Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan
Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai
diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada
sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan
Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh
Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas
puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada
sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan
Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Dari penemuan yang dilacak
berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu
dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah
memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh
beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama
Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada
Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin
terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan
Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam
yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali
Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau
pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota
Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu
Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737
Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam
Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan
Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal
dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal
30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali
Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin
serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Padir, Daya, dan
Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam
pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di
prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk
dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh
dalam masa-masa yang dimaksud.
Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan
besar pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di
tanah ini telah berdiri pula Kerajaan Islam Lamuri selain Kesultanan
Malaka yang memiliki peradaban besar di Selat Malaka. Kemunculan
Kesultanan Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam
Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri
adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap
sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan
Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan
baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri
dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam perkembangannya menjadi
Kesultanan Aceh Darussalam.
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah
Islam pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam Hikayat
Aceh, seperti yang dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul
“Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai
Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan,
satu batu dari gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu
orang, yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar dari Aceh ini justru
bukan merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan Aceh Darussalam.
Meski siapa penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak tersimpan
pula tanggal mengenai penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa
Hikayat Aceh tersebut disusun selama masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636) dan bahwa raja itu menyuruh salah seorang pujangga
istananya untuk menyusun riwayat hidupnya.
Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas
karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan
tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih
menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa
cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya. Mitos
tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan
oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis,
nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka
keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad
kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita
tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang
(wafat pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari
percampuran dari orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard,
hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan
terhadap penjajah Eropa
Dalam buku karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul
“Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang disebut
Aceh ialah daerah yang sekarang dinamakan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi
pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud
dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar atau
dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk. Untuk nama ini, ada juga yang
menyebutkan nama Aceh Lhee Sago (Aceh Tiga Sagi). Selain itu, terdapat
pula yang menggunakan Aceh Inti (Aceh Proper),atau “Aceh yang
sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti
Kesultanan Aceh Darussalam dan juga letak ibukotanya, untuk menamakan
Aceh.
Nama Aceh sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut
ibukota kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara
lengkapnya bernama Bandar Aceh Darussalam. Tentang nama Aceh belum ada
suatu kepastian dari mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan.
Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama
yang berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan
nama “Achem”, “Achen”, dan “Aceh”, orang Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”,
“Dagin”, dan Dacin”, sedangkan orang Cina menyebutnya dengan nama
“Atje” dan “Tashi”
Dalam karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang lain, yaitu yang
terangkum dalam buku dengan judul “Ragam Sejarah Aceh” (2004),
disebutkan bahwa selain sebagai penyebutan nama tempat, Aceh juga
merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli
yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Terdapat cukup banyak
etnis yang bermukim di wilayah Aceh, yakni etnis Aceh, Gayo, Alas,
Tamiang, Aneuk, Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Suku-suku bangsa
yang mendiami wilayah Aceh, termasuk suku bangsa Aceh, itu telah eksis
semenjak Aceh masih berupa sebuah kerajaan/kesultanan.
Sementara itu, menurut penelitian K.F.H. van Langen yang termaktub dalam
karya ilmiah berjudul “Susunan Pemerintahan Aceh Masa Kesultanan”
(1986), dituliskan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli
Aceh disebut Ureueng Mante. Sejauh mana riwayat itu dapat dianggap benar
dan apakah Mante itu termasuk juga dalam suku Mantra yang mendiami
daerah antara Selangor dan Gunung Ophir di Semenanjung Tanah Melayu,
menurut van Langen, ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus
dipecahkan lagi dalam studi perbandingan bahasa Melayu-Polinesia. Tetapi
sejauh masalah itu belum dapat dipecahkan, maka tetaplah bisa dianggap
bahwa Mante adalah penduduk asal daerah Aceh, terutama karena nama itu
tidak merujuk pada penduduk asal suku-suku bangsa lain.
Masuknya Kolonialisme Barat
Kedatangan bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis selaku bangsa Eropa yang
pertama kali tiba di Aceh, menjadi salah satu faktor utama runtuhnya
Kerajaan Samudera Pasai, selain juga disebabkan serangan Majapahit. Pada
1508, atau kurang dari setahun setelah Sultan Ali Mughayat Syah
memproklamirkan berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis
pertama yang dipimpin Diogo Lopez de Sequeira tiba di perairan Selat
Malaka. Armada de Sequeira ini terdiri dari empat buah kapal dengan
perlengkapan perang. Namun, kedatangan rombongan calon penjajah asal
Portugis yang pertama ini tidak membuahkan hasil yang gemilang dan
terpaksa mundur akibat perlawanan dari laskar tentara Kesultanan Malaka.
Kedatangan armada Portugis yang selanjutnya pun belum menunjukkan
peningkatan yang menggembirakan. Pada Mei 1521, penguasa Kesultanan Aceh
Darussalam yang pertama, Sultan Ali Mughayat Syah, memimpin perlawanan
dan berhasil mengalahkan armada Portugis yang dipimpin Jorge de Britto
yang tewas dalam pertempuran di perairan Aceh itu. Dalam menghadapi
Kesultanan Aceh Darussalam dan keberanian Sultan Ali Mughayat Syah,
Portugis membujuk Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai untuk mendukungnya.
Setelah mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada
Portugis kemudian melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh
Darussalam tetap mengejar dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir.
Pihak Portugis bersama Sultan Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri
lagi dan mencari perlindungan ke Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali
Mughayat Syah meneruskan pengejarannya dan berhasil mematahkan
perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan yang berupa
alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh Darussalam
untuk mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Kekalahan Portugis tersebut sangat memalukan karena pasukan Aceh
Darussalam mendapat barang-barang rampasan dari alat-alat perang milik
Portugis yang lebih memperkuat Aceh Darussalam karenanya . Sultan Ali
Mughayat Syah memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang pemberani dan
penakluk yang handal. Selain berhasil mengusir Portugis serta
menundukkan Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai, Kesultanan Aceh
Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, juga meraih
kegemilangan dalam menaklukkan beberapa kerajaan lainnya di Sumatra,
seperti Kerajaan Haru, Kerajaan Deli, dan Kerajaan Daya.
Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis oleh C.R. Boxer,
mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh
Darussalam sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan
mutakhir. Bahkan, sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de
Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih banyak
memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka
sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat lainnya, Veltman, salah
satu rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang berhasil dibawa
pulang oleh Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang kemudian
diberi nama “Cakra Dunia”. Lonceng bersejarah merupakan hadiah dari
Laksamana Cheng Ho kepada Raja Samudera Pasai ketika panglima besar dari
Kekaisaran Tiongkok itu berkunjung ke Pasai pada awal abad ke-15.
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam hanya
selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan
Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal dunia
pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 7
Agustus 1530 Masehi. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah
relatif singkat, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar
dan kokoh.
Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain:
Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara
Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat.
Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal Sultan Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini
tetap dijalankan oleh sultan-sultan penggantinya. Sebagai penerus tahta
Kesultanan Aceh Darussalam, diangkatlah putra sulung almarhum Sultan
Mughayat Syah yang bernama Salah ad-Din sebagai penguasa Aceh Darussalam
yang baru. Di bawah pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan Aceh
Darussalam menyerang Malaka pada 1537 tetapi tidak berhasil. Tahun 1539,
kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dialihkan kepada anak bungsu
Mughayat Syah, yaitu Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering
dikenal juga dengan nama Sultan Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini
perlahan-perlahan mengukuhkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam
dengan melakukan beberapa gebrakan. Tidak lama setelah dinobatkan, pada
tahun yang sama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar menyerbu
orang-orang Batak yang tinggal di pedalaman. Menurut Mendez Pinto,
pengelana yang singgah di Aceh pada 1539, balatentara Kesultanan Aceh di
bawah pimpinan Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, terdiri atas
laksar-laskar yang antara lain berasal dari Turki, Kambay, dan Malabar.
Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam pada era Sultan Ala ad-Din Ri`ayat
Syah al-Kahar dengan kerajaan-kerajaan mancanegara tersebut memang cukup
solid. Pada 1569, misalnya, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar
mengirimkan utusannya ke Istanbul untuk meminta bantuan meriam. Tidak
hanya memberikan meriam beserta ahli-ahli senjata untuk dikirim ke
Kesultanan Aceh Darussalam, penguasa Turki juga mengirimkan pasukan
perang untuk mendukung Aceh melawan Portugis. Bahkan, Sultan Turki juga
memerintahkan Gubernur-Gubernur Yaman, Aden, serta Mekkah untuk membantu
laskar Turki yang sedang bertolak menuju Aceh. Laksamana Turki, Kurt
Oglu Hizir, diserahi memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus
mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam, dan merampas
benteng-benteng kafir.
Selain terus berteguh melawan kaum penjajah dari Barat, Sultan Ala
ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar juga melakukan penyerangan terhadap
kerajaan-kerajaan lokal yang membantu Portugis. Pasukan Aceh Darussalam
menyerbu Kerajaan Malaka sebanyak dua kali (tahun 1547 dan 1568),
menawan Sultan Johor karena membantu Portugis, serta berhasil
mengalahkan Kerajaan Haru (Sumatra Timur) pada 1564. Untuk melegalkan
kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam atas Kerajaan Haru, maka
diangkatlah Abdullah, putra pertama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar, untuk memegang kendali pemerintahan Kerajaan Haru yang sudah
takluk dan menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Namun, berbagai peperangan besar antara Kesultanan Aceh Darussalam
melawan Portugis memakan banyak korban dari kedua belah pihak yang
berseteru. Dalam suatu pertempuran yang terjadi pada 16 Februari 1568,
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar kehilangan putra tercintanya,
Sultan Abdullah yang memimpin bekas wilayah Kerajaan Haru.
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8 Jumadil Awal
tahun 979 Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena putra mahkota,
Abdullah, gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka yang
diangkat untuk meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh
Darussalam adalah anak kedua almarhum yang bergelar Sultan Husin Ibnu
Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah atau yang juga sering dikenal dengan nama
Ali Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah
merupakan sosok pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di
bidang politik serta pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan
Ala`uddin Ri`ayat Syah berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam
upaya mengusir kolonialis Portugis dari bumi Aceh. Akan tetapi,
pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang ayah kendati dia sudah
melalukan penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575.
Ketahanan Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin
limbung ketika Aceh Darussalam menyerang Johor pada 1564, di mana Sultan
ditangkap dan menjadi tawanan perang. Akhir pemerintahan Sultan Husin
Ibnu Sultan `Ala`uddin Ri`ayat Syah, yang memimpin Kesultanan Aceh
Darussalam selama 7 tahun, berakhir ketika sang Sultan wafat pada 12
Rabi`ul Awal tahun 987 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 8 Juni
1578 dalam tahun Masehi.
Sepeninggal Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah, Kesultanan
Aceh Darussalam memasuki masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin
Ri`ayat Syah dipercayakan kepada anaknya, Sultan Muda, namun
pemerintahannya hanya bertahan selama 7 bulan. Karena ketika wafat
Sultan Muda masih berusia belia dan belum memiliki keturunan, maka yang
diangkat sebagai penggantinya adalah Sultan Sri Alam yang merupakan anak
dari Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, penguasa ke-4 Kesultanan
Aceh Darussalam. Akan tetapi, Sultan Sri Alam, yang sebelumnya menjadi
raja kecil di Pariaman (Sumatra Barat), ternyata tidak becus dalam
mengelola Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam waktu singkat, hanya 2 bulan
memerintah, Sultan Sri Alam pun mati terbunuh.
Roda pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dijalankan oleh
Sultan Zainal Abidin. Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam kali ini
adalah cucu dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau anak dari
Sultan Abdullah, pemimpin wilayah Haru yang tewas ketika pertempuran
melawan Portugis. Sama seperti penguasa sebelumnya, Sultan Zainal Abidin
juga tidak mampu memimpin Kesultanan Aceh Darussalam dengan baik.
Bahkan, Sultan ini merupakan sosok yang bengis, kejam, dan haus darah.
Sultan Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh demi memuaskan nafsu dan
ambisinya. Sultan yang memerintah dengan tangan besi ini memimpin
Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas pada 5 Oktober
1579.
Setelah era tirani Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus kepemimpinan
Kesultanan Aceh Darussalam sempat bergeser dari garis darah yang
mula-mula. Dikisahkan, pada sekitar tahun 1577 Kesultanan Aceh
Darussalam menyerang Kesultanan Perak dan berhasil menewaskan pemimpin
Kesultanan Perak, yakni Sultan Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17
orang putra-putrinya dibawa ke Aceh sebagai bagian dari rampasan
perang. Putra tertua Sultan Ahmad, bernama Mansur, dikawinkan dengan
seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang bernama Ghana. Tidak lama
kemudian, Mansur ditabalkan menjadi pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam
menggantikan Sultan Zainal Abidin, dengan gelar Sultan Ala al-Din Mansur
Syah, dinobatkan pada 1579. Sultan yang bukan berasal dari keturunan
langsung sultan-sultan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ini, berasal
dari etnis Melayu Perak, adalah sosok yang alim, shaleh, adil, tapi juga
keras dan tegas. Pada masa kepemimpinan Sultan Mansur Syah, Kesultanan
Aceh Darussalam nuansa agama Islam sangat kental dalam kehidupan
masyarakatnya. Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur Syah
mendatangkan guru-guru agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun,
kepemimpinan agamis yang diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak
membuat Aceh Darussalam berhenti bergolak. Pada 12 Januari 1585, ketika
rombongan Kesultanan Aceh Darussalam dalam perjalanan pulang dari
lawatannya ke Perak, Sultan Mansur Syah terbunuh.
Gugurnya Sultan Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh
Darussalam kembali rumit untuk menentukan siapa yang berhak menjadi
pemimpin Aceh Darussalam yang selanjutnya. Atas mufakat para orang besar
(tokoh-tokoh adat dan kesultanan yang berpengaruh dan dihormati), maka
diputuskan bahwa yang berhak menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam
untuk menggantikan Sultan Mansur Syah adalah Sultan Buyong dengan gelar
Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra yang merupakan anak dari penguasa
Inderapura, Sultan Munawar Syah. Namun, lagi-lagi kekuasaan pucuk
pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam tidak langgeng. Sultan Ali Ri`ayat
Syah Putra meninggal dunia pada 1589 dalam suatu peristiwa pembunuhan.
Sebenarnya, yang akan dijadikan pemimpin Aceh Darussalam sebelumnya
adalah Raja Ayim, cucu Sultan Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda
ini juga tewas terbunuh.
Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang berikutnya adalah Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah
(1589-1604). Pada era Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal
berkuasa, kolonialisme Eropa kian merasuki bumi nusantara dengan mulai
masuknya Inggris dan Belanda. Tanggal 21 Juni 1595, armada dagang
Belanda yang dipimpin de Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick,
tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal “De Leeuw” sementara Frederick
bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada awalnya kedatangan
orang-orang Belanda disambut hangat oleh penduduk Aceh. Akan tetapi,
kemunculan kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan
ancaman tersendiri bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana
sebelumnya. Portugis sendiri pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi
Aceh Darussalam pada 1606 berkat kegemilangan serangan yang dipimpin
oleh Perkasa Alam yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur
dengan nama Sultan Iskandar Muda.
Masa Keemasan di Era Sultan Iskandar Muda
Ketika Houtman bersaudara beserta rombongan armada Belanda tiba di Aceh,
hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda berlangsung dengan
kedudukan yang setara, terutama dalam hal urusan perniagaan dan
diplomatik. Mengenai hubungan perdagangan, de Houtman bersaudara atas
nama kongsi dagang Belanda, meminta kepada Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah
Said Al-Mukammal sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam, agar
diperbolehkan membawa lada dan rempah-rempah dari Aceh. Sebagai
gantinya, de Houtman berjanji akan membantu Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah
Said Al-Mukammal untuk memukul Johor yang saat itu sedang berseteru
dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Selama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah
Said Al-Mukammal memerintah selama 20 tahun, Kesultanan Aceh Darussalam
terus-menerus terlibat pertikaian besar dengan Kesultanan Johor.
Perselisihan antara Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal dan de
Houtman mulai timbul ketika orang-orang Belanda yang berada di Aceh
mulai bersikap tidak sopan. Frederick de Houtman beberapa kali
mengatakan kebohongan ketika berbicara dengan Sultan Aceh Darussalam.
Salah satu tindakan dusta yang dilakukan Frederick de Houtman adalah
ketika Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal menanyakan di mana
letak negeri Belanda dan berapa luasnya. Frederick de Houtman lalu
membuka peta bumi dan ditunjukkanlah pada Sultan bahwa negeri Belanda
itu besar, meliputi hampir seluruh benua Eropa, yakni antara Moskow
(Rusia) sampai dengan Venezia (Italia). Akan tetapi Sultan Ala`udin
Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tidak begitu saja percaya terhadap bualan
Frederick de Houtman itu. Secara diam-diam, Sultan bertanya kepada orang
Portugis bagaimana sebetulnya negeri Belanda itu. Orang Portugis
tersebut tentu saja menjawab yang sebenarnya bahwa negeri Belanda hanya
satu bangsa kecil, bahwa negeri Belanda adalah negeri yang tidak punya
raja (karena pada waktu itu Belanda merupakan negara republik yang baru
saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tentu saja murka karena
telah diperdayai oleh orang asing yang menetap di wilayahnya. Maka
kemudian Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintahkan
tentaranya untuk mencari, menangkap, dan kemudian memenjarakan Frederick
de Houtman. Konon, lima orang anak buah kapal Frederick de Houtman
dibebaskan karena bersedia masuk Islam. Rakyat Kesultanan Aceh
Darussalam bertambah geram terhadap awak-awak kapal Belanda karena
kelakuan mereka yang dinilai melewati batas. Ketika salah satu kapal
Belanda merapat ke Pulau Malavidam yang terletak di Lautan Hindia antara
Sumatra dan Srilangka, Cornelis de Houtman, saudara laki-laki
Frederick, berkelakuan tidak sopan. Diceritakan, Cornelis telah memaksa
istri dari seorang tokoh masyarakat di pulau itu supaya berjalan di
hadapan orang-orang Belanda dalam keadaan telanjang bulat. Setelah itu,
Cornelis dengan paksa merampas barang-barang perhiasan yang menempel di
tubuh perempuan malang tersebut.
Kekejaman orang-orang Belanda belum berhenti. Tidak lama setelah
peristiwa memalukan di Pulau Malavidam, terjadi perampasan yang
dilakukan oleh para awak kapal Belanda terhadap kapal-kapal dan
perahu-perahu milik nelayan Aceh. Laksamana van Caerden, pemimpin kapal
Belanda itu, tidak segan-segan menyerang dan menenggelamkan kapal-kapal
Aceh yang ditemuinya. Kelakuan orang-orang Belanda tersebut jelas
menimbulkan ketegangan dengan pihak Kesultanan Aceh Darussalam dan
kondisi ini ternyata menyulitkan pihak Belanda. Jika bermusuhan terus
dengan Aceh, kerugiannya teramat besar, selain keamanan pelayaran laut,
juga sumber perdagangan di bagian itu tidak dapat direbut Belanda dari
Portugis.
Ketika Portugis dan Belanda berebut pengaruh di tanah Aceh, Kesultanan
Aceh Darussalam justru mengalami konflik internal. Pada April 1604, anak
kedua Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, yaitu Sultan Muda,
melakukan kudeta terhadap ayahnya sendiri, lalu memproklamirkan dirinya
menjadi sultan dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah. Sebelumnya, Sultan
Muda pernah diangkat sebagai wakil Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal, untuk memimpin Pedir yang telah berhasil ditaklukkan.
Namun, karena kinerja Sultan Muda dinilai tidak memuaskan, maka kemudian
ia ditarik kembali ke Aceh Darussalam untuk membantu ayahnya sekaligus
mendalami pengalaman dalam mengelola pemerintahan. Kedudukan Sultan Muda
di Pedir digantikan oleh saudaranya, Sultan Husin, yang sebelumnya
diserahi tugas untuk mengkoordinir wilayah Pasai. Dari sinilah mulai
timbul keinginan dari Sultan Muda untuk merebut tahta ayahnya, terlebih
lagi sang putra mahkota, anak pertama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal yang bernama Mahadiradja, telah gugur dalam suatu
pertempuran. Tidak lama kemudian, masih di tahun 1604 itu, Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal akhirnya menutup mata.
Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat
Syah ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk
dari saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa
tidak puas atas kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh
Darussalam juga ditunjukkan oleh seorang anak muda yang pemberani,
bernama Darma Wangsa atau yang dikenal juga dengan panggilan kehormatan:
Perkasa Alam. Karena Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan
Perkasa Alam cukup membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa
Alam terlebih dulu mengetahui rencana itu dan lantas meminta
perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan
yang cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap
dan dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar
bahaya-bahaya yang terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya
kondisi rakyat Kesultanan Aceh Darussalam karena ketidakbecusan Sultan
Ali Ri`ayat Syah. Maka dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan
pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari
penjara dan diberi perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat
mengusir Portugis dari bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali
Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh
Portugis, maka permintaan Perkasa Alam tersebut dikabulkan. Perkasa Alam
kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan
hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis
tewas akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang
diduduki Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam.
Karena mengalami kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari
Aceh dan mundur ke Malaka. Namun, di tengah jalan mereka berpapasan
dengan armada Belanda yang kemudian menyerang mereka sehingga Portugis
benar-benar terpukul mundur dan hancur.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah
sedikit ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang
berhak menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya.
Perkasa Alam muncul sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh
segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah
kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi penguasa Kesultanan Aceh
Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian terkenal dengan nama Sultan
Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung
sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama, Perkasa Alam
atau yang bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan
dengan mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga
kedudukannya sebagai Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah
keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama
lain, di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah memegang tampuk
kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama Sultan
Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam. Selain itu,
Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama
kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang
menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam
Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat. Berbagai nama dan gelar ini
menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar Muda, baik di dalam maupun
di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara, sejak masa itu
dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri
Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini
dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar
Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang.
Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam,
Perkasa Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program
untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang
diusung dalam rangka program tersebut adalah antara lain:
Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat
Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu
sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et
impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan
pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari
musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
Memukul Portugis dan merampas Malaka.
Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan
pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya
mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan
kerajaan tidak dirugikan.
Semenjak Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan Kesultanan
Aceh Darussalam, wilayah Aceh sendiri di sebelah timur sampai ke Tamiang
disusun kembali, dan di sebelah barat, terutama daerah-daerah di luar
Aceh yang sudah dikuasai, seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman,
Salida, dan Inderapura, kembali dipercayakan kepada pembesar-pembesar
yang cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk mengatur
cukai-cukai dan pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh
Darussalam.
Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir
ulang dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena
memperhitungkan posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun
1606, Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di
luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan
mendahulukan kepentingan untuk menguasai tempat-tempat lain, terutama
Jawa dan Maluku. Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni
pada 1619–1623 dan 1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak
akan bisa dihadapi dengan cara militer. Coen menganggap lebih baik
menjalankan politik adu domba atau pemecah belah saja. Tidak hanya
Belanda saja yang gentar melihat kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam di
bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun merasakan kecemasan
yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi untuk
beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga
mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah
kekuasaannya. Dalam masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat
Sumatra hingga Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di
tempat-tempat tersebut, terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku,
Salida, Indrapura, dan lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima
untuk memimpin masing-masing daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah meluas di seluruh
Sumatra Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani, dan Perak, boleh
dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur, termasuk
Siak, Indragiri, Lingga, serta wilayah-wilayah di selatannya, di mana di
dalamnya terdapat Palembang dan Jambi, sudah menjadi bagian dari
imperium Kesultanan Aceh Darussalam.
Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam
mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu
menjadi komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat
sehingga harganya pun melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa
dikatakan hampir seluruh bandar dagang dan pelabuhan yang menghasilkan
lada di seantero Sumatra dan Malaya, demikian juga dengan hasil-hasil
lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam koordinasi kekuasaan
Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika perekonomian Kesultanan
Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan bertambah penuh,
pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan lancar,
demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.
Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda ternyata masih penasaran dengan
Portugis yang berlindung di Malaka. Aceh melihat kedudukan Portugis di
Malaka merupakan suatu ancaman besar. Kendati sudah dalam kondisi
terdesak, Portugis masih saja melakukan kegiatannya dengan menghubungi
negeri-negeri kecil yang sudah berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan Portugis harus dikalahkan dan
untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan program yang selalu
harus dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi pada
1629 di mana angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan
pasukan berkekuatan 236 buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.
Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka,
terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang
telak dalam perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut
Portugis. Hal yang sama juga terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan
perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung laskar tentara Portugis
selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di atas angin, namun
Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu
berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam
tidak memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di
laut, adanya bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri
telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan
menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.
Tidak lama semenjak pengepungan yang ketat itu, tibalah kapal-kapal yang
membawa bala bantuan untuk Portugis yang sangat banyak dari Pahang.
Pada saat angkatan perang Aceh Darussalam menghadapi bantuan dari Pahang
itu, datang lagi bala bantuan untuk Portugis dari Goa, Sulawesi, yang
dipimpin langsung oleh Nuno Alvares Bethelho, Gubernur Jenderal Portugis
untuk Goa. Nuno Alvares sampai datang sendiri memimpin armadanya untuk
membebaskan Portugis di Malaka yang sudah terkepung itu. Dengan demikian
dapat dikatakan, di antara beberapa pendaratan Aceh dan pertempurannya
di Malaka, mulai dari awal Portugis menduduki kota itu, sampai pada
pertempuran di tahun-tahun 1547, 1568, 1579, dan lain-lainnya, yang
terjadi di tahun 1629 itulah yang menjadi pertempuran paling hebat.
Dalam peperangan besar itu, karena dikeroyok oleh beberapa kekuatan
musuh yang besar, akhirnya angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam
mengalami kekalahan. Sejak kekalahan di Malaka itu, Kesultanan Aceh
Darussalam tidak lagi mengalami kemajuan dalam kancah politik luar
negeri. Selain itu, dikabarkan pula beberapa tahun kemudian pihak
Kerajaan Pahang/Johor sendiri menjalin hubungan persahabatan kembali
dengan Aceh Darussalam. Hal tersebut disebabkan karena telah terjadi
pernikahan antara putri Sultan Iskandar Muda dengan putra Raja Ahmad,
pemimpin Pahang, bernama Iskandar Tsani yang kelak menjadi Sultan Aceh
Darussalam menggantikan Sultan Iskandar Muda.
Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda,
akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember
1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H.
Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya
bertajuk “Aceh Sepanjang Abad", Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang
anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam,
yang merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua,
dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh
anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim.
Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupo, diperoleh dari
istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang
berlaku di Aceh saat itu, anak dari gundik/selir tidak bisa diangkat
menjadi Raja. Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan
Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai
kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar
Muda.
Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja
perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya
adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari
Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda.
Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini
memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa
pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari
pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana. Masa
pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak
akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebiksanan dan keluarbiasaan yang
dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa
membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar
biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh
pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka
Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Naklatuddin Syah yang menjadi
pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang
juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini
dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa
pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur
al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu
menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin
Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam
masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah
(1678-1688),dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium
peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad
ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada
akhir abad ke-18, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu
Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai
mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan
perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan
Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi
Belanda gagal merebut Aceh.
Memasuki abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus
kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan
menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr.
Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat
serius menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dari Universitas Leiden ini
sempat memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di dalaminya
pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa,
bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai
pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk.
Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda
agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu berkonsentrasi ke
Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck
Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh
sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan
harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut.
Secara lebih detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh, antara lain:
Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
Rebut lagi Aceh Besar.
Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya
memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal
rakyat dan negeri Aceh.
Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan
Aceh dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas
memerintah.
Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan
madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil:
Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan
Kesultanan Aceh Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya
Sultan M. Dawud kepada Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir
seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda. Walaupun demikian,
sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap penjajah.
Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap
berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan
berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Cik Dik Tiro, Panglima
Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir
kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin
lebih dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan
pembuktian bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban
besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.
Silsilah Raja Aceh
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan
Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali
lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di
Kesultanan Aceh Darussalam:
Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
Sultan Salah ad-Din (1528-1537)
Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
Sultan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
Sultan Muda (1575)
Sultan Sri Alam (1575-1576)
Sultan Zain al-Abidin (1576-1577)
Sultan Ala al-Din Mansur Syah (1577-1589)
Sultan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah(1596-1604).
Sultan Ali Ri`ayat Syah (1604-1607)
Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
Sultan Iskandar Tsani (1636-1641).
Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam atau Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin atau Puteri Sri Alam (1641-1675).
Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
Sultan Ala al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
Sultan Badr al-Din (1781-1785)
Sultan Sulaiman Syah (1785-?)
Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah
Sultan Ala al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
Sultan Mansur Syah (1857-1870)
Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Catatan: Sultan Ala al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada
dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif
al-Alam (1815-1818).
Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan
Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh,
termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe,
Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga
berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk
Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh
Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami
kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti
Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida,
Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi.
Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh
Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu,
Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta
Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada
masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:
1. Daerah Aceh Raja, dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah
administratif yang kira-kira setara dengan kecamatan) yang masing-masing
dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Panglima Sagoi, yaitu:
Sagoi XXII Mukim.
Sagoi XXV Mukim.
Sagoi XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoi terdapat beberapa Uleebalang dengan
daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif
yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang
terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar
Imeum. Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masing-masing dipimpin
oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.
2. Daerah Luar Aceh Raja, terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang
dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi.
Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang
berlaku di Daerah Aceh Raja.
3. Daerah yang Berdiri Sendiri, di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam
lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah
yang berdiri sendiri ini diperintahkan oleh Uleebalang untuk tunduk
kepada Sultan Aceh Darussalam.
Sistem Pemerintahan
Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar
(1577-1589), Kesultanan Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang
yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kesultanan Aceh Darussalam.
Undang-undang ini berbasis pada AlQuran dan Hadits yang mengikat seluruh
rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan
mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai
kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh Darussalam
telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya
sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Pada era kepemimpinan Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu
Sultan Firmansyah (1589-1604), Kesultanan Aceh Darussalam memiliki
susunan pemerintahan yang sudah cukup mapan. Kesultanan diperintah oleh
Sultan dengan bantuan lima orang besar (tokoh-tokoh yang dihormarti),
bendahara, empat syahbandar. Pada saat itu, angkatan perang yang
dimiliki Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat, yaitu mempunyai 100
kapal perang di mana setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400 orang
prajurit. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak
sekali meriam-meriam besar yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan
darat diperkuat juga dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh
para hulubalang.
Selanjutnya, pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) merupakan masa kebanggaan dan kemegahan, tidak
hanya dalam hal pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga di bidang
penertiban susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan
penertiban perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat (sipil),
kedudukan rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama anggota
pemerintahan, dan sebagainya. Sultan Iskandar Muda telah merumuskan
perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Makuta Alam yang
disadur dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan setelahnya.
Penertiban hukum yang dibangun Sultan Iskandar Muda memperluas
kebesarannya sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki,
Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri
tetangga yang mengambil aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan
diteladani, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang
dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan demikian, Adat Makuta
Alam yang dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda adalah
adat yang bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan Aceh
Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum adat.
Dalam makalah bertajuk “Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di
Zaman Sultan Iskandar Muda” (1961) yang ditulis oleh A. Hasjmy
disebutkan, susunan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa
Sultan Iskandar Muda menempatkan Sultan sebagai penguasa tertinggi
pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki hak-hak istimewa, antara
lain:
Pembebasan orang dari segala macam hukuman.
Membuat mata uang.
Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau “Yag Berdaulat”.
Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan perang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh
beberapa lembaga pendukung kesultanan, yaitu antara lain:
1. Majelis Musyawarah
Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam sendiri, sedangkan
wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan anggota-anggotanya
diangkat dari kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai.
2. Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung)
Sultan Aceh Darussalam juga menjadi ketua dari lembaga pengadilan
tertinggi ini, sedangkan sebagai wakil adalah Ketua Kadhi Malikul Adil,
dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan ulama dan cerdik-pandai.
3. Majelis Wazir (Dewan Menteri)
Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai ketua majelis ini, sedangkan Wazir
A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai wakilnya, dan
anggota-anggotanya adalah dari kalangan para menteri kesultanan.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam bertindak sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Perang dan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang
bergelar Laksamana sebagai wakilnya. Sultan juga berposisi sebagai
Pemimpin Tertinggi Kepolisian yang dibantu oleh Kepala Polisi Negara
selaku wakilnya. Ibukota Kesultanan Bandar Aceh Darussalam (termasuk
istananya) berada langsung di bawah pimpinan Sultan yang dibantu oleh
pejabat dengan gelar Teuku Panglima Kawaj sebagai wakilnya. Di samping
itu, Sultan dibantu pula oleh dua orang Sekretaris Kesultanan yang
terdiri dari dua gelar, yaitu
(1) Teuku Keureukon Katibumuluk Sri Indrasura (jabatan ini kira-kira seperti Menteri Sekretaris Negara), dan
(2) Teuku Keureukon Katibulmuluk Sri Indramuda (semacam Ajun Sekretaris Negara)
Kondisi Sosial-Ekonomi
Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena
memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu,
kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di
antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas,
tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk,
tukang pot, dan juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat
transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang
bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal
beberapa jenis mata uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat
dari emas, kupang, pardu dan tahil.
Black Hawk Casino, Black Hawk, CO - MapYRO
BalasHapusFind the nearest casino to Black Hawk. Complete 인천광역 출장샵 map and reviews. Search by road, 여수 출장마사지 driving, driving 세종특별자치 출장안마 directions, 계룡 출장샵 contact 여수 출장샵 and more.