Nagari Surokarto Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang
berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti 13 Februari
1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di
Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi,
menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan
yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan
Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih
keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar
Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan)
selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia
Belanda.
Latar belakang sejarah
Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan dampak dari konflik
berkepanjangan yang terjadi di Kesultanan Mataram Islam yang berdiri
sejak abad ke-16 Masehi. Pemerintahan awal Kesultanan Mataram Islam
berada di Mentaok, kemudian Kotagede (Yogyakarta). Pada masa Amangkurat I
(1645-1677), tepatnya tahun 1647, pusat pemerintahan dipindahkan ke
Plered (sekarang di Kabupaten Bantul). Kemudian, Amangkurat II
(1680-1702), mendirikan kerajaan baru di timur Yogyakarta, yaitu di
hutan Wonokarto yang berganti nama menjadi Kartasura (kini di Kabupaten
Sukoharjo, Jawa Tengah). Pembangunan keraton baru ini dilakukan karena
istana Plered dikuasai pemberontak dan dianggap sudah tidak layak lagi
digunakan sebagai pusat pemerintahan. Keraton baru di Kartasura yang
mulai dibangun pada 1679 kemudian dikenal sebagai Kasunanan Kartasura
Hadiningrat. Berturut-turut, penerus tahta Amangkurat II di Kasunanan
Kartasura Hadiningrat adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwono I
(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), sampai dengan Pakubuwono II
(1726-1749).
Perpecahan Wangsa Mataram
Di era pemerintahan Pakubuwono II, yakni pada kurun 1741-1742, terjadi
upaya perlawanan yang dikenal sebagai “Geger Pecinan” yang menyebabkan
hancurnya istana Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Oleh sebab itu, pada
1744, Pakubuwono II membangun pusat pemerintahan baru di Desa Sala
(Solo), dekat Sungai Bengawan Solo. Daerah ini kemudian dikenal juga
dengan nama Surakarta. Dibangunnya istana di Surakarta menandai
berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pemerintahan Pakubuwono II
sebagai penguasa pertama Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih diwarnai
polemik internal antara sesama trah Mataram. Saudara tiri Pakubuwono II,
yakni Pangeran Mangkubumi, menuntut tahta Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Akan tetapi, Pakubuwono II justru menunjuk putranya, yakni
Raden Mas Suryadi, sebagai putra mahkota. Pangeran Mangkubumi tidak
menerima keputusan itu sehingga pada tahun 1746 ia meninggalkan istana
dan mendirikan pemerintahan tandingan di Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Raden Mas Said alias Pangeran
Sambernyowo, seorang Pangeran Mataram yang lahir di istana Kartasura dan
telah melancarkan perlawanan terhadap Pakubuwono II sejak peristiwa
“Geger Pecinan”. Dengan bergabungnya Raden Mas Said beserta pengikutnya,
kubu Pangeran Mangkubumi semakin bertambah kuat. Pada 12 Desember 1749,
Pangeran Mangkubumi, dengan mendapat dukungan penuh dari Raden Mas
Said, mengangkat dirinya sebagai raja/sultan di kerajaan tandingan di
Yogyakarta itu. Raden Mas Said sendiri diangkat sebagai patih (perdana
menteri) sekaligus panglima perang dan menyandang gelar Pangeran Adipati
Mangkunegoro Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Pangeran
Mangkubumi juga menikahkan Raden Mas Said dengan anak perempuannya yang
bernama Raden Ayu Inten.
Pada penghujung tahun 1749 itu, Pakubuwono II sakit keras sehingga
kedaulatan Kasunanan Surakarta Hadiningrat diserahkan kepada Belanda,
yakni VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Sejak itulah penobatan
raja-raja keturunan Mataram harus seizin Belanda. Pada 15 Desember 1749,
VOC yang diwakili oleh Baron von Hohendorff melantik putra mahkota,
Raden Mas Suryadi, sebagai penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat
dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono III (1749-1788). Tanggal 20
Desember 1749, Pakubuwono II wafat karena penyakitnya yang semakin
parah.
Sementara itu, Belanda mulai cemas karena wilayah Pangeran Mangkubumi
semakin luas. Belanda kemudian menggagas Perjanjian Giyanti pada 13
Februari 1755. Secara garis besar, isi perjanjian ini adalah membagi
wilayah Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat di
bawah pimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan
Hamengkubuwono I (1755-1792). Namun, akhirnya Hamengkubuwono I dan Raden
Mas Said justru berselisih paham sehingga Raden Mas Said melakukan
perlawanan kepada mertuanya itu, selain tetap melawan Pakubuwono III di
Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Lagi-lagi VOC ikut campur atas masalah
ini karena cemas dengan sepak terjang Raden Mas Said. Nicholas Hartingh,
penguasa VOC di Semarang, mendesak agar Pakubuwono III segera
mengupayakan jalan perdamaian. Maka digagaslah Perjanjian Salatiga pada
17 Maret 1757 di Wonogiri, Jawa Tengah. Perjanjian Salatiga semakin
mengurangi wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Raden Mas Said
mendapat daerah kekuasaan di sebagian wilayah Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Wilayah ini disebut Praja (Kadipaten) Mangkunegaran dan
Raden Mas Said dinobatkan sebagai penguasanya dengan gelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau Adipati Mangkunegara I
(1757-1795)
Perpecahan wangsa Mataram masih berlanjut, kali ini terjadi di
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada tahun 1813, Pangeran
Natakusuma, putra Hamengkubuwono I atau paman dari Raja Yogyakarta yang
sedang berkuasa saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811 dan
1812-1814), menuntut pembagian wilayah. Pemerintahan kolonial Inggris di
bawah pimpinan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang berkuasa di Hindia
Belanda menggantikan pendudukan Belanda mengabulkan keinginan tersebut.
Pada 17 Maret 1813, Praja (Kadipaten) Pakualaman berdiri di bawah
pimpinan Pangeran Natakusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Paku Alam I (1813-1829). Istana atau Pura Pakualaman dibangun tidak
jauh dari istana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Adapun wilayah
kekuasaan dari Kadipaten Pakualaman mencakup sebuah kemantren di
Yogyakarta (sekarang Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta) dan Karang
Kemuning atau Adikarto (terletak di bagian selatan Kabupaten Kulonprogo,
DIY).
Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada Masa Kolonial
Berbeda dengan Pakubuwono III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta
Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya, yakni Sri Susuhunan
Pakubuwono IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan
penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa
Pakepung, yakni insiden pengepungan istana Kasunanan Surakarta
Hadiningrat oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I.
Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwono IV yang berpaham
kejawenmenyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya.
Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk
menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas
kejawen Pakubuwono IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwono I dan
Mangkunegara I untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan
Pakubuwono IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani
kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November
1790, Pakubuwono IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya
untuk diasingkan oleh VOC.
Pada era pemerintahan Pakubuwono IV terjadi perundingan yang digagas
VOC. Pakubuwono IV, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I bersama-sama
menandatangani perjanjian yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan
Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, serta
Kadipaten Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara
sehingga tidak boleh saling menyerang. Akan tetapi, Pakubuwono IV
rupanya masih berambisi untuk menyatukan wilayah Yogyakarta ke dalam
naungan Surakarta Hadiningrat. Ketika Hindia Belanda diduduki Inggris,
Pakubuwono IV saling berkirim surat dengan Raja Yogyakarta saat itu,
yakni Hamengkubuwono II, dan menyarankan agar Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat menentang Inggris. Pakubuwono IV sebenarnya berharap,
Yogyakarta akan hancur jika melawan Inggris. Ternyata, Inggris terlebih
dulu bertindak dengan menyerang Keraton Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan dibantu oleh Mangkunegara II. Akibatnya, pada Juni 1812,
Hamengkubuwono II ditangkap dan dibuang ke Penang, Malaysia. Namun
Inggris mengetahui adanya surat-menyurat antara Pakubuwono IV dengan
Hamengkubuwono II. Inggris memang tidak sampai menurunkan Pakubuwono IV
dari tahtanya, namun pihak penjajah berhasil merebut sejumlah wilayah
yang dimiliki Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pakubuwono IV belum menyerah untuk menaklukkan Yogyakarta. Tahun 1814,
Pakubuwono IV bekerjasama dengan tentara Sepoy, para serdadu bayaran
dari India yang dibawa Inggris, untuk melawan Inggris sekaligus berusaha
menduduki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang saat itu di bawah
kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811 dan 1812 -1814).
Namun, persekutuan ini gagal dan pada tahun 1815, sebanyak 70 tentara
Sepoy yang terlibat ditangkap dan dihukum mati oleh Inggris, sedangkan
sisanya dipulangkan ke India. Selain itu, seorang pangeran dari
Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga ditangkap oleh Inggris karena
didakwa telah menghasut Pakubuwono IV. Sang Raja Surakarta sendiri lolos
dari hukuman karena pemerintahan di Hinda Belanda dikembalikan kepada
Belanda sejak tahun 1816. Selain piawai dalam bidang politik dan
pemerintahan, Pakubuwono IV juga dikenal sebagai sastrawan yang cukup
cakap. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Serat Wulangrehyang
berisi tentang ajaran-ajaran luhur untuk memperbaiki moral bangsawan
Jawa. Pujangga besar Surakarta, Ranggawarsita, semasa mudanya pernah
belajar ilmu sastra dan kesaktian dari Pakubuwono IV.
Pakubuwono IV mangkat pada 2 Oktober 1820 dan digantikan oleh putra
mahkota, yakni Raden Mas Sugandi. Putra Pakubuwono IV dari permaisuri
Raden Ayu Handoyo, anak perempuan Adipati Cakraningrat (Bupati
Pamekasan), ini dinobatkan pada 10 Februari 1820 dan bergelar Sri
Susuhunan Pakubuwono V (1820-1823). Beliau dikenal sebagai sosok raja
yang memiliki jiwa seni tinggi. Salah satu karya sastra ciptaan
Pakubuwono V yang fenomenal adalah Serat Centhini atau Suluk
Tambangraras yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Penulisan
serat ini sudah dilakukan sebelum naik tahta menjadi Raja Surakarta,
tepatnya sejak tahun 1814. Beberapa karya seni Pakubuwono V yang lain di
antaranya adalah dhuwung atau keris pusaka Kyai Kaget, perahu Kyai
Rajamala, tarianBeksan Serimpi dan Beksan Penthul, Gendhing Ludiramadu
dan Gendhing Loro-loro, dan lain sebagainya. Namun, usia pemerintahan
Pakubuwono V berlangsung hanya selama 3 tahun saja. Pakubuwono V wafat
pada tanggal 5 September 1823.
Sepuluh hari setelah kematian Pakubuwono IV, sang putra mahkota, Raden
Mas Sapardan, naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VI
(1823-1830). Beliau adalah putra Pakubuwono V dari istri Raden Ayu
Sosrokusumo, keturunan Ki Juru Martani atau Kyai Adipati Mandaraka yang
pernah menjabat sebagai patih di masa Kesultanan Mataram Islam, dan
masih ada darah dari Majapahit. Pakubuwono VI yang dinobatkan pada 15
September 1823, sangat mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang
melawan penjajah Belanda dengan pecahnya Perang Jawa (1825-1830). Namun,
Pakubuwono VI tidak bisa terang-terangan dalam menyatakan dukungannya
itu karena Kasunanan Surakarta Hadiningrat terikat kontrak politik
dengan Belanda. Beberapa kali terjadi pertemuan rahasia antara
Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Terkadang Pakubuwono VI diam-diam
berkunjung ke tempat persembunyian Pangeran Diponegoro, dan sebaliknya,
Pangeran Diponegoro pun pernah menyusup ke dalam Keraton Surakarta.
Dalam hal ini, Pakubuwono VI berperan sebagai agen ganda. Beliau
berpura-pura membantu Belanda dengan mengirimkan pasukan kerajaan, namun
di balik itu sebenarnya Pakubuwono VI memberikan bantuan kepada laskar
Pangeran Diponegoro yang berperang secara gerilya.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Menjelang dan Setelah Kemerdekaan RI
Setelah Pangeran Diponegoro dapat ditangkap, Belanda mulai curiga kepada
Pakubuwono VI karena menolak menyerahkan beberapa wilayah di Surakarta.
Sejumlah orang kepercayaan Pakubuwono VI lalu ditahan dan dipaksa
membocorkan hubungan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro.
Meskipun tidak pernah ditemukan bukti, Belanda tetap mendakwa Pakubuwono
VI bersalah dan pada 8 Juni 1830, Pakubuwono VI beserta keluarganya
dibuang ke Ambon, padahal ketika itu permaisuri Pakubuwono VI sedang
hamil. Menurut keterangan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda,
kapal yang ditumpangi rombongan Pakubuwono VI mengalami kecelakaan dan
mengakibatkan sang Raja tewas, sedangkan sang permasiuri selamat dan
kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Raden Mas Duksino
pada 22 Desember 1830. Ketika dipindahkan dari Ambon ke Imogiri pada
1957, di dahi tengkorak Pakubuwono VI ditemukan lubang yang ternyata
cocok dengan ukuran peluru senjata api jenis Baker Riffle. Atas penemuan
tersebut kemudian muncul dugaan bahwa wafatnya Pakubuwono VI bukan
disebabkan kecelakaan, melainkan karena ditembak pada bagian dahi. Atas
jasa dan pengorbanan beliau, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.
294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964, Sri Susuhunan Pakubuwono VI
ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Pada tanggal 14 Juni 1830, Belanda mengangkat paman Pakubuwono VI untuk
meneruskan tahta Surakarta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VII
(1830-1858). Bernama asli Raden Mas Malikis Solikin, Pakubuwono VII
adalah putra Pakubuwono IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu
Sukaptinah atau Ratu Kencanawungu. Pada masa ini, seni sastra mengalami
zaman keemasan yang dipelopori oleh pujangga besar Ranggawarsita.
Pakubuwono VII yang wafat pada 28 Juli 1858. tidak menunjuk putra
mahkota sebagai penggatinnya.
Kemudian, yang dinobatkan sebagai raja Surakarta berikutnya adalah kakak
Pakubuwono VII (seayah namun lain ibu), yaitu Raden Mas Kusen dengan
gelar Sri Susuhunan Pakubuwono VIII (1859-1861). Putra Pakubuwono IV
dari istri selir Mas Ayu Rantansari ini dinobatkan menjadi raja pada
usia 69 tahun, yaitu tanggal 17 Agustus 1858. Pemerintahan Pakubuwono
VIII hanya berlangsung selama 3 tahun karena pada tanggal 28 Desember
1861, sang Raja mangkat.
Penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat selanjutnya adalah Raden
Mas Duksino, putra Pakubuwono VI, yang masih berada di dalam kandungan
saat ayahnya dibuang ke Ambon. Raden Mas Duksino dinobatkan pada tanggal
30 Desember 1861 dan menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono IX
(1861-1893). Era pemerintahan Pakubuwono IX inilah yang oleh
Ranggawarsita disebut sebagai zaman edan dalam karyanya yang bertajuk
Serat Kalatida.
Dalam serat itu, Ranggawarsita memuji Pakubuwono IX sebagai raja yang
adil dan bijaksana, akan tetapi sang Raja dikelilingi oleh para penjilat
yang mencari keuntungan sendiri. Selanjutnya, Pakubuwono IX digantikan
oleh putra mahkota yang bernama Raden Mas Malikul Kusno yang lahir dari
permaisuri Raden Ayu Kustiyah. Raden Mas Malikul Kusno menduduki
singgasana istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat sejak tanggal 30 Maret
1893. Masa kepemimpinan raja bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono X
(1893-1939) ini penuh dengan kebesaran tradisi dan sekaligus babak baru
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dalam memasuki era modern menjelang abad
ke-20. Selain itu, stabilitas politik di era pemerintahan Pakubuwono X
pun tetap terjaga. Kendati Belanda masih sering melakukan tekanan, namun
sang Raja masih mampu menjaga wibawa kerajaan, bahkan turut dalam
pergerakan nasional dengan mendukung Sarekat Islam (SI) cabang
Surakarta.
Penerus Pakubuwono X adalah sang putra dari permaisuri Ratu
Mandayaretna, bernama Raden Mas Antasena. Beliau dinobatkan dengan gelar
Sri Susuhunan Pakubuwono XI (1939-1945) pada 26 April 1939. Pada tahun
1942, tentara pendudukan Jepang menggantikan Belanda di Indonesia.
Namun, Pakubuwono X wafat justru beberapa saat sebelum Indonesia
merdeka, dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas
Suryaguritna, lahir dari permaisuri Raden Ayu Kuspariyah. Raden Mas
Suryaguritna naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XII
(1945-2004) pada 11 Juni 1945, dua bulan sebelum Indonesia merdeka.
Meskipun beberapa kalangan menganggap Pakubuwono XII tidak mengambil
peran penting pada masa-masa awal berdirinya negara Republik Indonesia,
namun Raja Surakarta ini tetap dinilai sebagai sosok pelindung
kebudayaan Jawa dan dihormati oleh banyak tokoh nasional. Pakubuwono
XII, yang merupakan Raja Surakarta dengan masa pemerintahan paling lama,
wafat pada tanggal 11 Juni 2004.
Latar Belakang Berdirinya Kasunanan
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677
ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan
Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat
serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan
dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang
berpusat diKartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura
berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa
Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak
parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan
untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan
Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar".
Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama
kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung
Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan
Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton
yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara
dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo.
Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga
selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang
dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah pembangunan Kraton, Ki Gede Sala
meninggal dan dimakamkan di area kraton.
Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan
baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan bahan
kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya
dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati
tanggal 17 Februari1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan
Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari1755) menyebabkan Surakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya
Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota
Yogyakarta mulai dibangun pada1755, dengan pola tata kota yang sama
dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757
memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara
keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
Perkembangan Kasunanan
Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan
kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran
Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton
menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan,
Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat
menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron
von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik
raja-raja keturunan Mataram.
Perjanjian Giyanti dan Salatiga
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami
kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk
bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai.
Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian
Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan
Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran
Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar
Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil
gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram
yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama
Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh
Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena
Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui
sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus
kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai
penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah
Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro
pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada
Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Pakubuwana IV
Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta
Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV
(1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita
serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni
insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan
VOC,Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena
Pakubuwana IV yang berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana
yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan
kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang
khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwana IV akhirnya bersekutu dengan
Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana. Di dalam
istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwana
IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan
yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790,
Pakubuwana IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk
diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi
perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta,
Kesultanan Yogyakarta, sertaPraja Mangkunegaran memiliki kedudukan dan
kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.
Pakubuwana V dan VI
Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang oleh
masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang
sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti
Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah
pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap
Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825.
Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia
Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis.
Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau
bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui
Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran
Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan
bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu
Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah
ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran
Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya
ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara
sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada
hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra
Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada
dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta
Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri
Susuhunan Pakubuwana VII.
Pakubuwana VII
Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan
Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja
sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra
secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana
VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta
dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya
berakhir saat wafatannya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka
Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri
Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.
Pakubuwana VIII dan IX
Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir
hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja
Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX.
Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang
harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah
Ranggawarsita yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah
membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran
Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini
membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru
tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara
oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya
dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Pemerintahan
Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia
digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri
Susuhunan Pakubuwana X.
Pakubuwana X
Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan kemegahan tradisi dan
suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang
cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan
tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di
Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah
kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi
dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat
Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa
pemerintahannya.
Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa
pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo
Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang
("Taman Satwataru") Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo
di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta,
rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma,
dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Dia
meninggal dunia pada tanggal 1 Februari1939. Ia disebut sebagai Sunan
Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya.
Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Sri
Susuhunan Pakubuwana XI.
Pakubuwana XI
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan
dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian
pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun
1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan
Sri Susuhunan Pakubuwana XII.
Sri SusuhunanPakubuwana XII
Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya
Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan (1945 - 1946), Kasunanan
Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan
tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal
16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi
Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden Soekarno sebagai balas
jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja
Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja
Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal
pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunegara VIII
yang menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat
kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana
hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik
Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah, maka Presiden
Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII dan
KGPAA Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi.
Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari setelahnya, yaitu pada
tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yang menjadi dasar dari
pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut
kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota
Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan
Belanda. Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti
monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya
adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Barisan Banteng berhasil
menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya
karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga
berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa
Surakarta. Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran
Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah
perampasan tanah-tanah pertanianyang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan
untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan
sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH
Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi
ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan
diganti orang-orang yang pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih
Dalem yang baru KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9
pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, maka untuk
sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS dan menurunkan
kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran dan daerah Surakarta
yang bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk dan susunannya
ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati
Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat dan warga negara
Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni
dan budaya Jawa.
Terdapat pendapat yang menilai bahwa pada awal pemerintahannya,
Pakubuwana XII gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi
politik Republik Indonesia. Bahkan muncul rumor bahwa para bangsawan
Surakarta sejak dahulu merupakan sekutu pemerintah Belanda, sehingga
rakyat merasa tidak percaya dan memberontak terhadap kekuasaan
Kasunanan. Dalam buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia,
Jenderal Abdul Haris Nasution menulis bahwa raja-raja Surakarta
membelot dan mengkhianati Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda
II tahun 1948-1949. Bahkan pihak TNI sudah menyiapkan Kolonel
Djatikoesoemo (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, untuk diangkat menjadi
Susuhunan yang baru dan Letkol. Suryo Sularso untuk diangkat menjadi
Mangku Negara yang baru. Namun rakyat dan tentara semakin ingin
menghapuskan monarki sama sekali. Akhirnya Mayor Akhmadi, penguasa
militer kota Surakarta, hanya diberi tugas untuk langsung berhubungan
dengan istana-istana monarki Surakarta. Kedua raja diminta untuk secara
tegas memihak Republik. Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil
tindakan sesuai Instruksi Non Koperasi.
Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur
pelindung kebudayaan Jawa. Pada zamanreformasi, para tokoh nasional,
misalnyaGus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah
Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa
pemerintahannya merupakan yang terlama di antara para raja-raja
Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004.
Nama kecil Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah Raden Mas Suryaguritna,
putra Sri Susuhunan Pakubuwono Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri
Raden Ayu Kuspariyah pada tanggal 14 April 1925. Pada tanggal 20 Juli
1939, Raden Mas Suryaguritna memperoleh gelar kebangsawanan sebagai
Raden Mas Gusti ketika ayahandanya naik tahta sebagai Sri Susuhunan
Pakubuwono XI. Saat Sri Susuhunan Pakubuwono XI meninggal dunia pada
tanggal 2 Mei 1945, Raden Mas Gusti Surya Guritna dinobatkan dinobatkan
sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar
Pangeran Adipati Aryo Hamengkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra
Mataram.Selanjutnya, pada tanggal 11 Juni 1945, Raden Mas Gusti Surya
Guritna naik tahta sebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan
berhak menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XII.
Sri Susuhunan Pakubuwono XII memiliki 6 (enam) orang istri. Kesemua
istri tersebut tidak ada yang dipilih sebagai permaisuri sehingga status
keenam istri Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah setara antara satu
dengan yang lainnya. Istri-istri Sri Susuhunan Pakubuwono XII tersebut
adalah Kanjeng Ratu Ayu Pradapaningrum dan telah dianugerahi 10 orang
anak, Kanjeng Ratu Ayu Madyaningrum (dianugerahi 4 orang anak), Kanjeng
Ratu Ayu Rogasworo (dianugerahi 3 orang anak), Kanjeng Ratu Ayu
Kusumaningrum (dianugerahi 1 orang anak), Gusti Raden Ayu Pujaningrum
(dianugerahi 11 orang anak), dan Gusti Raden Ayu Retnoningrum
(dianugerahi 6 anak).
Dari keenam istri tersebut, Sri Susuhunan Pakubuwono XII dikaruniai 35 orang anak (15 orang putra dan 20 orang putri).
Berikut nama 15 orang putra Sri Susuhunan Pakubuwono XII:
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH)Hadi Prabowo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puspo Hadikusumo
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Kusumoyudo
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Tejowulan
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Dipokusumo
Gusti Raden Mas (GRM) Soeryo Saroso
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Benowo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Noto Kusumo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Madu Kusumo
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Wijoyo Sudarsono
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Soeryo Wicaksono
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Cahyoningrat
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Soeryo Mataram
Adapun nama 20 orang putri Sri Susuhunan Pakubuwono XII adalah sebagai berikut:
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Alit
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Galuh Kencono
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Rahmaniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Saparniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Handariyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Kristiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sapardiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Raspiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sutriyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Isbandiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Partinah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Niyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Moertiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Sabandiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Triniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Indriyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Suwiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Ismaniyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Samsiyah
Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Saparsiyah
Pasca Sunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11 Juni 2004),
terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi raja’. Peristiwa
perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro
Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono
XIII, membuat kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian, yakni
antara pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH
Tedjowulan.
Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan. Peristiwa
ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan
‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi
peristiwa Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram
menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik
memecah belah atau devide et impera penjajah Belanda yang ingin
menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa. Namun, saat ini sulit dipungkiri,
perpecahan didorong nafsu berkuasa para elit Kasunanan Surakarta.
Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tak akan terjadi
kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara
langsung putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri. Namun, semasa
hidupnya, Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan
37 anak. Sejarawan Sumanto dalam suatu kesempatan mengatakan, alasan
Paku Buwono XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta
lebih berfungsi sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton,
kekuasaan raja tidaklah dominan.
KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga
Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa
dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan. Sementara itu, keluarnya
Surat Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng
Parentah Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah
Kaputren, mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan
Keraton Surakarta.
Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua,
berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak
Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara
langsung oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak
menjadi raja.
Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama,
karena telah diangkat oleh tiga pengageng Keraton. Menurut pandangan
pihak Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi
keraton inilah yang berhak menentukan pengganti raja.
Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejowulan
melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi
dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kota
Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejowulan sendiri menjadi
mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA (Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo Panembahan Agung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar