Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi
Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi
. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan
Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama
Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan
Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau
Buton.
Sejarah Awal
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Kakawin
Nagarakretagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone
di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri
Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya
Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada
tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia
i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus
tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan
Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak
pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di
Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa
perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung
(Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua
penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari
Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton
berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah
telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa
walaupun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio,
namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa
Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu
tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum
yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu
dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung
lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150
ton.
Raja Buton Masuk Islam
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto
atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa
riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum
sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya
pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian dia sekeluarga
berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan
Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai
(Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton.Syeikh Abdul Wahid
setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam,
Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul
Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain
menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton
pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang
khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri
Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang
pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang
sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan
sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 -
20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan
beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang
berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai
berikut:
Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M
bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi
pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan
sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna
Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum,
Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M -
1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan
Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah,
bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538
Miladiyah.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun
yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan
oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun
1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa dia
telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek,
nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933
H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah
lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut
bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada
tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan
Istana Buton, sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang
pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan
oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang
pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu
kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh
aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang
tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan
saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton
sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis
bahwa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal
legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang
bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental
dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan
Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa
kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran
yang bercorak zahiri. Namun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab,
yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan
bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain
digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah
kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak
berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
Pemerintahan Kerajaan Buton
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang
perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan
yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja
Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum.
Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan
Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan
yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan
Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap
di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem
kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya
tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di
nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan
bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan
pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi
sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang
raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di
antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas
untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik
sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup
ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah
proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan
raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju
dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi
dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif,
Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan
Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif.
Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul
seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica
Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat
jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah
berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar
sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat
Kesultanan Buton adalah lambang demokrasi Kesultanan Buton. di sini
dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk
melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat
Buton.
Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai berikut:
Eksekutif = Sara Pangka
Legislatif = Sara Gau
Yudikatif = Sara Bitara
Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi
Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.
Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton.
Politik Masa Kerajaan Buton
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang
Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta
mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe,
dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar
dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang
dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi
kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan
diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan
dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu
“Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan
perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya
Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie
(Wilayah Kecil).
Keadaan Masyarakat
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu
mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan
menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan
kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku
bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut
diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari
Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga
diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan
dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut
memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan
rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat
mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke
pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang
sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan
keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh
masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama.
Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam
kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan
lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada
perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat
tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain,
terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang.
Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus
sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai
kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si
Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal
dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari
Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan
menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan
tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak
pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam
jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di
tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan
peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang
saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah
palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran.
Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang
tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan
mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton
menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan
menetap.
Perekonomian Buton
Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India,
Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan
Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila
melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang
akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana.
Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di
sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar
uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5
kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu
Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya
menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan
pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona
(saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Hukum Kerajaan Buton
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat
pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang
sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan
melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII
Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher
dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal
dengan istilah digogoli.
Bahasa di Buton
Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan
Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah.
Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik
masyarakat yakni Bahasa Pancana, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi),
dan Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula
beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih
kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa
Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa Kolencusu, Bahasa Katobengke dan sebagai
bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan
bahasa resmi kesultanan.
Bidang Pertahanan
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta denganfalsafah perjuangan yaitu :
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat
Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba
(Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa
Patamiana (pertahanan kebatinan).
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga
mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi
keutuhanmasyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman.
Kejayaan masaKerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan
berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak
meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini
masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya
danarkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa
daerah kabupaten dan kota yaitu : Dengan wacana pembentukan Provinsi
Kepulauan Buton yang terdiri dariKabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi,
Kabupaten Buton Utara, Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton Selatan, dan
Kabupaten Buton Tengah. Serta tiga daerah yang masuk dalam Provinsi
Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Bombana,
Kabupaten Muna.
Daftar Sultan Kesultanan Buton
Daftar sultan / List of sultans
1) 1491-1537: Sultan Murhum
2) 1545-1552: Sultan La Tumparasi
3) 1566-1570: Sultan La Sangaji
4) 1578-1615: Sultan La Elangi
5) 1617-1619: Sultan La Balawo
6) 1632-1645: Sultan La Buke
7) 1645-1646: Sultan La Saparagau
8) 1647-1654: Sultan La Cila
9) 1654-1664: Sultan La Awu
10) 1664-1669: Sultan La Simbata
11) 1669-1680: Sultan La Tangkaraja
12)1680-1689: Sultan La Tumpamana
13) 1689-1697: Sultan La Umati
14) 1697-1702: Sultan La Dini
15) 1702: Sultan La Rabaenga
16) 1702-1709: Sultan La Sadaha
17) 1709-1711: Sultan La Ibi
18) 1711-1712: Sultan La Tumparasi
19) 1712-1750: Sultan Langkariri
20) 1750-1752: Sultan La Karambau
21) 1752-1759: Sultan Hamim
22) 1759-1760: Sultan La Seha
23) 1760-1763: Sultan La Karambau
24) 1763-1788: Sultan La Jampi
25) 1788-1791: Sultan La Masalalamu
26) 1791-1799: Sultan La Kopuru
27) 1799-1823: Sultan La Badaru
28) 1823-1824: Sultan La Dani
29) 1824-1851: Sultan Muh. Idrus
30) 1851-1861: Sultan Muh. Isa
31) 1871-1886: Sultan Muh. Salihi
32) 1886-1906: Sultan Muh. Umar
33) 1906-1911: Sultan Muh. Asikin
34) 1914: Sultan Muh. Husain
35) 1918-1921: Sultan Muh. Ali
36) 1922-1924: Sultan Muh. Saifu
37) 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi
38) 1937-1960: Sultan Muh. Falihi
39) mei 2012-19 july 2013: La Ode Muhammad Jafar
40) 13 des. 2013 – sekarang La Ode Muhammad Izat Manarfa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar