Kraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa
bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini
konon adalah bekas sebuah pesanggrahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah
raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di
Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata
air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum
menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di
Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti
yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan
Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul
(Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan).
Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang
berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain,
Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan
pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai
filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk
itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang
arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier
Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek"
dari saudara Pakubuwono II Surakarta" Bangunan pokok dan desain dasar
tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua
Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di
tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana
yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan
restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta
tahun 1921-1939).
Tata ruang
Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura
Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian
utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura
Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid
Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil
Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks
Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks
Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun
Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut
Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh
dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton
menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap
ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap
timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah
yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga
memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks
Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks
Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar
kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya
terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan
Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait
dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem
Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
Arsitektur umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi
dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan
kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain
dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan
Regol.yang biasanya bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu
jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya
terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol
tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur
Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari
budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap
kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan
konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal
sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu
ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang
disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan
bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap,
genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap
tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang
berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang
bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen
berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk
bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada
dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur
Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah,
Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen
berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding
pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau
dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir.
Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi. Pada
bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo
Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk
kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan
yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki
detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas
dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana
bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas
bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau
keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
Kompleks Pagelaran
Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama
Tratag Rambat pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa
kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering
digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping
untuk upacara adat keraton. SepasangBangsal Pemandengan terletak di sisi
jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan
oleh Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap
timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan
menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada dia
kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba. Sekarang
digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang
menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal
Pengrawit yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag
Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem.
Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan
Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan
oleh Universitas Gadjah Mada sebelum dipindahkan ke kampus di Bulak
Sumur.
Siti Hinggil Ler
Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks
Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan
upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949
digunakan peresmian Universitas Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih
tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di
sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami
deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus;
familiPapilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua
Bangsal Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan
Singonegoro. Sampai sekitar tahun 1926. Pacikeran barasal dari kata
ciker yang berarti tangan yang putus. Bangunan Tarub Agung terletak
tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi
dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya
masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung
terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan
abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun
pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak di tengah-tengah Siti Hinggil di
bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag
Sitihinggil. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk di atas
singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan
Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949
Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat.
Bangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama
bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi.
Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau
pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan.
Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman
dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur
Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat
Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK
Suro Angun-angun.
Kamandhungan Lor
Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah
timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan
terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo, sebagai penghubung Siti
Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat sisi selatan
gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara
resmi kerajaan dan pada hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup.
Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton
sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat kompleks
ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen
dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya
ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae).
Bangsal Ponconiti yang berada di tengah-tengah halaman merupakan
bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812) bangsal
ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati dengan
Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan
digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga
kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg
dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk
menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale
Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan
lainnya di tempat ini.
Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan
Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat
terdapat hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal
Sri Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima
tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa
pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga
difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para
pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain
mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan. Tempat ini
digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka yang antara lain berupa
tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006 akibat
gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses
restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010
bangunan ini telah berdiri lagi di tempatnya.
Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB
II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah
timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi
Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan
Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan
lainnya.
Kedhaton
Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang
menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat
sepasang arca raksasaDwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah
timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos
penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang
kerajaan, Praja Cihna.
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya
kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili
Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian
halaman (quarter). Bagian pertama adalahPelataran Kedhaton dan merupakan
bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputrenyang merupakan bagian
istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir
adalahKesatriyan, merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini
tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari
bangsal Kencono ke arah barat.
Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang
menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini
dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk
upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal
Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat
bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke
selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana
secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal
Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia)
lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The
Yellow House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence)
Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu
dan tiangnya dipergunakan sampaiSultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat
yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi.
Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen. Di sebelah
timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di
dalam keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB
V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal
Kencana di sebelah selatannya.
Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah
timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi
kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka
kerajaan pada bulan Suro. Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal
Kotak. Bangsal Mandalasana. Gedhong Patehan. Gedhong Danartapura.
Gedhong Siliran. Gedhong Sarangbaya. Gedhong Gangsa. Dan lain
sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong
Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat
yang memiliki tempat khusus untuk beribadat pada zamannya tinggal para
puteri raja yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup
sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya
digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah.
Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan
Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai
tempat penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan
Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.
Kamagangan
Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang
menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini
begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung
dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta.
Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang
yang menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai
(abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para
abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman
besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan
wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton.
Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur
dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut
mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut
tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini
digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara
Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing
merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan
kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian
pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari
yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman
Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan
oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman
Sari.
Kamandhungan Kidul
Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat
sebuah gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks
Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat
gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang
Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama
Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak
Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan
Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan
Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang
menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks
Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut
dengan Pamengkang.
Siti Hinggil Kidul
Arti dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti : tanah dan hinggil
: tinggi. Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana
Hinggil Dwi Abad terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas
kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan
tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah
di sekitarnya . Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan
kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap
hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang
kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi
Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk
menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih
upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan)
dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula
menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang
mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk
mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit,
pameran, dan sebagainya.
Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton
Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagaiPengkeran.
Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi
(belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang
memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh
tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan
serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura
utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna
memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon
mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp;
famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili
Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di
tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan
sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari
kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan
Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.
Plengkung Nirbaya
Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari
tempat ini Sultan HB I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan
pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang. Gerbang ini secara
tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman
Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi
tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.
Bagian lain Keraton
Pracimosono
Kompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang diperuntukkan bagi
para prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit
keraton tersebut mempersiapkan diri di tempat ini. Kompleks yang
tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat Pagelaran dan Siti
Hinggil Lor.
Roto Wijayan
Kompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan
memelihara kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi
istana. Sekarang kompleks Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di
kompleks ini masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu
digunakan sebagai kendaraan resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy Jimat,
KK Garuda Yaksa, dan Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi
oleh wisatawan.
Kawasan tertutup
Kompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut
kompleks Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan
berjalan-jalan. Kompleks ini tertutup untuk umum. Kompleks Panepen
merupakan sebuah masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga kerajaan
sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat Nenepi
(sejenis meditasi). Tempat ini juga dipergunakan sebagai tempat akad
nikah bagi keluarga Sultan. Lokasi ini tertutup untuk umum. Kompleks
Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII. Lokasi yang berada di
sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi Sultan HB X dan
keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.
Taman Sari Yogyakarta
Kolam Pemandian Umbul Binangun, Taman Sari, Kraton Yogyakarta
Kompleks Taman Sari merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari
(Fragrant Garden) berarti taman yang indah, yang pada zaman dahulu
merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di
kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan
Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi
Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa
bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah
tanah. Di masa lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat
sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah
tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang
merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila
sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh. Sekarang kompleks
Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.
Kadipaten
Kompleks nDalem Mangkubumen merupakan Istana Putra Mahkota atau dikenal
dengan nama Kadipaten (berasal dari gelar Putra Mahkota: "Pangeran
Adipati Anom". Tempat ini terletak di Kampung Kadipaten sebelah barat
laut Taman Sari dan Pasar Ngasem. Sekarang kompleks ini digunakan
sebagai kampus Univ Widya Mataram. Sebelum menempati nDalem Mangkubumen,
Istana Putra Mahkota berada di Sawojajar, sebelah selatan Gerbang
Lengkung/Plengkung Tarunasura(Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain
berupa Masjid Selo yang dulu berada di Sawojajar.
Benteng Baluwerti
Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta merupakan sebuah dinding yang
melingkungi kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Dinding ini
didirikan atas prakarsa Sultan HB II ketika masih menjadi putra mahkota
pada tahun 1785-1787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809
ketika dia telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki ketebalan
sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke dalam area
benteng tersedia lima buah pintu gerbang lengkung yang disebut dengan
Plengkung, dua diantaranya hingga kini masih dapat disaksikan. Sebagai
pertahanan di keempat sudutnya didirikan bastion, tiga diantaranya masih
dapat dilihat hingga kini.
Bagian lain yang terkait
Keraton Yogyakarta juga mempunyai bangunan-bangunan yang berada di luar
lingkungan Keraton itu sendiri. Bangunan-bangunan tersebut memiliki
kaitan yang erat dan boleh jadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Tugu Golong Gilig
Tugu golong gilig atau tugu pal putih (white pole) merupakan penanda
batas utara kota tua Yogyakarta. Semula bangunan ini berbentuk seperti
tongkat bulat (gilig) dengan sebuah bola (golong) diatasnya. Bangunan
ini mengingatkan pada Washington Monument di Washington DC. Pada tahun
1867 bangunan ini rusak (patah) karena gempa bumi yang juga merusakkan
situs Taman Sari. Pada masa pemerintahan Sultan HB VII bangunan ini
didirikan kembali. Namun sayangnya dengan bentuk berbeda seperti yang
dapat disaksikan sekarang (Januari 2008). Ketinggiannya pun dikurangi
dan hanya sepertiga tinggi bangunan aslinya. Lama-kelamaan nama tugu
golong gilig dan tugu pal putih semakin dilupakan seiring penyebutan
bangunan ini sebagai Tugu Yogyakarta.
Panggung Krapyak
Panggung krapyak dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda
cagar budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah
podium dari batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m.
Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8
jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam. Atap bangunan dibuat datar
dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk mencapainya tersedia
tangga dari kayu di bagian barat laut. Bangunan bertingkat ini disekat
menjadi 4 buah ruang. Dahulu tempat ini digunakan sebagai lokasi berburu
menjangan (rusa/kijang) oleh keluarga kerajaan. Berlokasi dekat Ponpes
Krapyak, konon tempat Gus Dur (presiden IV) pernah menimba ilmu,
bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua
Yogyakarta. Namun demikian, bangunan ini lebih mirip dengan gerbang
kemenangan, Triumph d’Arc. Kondisinya sempat memprihatinkan akibat gempa
bumi tahun 2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah renovasi bangunan
ini diberi pintu besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk kedalamnya.
Kepatihan
nDalem Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (Official residence)
sekaligus kantor Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya
diselenggarakan kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Sejak tahun
1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks
kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain Pendopo
Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong
Wilis (kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai
gedung pengadilan Bale Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan
Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum), dan Masjid Kepatihan.
Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro.
Pathok Negoro
Mesjid Pathok Negoro yang berjumlah empat buah menjadi penanda batas
wilayah ibukota. Lokasi masjid ini berada di Ploso Kuning (batas utara),
Mlangi (batas barat), Kauman Dongkelan (batas selatan), dan Babadan
(batas timur). Pendirian masjid ini juga memiliki tujuan sebagai pusat
penyiaran agama Islam selain masjid raya kerajaan. Kedudukan masjid ini
adalah setingkat dibawah masjid raya kerajaan. Ini dapat dilihat dari
kedudukan para imam besar/penghulu (jw=Kyai Pengulu) masjid ini menjadi
anggota Al-Mahkamah Al-Kabirah, badan peradilan Kesultanan Yogyakarta
dalam lingkungan peradilan agama Islam, dimana imam besar masjid raya
kerajaan (Kangjeng Kyai Pengulu) menjadi ketua mahkamah.
Bering Harjo
Pasar Bering Harjo merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan
Yogyakarta pada zamannya. Berlokasi di sisi timur jalan Jend. A Yani,
pasar Bering Harjo sampai saat ini menjadi salah satu pasar induk di
Yogyakarta. Sekarang pasar ini jauh berbeda dengan aslinya. Bangunannya
yang megah terdiri dari tiga lantai dan dibagi dalam dua sektor barat
dan timur yang dibatasi oleh jalan kecil. Namun demikian pasar yang
berada tepat di utara benteng Vredeburg ini tetap menjadi sebuah pasar
tradisional yang merakyat.
Warisan budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki
suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah
upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom).
Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak Wajik, Garebeg,
upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang
berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan
merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim
pihak asing.
Tumplak Wajik
Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang
terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan
pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya
dilakukan untuk membuat pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg
Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di lengkapi
dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari
sebelum garebeg juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat
penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara
selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.
Garebeg
Upacara Garebeg pada masa kolonial Hindia Belanda (kurun 1925-1942).
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun
kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud
(bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh
bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan
mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur
kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut
denganHajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden
Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden
Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali
pada saat Garebeg Mulud tahun Dal.
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung
sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari
sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan
cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering
lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh
dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang
terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan
runcing. Kedua gunungan ini ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkut
yang disebut Jodhang.
Gunungan pawohan terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam
keranjang dari daun kelapa muda (Janur) yang berwarna kuning. Gunungan
ini juga ditempatkan dalam jodhang dan ditutup dengan kain biru.
Gunungan gepak berbentuk seperti gunungan estri hanya saja permukaan
atasnya datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan estri
namun memiliki permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan terakhir
tidak ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang
berbentuk lingkaran. Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena
secara terus menerus mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari
kemenyan yang dibakar. Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh
masyarakat melainkan dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan
kepada kerabat kerajaan.
Pada Garebeg Sawal Sultan menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika
dua buah maka yang sebuah diperebutkan di Mesjid Gedhe dan sebuah
sisanya diberikan kepada kerabat Puro Paku Alaman. Pada garebeg Besar
Sultan mengeluarkan pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat
yang masing-masing berjumlah satu buah. Pada garebeg Mulud/Sekaten
Sultan memberi sedekah pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat
yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud
diselenggarakan pada tahun Dal, maka ditambah dengan satu pareden kakung
dan satu pareden kutug.
Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh
hari. Konon asal usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini
sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad.
Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam
agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat
Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk
ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama
tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat
gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian
menandai perayaan sekaten.
Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang dia tunjuk, melakukan
upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu
Sultan atau wakil dia masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian
maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya
pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten
Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfiah=telur merah)
merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula
sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae). Saat
ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar
malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang
sesungguhnya.
Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki
upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan.
Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka
membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang
dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama
adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis).
Upacara di lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh
keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan
Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta
kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB
I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan
secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang
mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian
ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah
lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di
tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di
lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan
prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat
yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu
benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan
(pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara
Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru
Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi
Rekso Harga atau yang lebih dikenal dengan Pak Asih putra Mbah Maridjan)
sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru
Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan
oleh masyarakat. tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga
kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan
Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta
kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB
I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan
secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang
mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian
ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah
lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di
tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di
lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan
prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat
yaitu Pantai Parang Kusumo dan LerengGunung Merapi. Di kedua tempat itu
benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan
(pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara
Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru
Kunci Gunung Merapi (sebagaimana pernah dijabat Mas Ngabehi Suraksa
Harga atau lebih dikenal dengan nama Mbah Marijan) sedangkan di Pantai
Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang
Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.
Pusaka kerajaan
Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem
(harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau
peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi awal. Kekuatan
dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya,
keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam
kejadian bersejarah.
Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata
ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti
penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan
dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya
Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan
keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan
pejabat/pegawai kerajaan/istana, Keraton memiliki peraturan mengenai hak
resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki
kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas tidak dapat dengan
mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu sendiri.
Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah
Kyai Permili, sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut
abdi-Dalem Manggung yang membawa Regalia. Selain nama pusaka tersebut
mempunyai gelar dan kedudukan tertentu, tergantung jauh atau dekatnya
hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi inventaris Sultan
(Sultan’s property) dalam jabatannya diberi gelar Kyai (K) jika bersifat
maskulin atau Nyai (Ny) jika bersifat feminin, misalnya K Danumaya
sebuah guci tembikar, yang konon berasal dari Palembang, yang berada di
Pemakaman Raja-raja di Imogiri.
Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun
dipinjamkan kepada orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan
gelar Kangjeng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai (KK) atau
Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai contoh adalah Kangjeng Nyai Jimat, sebuah
kereta kuda yang dipergunakan oleh Sultan HB I - Sultan HB IV sebagai
kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi
Indonesia 1 sebagai kendaran resmi Presiden Indonesia) dan merupakan
kereta terkeramat dari Keraton Yogyakarta.
Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya
memiliki kekuatan paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga
selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka
tersebut adalah KKA Pleret, sebuah tombak yang konon pernah digunakan
oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya Penangsang. Tombak ini kini
menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan
setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA
Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati.
Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
(1) Senjata tajam;
(2) Bendera dan Panji kebesaran;
(3) Perlengkapan Kebesaran;
(4) Alat-alat musik;
(5) Alat-alat transportasi;
(6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain;
(7) Perlengkapan sehari-hari; dan
(8) Lain-lain.
Pusaka dalam bentuk senjata tajam dapat berupa tombak (KK Gadatapan dan
KK Gadawedana, pendamping KKA Pleret); keris (KKA Kopek);Wedhung, (KK
Pengarab-arab, untuk eksekusi mati narapidana dengan pemenggalan kepala)
ataupun pedang (KK Mangunoneng, pedang yang digunakan untuk memenggal
seorang pemberontak, Tumenggung Mangunoneng).
Pusaka dalam bentuk bendera/panji misalnya KK Pujo dan KK Puji. Pusaka
yang digunakan sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set
regalia kerajaan yang disebut KK Upocoro dan satu set lambang kebesaran
Sultan yang disebut KK Ampilan serta perlengkapan baju kebesaran
(mahkota, sumping [hiasan telinga], baju kebesaran, akik [cicin dengan
mata dari batu mulia] dan lain sebagainya). Pusaka dalam kelompok
alat-alat musik dapat berupa set gamelan (misal KK Kancil Belik) maupun
alat musik tersendiri (misal cymbal KK Udan Arum dan KK Tundhung
Mungsuh).
Pusaka dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda
maupun yang lain (misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I, KK
Tandu Lawak, dan pelana kuda yang disebut KK Cekathak). Benda pusaka
dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah KK Suryaraja (buku matahari
raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB II semasa dia masih menjadi
putra mahkota, KK Alquran yang berupa manuskrip kitab suci Alquran, dan
KK Bharatayudha yang berupa ceritera wayang.
Pusaka dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah
periuk yang hanya digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg
Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan tahun sekali). Pusaka kelompok
lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu (misalnya KK Jayaningrum
[tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo [tokoh
Batara Guru]) maupun tembikar (misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong
(guci tembikar), yang konon berasal dari Aceh, yang juga terdapat di
pemakaman Imogiri) dan lain sebagainya.
Regalia
Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan Yogyakarta
dalam memimpin negara berikut rakyatnya.Regalia yang dimiliki oleh
terdiri dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang
kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan dan
maknanya sebagai berikut:
Banyak (berwujud angsa) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta ketajaman;
Dhalang (berwujud kijang) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
Sawung (berwujud ayam jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
Galing (berwujud burung merak jantan) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan;
Hardawalika (berwujud raja ular naga) menyimbolkan kekuatan;
Kutuk (berwujud kotak uang) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses (berwujud kotak
rokok), dan Kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan
proses membuat keputusan/kebijakan negara.
KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi
kenegaraan (state ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh
sekelompok gadis remaja yang disebut dengan abdi-Dalem Manggung.
Lambang kebesaran
KK Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda martabat
Sultan. Benda-benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana emas)
berikut Pancadan/Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka singgasana)
dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang di sebelah
kanan singgasana Sultan); Panah (anak panah); Gendhewa(busur panah);
Pedang; Tameng (perisai); Elar Badhak (kipas dari bulu merak); KK
Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan tangan); Sajadah (karpet/tikar
ibadah); Songsong (payung kebesaran); dan beberapa Tombak. KK Ampilan
ini selalu berada di sekitar Sultan saat upacara resmi kerajaan (royal
ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan KK Upocoro, pusaka KK Ampilan
dibawa oleh sekelompok ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah menopause
Gamelan
Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini
memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem
skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel
gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremara
dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki
nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah
gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima
belas sisanya berasal dari zaman Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan
tersebut adalahgamelan monggang yang bernama KK Guntur Laut, gamelan
kodhok ngorek yang bernama KK Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang
bernama KK Guntur Madu. Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya
dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.
Gamelan monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit.
Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan
sebuah ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem
skala slendro. Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara
kenegaraan yang sangat penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan
Sultan, mengiringi keberangkatan Sultan dari istana untuk menghadiri
upacara penting, perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25,
dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara
pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas
perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat penyambutan Sri
Sultan Hamengkubuwono I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti pada
tahun 1755.
KK Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal
dari zaman Majapahit. Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem
skala slendro. Gamelan ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari
Perjanjian Giyanti. Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu
dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan dan
pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan
dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan
untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Besar.
Gamelan sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara
Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. Konon
gamelan ini berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan
alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah kerajaan Mataram.
Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian
Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan
Surakarta. Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka
dibuatlah duplikatnya (jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga
yang dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah
bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang
(gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil
(dianggap mencerminkan Islam).
KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah
tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan.KK Surak
diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon (lagu-lagu tradisional Jawa),
tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang berpasangan
secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan
KK Harja Mulya(dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala
slendro) dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).
Kereta kuda pilihan
Pada zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi
masyarakat tak terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta
memiliki bermacam kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai dalam
acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi
oleh raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat
nopol Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil
presiden Indonesia). Kebanyakan kereta kuda adalah buatanEropa terutama
Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal
KK Jetayu).
KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB
IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
KK Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai HB X
(walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan
mobil). Kereta kuda buatan Den Haag tahun 1861 ini terakhir kali
digunakan pada tahun 1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem
(perarakan pemahkotaan raja). KK Wimono Putro adalah kereta yang
digunakan oleh Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu
merupakan kendaraan yang digunakan Sultan untuk menghadiri acara semi
resmi. KK Roto Praloyo merupakan kereta jenazah yang hanya digunakan
untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta ini baru digunakan dua kali
yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VIII dan HB IX.
K Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan,
sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara dan K Mondro Juwolo
kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro. Selain itu juga
terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K Kutho Kaharjo, K Puspo
Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower Surabaya, Landower Wisman, Kus
Gading, Kus nomor 10, dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut
memiliki kegunaan sendiri-sendiri.
Tanda jabatan
Beberapa pusaka, khususnya keris, juga digunakan sebagai penanda/simbol jabatan orang yang memakainya. Sebagai contoh adalah
Keris KKA Kopek. Keris utama Keraton Yogyakarta ini merupakan keris yang
hanya diperkenankan untuk dipakai Sultan yang sedang bertahta yang
melambangkan martabatnyanya sebagai pemimpin spiritual sebagaimana dia
menjadi kepala kerajaan. oleh Sultan sendiri.
Keris KK Joko Piturun merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan
kepada Pangeran Adipati Anom, Putra Mahkota Kerajaan, sebagai tanda
jabatannya.
Keris KK Toyatinaban merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada
Gusti Pangeran Harya Hangabehi, putra tertua Sultan, sebagai lambang
kedudukannya selaku Kepala Parentah Hageng Karaton (Lembaga Istana).
Keris KK Purboniyat merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada
Kangjeng Pangeran (h)Adipati (h)Aryo Danurejo, sebagai simbol jabatannya
sebagai Pepatih Dalem.
Keris KK Nogowelang merupakan keris seorang Senopati agung.
Pemangku adat Yogyakarta
Pada mulanya Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The
Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini
disebutParentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di
Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan
(Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta
disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah
Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di
nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi)
bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state)
menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950,
Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan
di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuahLembaga Pemangku Adat Jawa
khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi
pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton
Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat
Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta
juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada
mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta
disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi
mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) Keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta dengan
Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta
selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga
memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk
keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto
1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara
otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak
terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan
Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959;
UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa
dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga
Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut
yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang
menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X
Prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa
pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad 17. Tepatnya pada tahun
1755Masehi. Prajurit yang terdiri atas pasukan-pasukan infanteri dan
kavaleri tersebutsudah mempergunakan senjata-senjata api yang berupa
bedil dan meriam. Selamakurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta
terkenal cukup kuat, initerbukti ketika Hamengkubuwono II mengadakan
perlawanan bersenjatamenghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah
pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812.
Di dalam Babad menceritakan bahwa perlawanan dari pihak Hamengkubuwono
II hebat sekali. Namun semenjak masa PemerintahanHamengkubuwono III
kompeni Inggris membubarkan angkatan perangKasultanan Yogykarta. Dalam
perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatanganioleh Sultan Hamengkubuwono
III dan Raffles, dituliskan bahwa KesultananYogyakarta tidak dibenarkan
memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Dibawah pengawasan Pemerintahan
Kompeni Inggris, keraton hanya boleh memilikikesatuan-kesatuan
bersenjata yang lemah dengan pembatasan jumlah personil.Sehingga tidak
memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Maka sejak itu fungsi
kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan
penjaga keraton.Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa
pasukan- pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi
sehingga tidak mempunyai arti secara militer.
Menurut catatan yang ada, semasa pemerintahanHamengkubuwono VII sampai
dengan masa pemerintahan HamengkubuwonoVIII yaitu antara tahun 1877
sampai dengan 1939 ada 13 kesatuan prajurit kratonyang meliputi:
Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo,Jogokaryo,
Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro,Surokarso
dan Bugis.
Prajurit Bugis Prajurit Daeng Prajurit Jogokaryo Prajurit Ketanggung
Prajurit Mantrijero Prajurit Nyutro Prajurit Patangpuluh Prajurit
Prawirotomo Prajurit Surokarso Prajurit Wirobrojo
Prajurit Kraton Yogyakarta
Pada tahun 1942 semua kesatuan bersenjata keraton Yogyakartadibubarkan
oleh pemerintahan Jepang. Tetapi mulai tahun 1970 kegiatan para prajurit
keraton dihidupkan kembali. Dari ke tiga belas prajurit yang pernah ada
baru sepuluh kesatuan atau bergada yang direkonstruksi dengan beberapa
perubahan, baik dari pakaiannya, senjatanya maupun jumlah personil.
(lihat foto-foto yang ditampilkan). Kesepuluh kesatuan prajurit tersebut
yaitu: PrajuritWirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh,
Prajurit Jogokaryo, PrajuritMantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit
Ketanggung, Prajurit Nyutro, PrajuritSurokarso dan Prajurit Bugis.
Dewasa ini, kesepuluh kesatuan prajurit tersebutmasih dapat dilihat oleh
masyarakat umum paling tidak se tahun tiga kali, yaitu pada upacara
Garebeg Mulud, Garebeg Besar dan Garebeg Syawal, di alun-alunutara
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Filosofi dan mitologi seputar Keraton
Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan
Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta
di Kesultanan Yogyakarta. Karaton artinya tempat dimana "Ratu" (bahasa
Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam. Dalam kata
lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an/Ka-ratu-an)
merupakan tempat kediaman resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga
ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari
Ke-datu-an/Ka-datu-an) berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa
Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa, arti ini
mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.
Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna
filosofis yang terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu
istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang
begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan
dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton.
Penataan tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar landscape kota tua
Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah
hadap bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing
memiliki nilai filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu,
Keraton, dan Panggung Krapyak serta diapit oleh S. Winongo di sisi barat
dan S. Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi (dulu Margotomo), jalan
Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend. A. Yani (dulu Margomulyo)
merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu menuju Keraton. Jalan D.I.
Panjaitan (dulu Ngadinegaran) merupakan sebuah jalan yang lurus keluar
dari Keraton melalui Plengkung Nirboyo menuju Panggung Krapyak.
Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu, Keraton, dan Panggung
Krapyak berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir segaris
(hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna
"sangkan paraning dumadi" yaitu asal mula manusia dan tujuan asasi
terakhirnya.
Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan
"sangkan" asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa.
Ini dapat dilihat dari kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi
nama kampung Mijen (berasal dari kata "wiji" yang berarti benih). Di
sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam (Tamarindus indica)
dan tanjung (Mimusops elengi) yang melambangkan masa anak-anak menuju
remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan
"paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang
dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang
menuju surga (seven step to heaven).
Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua
menjadi simbol "manunggaling kawulo gusti" bersatunya antara raja
(golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi
mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk
(ciptaan). Sri Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang
Raja.
Pintu Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan
kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu".
Dua patung raksasa Dwarapala yang terdapat di samping gerbang, yang
satu, Balabuta, menggambarkan kejahatan dan yang lain, Cinkarabala,
menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan,
mana yang baik dan mana yang jahat".
Beberapa pohon yang ada di halaman kompleks keraton juga mengandung
makna tertentu. Pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) di
Alun-alun utara berjumlah 64 (atau 63) yang melambangkan usia Nabi
Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang
makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru,
jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan
antara Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambang persatuan
Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus
fagiferus; famili Papilionaceae)bermakna "ayem" (damai,tenang,bahagia)
maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (Manilkara kauki; famili
Sapotaceae) bermakna "sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan).
Dalam upacara garebeg, sebagian masyarakat mempercayai apabila mereka
mendapatkan bagian dari gunungan yang diperebutkan mereka akan mendapat
tuah tertentu seperti kesuburan tanah dan panen melimpah bagi para
petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian masyarakat mempercayai
jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati dimainkan/dibunyikan
akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan untuk membersihkan
pusaka pun juga dipercaya sebagian masyarakat memiliki tuah. Mereka
rela berdesak-desakan sekadar untuk memperoleh air keramat tersebut.
Benda-benda pusaka keraton juga dipercaya memiliki daya magis untuk
menolak bala/kejahatan. Konon bendera KK Tunggul Wulung, sebuah bendera
yang konon berasal dari kain penutup kabah di Makkah (kiswah), dipercaya
dapat menghilangkan wabah penyakit yang pernah menjangkiti masyarakat
Yogyakarta. Bendera tersebut dibawa dalam suatu perarakan mengelilingi
benteng baluwerti. Konon peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1947.
Dipercayai pula oleh sebagian masyarakat bahwa Kyai Jegot, roh penunggu
hutan Beringan tempat keraton Yogyakarta didirikan, berdiam di salah
satu tiang utama di nDalem Ageng Prabayaksa. Roh ini dipercaya menjaga
ketentraman Kerajaan dari Gangguan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar