
dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real
setiap tahunnya.
Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.
Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo
yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.
Pemerintahan Hamengkubuwono III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu
tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak
sebagai Hamengkubuwono IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari
selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap
Belanda pada tahun 1825 – 1830.
Sri Sultan Hamengkubuwono IV
Beliau (lahir 3 April 1804 – meninggal 6 Desember 1822 pada umur 18
tahun) adalah Raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1814
– 1822.
Nama aslinya adalah Raden Mas Ibnu Jarot, putra Hamengkubuwono III yang
lahir dari permaisuri tanggal 3 April 1804. Ia naik takhta menggantikan
ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih
sangat muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.
Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih Danurejo IV semakin
merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan
penting di Keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada
Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk
swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.
Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali
Raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua
tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1822
saat sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat
gelar anumerta Sultan Seda ing Pesiyar.
Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan
desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra
Mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai
Hamengkubuwono V.
Sri Sultan Hamengkubuwono V
Beliau lahir: 24 Januari 1820 – meninggal tahun 1855 adalah sultan
kelima Kesultanan Yogyakarta, yang berkuasa tanggal 19 Desember 1823 –
17 Agustus 1826, dan kemudian dari 17 Januari 1828 – 5 Juni 1855 yang
diselingi oleh pemerintahan Hamengkubuwono II karena ketidakstabilan
politik dalam Kesultanan Yogyakarta saat itu.
Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwono V adalah Raden Mas Gathot Menol,
putra Hamengkubuwono IV yang lahir pada tanggal 24 Januari 1820. Sewaktu
dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat
Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia
Belanda. Melihat tahun pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang
lahirnya adalah tahun 1820 maka Sultan Hamengkubuwono V waktu permulaan
bertahta berumur 3 (dua) tahun.
Hamengkubuwono V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan
pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk
melakukan taktik perang pasif, dimana ia menginginkan perlawanan tanpa
pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwono V mengharapkan dengan
dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada
kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda,
sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Kebijakan Hamengkubuwono V tersebut ditanggapi dengan tentangan oleh
beberapa abdi dalem dan adik Sultan Hamengkubuwono V sendiri, yaitu
Raden Mas Mustojo (nantinya Hamengkubuwono VI). Mereka menganggap
tindakan Sultan Hamengkubuwono V adalah tindakan yang mempermalukan
Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan
Hamengkubuwono V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk
menggantikan Sultan dengan Raden Mas Mustojo Keadaan semakin
menguntungkan Raden Mas Mustojo setelah ia berhasil mempersunting putri
Kesultanan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan Kesultanan
Brunai.
Kekuasaan Sultan Hamengkubuwono V semakin terpojok setelah timbul
konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan istri ke-5 Sultan
sendiri, Kanjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwono V hanya
mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman
dan tenteram selama masa pemerintahannya.
Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam sebuah peristiwa
yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan wereng
saketi tresno (“wafat oleh yang dicinta”), Sri Sultan meninggal setelah
ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, yang sampai
sekarang tidak diketahui apa penyebab istrinya berani membunuh Sri
Sultan suaminya.
Tidak lama setelah Sultan Hamengkubuwono V meninggal, tiga bulan
kemudian Permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono V pun meninggal setelah
jatuh sakit semenjak suaminya meninggal dan sultan digantikan oleh
adiknya Raden Mas Mustojo.
Sri Sultan Hamengkubuwono VI
Beliau lahir: 1821– wafat: 29 Juli 1877) adalah Sultan ke-enam
Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1855 – 1877. Dia
menggantikan kakaknya, Hamengkubuono V yang meninggal di tengah
ketidakstabilan politik dalam tubuh Keraton Yogyakarta.
Nama asli Sultan Hamengkubuwono VI adalah Raden Mas Mustojo, putra Hamengkubuono IV yang lahir pada tahun 1821.
Hamengkubuwono VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu Hamengkubuono
V pada tahun 1855, setelah Hamengkubuwono V meninggal secara
misterius.Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan
Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo
Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Enem“.
Pada masa pemerintahannya terjadi gempa bumi yang besar yang meruntuhkan
sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Tugu Golong Gilig,
Masjid Gedhe (masjid keraton), Lodji Kecil (sekarang Istana Kepresidenan
Gedung Agung Yogyakarta) serta beberapa bangunan lainnya di Kesultanan
Yogyakarta.
Pada masa Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo adalah seorang penentang
keras kebijakan politik perang pasif kakaknya yang menjalankan hubungan
dekat dengan pemerintahan Hindia belanda yang ada di bawah Kerajaan
Belanda. Namun setelah kakaknya meninggal dan dia dinobatkan menjadi
Hamengkubuwono VI, semasa pemerintahannya dia justru melanjutkan
kebijakan dari kakaknya yang sebelumnya dia tentang keras.
Semasa pemerintahan Hamengkubuwono VI kemudian mulai timbul
pemberontakan-pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono VI, namun pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat
diredam dan dibersihkan. Hal ini berkat kepemimpinan dan ketangguhan
Danuredjo V, patih Keraton Yogyakarta saat itu. Hubungan dengan berbagai
kerajaan pun terjalin kuat pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VI,
apalagi setelah dia menikah dengan putri Kesultanan Brunai.
Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa dengan kerajaan-kerajaan
lain, tercatat bahwa Sultan Hamengkubuwono VI dapat mengatasinya dengan
arif bijaksana. Tapi lambat laun hubungan dengan pemerintahan
Hindia-Belanda agak mulai menuai konflik tertama karena Keraton
Yogyakarta kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan
yang menjadi musuh pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda.
Pemerintahan Hamengkubuwono VI berakhir ketika ia meninggal dunia pada
tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putranya sebagai Sultan selanjutnya
bergelar Hamengkubuwono VII.
Sri Sultan Hamengkubuwono VII
Beliau lahir tahun 1839 – meninggal tahun 1931 adalah Raja Kesultanan
Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877– 1920. Ia dikenal juga dengan
sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.
Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang
lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya
sejak tahun 1877.Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng
Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin
Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Pitu“.
Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula
di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian
pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp
200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering
dijuluki Sultan Sugih.
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di
Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim
putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81
tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat Putra Mahkota
sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan
keabsahannya karena Putera Mahkota (GRM. Akhodiyat, putra Hamengkubuwno
VII nomor 14) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan
sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak
setuju dengan Putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal
selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian takhta Raja kepada Putera mahkota ialah
menunggu sampai sang Raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini
berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat
Hamengkubuwono VII masih hidup. Bahkan menurut cerita masa lalu sang
ayah diasingkan oleh anaknya pengganti Putera Mahkota yang wafat ke
Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar Keraton Yogyakarta.
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang
di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara
politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan Kerajaan. Setelah
turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak pernah ada
raja yang meninggal di keraton setelah saya” yang artinya masih
dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua Raja setelah dirinya yang
meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di
tengah perjalanan ke luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di
Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika
seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di
Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan
di Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada
Belanda untuk madeg Pandito (menjadi Guru Spiritual dan Ulama) di
Pesanggrahan Ngambarrukmo (sekarang Ambarrukmo). Sampai saat ini bekas
pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri
Hotel Ambarrukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi. ( Tapi sekarang
sudah beroperasi lagi).
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII
Beliau lahir di Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 3 Maret 1880 – meninggal
di Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 22 Oktober 1939 pada umur 59 tahun
adalah salah seorang Raja yang pernah memimpin di Kesultanan Yogyakarta
tahun 1921-1939 ia bernama asli GRM Sujadi.
Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8 Februari 1921.
Dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku
Buwono Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo
Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Wolu“.
Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak
dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai
sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak
disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda.
Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar
Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di universitas Leiden.
Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi
bangunan kompleks Keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal
Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan
Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah
tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe.
Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di kereta api di daerah
Wates, Kulon Progo dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput
GRM Dorojatun dari negeri Belanda. GRM Dorojatun mendadak dipanggil
pulang yang belum sempat menyelesaikan sekolahnya. Di Batavia Sultan
menyerahkan Keris Kyai Ageng Joko Piturun kepada GRM Dorojatun sebagai
tanda suksesi Kerajaan, sekaligus sebagai isyarat bahwa GRM Dorojatun
lah yang kelak akan menggantikan sebagai Sultan.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Beliau lahir di Yogyakarta, 12 April 1912 – meninggal di Wasington, DC,
Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun. Beliau adalah salah
seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta
(1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah
kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden
Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai
Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir
Nasional Gerakan Pramuka.
Beliau Lahir di Yogyakarta dengan nama Bendoro Raden Mas Darodjatun di
Ngasem, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono
VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal
pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di “HIS” di
Yogyakarta, “Mulo” di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an
beliau berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden),
Belanda (“Sultan Henkie”).
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada
tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalogo Abdurrohman Sayidin
Panotogomo Kholifatulloh ingkang Jumeneng Kaping Songo“.
Beliau merupakan Sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong
Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI
memberi status “Khusus” bagi Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”.
Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara
alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam
mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman
romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram.
Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang
menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang
Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai
Belanda dalam Agresi Militer Belanda I.
Peranan Sultan Hamengku Buwono IX dalam Serangan umum 1 Maret oleh TNI
masih tidak singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, beliaulah
yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan
umum. Sedangkan menurut Pak Harto, beliau baru bertemu Sultan malah
setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari
istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai Republik yang tidak
mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet
yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah
ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat
sebagai Wakil Presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978,
beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan
alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan
sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang
represif seperti pada Peristiwa malari dan hanyut pada KKN.
Beliau ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938
Minggu malam 2 Oktober 1988, Beliau wafat di George Wasington
university Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman
para Sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta,
Indonesia.
Sultan Hamengkubuwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat
di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama
antara 1940-1988.
JABATAN
Kepala dan Gubernur Militer DI Yogyakarta (1945)
Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 – 11 November 1947 dan 11 November 1947 – 28 Januari 1948)
Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustvs 1949)
Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)
Ketua Dewan Kurator universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
Ketua Sidang ke 4 EAFE (Economic Commision for Asia and the Far East)
dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan
(1957)
Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 Maret 1966)
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi Pahlawan Nasional
Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Soekarnoputri.
Sri Sultan Hamengkubuwono X
Beliau lahir di Yogyakarta, 2 April 1946, umur 69 tahun) adalah Raja
Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1989 dan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta sejak tahun 1998.
Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM (Bandoro Raden Mas) Herdjuno
Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo)
Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA
(Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) Hamengku Negoro Sudibyo
Rojoputro Nalendro ing Mataram. Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah
seorang lulusan Fakultas Hukum UGM.
Penobatan Hamengkubuwono X sebagai Raja dilaksanakan pada tanggal 7
Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem
ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati-ing-Ngalogo
Abdurrohman Sayidin Panotogomo Khalifatulloh ingkang Jumeneng Kaping
Sadoso.
Hamengkubuwono X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang
berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD
Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam
bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan
Juli 1966 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY. Pada 2010,
bersama dengan Surya Paloh, Sri Sultan Hamengkubuwono X mencetuskan
pendirian Nasional Demokrat.
Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998
beliau ditetapkan sebagai Gubernur DI Yogyakarta dengan masa jabatan
1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwono X tidak didampingi
Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi
beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur DI Yogyakarta untuk masa jabatan
2003-2008. Kali ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.
Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi
pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter
yang menewaskan lebih dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang
lainnya.
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7
April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah
periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam Pisowanan Agung yang
dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah
Nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk
kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia.
Pada 27 Desember 2011, ia menerima gelar doktor kehormatan (doctor
honoris causa) dari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Gelar
tersebut karena kiprahnya dalam seni dan budaya, terutama seni
pertunjukan tradisi dan kontemporer sejak 1989.
Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat
itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk
jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu
sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu,
masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam
membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener
atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”,
ujuarnya.
Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998,
ketika gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan
mengatakan, “Saya siap turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan
berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil
berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai,
tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu
bukan tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk
mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani
sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh)”, katanya.
Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X
dan Sri Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat
Yogyakarta”, yang mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang
dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat
kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron
sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam
jumlah sangat banyak).
“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung
gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari
setelah banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta
manusia di Alun-alun Utara Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai
dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar (ringin kurung)—Soeharto
pun lengser.
Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal.
Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat
terhadapnya, telah menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat
saja, misalnya, pada 20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan
berani melepas mahasiswa ke alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap
hari mahasiswa bersitegang melawan aparat keamanan untuk keluar dari
kampus.
Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998
itu, mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti
reformasi menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan
maklumat yang akan dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri
Sultan.
Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan
Hamengku Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi
mereka berempat sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan
melebihi legitimasi yang dimiliki lembaga formal seperti DPR. Mereka
berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR sedang
melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan
beberapa tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk
ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di
Ambon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar